Tit! Suara pintu terdengar di buka seseorang dari luar. Seorang gadis muncul dengan mimik muka masam. Seorang pria yang sejak tadi ada di depan tv, menoleh.
"Akhirnya kamu muncul juga setelah beberapa jam menghilang," ujarnya. Bukan dengan nada marah dan tinggi, tapi dengan nada tegas tanpa perlu menaikkan intonasi bicara. Mata Paris menyoroti pria ini tajam. Dia tidak berkomentar apapun soal kalimatnya. Ya. Dia Biema.
Paris masih memakai seragam sekolah lengkap. Sepatu dan tas ranselnya masih tetap bertengger pada tubuhnya. Dia belum mengganti seragam itu dengan baju santai.
Mungkin karena ingin terburu-buru masuk ke dalam kamar, sepatu itu semakin sulit di lepas. Paris menggerutu, memaki sepatunya. Atau juga sedang memaki dirinya yang terjebak di depan pintu dengan mata pria yang ada di depan sana masih melihatnya.
Setelah bersusah payah melepasnya, dia meletakkan sepatu itu di dalam laci sepatu. Kemudian dia melenggang dengan santai dan angkuh melewati Biema yang masih melihatnya.
"Kenapa tiba-tiba kabur?" tanya Biema sebelum gadis itu berhasil membuka pintu kamarnya. Kali ini tubuh pria ini berdiri. Paris berhenti membuka pintu. Tangannya masih memegang handle pintu. Setelah menghela napas, Paris memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan pria itu.
"Aku tidak menghilang ataupun kabur. Aku sedang pulang ke rumahku sendiri," jawab Paris tidak suka di tuduh menghilang. Setelah membiarkan pertanyaan itu mengambang beberapa menit, Paris menjawab dengan asal. Nadanya ketus dan tidak bersahabat.
"Bukankah kita sepakat bahwa kita akan tinggal disini?"
"Tidak. Bukan kita sepakat. Ini semua kamu yang merencanakan, bukan aku. Kamu merencanakannya dengan memikat hati bundaku yang gampang di perdaya." Mendengar jawaban Paris, Biema diam. "Lagipula sejak awal aku tidak berniat mengikuti rencana konyol ini."
"Meskipun kamu menyangkal, kamu tetap tidak bisa mengubahnya. Kita harus tetap berada disini. Di apartemenku ini." Biema akhirnya menunjukkan dominannya.
"Itu pemaksaan," desis Paris geram.
"Semua ini sudah terjadi. Jadi silahkan berdiskusi dengan hatimu untuk menerima apa yang sudah di putuskan." Biema berkata dengan tegas. Lalu pria itu kembali ke sofa tv.
"Keputusan bisa di ubah jika kamu mau melakukannya. Ubahlah keputusan ini Biema," kata Paris sedikit memohon. Biema melihat gadis berseragam di belakangnya agak lama.
"Tidak. Aku tidak mau melakukannya. Semua keputusan ini sudah di buat sejak awal." Biema memutar tubuhnya melihat ke arah tv. Dia tidak lagi menghadap Paris dan memunggunginya.
"Kamu sungguh tidak masuk akal!" desis Paris kesal, geram dan marah. Brak! Lalu masuk ke dalam kamar dengan menutup pintu keras. Bagaimanapun Paris tidak mau disini. Bagaimanapun Paris menentang keputusan ini. Makanya dia sering kabur dari apartemen ini dan uring-uringan tidak ada ujungnya.
"Bisa tidak, menutup pintu dengan cara biasa?!" tegur Biema dengan teriakan. Karena gadis itu sudah berada di dalam kamar.
"Tidak bisa! Jadi usahakan dirimu terbiasa dengan styleku yang seperti ini!" sahut Paris menjawab pertanyaan Biema pada akhirnya.
Biema melihat tv dengan tidak lagi bisa fokus pada apa yang sejak tadi di tontonnya. Helaan napas mulai terdengar dari bibirnya.
Di dalam kamar, Paris melemparkan tas ransel seenak jidatnya. Lalu membanting tubuhnya di atas ranjang dengan kesal.
"Dia memang mengesalkan. Dia memang menyebalkan," gerutu Paris sambil membuat gerakan tidak beraturan di atas ranjang. Hingga membuat kusut dan berantakan sprei yang sudah tertata rapi menyelimuti kasur berbahan spon dengan kualitas tinggi.
Bahkan seragam sekolahnya pun menjadi kusut seperti kain lap. Tubuhnya bangkit dan duduk dengan kaki menggantung di pinggir ranjang.
"Bagaimana bisa dia mengiyakan rencana bunda. Bukannya menentang dan menolak semuanya, dia justru setuju dan bersikap seperti semuanya bakal terjadi meskipun dia tidak melakukan apa-apa. Ini semua sungguh mustahil." Paris menggerak-gerakkan kakinya kesal. Tangannya juga ikut meremas-remas kain sprei hingga alas kasur itu tertarik-tarik tidak karuan.
"Apa dia tidak punya kegiatan lain selain mengangguku? Arrgghh!!" Paris membanting tubuhnya lagi di atas ranjang. Berguling-guling kesal karena keputusan bundanya.
Bagaimana bisa dia yang masih muda, masih berumur belasan tahun sudah menyandang predikat sebagai seorang istri?
Tak terasa airmatanya jatuh. Paris menangis lagi. Sudah berkali-kali dia marah dan mengajukan keberatan atas keputusan bunda menikahkannya dengan pria ini. Namun bunda tetap pada pendiriannya, yaitu dia harus menikah dengan Biema.
Tangannya mengusap kasar airmata itu. Menangis juga percuma. Tidak ada yang menggubrisnya. Bahkan pria yang di nikahkan dengannya juga tidak melakukan hal apa-apa untuk membatalkan pernikahan. Dia bersedia menjadikan dirinya sebagai istri meskipun tidak begitu paham dengan sifat masing-masing.
...Flashback...
.......
.......
.......
Paris duduk di bangku kelas dengan santai sambil main game di bangkunya. Sementara Sandra masih memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Jam pelajaran usai beberapa menit yang lalu.
"Pulang bentar lagi ke daerah kampus yok," ajak Paris.
"Boleh. Aku akan kasih tahu sopirku untuk enggak jemput."
"Jangan, pakai sopir kamu aja. Angga aku suruh pulang."
"Boleh." Setelah selesai merapikan buku di atas meja, Paris berdiri. Di ikuti oleh Sandra, mereka keluar dari kelas untuk pulang. Sesampainya di depan gerbang, Sandra melambai pada mobil milik keluarganya.
"Eh, kenapa bukan sopir rumah?" Sandra terheran-heran.
"Kenapa?" tanya Paris yang melihat Sandra bingung.
"Itu, kayaknya bukan sopir rumah deh."
"Siapa?" tanya Paris. Belum sempat di jawab Sandra, mobil sudah mendekat. Pria di balik kemudi melongok keluar sambil memanggil Sandra.
"Dra! Ayo pulang!" ajak pria yang tak lain adalah Biema. Kakak Sandra.
Busyet.
"Emm__ " Sandra tidak langsung menjawab. Bola matanya melirik ke arah Paris. Sementara Paris garuk-garuk tengkuknya sambil lihat ke arah lain. "Kemana bang Adi, kak?" tanya Sandra.
"Di rumah. Lagi di suruh bantuin mama yang ada acara. Ayo cepat pulang."
"Tapi aku lagi ada acara, kak."
"Mama repot, kamu coba bantuin. Jangan main terus."
"Em__" Sandra melirik Paris lagi. "Paris ... gimana nih?" tanya Sandra tidak enak sama temannya.
"Ya, pulang sana. Kan di suruh pulang. Sana ...," ujar Paris sambil menggerakkan tangannya mengusir Sandra.
"Ikut saja. Nanti akan aku antar kamu pulang," ujar Biema menawarkan.
"Tidak terima kasih. Saya di jemput kok," tolak Paris sambil mengangguk sopan. Sandra melebarkan mata sejenak melihat tingkah Paris. Tidak biasanya dia begitu sopan. Mungkin Paris masih canggung soal di kelab malam itu.
"Memangnya kamu di jemput beneran?" tanya Sandra sambil berbisik.
"Oh, ternyata aku di jemput kok. Hehehe ..." Paris memamerkan deretan giginya. "Cepatlah, kamu pulaaanggg ... " Setengah mengusir, Paris menyuruh Sandra cepat angkat kaki dari sini. Dia tidak ingin melihat kakak Sandra lama-lama.
"Tapi kamu ..." Sandra masih ragu.
"Tenang saja. Aku juga sebentar lagi pulang. Lain kali saja kita keluar. Sana cepaaaat...." Paris setengah mendorong tubuh Sandra untuk segera masuk ke dalam mobil.
Dengan berat hati Sandra masuk ke dalam mobil meninggalkan Paris di dekat gerbang sekolah.
"Semoga selamat sampai tujuan ..." Paris melambaikan tangan saat mobil melaju pergi meninggalkannya.
Hhh ... Untung kakak Sandra segera pergi. Sangat tidak nyaman melihatnya terus saja memindaiku. Oke, sekarang menelepon Angga buat jemput.
"Itu cewek yang waktu itu kan? Putri pemilik Mall?" tanya Biema di dalam mobil.
"Iya. Kakak masih ingat?" tanya Sandra sambil terus melihat ponsel.
"Bagaimana bisa, aku tidak ingat. Dia kan yang buat geger di malam itu. Hingga aku harus menghadiri rapat esoknya dengan pipi lebam karena dia." Biema mengatakannya dengan geram. (Bab 42 Pelayanku, Asha)
Tangan Sandra berhenti menekan ponsel. Dia terdiam. Dia tidak bisa meneruskan percakapan menakutkan ini. Berbahaya. Sangat berbahaya karena bisa-bisa kakaknya marah lagi karena dia berteman dengan Paris.
Mobil sampai di rumah Sandra dengan cepat. Mama menyambut putrinya dengan senyum dan todongan meminta bantuan. Biema harus kembali ke kantor.
Saat melewati sebuah jalan, dia melihat seseorang yang tidak asing. Saat melewati jalan itu, Biema menoleh dan mendapatkan sosok yang sesuai dengan dugaannya.
Bukankah itu teman Sandra. Gadis itu.
Paris tengah di kerubuti anak cowok. Biema mengerutkan dahinya melihat itu. Karena cowok-cowok itu berpakaian dengan style punk jalanan yang biasa ditemukan di lampu merah. Cowok dengan atribut punk dan serba hitam.
Biema menipiskan bibir dan mendecak melihat gadis itu mengobrol dengan mereka.
Gadis itu punya teman dengan semua tipe rupanya. Bisa-bisanya Sandra berteman dengannya. Jelas saja waktu itu aku bisa menemukan dia di kelab malam.
Apa yang dilihat mata seseorang, kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Paris memang sedang mengobrol dengan cowok-cowok dengan tindik di telinga dengan anting besar. Sebesar kancing jas kantoran. Namun gadis ini bukan sedang melakukan obrolan biasa.
"Apa?" tanya Paris saat dua cowok ini mendekatinya.
"Minta uang. Kamu pasti punya uang, kan?" kata seorang cowok dengan gigi tidak rata.
"Enggak punya. Aku enggak punya."
"Jangan bohong. Cepat berikan uangmu. Anak sekolah pasti di kasih uang saku sama orangtuanya, kan?" tanya cowok yang lain memaksa.
"Iya, tapi kali ini dompetku enggak ada. Jadi aku enggak punya uang sepeserpun." Paris merogoh saku di kemeja sekolahnya dan menunjukkan bahwa saku itu kosong.
"Pasti di dalam tasmu." tunjuk cowok itu sambil mencoba menarik tas punggung Paris.
"Ni orang di kasih tahu enggak percaya. Aku beneran enggak ada uang. Dompetku raib entah kemana." Paris menarik tas ranselnya dan membuka resleting. Mencoba menunjukkan bahwa memang dia tidak punya apa-apa.
Saat itu ponsel yang sengaja di sembunyikan di saku tas menyembul.
Gawat.
"Aku minta hape-mu." Mata cowok itu melihat ponsel di dalam tas Paris.
"Enggak ada," tolak Paris sambil menutup kembali resleting tasnya dengan cepat. Namun cowok itu dengan cepat pula menarik tasnya paksa. "Hei, lepaskan tasku," hardik Paris.
"Aku harus mengambil ponselmu." Cowok yang lain membantu merampas ponsel itu. Paris mendorong cowok itu.
"Jangan melawan ya. Kamu itu cuma cewek. Sendirian pula." Cowok itu berusaha kembali menarik tas Paris. Kejadian tarik menarik ini akhirnya membuat Paris harus memukul cowok itu hingga mundur.
"Hei, kamu cewek sialan!" maki cowok itu karena sakit di perutnya terkena pukulan Paris.
"Kamu sengaja mau bermain kasar, ya." Sebelum cowok tadi melakukan hal yang mengancamnya, Paris segera memukul cowok itu dengan tasnya.
Bruk!
"Aw!" Tas Paris tidak terlalu banyak isinya, tapi di pukul begitu saja jelas tetap membuat sakit.
"Cewek brengsek!" Cowok itu marah dan ___ Bruk! Sebelum berhasil melukai Paris, cowok itu terpental jatuh ke tanah. Kepala Paris menoleh ke arah berdirinya seorang pria berjas.
Siapa dia? Malaikat pelindungkah? Pangeran berkuda putihkah?
"Berhenti bertingkah menyebalkan. Aku akan memanggil polisi setelah menghajar kalian berdua," ujarnya membuat dua cowok tidak bersenjata itu pergi tanpa hasil apa-apa.
"Anda siapa?" tanya Paris karena merasa asing. Dia hanya bisa melihat punggung pria itu. Makanya dia belum bisa melihat raut wajahnya.
Berbaliklah ... Berbaliklah ... Aku ingin melihat rupa pangeran penyelamatku. Paris dengan gembira menunggu momen saat memandang seorang pria dengan aura menyilaukan.
"Memangnya rumah kamu dimana, hingga kesini?" tanya pria ini sambil memutar tubuhnya. Paris melotot.
Busyet!
"Kamu ..." Tunjuk Paris terkejut. Raut wajahnya jadi masam. Angan-angan melihat pangeran penyelamat gugurlah sudah. Dia bukan melihat pangeran yang sudah terbayang dalam benaknya.
"Iya. Aku. Aku pikir kamu tadi bilang kalau mau pulang, tapi ini apa?" Biema melihat kesekitar. Ini daerah yang agak jauh dari sekolah tadi. Paris menggaruk tengkuknya. Ya. Dia Biema. Kakak Sandra.
Sial.
"Jauhi keributan. Kenapa kamu suka sekali tempat berbahaya?" Biema mengatakannya seperti Paris ini tukang rusuh.
Siapa juga mau mendapat ketidakberuntungan bertemu preman-preman tadi? Aku itu sedang dalam musibah, tahu ... gerutu Paris dalam hati.
"Kamu masih canggung karena kejadian itu rupanya." Biema tersenyum mengejek saat tahu gadis ini gugup.
Sial. Dia ingat. Dia masih ingat!
"Tentu saja aku masih ingat. Bagaimana mungkin aku tidak ingat saat kamu berhasil membuat tanda lebam di pipiku." Komentar Biema mengejutkan Paris.
Hah? Dia mendengar suara hatiku? Ajaib. Apa mungkin aku tidak sedang berbicara dalam hati, ya ...
"Raut wajahmu mudah di tebak." Lagi-lagi dia tahu apa yang sedang di pikirkan Paris.
Upps ... Sepertinya aku ketahuan. Paris menunduk.
"Kamu pasti berpikir aku sudah tidak bisa ingat kejadian itu, bukan? Kamu berhutang maaf padaku."
Busyet. Apalagi itu?
"Memangnya minta maaf saat di kantor polisi itu tidak cukup?" tanya Paris setengah menggerutu. Mengkerucutkan bibirnya tidak setuju.
"Iya. Itu tidak cukup. Kamu setengah hati meminta maaf. Berbeda dengan perempuan yang aku pikir bodyguardmu waktu itu. Dia terlihat begitu sepenuh hati ketika meminta maaf padaku."
Yang di maksud itu pasti Asha. Karena memang waktu itu dia bersama kakak iparnya itu. Jelas saja waktu itu Asha yang masih sebagai seorang pelayan meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Karena sebagai bawahan, dia sudah melakukan kesalahan yang fatal.
"Jadi kamu masih dendam padaku karena insiden itu?" tanya Paris terus terang. Kali ini dia memandang pria ini dengan tegas.
"Ya. Karena ulahmu itu, aku sempat jadi omongan orang sekantor. Lebam di wajahku mengusik mereka semua untuk membicarakanku." Biema juga terang-terangan mengatakan tidak suka dengan Paris karena insiden itu.
Dia memang seperti tidak akan melepaskanku karena hal itu ... geram Paris dalam hati.
"Aku sudah melakukannya. Aku sudah meminta maaf, jadi aku rasa aku tidak berhutang apa-apa lagi padamu. Meskipun itu menurutmu kurang menjiwai atau tidak ikhlas, tapi menurutku itu sudah usai. Persoalan kita waktu itu usai. Jadi, jika kamu tidak mau memaafkanku, itu bukan karena aku. Hatimu sendiri yang kurang lapang menerima permintaan maaf seseorang." Paris mulai berkata dengan gayanya yang serampangan.
"Kamu mengataiku berpikiran sempit?" tanya Biema mengerutkan keningnya. Paris melihat dengan terkejut.
"Tidak. Kenapa kamu mengartikan lain kalimatku, sih," gerutu Paris. Dia seperti jadi semakin terjebak dalam ras bersalah yang kembali muncul. "Aku bilang, kamu kurang menerima soal minta maafku. Bukan tentang hal lain." Wajah Paris juga ikut masam karena obrolan mereka seperti tidak sinkron.
"Sepertinya Sandra memang harus di jauhkan darimu. Gadis bermasalah dengan banyak orang. Termasuk aku dan cowok-cowok preman tadi."
"Hei, bukan aku yang bermasalah ... tapi mereka. Kamu tidak lihat mereka sedang mengancamku? Mereka itu preman yang suka malak orang, bung!" teriak Paris marah. Dia tidak setuju kalau dirinya di anggap gadis bermasalah.
"Kamu mulai berteriak padaku."
"Arrgggh! Kamu pria paling ribet yang aku temui. Aku tidak menyangka kamu adalah kakak sahabatku." Paris frustasi. "Lagipula tidak ada kerjaan banget kamu berusaha menolongku tadi. Aku bisa meringkus mereka tahu!" dengkus Paris kesal.
Kakinya melangkah pergi tanpa pamit ke Biema. Sebelum itu kakinya menendang kerikil di depan yang menghalangi jalannya dengan kesal.
Gadis yang berapi-api. Biema masih memandangi punggung Paris dari belakang.
Paris meletakkan punggungnya di kursi meja belajar dengan menghela napas lega. Setelah menunggu kedatangan Angga di jalan yang lebih jauh dari tempat Biema tadi, gadis ini bisa sampai di rumah dengan cepat. Kepalanya bersandar pada bahu sofa. Kemudian menengadah ke atas.
Bertemu dengan Biema membuatku kesal.
"Paris! Cepat makan!" teriak bunda dari lantai bawah.
"Iyaaaa!" jawab Paris segera bangkit. Mengganti pakaian dan segera turun. Di lantai bawah Asha tengah sibuk menyusui Arash. Paris mendekati keponakannya dan mencubit pipi gembul bayi itu.
"Kamu nyusu terus yah... Biar tambah gembul nanti. Bundamu mungkin tidak akan kuat menggendongmu," ujar Paris menggoda keponakannya. Mungkin paham dengan godaan auntynya, tangan Arash yang bebas menepuk pipi Paris dan sedikit menarik rambut gadis ini yang di biarkan terurai.
"Aw ... " jerit Paris.
"Hei ... jangan menyakiti aunty-mu, sayang ..." Asha berusaha membantu Paris melepas genggaman tangan putranya.
"Ni bocah, paham kali di ledekin. Langsung sigap membalasku. Ihhhh ... kamu ..." Setelah berhasil lepas dari genggaman tangan Arash, Paris kembali mencubit pipi keponakannya. Tangan dengan jari bulat-bulat itu kembali ingin meraih rambut Paris, tapi dengan cepat Paris menghindar.
"Wee ... enggak kena. Enggak kena," ledek Paris sambil menjulurkan lidahnya. Arash sampai melepas ****** bundanya karena fokus pada Paris. Lalu jaringa meraih-raih udara bermaksud ingin menangkap Paris.
"Ayo, mik susu lagi. Jangan di ladeni aunty-mu yang lagi mood ngeledekin." Asha memaksa putranya kembali menyusu. Paris cekikikan puas.
"Puas banget bikin Arash kesal. Kaya menang dari kak Arga saja ..." Paris mencebik merasa bangga dan berjalan menjauh dari kakak iparnya yang berada di ruang tengah. Saat itu dia berpapasan sama bunda.
"Lama sekali di suruh turun, Paris?" tanya beliau.
"Lagi godain Arash yang semakin gembul saja."
"Arash memang semakin sehat. Tidak menyangka, padahal Asha itu kecil badannya. Ayo cepat makan. Sudah bunda siapin." Nyonya Wardah kembali ke dapur buat menemani putrinya.
"Bunda kemarin ketemu orang perusahaan textil di mall," ujar nyonya Wardah sambil memotong buah untuk putrinya.
"Mmmm ... Mau kerja sama?" tanya Paris mendongak seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Mungkin. Bagus juga kan kalau kita kerja sama, sangatlah cocok. Mereka juga punya perusahaan garmen yang bahannya di ambil sendiri dari perusahaan textil mereka yang menghasilkan kain." Bunda bercerita dengan wajah bahagia. Paris mengangguk setuju.
"Sip," ujar Paris sambil menunjukkan jempolnya.
"Sepertinya besok bunda ada janji temu dengan teman bunda itu. Kamu temenin bunda, ya ..."
"Aku lihat dulu jadwalku, Bun. Kali aja bentrok. Jadi aku enggak bisa temanin bunda."
"Kamu itu memangnya seorang artis? Di ajak ketemuan aja masih mau lihat jadwal. Ini bundamu yang mengajak, bukan orang lain." Bunda menipiskan bibir melihat tingakah putrinya.
"Kali aja, Paris sudah janjian sama teman. Kan enggak enak kalau sudah janjian lama trus di batalin. Bunda juga kan enggak suka, putrinya suka ingkar janji." Bunda lagi-lagi menipiskan bibir melihat lagak putrinya. Kali ini juga menambahi dengan gelengan kepala.
"Belakangan ini kamu mulai kendor buat bersih-bersih..." Bunda mengeluarkan jurus mengancamnya. Paris menelan ludah.
"Emmm ... Paris agak tidak sehat, Bun. Jadinya sedikit kendor." Paris mencari alasan. Memakai mimik wajah melas agar bunda percaya.
"Bunda itu pakai nyuruh-nyuruh kamu itu bukan apa. Ya ... itu semua demi kamu. Jika kamu sudah menikah, setidaknya punya jiwa rajin seorang istri. Beres-beres, masak ..."
"Paris tahu," potong Paris cepat. "Lagian Paris menikahnya masih lama. Sekolah saja belum selesai. Mana mungkin Paris menikah." Ada gelak tawa geli di sana.
"Jodoh itu datang tidak di sangka. Mungkin saja, besok jodoh kamu sudah ada di depan mata."
"Bisa jadi, tapi untuk menikah kayaknya jauh deh Bun ... "
"Kenapa?" tanya bunda memicingkan mata.
"Kalau besok aja baru ketemu jodohnya, pastinya baru berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun baru menikah. Kita kan perlu penjajakan dulu. Kenal dulu. Pahami dulu. Baru setelah itu menikah." Paris mengatakan semuanya dengan bangga.
"Kalau takdir mengatakan kalian jodoh, satu hari saja bisa membuat kalian menikah." Nyonya Wardah memang yakin akan cinta pada pandangan pertama.
"Satu hari? Tidak mungkin ...." Bibir Paris mencebik. "Itu hal mustahil."
"Kenapa tidak?"
"Ya ... mana bisa lah, Bun ... " Paris mengibaskan tangannya. Membantah pendapat nyonya Wardah. "Khayal banget pemikiran Bunda." Bunda hanya melirik putrinya itu. Tangan Paris menyuap makanan ke dalam mulut dengan semangat. Dengan cepat piringnya segera bersih. "Kenyaaangggg ...."
"Kamu lapar sekali. Kelihatan habis melakukan aktifitas berat. Memangnya kamu di hukum lari mengelilingi lapangan tadi?" tanya bunda curiga.
"Eitsss ... enggaklah, Bun. Aku hanya kelaparan saja." Paris menolak di tuduh di hukum. Dia bersemangat makan karena tadi sempat ada yang bikin sebal dirinya.
Asha muncul dengan Arash yang terlelap dalam gendongannya.
"Gembul sudah tidur, Kak?" tanya Paris yang bangkit dari kursi untuk meletakkan piring di dalam bak cuci. Melongok sejenak ke arah gendongan Asha dan menaikkan alis.
"Ya."
"Enak benar tidurnya si gembul." Paris melenggang setelah mengatakan itu.
"Pasti minum susunya banyak tadi, ya?" tanya Bunda.
"Iya, Bun. Arash memang doyan nyusu."
"Anak laki memang begitu. Mik susunya sangat kuat. Kamu harus perbanyak makan sayur-sayuran. Biar ASI-nya semakin banyak."
"Iya."
"Jadi kayak kambing dong, makan rumput." Paris tergelak. Asha hanya tersenyum. Sementara nyonya Wardah menoleh dengan bola mata tajam.
"Ngomong sama kakakmu itu begitu memangnya? Jadi pantas mau ngata-ngatain kak Asha begitu?"
"Kan hanya bercanda, Bun ...." Paris bermuka masam di protes bunda. Asha menoleh pada mertuanya cepat. Kaget sama protesnya beliau.
"Walau bercanda, itu tidak pantas. Jangan di biasakan begitu. Jika kamu tinggal bareng mertuamu kelak bagaimana? Kamu juga akan bercanda begitu?"
"Mertua? Lagi-lagi bunda ngomong itu ..." gumam Paris. Setengah menggerutu. Bibirnya mengkerucut sebal. Apa-apa sering di kaitkan sama hal itu. Membuat Paris menghela napas lelah.
"Ya memang ke depannya itu yang di hadapi. Bukan hal lain."
"Memangnya enggak ada pembahasan selain menikah?"
"Enggak ada. Bunda memang harus menyiapkan kamu buat jadi seorang istri yang baik." Masih dengan pendapatnya. Bunda memang ingin putrinya menjadi seperti dirinya. Menjadi seorang istri yang baik dan tahu segala hal persoalan rumah saat menikah kelak.
Paris memilih segera pergi dari dapur. Jika tidak, bunda akan terus saja mencekoki telinganya dengan pembahasan-pembahasan soal menikah. Gadis itu meninggalkan piring kotor itu tergeletak begitu saja di dalam bak cuci piring. Membuat nyonya Wardah mendelik.
"Itu anak. Bukannya justru mencuci piring, malah pergi meninggalkan piring kotornya," gerutu beliau sambil beranjak berdiri.
"Biar Asha yang cuci, Bun ... Setelah Arash Asha letakkan di kamar bawah." Asha memilih menengahi dengan menyediakan waktu membantu.
"Aduh, jangann ... Biar bik Sumi saja." Asha mengangguk. Lalu mencomot buah yang sudah di kupas mertuanya. "Paris itu memang lebih baik di jodohkan saja." Asha yang mengunyah buah terkejut.
Sepertinya bunda sudah mulai lagi. Kebiasaan beliau muncul kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!