Bagaimana nasib bekerja menjadi manajer seorang artis terkenal yang selalu di puja oleh kaum hawa, karena wajahnya yang sangat rupawan dan memikat? Pastinya akan menjadi orang yang sangat beruntung, bukan? Bisa saja iya, kalau itu orang lain. Namun, itu bisa menjadi tidak untuk seorang Tami Agustine Mentari. Ia terpaksa menjadi seorang manajer dari artis bernama Vino Angkasa Radiansyah, sesosok adam yang selalu di puja akan kerupawanan dan sikapnya dilayar kaca.
Bukan kemauan Tami untuk menjadi seorang manajer, itu semua adalah ancaman dari ibunda tercintanya yang
mengancam akan membakar semua koleksi merchandise-nya yang merupakan tokoh kartun favoritnya patrick
star. Tentu hal itu tidak di inginkan, dia mengingat bagaimana rela tidak boros untuk menabungkan sebagian besar uang sakunya untuk membeli semua itu. Ibundanya selalu menyindirnya dan membedakan dirinya dengan anak tetangga sebelah kanan, kiri, depan dan belakang.
Memang setelah satu tahun menganggur dan membuatnya selalu berdiam diri di kamar atau dapat di bilang tidur, ibundanya tidak pernah absen untuk menyindirnya, namun ia hanya diam mendengarkan semuanya tidak membantah agar tidak menjadi anak durhaka. Namun, batas kesabaran sang ibunda sudah di ambang batas, beliau mengancam untuk membakar semua barang-barangnya, bahkan menyita TV yang ada di kamarnya. Tapi, semua hal itu tidak akan terjadi, kalau Tami menurut bekerja menjadi manajer dari artis kesayangan sang ibunda. Tami menerima tawaran itu dan tidak memikirkan apa yang harus ia lakukan, ia hanya memikirkan nasib benda kesayangannya itu.
Ternyata menjadi manajer tidak mudah seperti dia menemukan upilnya, dia harus pintar-pintar membagi jadwal sang artis, mondar-mandir menerima kontrak mengingat artisnya sangat terkenal, menemani kemana sang artis pergi, dan yang paling membuatnya ingin menendang bokong seksi artisnya ini adalah sikap kekanakan yang di miliki Vino. Ia tidak menyangka bahwa lelaki yang selalu ia dengar dari sang ibunda ternyata berbanding terbalik dengan kenyataannya. Sosok yang gagah dan selalu membuat kaum hawa menjerit itu adalah anak mama yang sangat manja di mata Tami. Bahkan sikapnya mengalahkan keponakannya yang masih berumur dua tahun, mau tak mau Tami menganggap Vino adalah bayi besar yang merepotkan. Dia bukan hanya menjadi manajer yang siap siaga, namun menjadi babysitter-nya juga.
Bagaimana kesabaran Tami yang mengurusi bayi besar yang berkedok menjadi artis rupawan itu?
Sudah seminggu Tami bekerja menjadi seorang manajer dari artis rupawan kesayangan kaum hawa termasuk sang ibunda tercinta, seperti hari-hari sebelumnya Tami berada di rumah Vino, lebih tepatnya di dalam kamar Vino. Di lihatnya sesosok yang selalu di puja-puja memeluk guling dengan mulut yang terbuka lebar. Tami meringis melihat posisi tidur Vino dengan kaki berada dibantal dan kepala hampir menyentuh dilantai. Dia menggelengkan kepalanya, di sibak selimut yang menutupi tubuh Vino. Terlihat jelas enam pahatan sempurna diperut Vino, membuat Tami menelan ludahnya.
“Sial! Kenapa harus shirtless? Kan iman gue gak kuat-kuat amat, kalau khilaf ‘kan bahaya,” gumam Tami sambil menutup matanya dengan satu tangan yang ia renggangkan, agar dapat melihat kembali pemandangan indah di sela-sela jarinya. Sedangkan tangan yang satunya digunakan untuk menggoncangkan tubuh Vino.
“Gila, kayak kebo. Udah sepuluh menit gue bangunin, tapi gak bangun-bangun. Gimana gue banguninnya, di siram udah waktu itu, di kasih hewan yang ditakuti udah, teriak juga sering, nanti suara gue kan sebagus Isyana sarasvati dong kalau teriak terus, Ah—gue tahu,” Tami menaiki ranjang dan mengambil ancang-ancang, dia menghitung satu sampai tiga dan—bugh.
Berhasil, Vino terbangun dari tidurnya dengan ringisan keras saat dirinya terjatuh dari atas kasur oleh tendangan sayang di bokong seksinya oleh Tami yang sekarang tersenyum manis melihat rencananya berjalan dengan lancar.
“Lo mau buat wajah tampan gue benjol? Gak ada cara lain apa selain bokong gue?” tanya Vino yang sudah berdiri
dan berkacak pinggang di depan Tami yang masih menampilkan senyuman bahagianya.
“Hah—gue sudah bangunin lo dari tadi, tapi lo gak bangun-bangun. Ya udah gue pakai cara itu, buktinya lo bangunkan? . Lagian lo jatuh diatas karpet tebal, paling sedikit nyeri, gak usah lebay. Sekarang mandi dan gue tunggu di bawah! Bentar lagi jam sepuluh ada pemotretan parfum,” Tami mendorong tubuh Vino ke dalam kamar mandi sebelum dia membuka suara kembali.
***
Vino berjalan menuruni tangga dengan wajah di tekuk, karena sikap kurang ajar dari Tami membuatnya terjatuh, untung di kamarnya ada karpet tebal. Kalau tidak ada mungkin hidung mancungnya akan bergeser, karena mencium lantai. Dengan dengusan kesal dari mulutnya Vino berjalan kearah meja makan yang terdapat mamanya dan Tami sedang berbincang. Dasar licik, umpat Vino saat melihat Tami bersikap kalem dan sopan terhadap sang mama, beda sekali jika kepada dirinya, Tami akan bersikap kasar dan barbar.
“Hai, sayang,” sapa mama Vino saat Vino mencium pipi sang mama.
“Hai Vino tampan,” sapa Tami dengan seringai puas di wajahnya saat menatap wajah masamVino.
“Ma! Kenapa dia lagi yang bangunin aku? Mama tahu apa yang dia lakukan kepadaku? Dia menendangku sampai terjatuh dari atas kasur,” Vino mengadu kepada mamanya yang asik menaruh lauk dipiring Vino, sedangkan Tami dengan tenang memakan sarapannya.
“Mana mungkin anak sekalem Tami berbuat seperti itu, paling kamu hanya mimpi. Sudah jangan banyak bicara cepat habiskan sarapanmu! Tami sudah hampir selesai sarapannya,” potong mama Vino saat Vino hendak kembali bersuara.
***
Tami sedang menatap garang Vino yang sedang asik bermain game di ponselnya. Mereka sedang berdua di dalam ruang ganti Vino, Vino sengaja mengabaikan semua intruksi yang telah di paparkan oleh Tami. Dengan semaunya
Vino melakukan pemotretan tidak sesuai intruksi darinya dan fotografer, alhasil pemotretran dilakukan akan dilakukan ulang setelah istirahat tiga puluh menit. Hal itu menghambat jadwal selanjutnya, Tami harus pintar-pintar merangkai kata untuk merayu klien yang marah, karena Tami memberi kabar bahwa Vino akan terlambat menuju lokasi dan meminta agar pemotretannya di undur dua jam.
“Lo tuh kayak anak kecil tahu gak? Cara lo cupu! Gara-gara gue tendang lo dari atas kasur, lo balas dengan merusak semua jadwal yang sudah gue atur. Lo gak tahu gimana pusingnya gue sama jadwal seambrek lo ini,” pekik kesal Tami yang dengan tangan memukul bruntal Vino.
“Aww—lo mau bunuh gue? Tangan lo sadis banget, bisa gak sih jadi cewek tuh kalem dikit!” Vino berdiri tiba-tiba
membuat Tami yang terkejut hampir terjungkal kebelakang kalau saja lengan kokoh Vino tidak menahannya. Tami membulatkan kedua matanya dan seakan tersadar, dia mendorong tubuh Vino untuk menjauh. Namun, bukannya menjauh Vino semakin mengeratkan rengkuhannya dipinggang Tami dan menyeringai puas menatap wajah kaget Tami saat ia mendekatkan wajahnya.
“Lepasin gue!” marah Tami di depan wajah Vino.
“Enggak!” balas Vino tak kalah garang.
“Lepasin!” Tami meronta-ronta mencoba untuk terlepas dari dekapan Vino, namun yang terjadi Vino menumpukan dagunya di bahu Tami. Deru nafasnya membuat Tami sedikit meremang dan geli. Dia memejamkan matanya mencoba mengenyahkan pemikiran-pemikiran yang tidak baik itu, dia harus kuatkan imannya.
“Gue laper, mau makan rujak. Lo mau kan belikan gue rujak?” tanya Vino saat wajahnya kembali di angkat dan menatap polos Tami yang menganga tak percaya, jantungnya sudah mau copot atas perlakuan Vino. Dengan santai dan wajah tak berdosa Vino memintanya untuk membelikan rujak.
“Mau kan?” tanya Vino sekali lagi setelah pelukannya terlepas dan menatap Tami penuh harap.
“Ya udah tunggu sini!” Tami segera keluar dari ruangan itu dan bergegas mengambil mobil untuk membeli rujak langganannya.
“Mbok! Rujaknya satu cabe dua puluh,” ucap Tami kepada ibu-ibu penjual rujak.
“Siap neng,” balasnya sambil meracik pesanan Tami.
“Biar sekalian gue bisa libur,” gumam Tami dengan senyuman kebahagian dan tawa iblis di dalam hatinya mulai keluar.
Saat sampai di lokasi pemotretan, ternyata sudah selesai. Tami berjalan santai kearah Vino yang sudah melotot
kearahnya. Dia bahkan tidak merasa bersalah, dia menyapa setiap kru yang di lewatinya. Sengaja untuk memperpanjang waktunya, namun seakan tersadar akan jadwal selanjutnya. Tami segera berlari dan menarik Vino untuk memasuki mobil. Setelah di dalam mobil Tami memberikan rujak yang dipesan Vino, tapi Vino menolaknya karena dia sudah marah.
“Ish, lo gak hargai usaha gue sih. Gue udah capek-capek ngantri demi rujak yang lo mau,” gerutu Tami kesal sambil
mengerucutkan bibirnya.
“Mulutnya gak usah gitu! Jelek gitu tambah jelek, suruh siapa lo lama. Lo sengajakan buat gue kelaparan, mau buat gue mati kan lo?” tuduh Vino yang dibalas anggukan kecil oleh Tami.
“Lo—” ucapan Vino tertahan saat mereka tiba dilokasi.
“Lo—Tami kan?” tanya seseorang membuat Tami menghentikan langkahnya. Vino yang berjalan di belakang Tami pun tak dapat menghentikan langkahnya, membuat Tami terjatuh.
“Aww—lo sengaja?!”
“Suruh siapa berhenti tiba-tiba,” Vino meneruskan langkahnya dan mengabaikan Tami yang mengenaskan terduduk
di lantai.
“Lo mau lihatin gue terus? Gak ada niat nolongin apa?” tanya Tami kepada orang yang bertanya tadi.
“Eh—iya-iya,” orang itu lekas membantu Tami untuk kembali berdiri.
“Bukannya lo kerja di perusahaan game? Kenapa lo ada di lokasi syuting? Lo sudah pindah profesi? Terus, kenapa lo bisa barengan sama Vino? Bahkan kayak saling kenal gitu. Lo ada hubungan apa sama artis tampan itu?” pertanyaan bombardir itu membuat Tami gemas dan menabok pipi orang itu.
“Satu-satu dong, baru ketemu sudah buat gue pengin nabok lo! Gemes tuh sama mulut lebar lo,” sahut Tami kembali melanjutkan langkahnya dan di ikuti orang itu.
“Shin, gue jawab jangan di potong. Awas kalau lo potong gue naboknya tiga kali lipat,” peringat Tami membuat orang yang bernama Shinta itu menggangguk patuh.
“Pertama gue sudah keluar dari perusahaan dan nganggur hampir satu tahun. Gue di sini, karena gue manajer dari Vino. Hubungan gue sama dia hanya sebatas manajer sama artisnya aja. Sudah jelaskan? Sekarang gue harus ngurusin si Vino dulu, nanti kita bicara lagi pas break. Oke!” lanjut Tami sebelum berlari kearah Vino yang memanggilnya sejak tadi.
“Apaan?” tanya Tami pada Vino yang menatapnya tajam.
“Gue mau jus jambu,” jawabnya santai membuat Tami menganga.“Gue manajer lo, bukan babu lo!”
“Oh? Mau jadi babu?” pertanyaan yang membuat tangan Tami gatal untuk mencekik leher Vino, andai saja di sini sepi. Tami pasti akan melakukan hal tersebut. “Terserah,” Tami berlalu begitu saja meninggalkan Vino, namun Vino mengejarnya.
“Gitu aja ngambek,” cibir Vino yang di abaikan Tami, “Nih!” Tami memberikan jus yang di minta oleh Vino. Tami
berbicara dengan sutradara, sedangkan Vino yang terabaikan kembali berjalan ke arah kursi yang tadi ia duduki. Setelah selesai urusannya dengan sutradara, Tami melangkah menuju tempat Vino berada. Namun, saat langkahnya hampir sampai saat melihat kejadian di depan matanya itu.
“VINO!”
“VINO!” teriakan Tami membuat dua orang yang dalam posisi sangat menjijikan itu tersentak kaget.
“Apaan?” pertanyaan dengan nada tenang membuat Tami ingin membunuhnya saat ini juga, apa Vino tidak lihat
tempat? Kalau mau berbuat hal-hal mesum jangan ditempat umum seperti saat ini, dia adalah seorang publik figur. Banyak orang yang ingin mengetahui apa saja yang dilakukan artis itu, terlebih lagi wartawan.
“Lo! Kalau mau ngelakuin hal mesum jangan di depan umum dong, lo gak mikir gimana nantinya gue?” Tami sudah berdiri di depan Vino dengan seorang wanita yang tadi duduk di pangkuan Vino yang menatapnya sinis.
“Aghata, lo pergi!” perintah Vino dengan suara beratnya, terbesit nada marah di dalamnya.
“Memangnya lo kenapa?” tanya Vino melangkah maju mendekati Tami yang perlahan mundur.
“Huh—lo gak bisa apa buat gue tenang sehari aja, gue ngurusin jadwal lo aja sudah mau setres. Gimana nanti kalau ada skandal tentang kejadian tadi? Gue gak mau pekerjaan gue nambah. Tapi, kalau lo mau pecat gue sekarang gue dengan senang hati menerimanya. Lo bisa cari manajer lain yang gak pernah marah-marah ke lo kayak gue dan gue bisa kembali hidup senang. Lo boleh ngelakuin semua hal yang lo sukai, asalkan jangan libatin gue. Lo mau pacaran, buat hal-hal mesum, mau terjun ke jurang pun itu bukan urusan gue lagi. Lo bisa puas-puasin diri lo sama si cewek tadi, sekarang lo bisa pecat gue!” penuturan panjang lebar dari Tami membuat Vino menghembuskan nafasnya.
“Ternyata selain barbar, lo juga cerewet ya. Kuping gue panas dengerin celotehan lo,” celetuk Vino membuat Tami melotot.
“Gue gak akan pecat lo! Gue sudah janji sama Bunda lo, jadi gue terpaksa pertahanin cewek barbar kayak lo,” lanjut Vino membuat Tami mengerutkan keningnya.
“Janji apa?”
“Janji, buat anaknya yang cerewet ini punya pekerjaan. Biar gak jadi pengangguran dan gak nyusahin orang tuanya
terus. Lagian sebagai anak baik, ya gue harus turuti apalagi Bunda lo fans berat gue. Gue kan sayang sama fans-fans gue, gue gak mau buat mereka kecewa termasuk Bunda lo. Dia sudah sekolahin lo sampai sarjana, tapi masih aja minta duit sama orang tua,” pernyataan dari Vino membuat Tami terdiam.
“Apakah gue selalu buat mereka susah, gue juga gak mau jadi pengangguran. Tapi, mau gimana lagi,” gumam Tami
lirih dan air mata membasahi pipinya, Vino tersentak kaget saat melihat Tami menangis. Apakah dia bicara terlalu kasar dan menyakitinya? Pikir Vino.
“Tam—gue—” ucapan Vino terhenti saat melihat senyuman manis Tami terukir di wajah manisnya, Vino sampai terpukau dengan senyuman tulus itu.
“Terimakasih, sudah buat gue sadar. Gue janji akan jadi manajer yang baik buat lo,” ucap Tami seraya membersihkan sisa air matanya dengan kaos Vino. Vino membiarkannya, karena cuma air mata, bukan—“Lo bisa gak sih bersihin ingus jangan di baju gue!” Vino menatap jijik kaosnya yang baru saja di jadikan lap untuk membersihkan ingus dari Tami. Baru saja dia terpukau dengan senyuman manis milik Tami, tapi setelah melihat kelakuan setelahnya Vino menarik semua kata-katanya.
***
Setelah selesai dengan semua pekerjaan dan jadwal-jadwal padatnya hari ini, Vino sedang berbaik hati mengajak Tami untuk pergi makan malam bersama. Bukan apa-apa, dia hanya memberika sedikit apresiasi atas perubahan sikap Tami. Dia tidak perlu menguras tenaganya untuk adu bacot dengan Tami, dia bersyukur Tami dapat menepati janjinya.
“Nah, sebagai tanda ketentraman dalam hidup gue. Lo bias pesan semua yang lo mau! Gue yang bayar,” suruh Vino dengan mengeluar sebuah kartu kredit berwarna hitam.
“Wah, ternyata lo baik juga ya,” puji Tami membuat Vino mendengus, Tami pikir selama ini Vino tidak baik? Semua orang pada tahu sebagaimana baiknya Vino selama hidupnya.
“Makasih,” desis Vino setengah ngegas.
“Biasa aja dong, gak usah pakai ngegas,” sindir Tami setelah selesai memilih menu paling mahal ditempat ini, oh jangan lupa. Tami juga membungkuskannya untuk kedua orang tuanya di rumah, beserta pembantu, tukang kebun dan satpam di rumahnya.
“Gak sekalian bungkus buat se RT?” Tanya Vino menatap Tami tajam, bisa bangkrut dirinya kalau Tami bungkus sebanyak itu. Ingatkan Vino untuk tidak pernah lagi mengajak atau mentraktir Tami di restoran mahal. Seharusnya dia mengajak Tami ke pinggir jalan saja, kalau jadinya seperti ini.
“Kenapa? Gak ikhlas? Katanya orang baik,” sindir Tami setengah dengan nada mengejek, membuat Vino mengepalkan tangannya dan menghembuskan nafas panjang.
“Fine!” tegas Vino membuat Tami mengendikkan bahunya dan menikmati makanan yang sudah datang.
“Lo gak mau pesan sesuatu?” Tanya Tami saat melihat Vino hanya memesan minuman saja.
“Sudah kenyang lihat pesanan lo!” ketus Vino membuat Tami tidak merasa bersalah, malah dia makan dengan senyuman manis diwajahnya melihat wajah masam Vino.
***
Tami sampai di rumahnya tepat pukul sebelas malam, tubuhnya sangat lelah dan dia butuh istirahat untuk mengembalikan tenaganya yang sudah terkuras habis oleh semua jadwal tidak manusiawi milik Vino. Dia menyimpan makanan yang di bungkusnya di lemari es, karena orang rumah sudah terlelap semuanya, kecuali satpam yang masih segar bugar melihat sebuah drama pintu taubat di televisi di posnya, Tami segera memberikan makanan itu yang masih panas. Besok dia akan bilang ke Bundanya tentang makanan itu, dia sekarang sangat lelah. Untung saja, besok Tami libur. Jadwal Vino sudah selesai dan akan dilanjutkan tiga hari lagi. Jadi, Tami bisa menikmati waktu liburnya dengan rebahan dan menonton deretan film yang dia minta dari sahabatnya Shinta tadi siang.
“Haah—segarnya,” desah Tami setelah keluar dari kamar mandi dan tubuhnya sedikit lebih fresh dari sebelumnya.
“Alarm sudah gue non-aktifkan biar tidur gue gak ke ganggu dan lebih lama dari biasanya, ponsel sudah mode pessawat biar gak ada yang ganggu atau ngajak keluar. Kasur sudah memanggil untuk dipeluk,” monolog Tami menatap dirinya di pantulan cermin, setelah menaruh handuk Tami merangkak menaiki kasurnya yang sangat menggoda itu.
“Malam Patrick,” sapa Tami kepada boneka kesayangannya sebelum terlelap.
Tami merasa baru saja dia menutup kedua matanya yang masih terasa berat itu terganggu dengan omelan sang Bunda tepat disamping kasurnya, suara sang Bunda sudah seperti lagu pengantar tidur yang sangat merdu sehingga membuat Tami semakin terlelap. Tami hanya menggeliat saat tubuhnya di guncang dan kembali terlelap sebelum telinganya ditarik begitu saja oleh sang ibunda tercinta. Tami meringis merasa telinga cantiknya ingin putus dari tempatnya. Dia melihat sang Bunda sudah melipat kedua tangannya didepan dada dan menggelengkan kepalanya menatap anak semata wayangnya ini.
“Aw—bunda,” rengek Tami menatap Bundanya dengan wajah memelas dan bibir manyunnya, berharap sang Bunda paham dan mengijinkannya untuk kembali melanjutkan mimpinya yang bertemu dengan pangeran tampan dengan hidung mancung seperti prosotan di taman bermain kompleknya. Tunggu—sepertinya Tami tidak asing dengan wajah sang pangeran yang tidak lain dan bukan adalah artis pujaan sang Bunda. Astaga, kenapa dia bisa memimpikan orang itu? Padahal hari ini dia libur dan tidak akan bertemu dengan Vino.
“Apa?” teriak sang Bunda membuat Tami terdiam, kenapa Bundanya begitu marah? Tami merasa tidak melakukan kesalahan dan biasanya sang Bunda paham kalau Tami tidak menggunakan alarm, berarti dirinya memang butuh istirahat yang cukup agar tidak jatuh sakit.
“Bunda aku masih ngantuk dan lelah,” rengek Tami dengan menggesekkan wajahnya diperut sang bunda, seperti anak kecil yang sedang merajuk untuk dibelikan sesuatu.
“Nanti kamu bisa terusin tidurnya, sekarang waktunya bangun!” perintah sang Bunda membuat bibir Tami semakin maju dan menarik-narik daster yang di gunakan Bundanya.
"Kamu ini masih aja kayak anak kecil, gak malu sama umur? Sudah sana cepat mandi dan beres-beres, satu jam lagi pesawatnya berangkat,” kata sang Bunda membuat Tami bingung, pesawat apa? Perasaan dia tidak memesan tiket atau mau liburan. Kenapa pesawatnya berangkat?
“Ayah mau ke luar kota?” Tanya Tami membuat Bundanya menatap dirinya heran.
“Bukan.”
“Terus?” Tanya Tami lagi.
“Ya—kamu lah, kamu ke Paris selama dua minggu kan?”
“Ke Paris? Enggak kok, kata siapa? Memangnya buat apa kesana? Aku dapat undian? Tapi kok aku gak tahu?” bingung Tami membuat Bundanya gemas dan menampar pelan pipinya.
“Suruh siapa ponsel lo di non-aktifin.” Suara fimilier itu membuat Tami menoleh ke sumber suara dan menangkap sesosok orang yang berdiri tegap dan tersenyum sok manis menatap Tami. Sejak kapan orang itu ada di sini? Sial! Umpat Tami. Tami menatap orang itu dengan horor dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, sebelum—
“Lo ngapain disini?” pekik Tami begitu menggelegar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!