Dalam sebuah mobil mewah berwarna merah cerah, Hansen Pratama diajak pergi oleh istrinya, Andini Wisnu. Saat itu, dia memakai jas hitam yang dihiasi warna putih yang terlihat cukup elegan dan mewah. Sedangkan istrinya mengenakan gaun merah yang seksi.
Andini membawa pergi suaminya menuju sebuah tempat perjamuan makan malam mewah.
Dalam perjalanan, seperti biasa, Andini memulai percakapan karena Hansen jarang bicara jika tak diajak bicara. Melirik tajam, Andini pun berkata, "Ingat, saat di sana nanti jangan melakukan hal yang membuatku malu. Bersikaplah sewajarnya dan jangan membuat masalah!"
Hansen tersenyum, "Baiklah aku mengerti."
....
Sesampainya di tempat perjamuan, Hansen dan Andini keluar dari mobil. Lalu keduanya masuk ke tempat perjamuan bersama-sama.
Saat baru memasuki ruangan, seorang pria datang menyambutnya. Dia memakai jas putih dan berambut pirang. Wajahnya cukup tampan hingga sanggup membuat banyak wanita meliriknya.
"Wah, wah, lihatlah siapa yang baru datang! Aku sungguh beruntung dapat melihat seorang bidadari datang ke perjamuan makan malamku!" ucap pria itu dengan senyum lebar di wajahnya.
Andini pun menjawab sambutannya dengan senyuman.
"Siapa dia?" tanya Hansen.
"Dia adalah orang yang mengadakan perjamuan makan malam ini dan yang mengundang kita kemari. Pria muda tersukses yang berhasil menjalankan begitu banyak perusahaan ternama," ucap Andini sambil melirik ke arah Hansen.
"Ah, jadi dia yang bernama David Hermanto?" pikir Hansen sambil menatap David.
"Aku benar-benar beruntung malam ini. Tak hanya mendapat kunjungan dari seorang bidadari, tapi juga mendapat pujian darinya. Sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa!" sambung David sambil melangkah mendekat.
Setelah berada tepat di hadapan keduanya, David langsung menyodorkan tangannya. Tanpa mengabaikan Hansen yang jelas-jelas berada di samping Andini, dia berkata, "Bolehkah aku meminjam tanganmu sebentar?"
"Untuk apa?" tanya Andini heran.
"Aku ingin mengajakmu ke tempat yang tidak terlalu ramai. Ada urusan bisnis yang ingin kubicarakan denganmu," ucap David sambil menatap lekuk tubuh Andini.
Hansen yang merasa diabaikan pun berdeham, "Ehm!"
"Ah, aku lupa kalau suamimu ada di sini! Sepertinya kita tak bisa membicarakan urusan bisnis sekarang," sambung David kecewa.
"Jangan pedulikan suamiku,” ucap Andini, “Dia takkan keberatan kalau aku pergi bersamamu. Lagi pula kita hanya pergi untuk membicarakan soal bisnis ‘kan?"
"Ah, tentu saja begitu. Bisnis ini sangat penting dan mungkin dapat meningkatkan keuntungan perusahaan ayahmu. Tapi ini masih rahasia, jadi aku tak ingin orang lain ikut mendengarnya.”
"Kalau begitu, ayo kita pergi," ucap Andini sambil berjalan melewati David.
"Oh iya, bagaimana dengan suamimu?" tanya David lalu melirik Hansen, "Apa dia bisa dipercaya?"
"Ah, dia tak mengerti soal bisnis. Lagipula, kau tak perlu khawatir soal dia, karena suamiku tak akan mengikuti kita. Benarkan suamiku?"
"Tapi…"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Hansen dipaksa diam oleh Andini dengan menyampaikan isyarat berupa tatapan tajam.
Biasanya Hansen langsung diam saat Andini melakukan itu, namun karena dia merasakan sesuatu yang mencurigakan pada David. Dia bersikukuh meminta untuk ikut.
Alhasil mereka pun berdebat.
Akhirnya Andini menyuruh agar David pergi lebih dulu.
"Baiklah, akan kutunggu kau di lantai dua, nona Andini," jawab David sambil tersenyum sebelum melangkah pergi.
Di saat David sudah pergi menjauh, Andini langsung menyeret Hansen keluar ruang perjamuan.
"Kau ini kenapa sih!? Bukankah aku sudah bilang agar tak membuat masalah!" bentak Andini.
"Kau memang bilang begitu dan aku paham. Tapi, entah mengapa aku merasa kalau David mencurigakan. Aku rasa kau tidak akan aman jika pergi bersamanya. Makanya aku meminta untuk ikut," jawab Hansen dengan pandangan tertunduk.
"David adalah teman masa kecilku. Jangan bicara sembarangan tentangnya! Kau ini hanyalah suami kontrakku. Ingat itu baik-baik! Jika kau tetap membuatku jengkel, maka kembalikan uang 2 milyarku dan batalkan saja kontrak pernikahannya!"
Hansen pun terdiam dan berpura-pura setuju agar tak mengikutinya. Dia paham betul sifat Andini. Pendirian wanita itu begitu kokoh tak mudah digoyahkan saat sudah memutuskan sesuatu.
Ketika Andini pergi meninggalkannya, Hansen pun mengikutinya secara diam-diam.
...
Andini terus berjalan sambil memperhatikan ponselnya. Sebuah pesan dikirimkan oleh David bertuliskan nomor kamar VIP yang biasa digunakan untuk pertemuan bisnis.
Tanpa ragu, Andini langsung pergi menuju kamar tersebut dan memasukinya. Di dalam kamar, Andini melihat David sedang duduk dan mengobrol bersama empat pria.
Andini mengenal mereka. Mereka adalah investor penting perusahaan David. Oleh karena itu, dia pun langsung mendekat tanpa rasa ragu sedikitpun.
Saat melihat Andini masuk, David menyuruhnya duduk dan memberinya segelas anggur untuk merayakan kesuksesan bisnisnya selama ini. Mereka pun bersulang.
Karena kedekatannya dengan David sebagai seorang teman masa kecil, Andini meminum anggur itu tanpa rasa ragu.
Tak lama setelah Andini meminum anggurnya, tiba-tiba dia langsung aneh. Dia merasa sangat lemas dan mengantuk. Tubuhnya terlihat sempoyongan dan kelopak matanya benar-benar terasa berat.
"Kau baik-baik saja, nona Andini?" tanya David khawatir.
Selang berapa detik, Andini langsung lumpuh tak berdaya. Meski begitu, dia masih dapat mendengar suara semua orang. Dia mendengar tawa David serta pria lainnya yang ternyata bersekongkol untuk memberinya obat bius.
Tak hanya itu, dia juga dapat merasakan suntikan jarum di salah satu lengannya. Dari apa yang dia dengar, jarum suntik itu berisikan cairan perangsang yang sanggup membuat seseorang lupa diri dan sangat bergairah untuk berhubungan badan.
Benar saja, setelah suntikan tersebut dicabut keluar, efeknya langsung terasa. Tubuhnya langsung terasa panas dan mendambakan sentuhan pria.
"Apakah benar cairan tadi memiliki pengaruh sekuat itu?"
"Kalau benar, maka itu sangat luar biasa. Tapi sampai kapan efek obat biusnya berakhir?"
"Akan lebih menyenangkan jika memainkan korban yang sedang sadar bukan?" ucap salah satu investor dengan liur di wajahnya.
"Kau memang betul, tuan. Tak ada yang lebih baik dari pada itu."
"Oh iya, obat bius di anggur sebelumnya tidak terlalu kuat. Jadi, mungkin dia akan sadar setelah beberapa menit lagi. Saat itu tiba, barulah permainannya akan dimulai," ucap David menyeringai menjijikkan.
Semua orang tertawa.
Andini yang dapat mendengar semua itu, menangis di dalam hatinya. Dia meneteskan air mata. Di dalam tangisnya, dia pun teringat ucapan Hansen dan berharap bahwa dia akan menolongnya.
Dan benar saja, saat semua orang sedang tertawa, Hansen mendobrak pintu kamar.
"Apa yang kalian lakukan terhadap istriku!?"
Saat Hansen muncul, David langsung bersiul untuk memanggil anak buahnya.
Perkelahian pun terjadi.
Andini yang berpikir bahwa Hansen seorang pecundang lemah, hanya bisa berkata dalam hati.
(Dasar bodoh, kenapa kau datang sendirian!? Kau hanya akan menjadi bulan-bulanan mereka, dasar payah!)
Orang-orang berbadan kekar langsung menerjang Hansen. David tersenyum sinis. Akan tetapi senyuman itu sirna ketika melihat Hansen, tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri, melancarkan pukulan jab ke setiap anak buah David.
Satu pukulan untuk satu wajah anak buah David.
Mereka semua tumbang seketika.
David dan yang lain panik dan mencoba untuk kabur. Namun, Hansen dengan mudah menangkap mereka dan langsung menghakimi mereka saat itu juga hingga tak sadarkan diri.
Hansen menggendong Andini pergi dari tempat tersebut menuju mobil mereka dan pulang.
Sesampainya di rumah, dia menggendong dan meletakkan Andini ke tempat tidurnya.
Tiba-tiba, Andini menggenggam tangan Hansen. Wajah wanita itu tampak merah merona.
Mendesah lemah, Andini berkata, "Jangan pergi, aku perlu bantuanmu."
"Bantuan apa?" tanya Hansen bingung.
Tanpa menjawab, Andini menarik Hansen ke tempat tidur secara agresif.
Lalu terjadilah sebuah hubungan suami istri yang tidak direncanakan.
Setelah melewati malam yang panas, Andini terbangun dipelukan Hansen yang masih tertidur lelap. Badannya tak tertutup pakaian sehingga membuat Andini terkejut. Matanya terbuka lebar dan dia menutupi mulut dengan tangannya.
"Kenapa Hansen tertidur di sampingku!?"
"Dan kenapa dia tak memakai baju!?"
"Sebenarnya apa yang terjadi!?" Andini memegang kepalanya, kebingungan, "Bukankah aku seharusnya sedang membahas bisnis dengan David!?"
Ingatan Andini samar-samar karena pengaruh obat. Yang dia ingat terakhir kali adalah dia merasa pusing dan lelah sejak meminum anggur. Dia sama sekali tidak ingat segala kejadian mengenai dirinya yang hampir ternoda oleh pria bejad serta Hansen yang datang menolongnya.
Andini terdiam, berusaha keras mengingat-ingat semua kejadian semalam. Lalu, matanya turun ke tubuhnya dan menyadari kalau dirinya juga tidak berbusana.
"Kyaaaaa!"
Hansen terbangun kaget mendengar teriakan Andini.
"Kenapa kau berteriak?" tanya Hansen sambil duduk dengan sebagian tubuh yang masih tertutup oleh selimut.
Andini meneteskan air matanya lalu berbicara tersedu.
"Hiks hiks, kau bertanya kenapa aku berteriak? Dasar kau pria kotor!" teriak Andini sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, “Hansen, jawab dengan jujur. Jelaskan padaku, apa yang telah terjadi tadi malam?"
"Kenapa kita tak berbusana dan tertidur dalam satu ranjang seperti ini?"
"Jawab aku, Hansen!" bentak Andini dengan tangis di wajahnya.
"Itu..."
"Apakah... kita telah melakukannya?" potong Andini.
Hansen hanya terdiam karena takut salah menjawab.
"Jangan diam saja, pria kotor! Cepat jawab pertanyaanku! Apakah kita telah melakukannya!?" bentak Andini.
"Ya," jawab Hansen, menunduk.
"Apa kau lupa perjanjian kontraknya? Meski kita telah menikah, aku sudah menegaskan padamu kalau kita tidak akan pernah menjalin hubungan layaknya sebagai seorang suami istri.
“Aku membayarmu agar bisa selamat dari desakan ayahku. Bukan untuk bersenang-senang, apakah kau tak mengerti!?" bentak Andini. Air matanya terus mengalir bersamaan dengan luapan emosi yang terus dia lontarkan melalui ucapannya.
Karena Andini tak kunjung menutup mulutnya dan terus menyalahkan dirinya, Hansen pun tidak dapat menahan diri lagi. Dia mengangkat suaranya dan berkata, "Cukup Andini!"
"Berhenti membentakku!"
"Biarkan aku menjelaskannya lebih dulu!"
"Oh, begitu ya... Setelah berhasil meniduriku, kau jadi semakin berani, ya? Beraninya kau mengangkat suaramu kepadaku!" bentak Andini
Andini melayangkan tangannya ke pipi Hansen. Namun, Hansen berhasil menangkap pergelangan tangan Andini.
"Aku tak akan berani menyentuhmu jika bukan kau yang memulainya. Tolong ingatlah kejadian tadi malam dengan baik, Andini!" ucap Hansen.
Karena tangannya ditahan oleh Hansen, Andini mencoba menamparnya dengan tangannya yang satu lagi. Namun, Hansen lagi-lagi menghentikannya. Andini tak bisa menggerakkan kedua tangannya sama sekali.
Andini meronta-ronta, berusaha untuk melepaskan kedua tangannya, tetapi kilasan tentang kejadian semalam mulai kembali sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia pun terdiam.
Hansen melepaskan genggaman tangannya dan berkata, "Apakah kau sudah mengingat semuanya?"
Andini terdiam sejenak dalam rasa kesal, lalu memegang keningnya dan berkata, "Lupakan kejadian semalam! Dan jangan berharap untuk mendapat pengalaman itu lagi. Kau mengerti!?"
"A... Aku mengerti," jawab Hansen, memalingkan wajahnya.
"Kenapa kau memalingkan wajahmu?"
"Itu…”
Andini tersadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya telah terlepas. Dia pun berteriak, membentak menyuruh Hansen pergi.
Gugup, Hansen buru-buru mengenakan celananya dengan tubuh yang masih tertutup selimut. Dia pun segera berlari keluar.
Andini mengenakan pakaiannya. Namun, dia menyadari ada beberapa noda dan sedikit goresan pada pakaiannya. Andini yang tak suka terlihat kotor pun meraih ponselnya lalu menelpon Hansen agar kembali ke kamar.
Setelah Hansen kembali memasuki kamar, Andini berkata, "Kita menyewa apartemen ini karena tempat perjamuan semalam cukup jauh dari rumah kita."
"Tentu saja aku tahu, memangnya kenapa?"
"Ada noda dan goresan dalam pakaianku, aku tak bisa keluar dengan penampilan seperti ini. Belikan aku baju baru untuk dipakai!"
"Apa kau tak membawa baju ganti?" tanya Hansen heran.
"Aku salah membawa koper karena terburu-buru. Jadi, hanya ada pakaian ini yang bisa kupakai," jawab Andini sambil memegang dahinya karena merasa pusing.
"Begitu ya, ya sudahlah akan kubelikan," ucap Hansen sambil mengulurkan tangannya.
"Apa?" tanya Andini sinis.
"Apalagi kalau bukan meminta uang untuk beli baju baru. Bukankah kau menyuruhku untuk membelinya?"
"Kau telah menikmati tubuhku semalam, tak bisakah kau membayarnya dengan membelikanku baju?”
"Tapi, kau ‘kan tahu kalau aku tak punya banyak uang," ucap Hansen.
"Tak ada kata tapi, kalau kau tak mau membelikanku baju dengan uangmu. Maka aku akan berhenti memberimu uang!" ancam Andini kesal.
Hansen tak lagi membantah. Dia masih memerlukan uang Andini untuk membayar biaya perawatan adiknya. Akhirnya, Hansen pun terpaksa menurut. Dia menerima deskripsi baju yang Andini inginkan, lalu pergi ke luar apartemen untuk membelinya.
Sesampainya di toko pakaian, Hansen mendapati pakaian yang Andini inginkan. Namun harganya sekitar empat ratus ribu rupiah, sedangkan uangnya hanya ada enam ratus ribu rupiah. Kembaliannya tak cukup untuk membayar biaya pengobatan adiknya hari ini.
Hansen mencoba menghubungi Andini melalui telepon. Dia memintanya mentransfer uang untuk membeli baju, namun Andini kembali menolak dan mengancam akan mengakhiri kontraknya.
Hansen yang tak punya pilihan lain akhirnya terpaksa membayar pakaian itu dengan uangnya sendiri. Karena hal itu, dia pun harus memikirkan cara mendapatkan uang untuk menutupi biaya perawatan adiknya.
Setelah membelikan Andini Baju, Hansen pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi adiknya. Dia sempat mengajak Andini, namun Andini menolak untuk pergi karena masih merasa kesal dengan kejadian semalam.
Sesampainya di rumah sakit, Hansen langsung menuju ke ruangan di mana adiknya dirawat. Namun langkahnya terhenti begitu melihat ayahnya sedang duduk di luar ruangan adiknya.
Ayah Hansen, Hendra Pratama, sedang memegang dahinya, pusing. Dia memakai pakaian putih, celana hitam yang terlihat cukup terang, dan masker hijau yang menutupi mulutnya.
Hansen yang bingung melihat ayahnya berada di luar ruangan pun langsung mendatanginya, "Kenapa ayah di luar?"
"Tidak apa-apa, ayah hanya sedang mencoba menenangkan pikiran dan membiarkan Cindy beristirahat," jawab Hendra sambil menyentuh dahinya.
Sadar apa yang terjadi, Hansen memasang tampang serius dan berkata, "Apakah pihak rumah sakit mendesak biaya perawatan Cindy lagi?"
Hendra hanya menganggukkan kepala pelan. Dia merasa malu sekaligus kesal karena tak dapat menolong putrinya sendiri.
Tak sanggup melihat ayahnya bersedih, Hansen menyentuh pundak sang ayah dan berkata, "Jangan khawatir ayah, Hansen berjanji akan melunasi tagihan perawatan Cindy. Hansen berjanji akan mengurus semuanya. Ayah hanya perlu tetap di sini untuk menjaga Cindy.”
"Baiklah," ucap Hendra. Dia terdiam sejenak, lalu mengangkat kepalanya setelah mengingat sesuatu. Sambil menghela napas dia bertanya, "Di mana Andini?”
“Dia… ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan hari ini,” ucap Hansen berbohong.
"Oh, begitu ya."
"Kau begitu beruntung mempunyai istri sebaik Andini. Dia seorang pekerja keras dan dari kalangan atas, namun mau menikahimu, dan bahkan membantu membayar biaya perawatan Cindy. Jika bukan karenanya, tagihan rumah sakit Cindy saat ini...
“Tapi kita tak boleh terus bergantung padanya, kita harus bekerja dan berusaha mengumpulkan uang. Apakah kau mengerti, putraku?" tanya Hendra sambil menatap mata Hansen.
"Aku mengerti ayah," angguk Hansen.
Setelah berbincang dan melihat kondisi Cindy yang belum membaik, Hansen beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Namun dia tak langsung kembali ke apartemen untuk bertemu Andini. Dia ingin membiarkan istrinya merasa lebih tenang terlebih dulu dan berusaha untuk tidak bergantung padanya lagi.
Hansen memutuskan untuk mencari pekerjaan. Dia meraih surat kabar di salah satu rak lorong rumah sakit dan mencari halaman mengenai lowongan pekerjaan. Matanya tertuju pada tulisan ‘Penjaga Keamanan.’ Bukan pilihan yang buruk untuknya.
Hansen hendak beranjak pergi, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara teriakan dari ruangan adiknya dirawat.
Hansen hendak beranjak pergi, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara teriakan dari ruangan adiknya dirawat.
"To-tolong jangan cabut alat bantu pernapasannya, dok! Saya janji akan membayar biayanya nanti!" Hendra memohon sambil menangis.
"Tagihan anda terus menumpuk. Rumah sakit kami bukanlah tempat amal. Maafkan saya pak, tapi saya bisa dipecat jika memaksa untuk menanganinya tanpa persetujuan pemilik rumah sakit," terang si dokter.
Ayah Hansen langsung bersujud dan memohon, “Tolonglah, dok! Beri saya kelonggaran untuk mencicil biayanya!”
“Saya bukan pemilik rumah sakit ini, pak. Perintah darinya adalah agar jangan memberikan perawatan lagi jika biaya sebelumnya tidak dibayar! Lagipula lihat kondisinya sekarang! Dia kini sedang kritis dan kondisinya kian memburuk setiap hari!”
"Cabut saja! Cabut saja jika kau berani!" seru Hansen yang sudah berada di mulut pintu.
Hansen menunjukkan ponselnya dan memutar ulang rekaman apa yang dikatakan dokter itu sebelumnya. Dia mengancam dokter itu, jika berani memutuskan alat bantu pernapasannya, maka rekaman itu akan disebarkan dan rumah sakit akan dia tuntut.
Tak bisa berkata apa-apa, si dokter menyerah. Dia berkata kalau dia akan menemui pemilik rumah sakit dan menceritakan semuanya untuk meminta kelonggaran bagi keluarga Hansen.
Setelah masa kritis Cindy berhasil terlewati, Hansen langsung berpamitan kepada ayahnya. Tak lupa, dia memberikan semua sisa uangnya untuk mengurus keperluan Cindy.
"Aku harus mendapatkan pekerjaan ini," gumam Hansen sambil terus melangkah. Dia pergi meninggalkan rumah sakit tanpa uang sepeserpun. Hanya bermodalkan kaki dan sebuah kertas koran di tangannya.
Kebetulan lokasi tempat kerja yang dia tuju tidaklah jauh dari rumah sakit. Dalam koran, tertulis bahwa lowongannya berada di sebuah hotel bintang lima yang bernama Hotel Permata.
Sesuai namanya, hotel tersebut terlihat megah dan mengkilap bagai permata. Dia memasuki hotel tersebut tanpa ragu. Dia langsung melangkah mendekat ke arah resepsionis dan menyatakan tujuannya.
Si gadis resepsionis langsung memanggil kepala keamanan dan bertanya apakah Hansen memenuhi syarat untuk bekerja di sana.
Keluarlah seorang laki-laki berbadan tegap, sang kepala keamanan. Dia melihat Hansen dari ujung kaki ke ujung kepala, menilai fisik pria di depannya.
“Jadi, kamu ingin bekerja sebagai penjaga keamanan di sini?” tanyanya.
“Ya, saya siap untuk menjadi penjaga keamanan di sini!”
“Seberapa hebat kamu dalam berkelahi?”
“Saya yakin dengan kemampuan saya berkelahi. Kalau bapak mau, kita bisa sparring sebentar. Tidak bermaksud sombong, tetapi kalau boleh jujur, saya bisa mengalahkan bapak dengan mudah.”
Si kepala keamanan terdiam sejenak. Sebagai orang yang bekerja bertahun-tahun di bidangnya, dia punya mata yang bagus dalam menilai kemampuan fisik seseorang—dan dia bisa tahu kalau Hansen jago berkelahi pada pandangan pertama.
Pertanyaan tadi hanyalah sebuah tes untuk menilai sifat Hansen. Apakah dia orang yang percaya diri atau tidak dan sebagainya. Lalu, laki-laki itu pun berkata, “Baiklah, kamu diterima kerja di sini. Besok pagi jangan sampai terlambat, ya?”
Hansen hanya bisa terdiam karena merasa tak percaya akan hal itu, "Eh, begitu saja? Saya diterima? Anda tidak sedang bercanda ‘kan pak?"
"Tentu saja tidak! Siapa juga yang sedang bercanda! Jika kau bertanya lagi maka aku akan berubah pikiran," ledek Kepala keamanan.
"Tu ... tunggu! Jangan ubah pikiran anda. Tolong tetap terima saya menjadi penjaga keamanan di sini," ucap Hansen reflek membungkukkan badannya.
"Aih, ternyata kau bisa membungkuk juga, ya? Kupikir kau orang yang sombong karena berani berkata seperti tadi."
Hansen tak menyangka kalau percobaan pertamannya untuk mencari pekerjaan berlangsung lancar tanpa hambatan. Namun, dia tak mau ambil pusing akan hal tersebut karena sedang memerlukan uang untuk perawatan adiknya.
Setelah mendapat konfirmasi bahwa dia diterima bekerja, Hansen disuruh untuk kembali esok hari karena seragam penjaga keamanan yang baru belum tersedia.
Hansen pun tak punya pilihan lain selain menunggu hari esok.
Saat itu waktu sudah tepat 12:00 siang. Namun karena tak memiliki uang yang tersisa, dia pun terpaksa menahan laparnya sambil berjalan kembali menuju apartemen.
Di tengah perjalanan, Hansen menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kafe terkenal. Dia berhenti karena melihat tulisan bahwa kafe tersebut sedang mempromosikan produk terbarunya di mana setiap orang dapat meminum secangkir kopi secara gratis. Hansen langsung menghampiri kafe tersebut karena tertarik dengan promosinya.
Akan tetapi, di luar dugaan, tepat di saat dia baru meminum seteguk kopinya. Tiba-tiba saja mood-nya menjadi rusak. Dia melihat Andini sedang duduk bersama David yang jelas-jelas pernah memiliki niat buruk terhadap Andini.
Hansen memandang ke arah Andini dengan pandangan hina sekaligus jijik karena hal tersebut. Dia begitu kesal sekaligus jengkel karena melihat Andini diam saja saat David menggesekkan kakinya ke kaki Andini.
Tepat di saat Hansen hendak beranjak pergi, ponselnya tiba tiba saja bergetar.
Hansen langsung melihat ponsel. Dia dikejutkan sebuah pesan singkat yang dikirimkan Andini.
125 juta.
Itulah yang tertulis dalam pesan singkat tersebut. Dalam pesan tersebut dijelaskan pula bahwa Andini ingin Hansen ikut duduk dengan dirinya dan David dengan imbalan uang sebesar 125 juta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!