"Tidak! Ayah aku mohon! Jangan pisahkan kami!"
Gadis itu mengulurkan tangannya, seakan ingin meraih tangan teman masa kecilnya. Tapi apa daya, mereka hanyalah anak-anak yang tidak bisa menentang perintah orangtua.
"Tidak!!"
Michelle terbangun dengan wajah kusut, keringat bermanik di kening dan pelipisnya. Ia mengusap wajahnya kasar ketika tahu jika itu hanyalah sebuah mimpi.
"James, aku merindukanmu," gumamnya.
Michelle turun dari tempat tidur, membersihkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini gadis itu bersikap dingin dengan sang ayah karena pria itu tidak mau menuruti keinginannya untuk bisa pergi ke Indonesia.
"Michelle, hari ini jangan buat masalah di sekolah!" pesan ayahnya.
Michelle tidak menjawab, ia hanya diam menghabiskan sarapan lantas segera pergi sekolah.
Sudah beberapa bulan ini Michelle sering bolos, membuat ayahnya sampai dipanggil ke sekolah beberapa kali, bahkan para bodyguard yang dibayar untuk menjaganya pun tidak sanggup mencegah gadis itu untuk tidak membolos.
"Michelle!!" teriak Livia mengejar Michelle yang ternyata kabur lagi dari kelas.
Livia adalah putri dari pelayan rumahnya, selama ini hanya Livia yang terus ada untuknya dan selalu menjadi teman terbaiknya.
"Apa?!" Michelle mash berjalan dengan cepat agar segera bisa kabur.
"Kelas akan di mulai, ayo masuk!" ajak Livia.
"Masuk saja kalau kamu mau masuk! Aku nggak mau!"
Livia menggerutu, ia yang ditugaskan untuk mengawasi Michelle malah kini dibuat pusing sendiri karena Michelle sangat kerasa kepala.
"Kamu mau ke mana?" tanya Livia masih mengikuti langkah majikannya itu.
"Pergi!" jawabnya singkat.
Livia bingung harus bagaimana, ia akhirnya mengikuti Michelle pergi. Sebagai seorang anak pealayan, sudah semestiny jika ia harus mengikuti kemana teman dan majikannya itu pergi.
Keduanya membolos, biasanya hanya Michelle yang membolos sendiri, tapi sekarang ternyata Livia juga ikut.
Di malam hari, ayah Michelle tampak geram dengan perilaku putrinya. Ia tidak menyangka jika gadis itu masih saja terus kabur.
"Kamu maunya apa? Kenapa kamu tidak bisa menjadi gadis baik layaknya anak seumuranmu?!"
"Biarkan aku ke Indonesia, kalau Ayah menuruti permintaanku, aku bisa pastikan untuk menurut pada Ayah," jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Michelle! Kamu ini anak gadis, sudah seharusnya kamu tinggal dengan Ayah, memangnya apa yang membuatmu bersikukuh ingin pergi ke sana, hah?" tanya ayah Michelle dengan sedikit membentak.
"Tidak ada alasan, pokoknya aku ingin!" kekehnya.
Michelle tidak mungkin mengatakan kalau ia ingin mencari teman kecilnya yang sempat dipisahkan oleh darinya. Kalau dia mengatakannya, ayahnya pasti akan semakin tidak setuju.
"Ayah tetap tidak akan mengizinkannya! Jika kamu masih membangkang, maka jangan salahkan ayah jika bersikap keras padamu!" bentak pria paruh baya itu.
Michelle terlihat mengepalkan kedua telapak tangan yang ada di sisi tubuhnya, ia hanya merasa jika percuma memohon kepada ayahnya itu.
"Pergi ke kamarmu dan renungkan perbuatanmu, jika kamu masih melakukan hal yang sama di kemudian hari, maka jangan salahkan Ayah jika bersikap tegas kepadamu," tandas ayah Michelle.
Michelle kembali ke kamarnya, baginya yang kerasa kepala tidak ada yang bisa menghentikan niatnya untuk pergi. Malam itu Michelle sudah memutuskan, ia harus pergi dengan atau tanpa izin ayahnya.
Waktu menunjukan pukul satu malam, ia rasa jika ayahnya pasti sudah beristirhat. Semua kebutuhannya untuk kabur sudah ia siapkan, dari pakaian pasport, Visa, juga uang.
Michelle membuka jendela kamarnya, ia keluar ke balkon serta melongok ke bawah di mana jarak antara balkon ke tanah sekitar empat meter. Mengikat tali di pembatas balkon, Michelle memastikan tali itu terikat sempurna. Kemudian gadis itu nekat turun dengan tali hingga akhirnya kakinya berpijak pada tanah.
Mengendap-endap menuju gerbang, Michelle merasa senang karena ternyata satpam rumahnya tertidur, gadis itu menyelinap keluar kemudian berlari sekuat tenaga menjauh dari rumahnya.
"Hah ... hah ... hah ...." Napas Michelle tersengal, ia berhenti sejenak untuk mengambil napas setelah berlari beberapa puluh meter.
"Sepertinya ini sudah cukup jauh," gumamnya masih mengatur napas.
"Michelle!" seru seseorang dari arah belakangnya, cahaya lampu jalanan yang sedikit remang membuatnya kesulitan melihat siapa yang menuju padanya.
"Aku tidak ketahuan, 'kan!" gumamnya.
Mencoba memperhatikan, Michelle terkejut ketika melihat siapa yang mengejarnya.
"Astaga! Livia! Kenapa kamu di sini?" tanya Michelle panik.
"Hah ... se-ben-tar." Livia sedikit menunduk, gadis itu mengatur napasnya yang tersengal karena berlari mengejar Michelle.
"Kamu mau ke mana? Aku ikut!" Livia menatap Michelle yang kebingungan.
"Jangan! Kamu balik saja, aku mau pergi jauh. Jika kamu ikut, bagaimana dengan bib May?!" usir Michelle.
"Tidak! Aku sudah mempersiakan segalanya untuk ikut denganmu, bahkan aku sudah membawa semua uang tabunganku juga sudah menulis pesan untuk ibuku agar dia tidak mencari," tolak Livia yang bersikukuh untuk ikut bersama temannya itu.
Michelle memijat keningnya, tidak menyangka jika Livia akan mengikuti langkahnya. Ia menatap Livia yang terlihat menatapna penuh harap, membuat gadis itu tidak bisa menolaknya.
"Oke, kamu ikut!" Michelle mengizinkan.
"Yei!" Livia berteriak kegirangan.
Michelle menghela napas panjang, rencana pelarian sendiri kini malah jadi berdua. Namun, ini lebih baik karena ia memiliki teman untuk bisa berbagi kesedihan dan kesenangan saat di Indonesia.
Keduanya kini berjalan bersama mencari taksi atau tumpangan agar bisa pergi menuju bandara.
Pada akhirnya Michelle dan Livia bisa kabur dari rumah serta sudah sampai di Indonesia, negara yang mereka tuju. Michelle sangat berharap bisa menemukan apa yang dia cari.
Michelle dan Livia tampak berdiri di depan pintu sebuah Apartemen kecil, mereka memandangi pintu itu dan belum masuk ke dalamnya.
"Michell ini tempat tinggal kita?" tanya Livia memandangi pintu Apartemen itu.
"Yup ... benar sekali ...." Jawab Michell dengan penuh keyakinan.
"Apa kau yakin?" tanya Livia lagi mencoba memastikan.
"Seratus persen yakin. Hei ... hei ... apa kamu pikir karena aku nona muda jadi tidak bisa tinggal di tempat seperti ini!" gerutu Michelle seraya memicingkan mata ke arah Livia.
"Ya ... aku 'kan hanya memastikan saja," ujar Livia menghela nafas.
"Kenapa kita tidak tinggal di rumahmu yang lama? Bukankah ayahmu punya rumah di kota ini?" tanya Livia seraya meletakkan jari telunjuk di dagunya.
"Dasar kau! Apa sudah gila? Kalau aku kesana seketika impianku juga akan hilang, selesai semua. Ayah pasti menangkapku dan membawaku pulang, lalu aku pasti akan dikurung selamanya oleh ayah," gerutu Michelle seraya menonyor kepala Livia.
"Oh, benar juga ya," ucap Livia yang baru tersadar.
"Ya sudah lah ... ayo masuk!" ajak Michelle seraya membuka kunci pintu Apartemen yang dia sewa.
"Mulai saat ini aku harus memulai hidupku sendiri, aku ingin mengejar impianku ...." gumam Michelle dalam hati.
"Michelle ... kau 'kan sudah tidak pernah bertemu dengannya lama sekali, apa kau masih ingat wajahnya?" tanya Livia duduk di samping Michell yang sedang berbaring.
"Aku juga tidak tau, tapi saat bertemu dengannya aku yakin pasti akan terjadi sesuatu dengan hatiku, aku pasti akan langsung bisa mengenalinya," jawab Michell percaya diri.
Saat itu dia berjanji pada Michelle akan menemuinya lagi. Tapi sejak kejadian itu Michelle di bawa ke inggris oleh Ayahnya, sepuluh tahun sudah berlalu Michell pun tidak yakin apa pria yang dia cari masih mengingatnya.
"Michelle, andai ternyata dia itu sekarang menjadi gemuk jelek dan sangat miskin apa kamu masih mau menerimanya?" tanya Livia masih penasaran dengan keyakinan Michelle.
"Apapun kondisinya aku akan menerimanya. Aku sudah pernah membuat janji dengannya bahwa aku tidak akan pernah berhubungan dengan pria lain selain dia dan aku sudah menepati janjiku sepuluh tahun ini," jawab Michelle mengingat janjinya kepada seseorang.
"Ya sudah ayo tidur! Bukankah besok kita harus mendaftar disekolah yang kamu katakan itu!" Livia merebahkan tubuhnya ke ranjangnya.
"Iya, selamat malam Livia." Michelle mulai memejamkan mata.
Hari berikutnya Michelle dan Livia sudah berada di sekolah menengah yang mereka tuju.
"Pertama kali mendaftar sendiri untuk sekolah, untung saja nilai nilai akademisku saat kelas 2 sungguh bagus sehingga aku mudah masuk ditambah ketrampilanku bermain piano dan sudah menang di beberapa lomba. Sedangkan Livia dia juga tidak kalah pintar di sekolah yang lama, dia selalu peringkat ke dua setelah aku" gumam Michelle dalam hati.
Michelle dan Livia sama-sama masuk kedalam kelas A, itu adalah kelas favorite karena hanya siswa yang pintar saja yang bisa masuk kesitu.
"Anak anak dengarkan! Hari ini kita kedatangan murid baru," kata Wali kelas 3 pak Han memperkenalkan.
"Hai, saya Michelle ...." Michelle menyapa.
"Saya Livia." Livia menyambung.
"Wow Michell sangat cantik," ucap salah satu siswa.
"Livia manis," sahut yang lainnya.
"Mereka berdua sama-sama cantiknya," timpal yang lainnya lagi.
Anak anak lelaki di situ saling berbisik, untuk anak-anak perempuan sudah lah biasa pasti cemburu.
Sejak masuk sekolah Michelle memang sudah banyak dikagumi para siswa laki-laki tapi karena cintanya pada seseorang dia memilih tidak menghiraukan mereka.
"Oh ya, kalian boleh duduk ditempat yang masih kosong!" perintah Pak Han yang akan memulai pelajaran.
Waktu pun cepat berlalu dan pelajaran telah usai.
"Hai Michelle ... perkenalkan aku Gary!" Gary memperkenalkan dirinya, dia salah satu cowok yang kagum dengan Michelle termasuk siswa tertampan disekolah itu dan juga kaya.
Michelle hanya diam dan mengacuhkannya, dia tidak ingin ada satu cowok pun mendekatinya.
"Michelle, aku sedang bicara denganmu!" teriak Gary yang mulai marah karna Michelle mengabaikannya.
"Apa kamu kira kamu penting, enyahlah dari sini," ucap Michell memberikan tatapan tajam dan dingin.
"Hei! Cewek sombong, kamu tau ga Gary siapa? dia termasuk cowok tertampan juga terkaya disekolah ini, berani-beraninya kau mengabaikannya. Dasar tidak tau malu, disini banyak gadis yang mendekatinya, kamu yang di dekatinya malah begitu sombong," ujar Lilia seraya menggebrak meja Michelle, dia salah satu cewek pengikut Gary.
"Aku tidak peduli dan aku tidak tertarik," ucap Michell seraya berdiri. Livia dari tadi berdiri di samping Michelle.
"Dasar kurang ajar!" Lilia hampir menampar Michelle tapi langsung ditahan oleh Livia.
"Jaga kata-katamu dan perilakumu, kami disini tidak ingin mencari masalah jadi jangan membuat masalah dengan kami!" ancam Livia seraya membuang tangan Lilia.
"Membosankan! Livia ayo pergi!" ajak Michell yang berdiri kemudian melangkah pergi. Livia mengikutinya dan sengaja menyenggol lengan Lilia.
Lilia tampak kesal, bibirnya terlihat seperti sedang mengumpat. Di saat Michelle akan melangkah, sejurus Gary menghadangnya.
"Jangan halangi jalanku!" bentak Michelle yang masih dengan tatapan dinginnya.
"Aku tidak ingin mengulanginya!!" serunya lagi yang tampak terlihat sangat marah.
Sudah cukup kesabaran Michelle, Gary masih tidak mau menyingkir. Apa boleh buat Michelle menginjak kaki Gary sekencang-kencangnya hingga pemuda itu tampak kesakitan dan akhirnya menyingkir dari jalan Michelle.
Gary terus melihat dan memandang Michelle yang berlalu pergi. Dalam benaknya Michelle adalah gadis yang berbeda sungguh membuatnya penasaran, dia semakin bersemangat mengejarnya.
"Gary kamu tidak apa-apa? Dasar gadis ini! Benar-benar liar!" gerutu Lilia menatap benci.
"Tunggu saja! Aku pasti mendapatkanmu, dan tidak ada seorang gadis pun yang berani menolakku dan tidak bisa aku dapatkan!" Gary berbisik dalam hati.
***
Michell dan Livia naik ke atap gedung sekolah, mereka suka ketenangan. Sejak dulu Michelle memang selalu menghindari keramaian, dia hanya tidak mau akan lebih banyah pemuda yang mengejarnya.
"Disini sepertinya lebih nyaman," ucap Michelle yang memejamkan matanya menikmati hembusan angin disana.
"Kau benar, dari dulu kau selalu menyukai ketenangan. Dan seperti biasa kemana kamu pergi pasti kamu selalu menjadi pusat perhatian," sahut Livia yang menatap kearah Michelle.
"Karena itu aku lebih menyukai tempat sepi," imbuh Michell yang berbalik menoleh ke Livia.
"Ya ... ya ... aku tau, baru masuk sekolah pertama kali saja sudah banyak cowok yang menggila, apa selamanya kamu bisa menghindarinya?" tanya Livia mulai cemas apalagi sejak kejadian tadi dia takut kalau ada rasa dendam yang akan mencelakai Michelle.
"Bukankah ini keputusanku, berarti aku juga harus siap untuk mengatasinya. Aku tidak pernah takut pada apapun apalagi menghadapi orang orang seperti mereka," jawab Michell nampak tenang.
"Aku tau, aku hanya khawatir. Di London walaupun banyak cowok yang mengejarmu mereka tidak akan berani macam macam karena takut dengan keluargamu, tapi disini kita sendirian!" ucap Livia yang nampak khawatir.
"Hei hei, tenang saja ... 'kan ada aku, kita akan terus bersama, bukankah selama ini kamu selalu menjagaku, dan sekarang biarkan aku yang menjagamu," ucap Michell merangkul Livia mencoba menghibur temannya itu.
"Baiklah, kau bosnya," sahut Livia tersenyum.
"Jam istirahat akan segera usai, lebih baik kita turun sekarang," pinta Livia menggandeng tangan Michelle.
"Benar juga, jangan sampai kita terlambat masuk, atau kita akan mendapatkan hukuman dihari pertama," Michell tersenyum seraya mengikuti langkah Livia.
"Hari pertama masuk aku mencoba mencari info tentang dia, tapi malah bertemu sekawanan orang br*ngsek yang mengganggu ketenanganku, sepertinya ini akan berlangsung agak lama tapi bagaimanapun aku harus bertahan dan berjuang demi janjiku janji kita aku harus menepatinya,aku akan segera menemukanmu teman kecilku," gumamnya dalam hati.
Setelah kelas usai, Michelle dan Livia pulang ke apartemen dengan berjalan kaki. Gadis itu memang sengaja memilih tempat tinggal yang dengan dengan sekolah agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk pulang pergi.
Baru saja berjalan dengan santai seraya bersendau gurau. Keduanya dikagetkan dengan mobil yang tiba-tiba berhenti di samping mereka. Michelle memutar bola matanya begitu tahu siapa yang ada di dalam mobil.
"Butuh tumpangan?" tanya Gary yang melongok menatap dua gadis yang telihat malasa melihatnya.
"Tidak perlu!" tolak Michelle mentah-mentah.
Ia lantas langsung menarik tangan Livia, mengajak temannya itu langsung pergi meninggalkan pemuda yang baginya sangat tidak penting untuk diladeni.
"Ck ... kenapa gadis itu sangat sulit ditangani? Membuatku semakin penasaran untuk mendekatinya." Gerry menatap Michelle yang sudah berjalan menjauh dari mobilnya.
-
-
-
-
Livia membuatkan coklat hangat untuk Michelle, ia lantas menaruh cangkir yang ia bawa ke meja belajar nona mudanya itu.
"Michelle!"
"Apa?" Michelle masih fokus dengan buku yang ia baca.
"Sekarang kita hidup berdua, tidak ada orang yang akan membiayai hidup kita. Kalau tabungan kita habis, bagaimana cara kita bertahan?" tanya Livia yang sudah berpikiran jauh.
Michelle terdiam mendengar pertanyaan Livia, ia baru teringat kenapa tidak memikirkan hal itu. "Aku lupa! Kita cari kerja parttime ya!" ajaknya.
Livia mengangguk setuju dengan ide nonanya itu. Michelle membuka laptop miliknya, mencoba mencari lowongan pekerjaan dari situs web. Matanya terlihat menyapu setiap iklan yang ada, hingga ia tertarik pada satu pekerjaan yang membuatnya tertarik.
"Dapat!" serunya.
"Sudah dapat?" tanya Livia yang berjingkrak kaget ketika mendengar Michelle berteriak.
Michelle tersenyum senang menatap Livia yang awalnya terlihat mengantuk kemudian kaget mendengarnya berteriak. Ia lantas mencatat alamat yang tertera dan langsung mengajak Livia mendatangi tempat yang terdapat lowongan pekerjaan parttime.
-
-
-
-
"Tempatnya tidak jauh dari sini," ucap Michelle yang mencari-cari keberadaan toko yang ia maksud, sesekali matanya melihat catatan yang ia bawa kemudian mencocokannya dengan jalan dan nomor pertokoan yang tertera.
Livia hanya mengikuti langkah Michelle, ia sih menurut saja dengan nonanya itu, mau ke mana dan apa pekerjaan yang dipilih ia akan menerimanya.
"Nah! Itu dia!" Michelle menunjuk pada sebuah bangunan kecil dengan banyak bunga-bunga yang berjajar di depannya.
"Toko bunga?" Livia bertanya-tanya. Namun, ia tahu jika Michelle sangat suka bunga dan merangkai bunga. Bekerja di toko bunga tentu saja membuatnya bersemangat.
Mereka berjalan bersama masuk ke dalam toko, hingga seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan menyambut mereka dengan hanga,
"Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?"
"Emm ... begini, saya melihat ada lowongan pekerjaan di sini, apa masih ada?" tanya Michelle langsung mengutarakaan keinginnya.
"Oh ... kalian mau kerja?" Wanita itu menatap Mihelle dan Livia sevaa bergantian, menilai kedua gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Tapi kami hanya membutuhkan satu pekerja," ucap wanita itu lagi.
"Tidak masalah, adikku ini belum terbiasa bekerja sendiri dan tidak bisa terpisah denganku. kami tidak masalah jika bekerja bersama dengan satu gaji," kata Michelle merangkul Livia yang kebingungan.
"Kamu kerja sini, aku cari yang lain saja," bisik Livia.
"Sstt ... udah ikut kataku saja, aku tidak akan membiarkanmu kerja sendiri." Michelle ikut berbisik dengan masih memasang senyum kepada wanita yang memperhatikan mereka.
"Memangnya bisa ya begitu?" Wanita itu malah terlihat bingung. "Tunggu sebentar, saya tanyakan pada bosku dulu karena aku juga sebenarnya bekerja di sini," ucapnya lagi.
Michelle dan Livia mengangguk penuh harap agar bisa mendapatkan pekerjaan itu. Sepuluh menit berlalu, wanita yang tadi meninggalkan mereka tampak kembali dengan senyum di bibirnya.
"Kata bos saya, kalian boleh bekerja dengan satu gaji. Jika kerjaan kalian bagus, maka kami akan memberikan bonus. Kalian bisa bekerja mulai besok setiap sore," ucap wanita itu yang tentu saja membuat kedua sahabat itu senang bahkan sampai saling berpelukan.
"Terima kasih," ucap keduanya.
"Siapa nama kalian? Aku Mary." Wanita itu memperkenalkan diri.
"Saya Michelle dan ini Livia."
Keduanya sedikit membungkuk memberi hormat. Setelah berbincang beberapa saat, akhirnya mereka izin undur diri dan siap bekerja di hari berikutnya.
"Akhirnya! Kita bisa sedikit aman tentang keuangan," ucap Michelle yang terlihat bahagia, sebagai seorang nona muda tentu saja ini adalah pekerjaan pertamanya.
Livia terlihat menghentikan langkahnya, menatap bagaimana Michelle sebahagia itu, padahal bekerja bukanlah hal yang mudah tapi nonany itu malah begitu kegirangan. "Sungguh! Apa dia benar-benar nona 'ku yang manja?" batin Livia.
"Liv! Ngapain bengong!" teriak Michelle dari seberang jalan ketika menyadari jika temannya itu tertinggal di belakang.
"Aku datang." Livia bergegas menyeberang jalan setelah memastikan jika tidak ada kendaraan yang melintas.
Baru akan sampai di seberang, sebuah mobil melaju kencang dan mengejutkan Livia hingga membuat gadis itu terjatuh.
"Liv!" teriak Michelle panik.
Michelle menghampiri Livia yang terjatuh di bahu jalan. Gadis itu sendiri langsung bangun dan membersihkan roknya yang kotor terkena tanah.
Tidak terima dengan apa yang terjadi pada temannya. Wajah Michelle menggelap ketika tahu jika mobil yang hampir menabrak temannya itu berhenti. Tidak banyak berpikir, Michelle langsung menghampiri mobil mewah itu dengan amarah yang meledak meski Livia sudah mencegah.
"Hoi! Kalau tidak bisa berkendara dengan benar nggak usah sok-sok'an naik mobil!" teriak Michelle seraya menggedor kaca jendela mobil.
Begitu kaca itu turun, alangkah terkejutnya Michelle dengan pemuda yang ada di dalam, ia termangu merasa ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Namun, sedetik kemudian semua rasa itu hilang ketika beberapa lebar uang berwarn merah dilempar kepadanya.
"Biaya mengobati temanmu! Lain kali kalau jalan pakai mata!" ketusnya yang langsung menaikan kaca jendela dan melajukan kembali mobilnya.
"Apa-apaan ini? Dasar kurang ajar! Sombong!" umpat Michelle pada pemuda yang melemparinya dengan uang.
Mengambil uang itu, Michelle lantas meremasnya penuh amarah. "Berdoa saja agar tidak bertemu lagi denganku, atau aku akan membuat perhitungan denganmu," geramnya.
"Michelle! Uangnya banyak sekali!" Livia yang menjadi korban tergiur dengan uang yang diberikan oleh pengendara mobil tadi.
"Jangan macam-macam! Akan aku simpan uang ini, jika bertemu dengan pemuda sombong itu lagi, akan aku lempar ke wajahnya!" Michelle mendengus kasar.
Livia menggeleng kepala, sungguh bukan Michelle namanya kalau dia sampai dipermalukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!