NovelToon NovelToon

Akhirnya Ku Menemukan Mu

Bab 1

Suasana warung makan itu terlihat sangat ramai karena sudah masuk waktu makan siang. Pelanggan warung itu rata-rata adalah buruh bangunan kare nb warung itu terletak di dekat proyek pembangunan kompleks perumahan. Satu persatu pelanggan warung itu berdatangan. Mereka memesan makanan masing-masing. Pak Kirno, sang pemilik warung di bantu dengan istri dan anaknya yang bernama Winda, dengan sabar melayani pesanan. Setelah semuanya mendapatkan pesanan, Winda duduk selonjoran di dalam warung.

"Lelah, Win?" tanya pak Kirno seraya duduk di sebelah Winda.

"Lumayanlah pak." sahut Winda.

"Ya beginilah cari rezeki, Win. Harus capek dahulu baru nanti bisa memetik hasilnya."

Winda mengangguk mendengar penuturan bapaknya. Mereka pun terlibat dalam obrolan seputar kehidupan.

"Mbak, sudah..." kata seorang pelanggan. Winda menghampiri pelanggan nya itu.

"Berapa semuanya, mbak?"

"Tadi makan pakai lauk apa ya mas?" tanya Winda.

"Balado jengkol, telur dadar dan tumis kangkung."

"Semuanya jadi dua puluh lima ribu."

Pelanggan itu menyerahkan uang sejumlah duapuluh lima ribu dan segera meninggalkan warung itu di susul dengan teman-temannya yang lain. Winda pun segera membereskan piring kotor di meja.

"Permisi, mbak...."

Tiba-tiba ada suara yang mengagetkan Winda. Ketika Winda menoleh, sesaat dia tertegun. Di depan warung telah berdiri seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, berambut jabrik, gigi tonggos dan ada tompel besar di pipinya.

"Mbak...."

Suara pemuda itu mengagetkan Winda.

"Oh iya maaf. Ada yang bisa saya bantu, mas?"

"Saya mau beli nasi apa masih ada?"

"Masih, mas. Silahkan duduk..."

"Terimakasih."

Pemuda itu masuk ke dalam warung dan duduk di kursi yang telah di bersihkan oleh Winda.

"Mas mau pesan apa?" tanya Winda setelah pemuda itu duduk.

"Nasi putih lauknya tahu tempe bacem sama urap. Minumnya teh manis hangat."

"Baik. Tunggu dulu ya mas."

Winda segera menyiapkan pesanan pemuda itu. Tak lama kemudian pesanan telah siap.

"Silahkan, mas."

Winda meletakkan makanan itu di meja.

"Terimakasih, mbak."

Winda tersenyum. Lalu dia melanjutkan pekerjaannya. Karena warung sepi, pemuda itu mengajak Winda ngobrol.

"Saya lihat dari tadi warungnya ramai terus ya mbak..."

"Alhamdulillah, mas. Sejak ada proyek itu, warung saya jadi ramai."

"Berarti membawa berkah ya mbak?"

"Ya bisa di bilang begitu."

Pemuda itu mengangguk dan melanjutkan makannya.

"Oh iya mas kerja di proyek itu juga ya?" tanya Winda.

"Iya."

"Tapi kok saya baru lihat ya. Padahal proyek itu sudah berjalan sebulan lebih."

"Saya baru tadi malam datang, mbak. Di ajak sama teman. Katanya proyek lagi kekurangan tenaga jadi ya udah saya ngikut."

Winda mengangguk. Tak lama kemudian laki-laki itu telah menyelesaikan makannya.

"Udah, mbak. Jadi berapa semuanya?"

"Duapuluh ribu."

Pemuda itu merogoh kantong celananya dan menarik lembaran uang kertas. Mendadak raut wajahnya berubah. Winda heran melihatnya.

"Kenapa, mas?" tanya Winda

"Waduh, mbak. Uang saya kurang nih. Bagaimana? Apa saya harus cuci piring buat ngelunasinnya?"

Winda tertawa mendengar perkataan pemuda itu. Pemuda itu mengerenyitkan dahinya.

"Kok malah ketawa sih?"

"Kirain ada apaan. Raut wajah mas nya sampai berubah begitu."

"Tapi ini beneran, mbak. Kirain tadi saya udah bawa lembaran uang yang nominalnya agak gedean. Ternyata...."

Lagi-lagi Winda tertawa. Belum dia menjawab, pak Kirno masuk

"Ada apa ini, nduk?" tanya pak Kirno pada Winda. Winda hendak menjawab tapi sudah di dahului oleh pemuda itu.

"Gini, lho pak. Saya mau bayar makanan yang sudah saya makan, tapi ternyata duitnya kurang. Bagaimana ini pak?"

"Ealah saya kira ada apaan. Yo udah bayar aja pakai duit yang ada."

"Nanti bapak jadi rugi."

"Lha terus kalau bapak tolak uang kamu, kamu mau ngeluarin lagi makanan yang sudah kamu makan tadi?"

Pemuda itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara itu, Winda menutup mulutnya menahan tawa.

"Ya sudah pak saya kasih segini dulu. Besok saya ke sini lagi sambil ngelunasinnya."

Pemuda itu menyerahkan selembar uang sepuluh ribu rupiah pada pak Kirno.

"Terimakasih ya."

"Sama-sama, pak. Kalau gitu saya permisi mau kembali ke proyek. Takut pak mandor marah. Assalamualaikum."

Belum sempat pemuda itu keluar dari warung, tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya. Dia adalah pak Bsyu, mandor dari proyek itu. Winda sudah mengenalnya karena setiap hari pak Bayu juga makan di warung milik pak Kirno.

"Eh Gito, kamu di cari-cari ternyata malah enak-enakan ngobrol di sini. Teman-teman kamu sudah mulai bekerja itu." kata pak Bayu.

"Iya, pak. Ini juga udah selesai makannya. Pak, mbak, saya permisi. Assalamualaikum..."

"Waalaikumssalam." jawab pak Kirno Winda. Pak Bayu hanya menggeleng kan kepalanya dan mengikuti langkah Gito menuju proyek. Winda pun melanjutkan pekerjaannya membersihkan meja.

Bab 2

Pagi itu, Winda selesai membantu ibunya menyiapkan makanan di warung. Dia duduk di warung menunggu pelanggan. Tak lama kemudian, satu persatu para pekerja proyek itu berdatangan untuk sarapan. Termasuk pak Bayu, sang mandor. Tetapi Winda tidak melihat pemuda yang kemarin di panggil Gito oleh pak Bayu. Mata Winda sekali-kali melirik ke arah jalan menuju proyek. Hal itu di sadari oleh pak Bayu

"Cari siapa kamu, Win?" tanya pak Bayu.

Winda terkejut dan tersenyum malu-malu.

"Ah, enggak kok pak."

"Pasti kamu lagi cari si Gito ya."

Winda makin tersipu mendengar perkataan pak Bayu. Dia memang sedang mencari sosok Gito.

"Tenang saja Win. Sebentar lagi dia akan datang. Itu orang memang suka ngaret."

Winda hanya tersenyum mendengar perkataan pak Bayu. Dan memang benar. Tak lama kemudian sosok Gito pun muncul.

"Nah, panjang umur. Itu yang di tunggu akhirnya datang juga. Hei Gito, udah ada yang kangen nih sama kamu. Dari tadi cariin kamu terus." seru pak Bayu.

"Siapa, pak?" tanya Gito seraya menghampiri pak Bayu dan duduk di sampingnya.

"Itu si Winda."

"Winda? Winda siapa, pak?"

"Lha kamu itu gimana tho. Tiap hari ketemu kok belum kenalan. Itu..."

Pak Bayu menganggukan kepalanya ke arah Winda. Gito mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pak Bayu. Pandangannya tertuju pada Winda.

"Oh, jadi mbak ini namanya Winda tho. Kenalkan, nama saya Gito."

Gito mengulurkan tangannya ke pada Winda dan Winda pun menyambutnya.

"Saya Winda."

Winda memperkenalkan diri. Gito menjabat tangan Winda dengan erat. Winda berusaha melepaskan nya tetapi tak bisa.

"Ehemm...."

Pak Bayu berdehem tetapi sambil memandang ke arah lain. Winda dan Gito sama-sama terkejut. Gito pun melepaskan tangan Winda.

"Gak sopan. Di depan orang tua pegang-pegang an tangan." gerutu pak Bayu. Gito tergelak mendengar perkataan pak Bayu. Sedangkan Winda hanya tersenyum malu.

"Ajak lah istrinya kerja ke sini biar bisa ikut berpegangan tangan." kata Gito.

"Gundul mu itu. Cepetan makan habis itu langsung . Jangan ngobrol mulu."

Setelah berkata begitu, pak Bayu. segera menghabiskan sarapannya. Setelah selesai, dia meninggalkan warung di ikuti para pekerja yang lain.

"Iya pak, kalau gak lupa." kata Gito. Pak Bayu mengacungkan kepalan tangannya ke arah Gito.

"Mas Gito mau sarapan apa?" tanya Winda setelah pak Bayu berlalu.

"Nasi rames aja, mbak."

"Jangan panggil mbak, ah. Panggilnya Winda aja."

"Kenapa memangnya kalau di panggil mbak?"

"Gak kenapa-kenapa sih. Tapi berasa udah tua aja kalau di panggil mbak."

"Memang umur kamu berapa tahun sih?"

"Baru sembilan belas tahun. Baru lulus SMA."

"Masih muda ternyata. Kalau begitu aku panggilnya dek Winda saja ya. Biar lebih romantis gitu."

Gito berkata seperti itu sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Winda.

"Terserah mas Gito saja. Ini sarapannya."

Winda meletakkan makanan yang di pesan oleh Gito. Gito pun menikmatinya dengan lahap.

"Ini yang masak siapa, dek?" tanya Gito sambil terus melahap makanan yang tersedia.

"Aku. Gak enak ya?"

"Wah, enak banget. Pasti yang jadi suami kamu nanti bahagia."

"Kenapa?"

"Ya selain dapat istri cantik, pandai masak pula. Surga dunia banget."

Wajah Winda bersemu merah.

"Mas Gito bisa saja."

Lagi-lagi Winda tersipu. Baru kali ini ada yang memuji masakannya enak.

Gito pun telah menyelesaikan makannya.

"Udah dek. Berapa semuanya?"

"Duapuluh ribu."

Gito menyerahkan selembar uang dua puluh ribu an. Lalu bergegas keluar warung. Tetapi baru beberapa langkah berjalan, Gito ke warung. Winda yang sedang membereskan bekas makan Gito, terkejut.

"Ada apa, mas? Ada yang ketinggalan?" tanya Winda melihat Gito kembali.

"Eng...itu dek..."

"Itu apa?"

"Boleh gak aku aku minta nomer ponsel kamu?"

"Untuk apa?"

"Untuk...untuk telfon kamu lah..."

"Boleh."

Winda menyebutkan nomor ponsel nya dan Gito pun menyimpan di ponselnya.

"Terimakasih ya dek." kata Gito.

"Iya, mas. Sama-sama."

"Aku ke proyek dulu ya. Assalamualaikum...."

"Waalaikumssalam."

Gito pun segera berlalu. Winda pun melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

####

Malam hari, Winda tengah beristirahat setelah seharian membantu kedua orangtuanya di warung. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada panggilan dari nomer tak di kenal. Winda mengacuhkannya. Tetapi nomer itu terus-menerus menghubungi nya. Winda pun mengangkatnya.

"Assalamualaikum...." Winda mengucapkan salam.

"Waalaikumssalam, adek cantik..." suara laki-laki di sebrang menjawab salam Winda. Winda mengerenyitkan dahinya, mencoba mengenali suara itu.

"Mas...mas Gito?" tanya Winda.

"Alhamdulillah...ternyata ingat sama suara aku. Lagi ngapain kamu?"

"Lagi istirahat aja."

"Wah, ganggu dong aku."

"Enggak, kok. Ada apa, mas?"

"Gak ada apa-apa. Cuma pengen dengar suara kamu."

"Oh, kirain ada apaan. Kok mas belum tidur?"

"Gak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Kangen kamu."

Winda terkejut.

"Gombal."

"Iya beneran."

"Tau ah."

Gito tertawa mendengar jawaban Winda. Seandainya mereka melakukan panggilan Videocall, Gito akan melihat betapa merahnya wajah Winda mendengar gombalan nya. Mereka pun terlibat dalam obrolan yang santai. Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Gito pun mengakhiri panggilannya. Winda pun segera tertidur karena sejatinya dia sudah sangat mengantuk saat berbicara dengan Gito tadi.

Bab 3

Suang itu, Winda sedang menjaga warung sambil membolak balik majalah. Tiba-tiba ponsel nya berdering. Dari nomer yang tak di kenal. Winda pun mengacuhkannya. Terapi nomor itu terus menghubunginya. Winda pun segera mengangkat telepon.

"Halo selamat siang...". sapa Winda.

"Selamat siang. Dengan Winda Wulandari?" jawab sang penelfon.

"Iya saya sendiri. Maaf ini siapa ya?"

"Saya Nisa dari PT. KARYA PERSADA, menyampaikan terkait dengan surat lamaran yang pernah mbak Winda kirimkan,besok mbak Winda di harapkan datang ke PT kami untuk melakukan sesi interview jam 10:00."

Hati Winda sangat bahagia. Akhirnya, setelah. sekian banyak berkas lamaran yang dia kirim ke berbagai perusahaan, sekarang ada yang meresponsnya.

"Iya, mbak. Terimakasih untuk informasinya."

"Sama-sama. Selamat siang, mbak...."

"Selamat siang..."

Winda menutup telfonnya dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera menyampaikan berita gembira ini kepada ibu bapaknya.

"Ibu... bapak...." seru Winda memanggil kedua orang tuanya. Ibu dan bapak Kirno yang sedang berbincang di ruang tamu, terkejut mendengar teriakan Winda.

"Ada apa sih, nduk kok teriak-teriak begitu." kata Bu Kirno melihat Winda memasuki ruang tamu. Winda duduk di samping ibunya.

"Ibu, bapak, Winda dapat panggilan interview kerja."

"Oh iya? Kapan itu, nak?"

"Besok, Bu. Jam 10 pagi."

"Oh...Yo sudah semoga lancar interview nya. Sama siapa kamu perginya?"

"Sendirian lah Bu. Naik angkutan. Memangnya mau sama siapa."

"Ya barangkali ada teman kamu yang ikut di panggil interview."

"Kurang tau juga kalau itu, Bu."

"Kamu harus banyak berdoa, Win. Semoga apa yang kamu cita-cita kan bisa terkabul." nasehat pak Kirno.

"Aamiin. Iya, pak. Tapi Winda minta maaf besok Winda gak bisa bantu-bantu di warung."

"Gak apa-apa. Ada bapak yang bantuin." jawab Bu Kirno. Winda tersenyum lalu dia kembali ke warung karena ada pembeli.

####

Malam hari pun tiba. Warung makan milik pak Kirno berubah menjadi warung kopi di malam hari. Pengunjungnya pun tak kalah ramai. Selain para pekerja proyek, warga sekitar pun juga banyak yang berdatangan hanya sekedar untuk melepas penat. Tak terkecuali dengan Gito. Malam itu dia datang sendirian dan duduk di bangku luar warung karena di dalam sudah penuh. Winda pun menghampirinya.

"Dek, kopi susu satu ya...." kata Gito.

"Iya, mas."

Winda segera kembali ke dalam warung untuk membuatkan pesanan Gito. Tak lama kemudian Winda kembali dengan membawa pesanan Gito.

"Ini mas kopinya."

Winda meletakkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng hangat di meja.

"Lho, aku kan gak pesan pisang goreng, dek." kata Gito.

"Itu dari ibu. Kata ibu minum kopi tanpa gorengan ada yang kurang."

"Aih, pengertian banget nih ibu calon mertua."

Winda mengerenyitkan dahinya.

"Apaan, mas?" tanya Winda.

"Ah, enggak. Aku minum ya kopinya."

Gito meminum kopi dan memakan pisang goreng buatan Bu Kirno dengan lahap. Winda memperhatikan Gito. Menurut Winda, Gito tidak pantas untuk menjadi seorang buruh bangunan. Kulitnya putih bersih, seperti orang gedongan. Postur badannya tinggi tegap. Winda membayangkan Gito sebagai seorang bos besar.

"Ngeliatinya biasa aja kali." celetuk Gito sambil terus menikmati kopinya. Winda terkejut mendengarnya. Wajahnya memerah.

"Ada apa sih, sepertinya ada yg mau kamu katakan. Katakan aja. Aku terima kok." kata Gito.

"Ih, apaan sih mas Gito."

Gito tertawa mendengar perkataan Winda.

"Ada apa?"

"Ennng..., doain Winda ya mas. Besok Winda..."

"Apa? Besok kamu mau nikah? Dengan siapa? Aku gak....Adaaaaaw....."

Omongan Gito berganti dengan sebuah teriakan kesakitan di saat Winda mendaratkan cubitannya di lengan Gito. Beberapa orang yang sedang menikmati kopi, menoleh ke arah mereka. Pak Kirno pun sampai keluar dari warung.

"Ada apa, Win?" tanya pak Kirno.

"Gak ada apa-apa, pak." jawab Winda.

"Oooo .... kirain ada apaan."

Pak Kirno kembali masuk ke dalam warung.

"Tuh kan jadi di lihatin orang-orang. Pakai teriak-teriak segala.." kata Winda.

"Gimana gak teriak orang di cubit. Sakit tau."

"Kesel. Belum selesai ngomong udah di potong aja."

"Ya udah, adek cantik mau ngomong apa. Mas mu ini siap mendengarkan."

"Gak mau."

"Ya udah."

Gito kembali menikmati minumannya. Sekali-sekali melirik ke arah Winda. Winda sendiri masih diam. Gito pun menghentikan kegiatannya.

"Kamu kenapa? Mau ngomong apa?"

"Eeengg...doain aku ya supaya besok lolos interview kerja."

"Interview kerja? Di mana?"

"Di PT. KARYA PERSADA"

"Ooo... Aku doain semoga semuanya lancar dan kamu keterima kerja di tempat itu. Tapiiiii..."

Winda melihat perubahan raut wajah Gito yang menjadi murung.

"Tapi kenapa, mas?"

"Tapi jika kamu udah kerja kita jarang ketemu lagi dong"

Winda tertawa kecil mendengar perkataan Gito.

"Mas Gito lebay banget sih. Kan kalau malem bisa ketemu. Memangnya mas Gito udah gak mau ngopi lagi di warung aku?"

Ganti Gito yang tertawa.

"Oh iya ya. Sampai lupa aku. Besok kamu berangkatnya sama siapa?"

"Sendirian aja. Naik angkutan."

"Kalau gitu besok aku anterin."

"Gak usah."

"Kenapa? Kamu malu jalan sama aku?"

"Bukan gitu. Tapi besok kan mas Gito harus kerja. Nanti di marahi sama pak Bayu karena mas gak ada di proyek."

"Ah, biarin ajalah. Itu orang memang sukanya marah-marah makanya cepet tua "

Winda menepuk bahu Gito sambil menahan tawa. Memang, pak Bayu sering marah-marah ke Gito. Ada aja tingkah laku Gito yang membuat jengkel pak Bayu.

Winda dan Gito pun kembali melanjutkan obrolan mereka, hingga tak terasa waktunya warung kopi tutup. Gito pun berpamitan menyusul teman-temannya yang telah kembali ke proyek untuk beristirahat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!