"Perang?!"
"Kuharap aku berhasil lolos dari kematian hari ini!"
"Arrgghh!"
Mimpi pun bergerak ke adegan yang lain, yang mana tidak ada satupun yang kuketahui dimana semua kejadian itu terjadi...
"Aku... Aku akan menjadi praktisi terkuat di seluruh dunia!"
"Kali ini, aku pasti akan berhasil melindungi semua orang yang kusayangi!"
"Illusion Prick!"
"Aarrrgghh!"
Semua serasa gelap, aku tidak tahu lagi apakah mimpinya akan berlanjut lagi...
"Duvian, jika kau merasa gagal melindungi orang yang kau sayangi, maka kuberikan kesempatan hidup di dunia itu untuk kedua kalinya..."
Aku menaikkan alisnya, siapa manusia jubah hitam itu?
Aku pun terpental ke sebuah hutan, aku melihat dua orang yang saling berhadapan dengan hujan yang mengguyur deras.
"Aku akan menjadi lebih kuat agar tidak diremehkan lagi!"
"Baiklah kalau begitu, kau akan kulatih dengan keras. Jangan mati ya?"
Aku melihat banyak sekali pertarungan yang dipenuhi oleh cairan merah, dan banyak sekali tubuh manusia yang hancur, ada juga yang beberapa bagian tubuhnya hilang.
Aku menelan ludahku, siapa laki-laki jubah merah itu? Kuat sekali dia...
Aku pun dibawa ke sebuah tempat, sebuah hutan dimana ada tiga orang dengan tubuh yang dipenuhi oleh luka, dua diantaranya bahkan kehilangan satu tangan mereka.
Ah, aku mengenali si jubah merah itu! Aku merasa senang saat melihat lelaki itu.
Sepanjang mimpi yang aku alami selama ini, aku selalu melihat bagian ini, bagian yang menurutku amat kubenci.
"Hah... Tidak mudah... Menundukkan makhluk... Sekuat dirimu...”
"Si-Sialan..."
Lelaki jubah merah yang kusukai itu, perutnya ditusuk hingga menembus ke punggungnya.
Aku sedikit bergidik ngeri, aku tidak bisa membayangkan kalau aku ada di posisi lelaki jubah merah itu.
Tak lama, aku dibawa ke sebuah alam, alam yang sepenuhnya berwarna hitam sepenuhnya.
Dimana ini? Aku melihat ke sekitar dengan bingung. Daerah ini pertama kali muncul dalam mimpiku, sejak mimpi yang sama muncul tahun lalu.
"Hati-hati, jangan terlalu tergesa-gesa, kau bisa gagal kali ini..."
Ah, si jubah merah! Aku senang bisa melihat jubah merah itu, bahkan tubuhnya terlihat baik-baik saja, seperti sebelum ia melawan orang bermata merah.
"Baik guru..."
Wah, laki-laki itu adalah muridnya? Pasti dia sangat hebat, batinku saat melihatnya.
Kedua laki-laki itu berbincang sebentar sebelum lelaki jubah merah menghilang dan aku pun ikut berpindah.
Kali ini, tidak ada kelanjutannya, aku mulai merasakan tubuhku lagi, yang terbaring di atas kasur yang cukup empuk bagiku.
Aku bangun perlahan dan melihat ke jendela kamarku. Cahaya pagi masuk melalui jendela kamarku yang tertutup tirai berwarna biru.
"Sudah pagi..." Aku mengucek mataku lalu menguap.
Pintu kamarku dibuka dan orang yang membuka pintu kamarku adalah ibuku.
"Langit, kau sudah bangun? Kalau sudah, bergabunglah dengan kami di ruang makan..." Ibuku berkata sambil melongok ke kamarku melalui pintu kamarku yang dibuka sedikit.
"Baik bu..." Aku mengangguk dengan mata yang masih sedikit tertutup.
Ibuku hanya tersenyum kecil melihatku, membuatku memaksa mataku agar terbuka sepenuhnya.
Ibuku menutup pintuku lagi dan meninggalkanku sendirian di kamarku.
Sesuai dengan yang dikatakan oleh ibuku tadi, namaku adalah Langit, lengkapnya adalah Langit Satria.
Usiaku baru tujuh tahun, dan pagi ini adalah hari ketujuhku di kelas dua SD.
Sebagai anak kecil, aku seharusnya dibangunkan oleh orang tuaku saat pagi, tetapi aku berbeda dari yang lainnya.
Aku jadi terbiasa bangun pagi karena mimpiku yang cukup aneh, menurutku.
Aku tidak paham kenapa aku diberikan mimpi seperti itu oleh tuhan? Apakah bayangan fantasi?
Seharusnya tidak, aku tidak terlalu bermain permainan yang berbau fantasi, tetapi aku kurang tahu juga permainan seperti itu.
Aku dijanjikan ponsel oleh orang tuaku jika aku berhasil meraih ranking tiga besar, tetapi hal itu sedikit mustahil karena aku tidak terlalu suka belajar.
Aku suka berkhayal, tetapi berkhayal sesuatu yang aneh, seperti bertarung atau mencoba meniru adegan di film yang pernah kutonton bersama ayahku.
Seharusnya itu juga tidak mempengaruhi, karena teknik-teknik di film itu mustahil untuk ditiru oleh anak tujuh tahun sepertiku, jadi aku tidak terlalu memikirkannya.
Yah, aku memang sering melupakan mimpi itu setelah lima hingga sepuluh menit aku bangun dari tidurku.
Aku bangun dan membuka jendela lalu merapikan tempat tidurku. Setelah itu aku berjalan ke kamar mandi yang ada di dekat kamarku setelah mengambil seragam sekolahku.
Aku membersihkan diri, mulai dari sekujur tubuhku hingga isi mulutku, aku membersihkannya dengan sedikit pelan.
Itu karena aku baru bangun, jadi aku tidak terlalu fokus saat membersihkan diri.
"Tuh kan, aku langsung lupa mimpiku tadi..." Aku menggaruk kepalaku sambil menggigit sikat gigiku.
Aku berniat menceritakan mimpiku tadi, tetapi aku selalu lupa saat berusaha mengingatnya, jadi aku tidak bisa menceritakannya pada keluargaku.
Yah, meskipun aku menceritakannya, pasti keluargaku tidak akan percaya semudah itu. Mereka pasti berkata,
"Ah, paling hanya khayalanmu saja..."
"Itu hanya mimpi, jangan dibawa serius..."
"Mimpi hanyalah bunga tidur, itu semua hanyalah hiburan agar tidurmu santai..."
Selesai mandi, aku berjalan ke ruang makan, ruang yang menjadi satu dengan dapur tempat ibuku sering memasak untuk kami sekeluarga.
"Langit, kau baru datang. Tadi ibu membuat roti panggang, lo..." Kakakku yang berusia tiga tahun lebih tua dariku berkata, "Kau jadi tidak bisa merasakan roti panggang yang baru diangkat dari teflon.."
"Eh, benarkah?" Aku sedikit menyayangkan hal itu, "Padahal aku suka roti panggang yang hangat..."
"Sudahlah, mari kita makan dulu..." Ibuku datang dan membawa sepiring roti panggang, yang aromanya tercium seperti baru diangkat dari teflon.
"Eh? Katanya sudah tadi, tapi kok ada lagi?" Kakakku bertanya dengan nada penasaran.
"Karena ini adalah pagi, kalian pasti memerlukan energi lebih untuk menjalani hari." Jawab ibuku.
"Ibu kalian memang baik, tahu saja kalau ayah akan lembur hari ini..." Ayahku berkata sambil mengambil dua roti panggang sekaligus dan menggigitnya perlahan, "Panas..."
"Itu karena baru naik dari teflon, jadi jelas kalau panas..." Ibuku duduk dan menatap ayahku datar.
Aku tertawa kecil mendengar itu. Aku memang sering memakan roti yang masih panas, jadi mulutku sudah terbiasa akan panas.
Biar begitu, makan sup yang baru selesai dimasak jelas akan membuat mulutku kepanasan, hehehe...
"Selamat makan!" Kakakku menangkupkan kedua tangannya lalu mengambil dua roti.
"Bukankah Kak Bintang sudah makan tadi? Kenapa mengambil lagi?" Aku menaikkan alisku.
"Hei, aku hari ini ada olahraga berat pagi, jadi aku perlu energi lebih darimu..." Kakakku berkata, "Lagipula, yang menaiki sepeda adalah aku, bukan kau..."
Aku menggaruk kepalaku sambil terkekeh kecil. Sarapan berlalu seperti biasa sebelum akhirnya suara raungan keras terdengar hingga rumahku.
ROOOOAAARRR!
DRRTTTT!
Dinding rumahku bergetar saat suara raungan itu terdengar, bahkan salah satu foto yang terpajang di ruang tamu rumahku saja terjatuh saking kerasnya getaran yang terjadi.
"Apa yang terjadi?!" Aku berteriak keras sambil memeluk ayahku ketakutan.
Hal ini... Pernah muncul di mimpiku, sesuatu yang membuat si jubah hitam, si ahli ilusi, kalah...
Catatan Penulis:
Yo, Rio disini.
Ini adalah novel ketiga ane, yang ane rilis karena novel ini sudah sejak lama menunggu giliran rilis sejak lama, saat novel Moving World In Strange Ways mencapai konfliknya. (Biar gk nganggur lama di dasar NT ane...)
Ide novel ini muncul saat manga terkenal yang menceritakan tentang perjuangan manusia melawan raksasa tamat, dan saya ingin mencoba membuat cerita yang hampir mirip dengan cerita itu.
Bukan itu aja sih, abisnya ane baca manhwa tentang Hunter, ane jadi pengen buat novel semacam itu, jadi terwujudlah novel ini!
Ini adalah pembukanya, ane harap bisa menghibur para pembaca semua...
Sebagai pembuka, ane rilis empat chapter lagi biar pas lima chapter!
Oh ya, ini adalah pertama kalinya ane pake sudut pandang orang pertama, jadi kalau ada kesalahan, semacam Aku ini terlalu banyak tahu seperti sudut pandang orang ketiga, mohon maafkan dan minta sedikit koreksi. (Yahh, setahun lebih ane pake sudut pandang orang ketiga mulu sih, jadi kebiasaan pake penilaian ane sendiri, bukan berdasarkan MC...)
Itu aja deh, sampai jumpa next chapter!
Salam,
Rio Andriana
Yah, aku sendiri sebenarnya merasa aneh saja, karena hanya itu saja mimpi yang bisa kuingat.
Jika biasanya ada beberapa mimpi yang tidak kuingat secara detail, mimpi itu saja yang amat kuingat detailnya.
Mulai dari napas si jubah hitam, tatapan matanya, hingga raungan makhluk yang membunuhnya, aku ingat dengan jelas.
Dan situasi saat ini kurang lebih hampir sama dengan mimpi itu, raungan yang amat mengerikan di telinga anak usia tujuh tahun.
Ayahku menyerahkanku pada ibuku yang sudah mendekap kakakku lalu ia berjalan ke depan rumahku, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
"Ayo, ikuti ibu, ibu akan mencari ponsel untuk mencari informasi tentang suara aneh tadi..." Ibuku berdiri sambil menggenggam erat dua tangan anaknya.
Aku dan kakakku berdiri dengan cepat dan mengikuti ibuku yang sudah menarik tangan kami berdua.
Tak lama, suara sesuatu yang roboh terdengar, membuat jantung kami bertiga serasa ingin lepas dari tempatnya saat mendengar suara itu.
"Apa itu?" Tanya kakakku pada ibuku.
"Ibu tidak tahu, jangan pikirkan itu, cepat ikut ibu saja..." Ibuku berjalan lebih cepat, dan saat itulah, suara sesuatu yang akan jatuh terdengar.
Kami bertiga mematung di tempat mendengar suara itu, bersamaan kami bertiga melihat ke atas dan atap rumah kami sudah siap runtuh.
"Lebih cepat lagi!" Ibuku menggeser posisinya dan berlari di belakang kami, sambil mendorong kami ke depan, berusaha lari dari tempat itu.
Aku dan kakakku didorong oleh ketakutan, sehingga lari kami terasa lebih cepat dari ibuku sekalipun.
Tetapi nyatanya, saat aku menoleh ke belakang, ibuku sudah tidak ada di belakangku, yang ada hanyalah reruntuhan atap rumah kami.
Mataku melebar, tidak percaya dengan kenyataan ini. Baru pagi tadi aku melihat ibuku tersenyum, sekarang ibuku sudah tidak ada?
Aku mencoba menolak kenyataan, tetapi reruntuhan di belakangku memberikan jawaban sebenarnya.
"Langit, jangan melamun, lari lebih cepat-..." Kakakku menarik tanganku. Aku mengira kakakku memaksaku berlari lebih cepat, tetapi kakakku menarik tubuh kecilku dan menggendongku.
Kami berdua berlari ke halaman belakang dan berencana kabur lewat belakang, tetapi satu kejadian lagi membuatku merasa lebih takut saat melihat ibuku tidak ada di belakangku.
Suara reruntuhan terdengar, dan saat itulah, kakakku berhenti dan berusaha membuka pintu belakang, tetapi kuncinya tiba-tiba saja patah, dan jalur kabur kami pun menghilang.
Jika kita berpikir tenang, maka kita bisa mencoba mengambil jalur depan, tetapi hal itu sudah tidak mungkin lagi dengan situasi kacau ini.
Ditambah suara reruntuhan yang terdengar membuatku merasa kalau rumahku sudah hancur, tersisa jalan menuju halaman belakang saja yang tersisa.
"Arrgghh!" Kakakku menjerit keras, membuatku terkejut dan melihat kakakku.
"Ada jendela, ayo kita kabur lewat sana saja, kak..." Aku menarik tangan kakakku dan berjalan mendekati satu jendela di dekat sana.
Saat melihatnya, kakakku membuka jendela dengan panik, tetapi sepertinya jendela itu tidak memahami situasi saat ini.
"Kenapa jendelanya harus sulit dibuka saat situasi seperti ini, sih?!" Kakakku mengumpat dan memukul jendela keras.
Aku tidak memiliki pilihan lain selain membantu kakakku mendorong jendela itu. Dibandingkan hanya diam menunggu orang lain membukakan jendela itu untuknya, lebih baik ikut membantu, kan?
Suara reruntuhan terdengar makin keras, dan saat jendelanya sudah terbuka, kakakku mengangkat tubuh kecilku dan melemparkanku keluar ke halaman belakang.
Setelah memastikan adiknya sudah jatuh dengan aman, kakakku menaiki jendela itu dengan sedikit kesulitan.
Yaa, aku paham kenapa kakakku mengalami hal itu. Bisa dibilang, kakakku jarang melakukan sesuatu yang aneh-aneh, jadi sudah pasti ia tidak akan bisa kabur lewat jendela.
"Ayo kak, lebih cepat lagi!" Aku menyemangati kakakku dengan suara yang masih terdengar keras untuk ukuran anak tujuh tahun.
"Iyaaa, ini aku sudah berusaha!" Kakakku berseru keras, menjawab perkataanku.
Disaat kakakku hampir keluar, tanah secara tiba-tiba bergetar dan meruntuhkan rumahku total, termasuk jendela yang berusaha kakakku lewati. Jika sudah seperti itu, apakah kalian bisa menebak akhirnya seperti apa?
"Kak Bintang!" Aku berniat mendekat, tetapi tanah masih bergetar hebat dan membuat pijakanku tidak seimbang.
Aku berkali-kali jatuh dan aku pun menyerah untuk berdiri. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah meratapi kematian tiga keluargaku.
"Aarrgghhh!"
Aku memukul tanah keras, hingga tanah keras di halaman belakangku berbekas pukulanku.
Karena merasa frustasi, aku tidak menyadari kalau pohon satu-satunya di halaman belakangku, yang berada tepat di belakangku, mulai kehilangan pegangannya pada tanah.
Aku yang masih tidak menyadari hal itu berdiri dengan perlahan, mengabaikan getaran tanah yang masih mengacaukan keseimbangan berdiriku. Aku pun berjalan mendekati reruntuhan rumahku.
Aku memang tidak menyadari kalau pohon di belakangku sudah akan roboh, tetapi beberapa saat kemudian, aku pun menyadarinya.
Bayangan pohon mendekatiku dan saat aku berbalik, pohon besar satu-satunya di halaman belakangku jatuh, menimpa tubuh kecilku dengan keras.
Setelah tertimpa pohon besar, aku pun kehilangan kesadaranku dalam waktu yang cukup lama...
***
"Oi anak muda, hidupmu masih panjang, tetapi kenapa kau malah semudah itu menyerah?"
Suara seorang pria terdengar di telingaku, dan aku merasa tidak asing dengan suara itu.
Ya, aku memang sering lupa dengan mimpiku, ada beberapa yang kuingat jelas, termasuk kematian si jubah hitam, tetapi ada beberapa hal yang kuingat, meskipun aku tidak berusaha mengingatnya.
Benar, suara tiga orang yang sering muncul dalam mimpiku amat kuingat jelas, sampai suara napas mereka pun kuingat jelas.
Dan suara itu adalah suara milik si lelaki jubah merah, lelaki yang cukup kusukai dan kutunggu kehadirannya di mimpiku.
"Aku tidak akan menyerah pada hidup ini!" Aku berseru keras dan membuka mataku cepat.
Cahaya matahari yang menyilaukan menerpa mataku saat aku membuka mata.
"Apa ini? Apakah aku masih hidup?" Aku mengucek mataku dan melihat ke sekitar.
Rumahku sudah rata dengan tanah, bukan hanya rumahku saja sih, tetapi beberapa rumah di sekitar rumahku rata dengan tanah. Beberapa pohon tumbang dan aku menebak kalau pohon-pohon itu tumbang karena getaran tadi.
"Eh?" Aku sedikit bergetar, saat melihat kakiku yang sedikit lagi tertimpa cabang pohon yang amat besar.
"Aku... Aku hidup!" Aku berseru keras sambil mengangkat kedua tanganku ke atas, merasa bangga dengan prestasi yang baru saja ia dapatkan.
Mengabaikan rasa panikku tadi, aku berdiri dengan cepat dan berteriak-teriak senang, merasa kalau hanya diriku saja yang selamat dari getaran itu.
Sesekali aku juga melompat-lompat kegirangan sambil berteriak "Aku hidup!" berkali-kali.
Hingga akhirnya, aku menenangkan diriku dan berjalan melewati reruntuhan rumahku, menuju tempat yang lebih baik.
Eleh, gk bisa jam 6 pagi... Ada bug nih MT...
Aku berjalan dengan tenang, tetapi hatiku merasa tidak nyaman, karena ini adalah pertama kalinya aku berjalan keluar rumah tanpa keluargaku.
Yah, meskipun aku sering melakukannya saat akan pergi ke taman di dekat rumahku untuk bermain dengan temanku, tetapi ini adalah pertama kalinya aku pergi, tanpa memberitahu keluargaku.
Ditambah situasinya masih kacau begini, aku sedikit mengharapkan ada orang yang lebih tua yang selamat dari getaran besar tadi.
Aku masih tidak paham, apakah getaran tadi bisa dibilang gempa atau tidak. Tetapi aku tidak tahu yang mana benar dan yang mana salah, karena saat ini aku masih kecil.
Aku sebenarnya memiliki pikiran lain tentang penyebab getaran itu. Yaitu serangan Monster.
Berita di televisi bisa dibilang didominasi oleh Monster dan Hunter, dua kubu yang selalu bermusuhan.
Aku tidak terlalu paham alasannya kenapa Monster dan Hunter bisa bermusuhan, karena berita di televisi selalu menayangkan tentang Hunter yang bertarung melawan Monster.
Tentang Hunter, ayahku pernah bercerita kalau ia adalah mantan Hunter, ia pensiun saat ibuku melahirkan kakakku sepuluh tahun lalu.
Sebagai hitungan sederhana dari anak usia tujuh tahun yang membuat hitungan ini setelah mengingat usia ayahnya, ayahnya saat ini berusia tiga puluh lima tahun.
Jadi, menurutku, ayahku pensiun saat berusia dua puluh lima tahun. Yah, ini sebenarnya bukan informasi penting juga sih...
Ayahku juga pernah bercerita kalau beberapa Hunter memiliki kekuatan yang besar, yang katanya mampu menghadapi banyak Monster berkekuatan besar.
Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tetapi yang pasti aku tidak ingin menjadi Hunter karena aku tidak memiliki tubuh yang kuat, hanya tubuh yang lembek.
Kakakku memiliki mimpi menjadi Hunter rank SS, Hunter yang kukatakan sebelumnya bisa melawan banyak Monster berkekuatan besar. Tetapi mimpinya berakhir tadi...
Tadi apa ya? Sekarang sudah siang atau sore sebenarnya?
Aku berhenti saat melihat seorang perempuan yang duduk di ayunan seorang diri.
Pakaian perempuan itu amatlah lusuh, aku menebak kalau ia bernasib sama denganku.
"Pakaiannya sama denganku, mungkinkah dia berniat berangkat ke sekolah?" Gumamku, mencoba mencerna situasi seorang diri.
Tak lama, tatapan kami berdua bertemu dan perempuan itu ternyata habis menangis.
Kesimpulan itu kuambil setelah melihat tatapan matanya yang serasa kosong, tidak menatap apapun, meskipun wajahnya menghadap ke arahku.
Aku berjalan dengan tegap dan mendekati perempuan itu sambil menggaruk kepalaku.
Canggung, hanya itu yang bisa kurasakan setelah mendekati perempuan itu dan berdiri di hadapannya.
"Apakah kau lapar?" Tanyaku.
Perempuan itu diam saja, jadi aku tidak tahu apa jawabannya.
Aku menaikkan alisku, aku merasakan sesuatu di pergelangan tangan kiriku.
Aku mengangkat tangan kiriku dan melihat apa yang ada di pergelangan tanganku.
"Ini... Ini jam!" Aku berteriak, entah kenapa hari ini aku banyak berteriak setelah lolos dari kematian.
Perempuan itu terkejut dan ia berniat lari, tetapi aku menahannya dan menyuruhnya duduk di ayunan itu lagi.
"Duduk!"
Perempuan itu tertegun saat melihatku berteriak kepadanya, membuatku merasa sedikit bersalah.
"Ee, maafkan aku, aku telah mengalami hal yang mengerikan..." Aku melepaskan tangannya dan duduk di atas tanah, di hadapannya.
Perempuan itu menaikkan alisnya sebelum ia berkata, "Kota ini diserang Monster..."
"Eh? Darimana kau tahu?" Aku tidak tahu apakah perempuan ini berbohong atau tidak, tetapi untuk saat ini aku harus menerima berbagai informasi yang berharga, sekalipun itu dari maling sandal sekalipun.
"Kedua orang tuaku adalah Hunter, tadi keduanya pergi meninggalkanku di taman ini saat mengantarkanku ke sekolah, dan aku sudah melihat banyak hal yang mengerikan..." Perempuan itu menutup wajahnya rapat, membuatku mempercayai semua omongannya.
"Sudah berapa lama kau disini?" Tanyaku.
"Sejak pagi tadi dan sampai sore ini, aku belum makan..." Jawab perempuan itu lalu ia menambahkan, "Namaku adalah Senja, siapa tahu kau memerlukannya..."
Aku menggaruk kepalaku, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu?
"Namaku Langit, salam kenal ya..." Aku mengulurkan tanganku dan Senja menyambut tanganku.
"Karena kau dan aku sama-sama lapar, bagaimana kalau kita berkunjung ke sebuah tempat yang mungkin menyediakan makanan?" Usulku. Senja mengangguk.
Aku menarik tangan Senja dan berjalan menjauhi taman itu, pergi ke suatu tempat yang mungkin menyediakan apa yang kami inginkan.
***
"Aku ditinggalkan di taman ini selagi dua orang tuaku mengambil senjata mereka di rumah kami, seterusnya aku tidak tahu nasib keduanya..."
Aku menunduk, setidaknya aku memahami rasanya kehilangan karena aku sudah merasakannya.
"Saat aku duduk di ayunan itu, banyak orang berlarian tanpa arah dengan panik, membuatku ikut panik dan ingin berlari juga, tetapi aku mengingat pesan kedua orang tuaku..."
"Jangan panik saat melihat kepanikan, panik hanya akan memperburuk suasana. Tenanglah dan cobalah mencari tahu apa yang terjadi..."
"Itukah pesan kedua orang tuamu?" Aku menggigit roti besar yang kupegang.
"Benar..."
Saat ini, kami berada di sebuah toko kecil yang kebetulan memiliki persediaan barang yang cukup banyak di dekat taman tadi.
Kami mengambil masing-masing satu roti sambil berkali-kali meminta maaf pada toko yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Yah, kami sebenarnya terpaksa mengambil langkah mencuri karena kami tidak memiliki uang, sebagai tambahan, tidak ada yang melihat, hehehe...
"Lalu? Apa yang terjadi selama kepanikan itu?" Tanyaku lagi lalu melipat bungkusan roti dan memasukkannya ke dalam seragam sekolahku.
Senja bercerita lagi, sementara aku membersihkan seragamku yang mustahil kubersihkan hanya dengan tangan saja.
Karena aku tidak membawa tas, hanya membawa diri yang memakai seragam sekolah yang kotor, aku terpaksa memasukkan rotiku ke dalam seragamku.
Yaa, aku tadi sebenarnya berniat kembali ke rumahku, mencari tasku diantara reruntuhan rumahku, tetapi aku mengurungkan niatku saat memikirkan orang yang kubawa. Tambahan, aku tidak tahu dimana tasku mungkin berada, hehehe...
Aku tidak memakai sepatu awalnya, baru tadi di toko ini saja aku mengambil sepasang sandal sebagai alas kakiku untuk sementara.
"Emm, Langit..." Senja memanggilku sambil melipat rotinya lalu memasukkannya ke dalam tasnya, "Masukkan rotimu disini..."
Ia mengulurkan tasnya, aku menaikkan alisku, hampir saja aku ingin bertanya darimana ia mendapatkan tas itu, tetapi aku tersenyum tipis dan memasukkan rotiku ke dalam tasnya.
Senja memakai seragam sekolah lengkap, dari atas hingga bawah, seragamnya amat lengkap dan ia juga memakai sepatu.
Tetapi sepatunya dan seragamnya sudah kotor, aku sudah mendengar kisahnya tadi saat kami beristirahat sambil memakan roti.
Setelah ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, ia melihat kepanikan dan ia berencana berlari mengikuti kepanikan itu, tetapi ia mengurungkan niatnya dan memilih bersembunyi di semak-semak. Ia mengatakan kalau itulah yang membuat seragamnya kotor, jadi aku paham sekarang.
Senja melihat serangan Monster, yang memakan manusia yang dilihatnya. Kalau tidak dilihatnya, maka ia tidak akan memakannya.
Senja mengatakan kalau ia amat bersyukur karena keberuntungannya, tidak dimakan oleh Monster pemakan manusia itu, karena ia memiliki mimpi yang ingin ia capai.
"Oh ya, Senja..." Aku membuka kancing nomor dua dari atas seragamku, menampilkan kaos tipis yang kupakai sebelum seragamku, "Apa mimpimu yang ingin kau capai?"
"Mimpi, ya?" Senja memejamkan matanya sambil menghembuskan napasnya, "Mimpiku menjadi Hunter, seperti dua orang tuaku..."
"Bukan Hunter biasa yang tidak mampu melindungi kota ini, tetapi Hunter yang bisa melawan banyak Monster kuat seorang diri..." Senja mengepalkan tangannya.
Aku yang mendengarnya hanya bisa menundukkan kepalaku, mungkinkah mimpiku sudah bisa kutentukan mulai sekarang?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!