NovelToon NovelToon

Flashback

Prolog

"Lo emang mau kemana sih? Kok kayaknya buru-buru banget," ucapku saat melihat Raisa yang membereskan buku-buku dan juga memasukkan laptopnya ke dalam tas. Terlihat jika dia buru-buru seolah ada sesuatu yang mengejarnya.

"Gue mau reunian SMA jam 3 nanti. Mangkannya gue buru-buru."

Reunian SMA? Aku tidak pernah datang ke acara seperti itu. Entah memang tidak ada yang berinisiatif membuatnya atau aku yang tidak tahu.

"Gue kangen banget sama temen SMA. Udah 1 tahun setengah nggak ketemu. Pingin lihat wajah mereka sekarang gimana," ucap Raisa yang kemudian menyeruput jus alpukatnya yang tinggal sedikit.

"Tapi, lo kan masih sering ketemu sama temen SMA lo," ucapku menarik gelas dan meminum sisanya.

"Cuma itu-itu aja. Udah yah, gue pergi dulu. Bye, see you besok," ucap Raisya sambil melambaikan tangan kearahku. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut. Bukannya kesal karena Raisa yang meninggalkanku sendirian. Tapi aku kesal karena aku tidak bisa seperti Raisa. Bertemu dengan teman dimasa SMA. Teman yang membuatku punya banyak kenangan. Tapi sekarang. Bertukar kabar saja sudah tidak pernah. Bahkan, aku tidak tahu sekarang mereka berada dimana. Aku cuma bisa berdoa agar mereka selalu dalam lindungan Tuhan dan semoga kami bisa membuat kisah seperti dulu lagi.

Ceklek...

Pena itu akan menggoreskan tintanya di atas kertas suci. Menuliskan apa yang sedang aku rasakan sekarang. Lantunan lagu Sebuah Kisah Klasik milik Sheila on 7 berputar. Lagu yang pernah berputar 1 tahun 7 bulan yang lalu saat acara wisuda.

*Hal apa yang paling kalian rindukan dimasa SMA? Jam pelajaran kosong, bolos pelajaran ke kantin, ghibah sama temen-temen, atau ketemu sama seseorang yang berhasil membuatmu tertarik?

Kalau aku sih, suka semua. Sekecil apapun kenangan itu. Bahkan, aku benci jika tidak bisa mengingat semua kenangan dimasa SMA-ku dengan baik.

Jika dipikir-pikir, masa SMA memang masa paling menyenangkan. Bertemu dengan orang-orang absurd yang selalu membuatku ketawa. Dimasa SMA, aku merasa kalau pertemanan terasa sangat kuat. Apalagi kalau ditodong pertanyaan, "pilih temen atau ekskul?" Mangkannya dulu aku sering bolos ekskul dengan cara setelah doa pulang, aku dan ke-4 temanku langsung berlari ke luar kelas. Lucu juga kalau diingat.

Yang paling konyol sih, saat upacara. Aku pernah pura-pura pingsan biar bisa tidur di UKS. Atau saat main kejar-kejaran sama Pak Wahab karena ketahuan bolos pelajaran di kantin.

Andai waktu bisa diputar kembali, aku mau buat cerita yang lebih konyol dari yang pernah aku lakukan selama ini. Aku juga akan bilang ke teman-teman agar pertemanan kami tidak pecah seperti sekarang. Tidak pernah bertukar kabar, bahkan tidak tahu dimana keberadaan mereka semua sekarang.

Aku rindu dengan semua teman kelas yang selalu kompak, yang selalu membuatku tertawa, yang selalu membantuku jika disuruh maju untuk mengerjakan soal fisika, dan aku rindu berfoto bersama kalian. Terakhir foto yang diambil saat wisuda. Foto itu masih tertempel didinding kamarku.

Dan tentunya aku juga rindu akan kalian berempat. Rindu bolos pelajaran bareng, ghibah bareng, tidur bareng, kerja kelompok tapi malah bikin tiktok. Sekarang kalian dimana? Apa kalian masih ingat denganku? Dengan kisah yang kita buat berlima? Semoga secepatnya kita bertemu, membuat kisah baru, dan jangan lost contact lagi*.

Setelah menulis itu, aku jadi makin rindu. Hingga kenangan itu mulai tertata dan muncul dalam ingatanku. "Kisah kita memang untuk dikenang saat seperti ini, kawan."

~•~

 

Bab 1: MOS

Ratusan balon warna-warni lepas, bebas terbang ke langit. Itu menandakan jika Masa Orientasi Siswa resmi dibuka. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat balon putih yang telah terbang sangat jauh. Tadi aku menuliskan sebuah kalimat dikertas yang kutali dibalon putuh itu; "Tuhan, Tia mau kali ini nggak ngerasa sendiri di dunia. Tia mau menikmati masa SMA dengan senang bersama kawan-kawan baru."

Seseorang merangkulku dari belakang, "lo tahu nggak tadi gue nulis apa?"

"Apa?" tanyaku balik yang memang aku tidak tahu dia menulis apa. Malas juga untuk menebaknya.

"Gue nulis biar kita sekelas," jawabnya yang ku aamiin-in.

Namanya Yuli, satu-satunya temen yang kupunya di gugus. Awal mula aku kenalan sama dia, karena kita yang baris paling belakang saat akan keliling Sekolah. Perkenalan yang sangat geli jika diingat. Tapi Yuli adalah teman yang yang asyik. Dia banyak bicara, bercerita lucu hingga membuatku tertawa. Tadi saja, dia menyuruhku untuk berpura-pura pingsan, lalu jika aku melakukannya, dia akan mengantarkanku ke uks dan tidur di sana berdua. Sayangnya, aku tidak mau cari masalah sama Kakak Osis. Jadi rencana itu hanyalah sebuah rencana.

Setelah menerbangkan balon, kakak Osis memperbolehkan kami untuk istirahat selama 30 menit. Aku dan Yuli segera berlari ke kantin, karena kami tidak mau antri nasi geprek. Nanti bisa kehabisan dan terpaksa beli mie seperti saat pra MOS 3 hari lalu.

"Eh, ini kok pedes, ketuker yah?" kata Yuli setelah memakan sesendok nasi gepreknya.

"Lo sih, udah kelihatan itu cabenya banyak," kataku yang kemudian menukarkan piring kami.

Disela-sela keheningan kami memakan nasi geprek Ibu kantin, tiba-tiba saja Yuli menginjak kakiku. Sontak aku menjerit, cukup membuat beberapa orang disekitar kami menoleh.

"Mulut lo berisik," ucap Yuli seperti berbisik.

"Salah siapa nginjek kaki gue, sakit tahu," ucapku yang masih kesal. Aku tidak bohong. Kakiku benar-benar sakit karena ulah Yuli.

"Gue cuma ngasih tahu, anak yang pake seragam putih biru itu ganteng," kata Yuli sambil mendekatkan wajahnya padaku dengan tangan yang menutupi bagian kanan wajahnya.

Aku menoleh ke sekitar. Di kantin banyak sekali cowok yang pakai seragam putih biru. Sebab ini adalah jam istirahat untuk para murid baru. Jadi, siapa yang dimaksud oleh Yuli?

"Yang pake seragam putih biru banyak, Yul. Kasih ciri-cirinya yang spesifik dong."

Dia terkekeh dan kembali mendekatkan wajahnya padaku, "yang pake kacamata, yang lagi duduk di bangku sebelah kiri lo."

Aku bergerak secara slowmotion, oh ternyata cowok itu yang dimaksud Yuli. Ganteng sih, putih, mancung, tapi kayaknya kutu buku.

"Bolehlah, bolehlah."

"Rumornya, dia punya kakak, kelas 11, sekolah di sini juga."

"Terus hubungannya apa?" tanyaku yang dijawab angkatan kedua pundak Yuli. "Cuma mau nginfoin."

~•~

Hari ini adalah penutupan kegiatan MOS. Setelah upacara penutupan oleh kepala sekolah. Para murid baru dan juga kakak kelas berbondong memasuki aula. Aku dan Yuli sengaja masuk paling belakang, karena aku tahu aula akan penuh sesak hingga membuat sulit bernapas. Ditambah aula sekolahku hanya menggunakan kipas yang hanya dipasang kala ada acara saja.

Namun hal itu tak mematahkan semangat mereka. Terlihat jika banyak yang antusias untuk melihat penutupan yang sejak hari pertama MOS sudah diumumkan. Rumornya, ada seseorang yang ditunggu-tunggu. Aku rasa orang itu sangat terkenal di Sekolah ini.

"Lo tahu nggak sih, Ti?" tanya Yuli sambil menggandeng tanganku. Kami berdua berjalan layaknya siput menuju aula.

"Nggak tahu gue."

"Gue dengar rumor dari gugus sebelah kalau pemain utamanya itu kakak cowok yang kapan hari gue tunjukin ke lo."

"Yang mana? Sejak 1 minggu gue kenal lo, udah berapa lusin cowok yang lo tunjukin ke gue?"

"Haduh. Yang gue tunjukin di kantin. Yang pake kacamata."

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku sudah lupa cowok yang Yuli maksud. Bukannya ingatanku hanya untuk jangka pendek. Tapi masalahnya, cowok yang pernah Yuli tunjukan ke aku sangatlah banyak. Bahkan jariku dan Yuli tidak cukup untuk menghitungnya.

Memasuki aula, suasana pengap aku dapatkan. Tak hanya itu, suara ricuh para penonton yang tidak sabar menggema memenuhi ruangan. Aku menarik Yuli untuk duduk di aula bagian belakang sambil bersandar di tembok. Gadis itu protes karena aku yang malah memilih bagian paling belakang. Padahal di depan masih banyak tempat kosong.

"Tapi kalau di sini gue nggak bisa ngeliat pemain utamanya," ucap Yuli dengan wajah kesalanya. Tapi, gadis itu tetap saja mengikutiku duduk di lantai.

"Ntar juga bakal dipost di instagram osismpk."

"Lewat perantara dong. Gue maunya lihat langsung. Mau tahu betapa gantengnya calon kakak ipar gue."

"Masih satu Sekolah aja."

"Eh iya, yah," ucapnya dengan tawa polos yang terlihat geli dimataku.

Drama pun dimulai. Para tokoh menampilkan sebuah cerita tentang Pangeran yang selalu sendiri di istana yang megah. Tidak ada teman. Hanya beberapa dayang yang selalu membuntutinya. Karena bosan, Pangeran pun berniat untuk keluar dari istana pada malam hari. Misi keluar dari istana membawanya pergi memasuki sebuah hutan. Hingga ia bertemu dengan seorang gadis yang sedang mengumpulkan beberapa kayu dan ranting yang jatuh. Sebuah rasa pun tumbuh diantara mereka dan tamat.

"Pemeran utamanya keren banget nggak sih, Ti?" tanya Yuli saat kami keluar dari aula.

"Be aja. Dramanya gantung tahu. Masa ceritanya cuma sampai Pangeran sama gadis kayu itu kenalan. Nanggung banget. Udah gitu para tokohnya masih kelihatan kaku."

"Selera lo jelek. Emang lo bisa akting bagus?"

Aku tertawa sedikit kulebih-lebihkan. Akting? Masalahnya aku tidak suka drama. "Baguslah. Gue kan anak theater," jawabku tipu. Boro-boro ikut ekskul theater, niat untuk masuk salah satu ekskul di sekolah ini saja tidak ada.

"Wihhh. Gue tunggu lo jadi pemain utama di drama 17 agustus nanti."

~•~

Ternyata jalan sendirian di sekolah baru sedikit menakutkan. Banyak orang duduk di koridor menutupi jalan. Walau aku tahu mereka seangkatan denganku, tapi aku capek saja bilang permisi sepanjang koridor. Ditambah tatapan mereka yang membuatku berpikir 'apa ada yang salah denganku?'

Yuli memang menyusahkan. Kenapa dia harus datang bulan sekarang? Coba keluarnya nanti kalau anak itu sudah sampai rumah. Aku tidak perlu pergi ke kantin sendirian seperti ini hanya untuk membelikannya pembalut. Menyusahkan saja teman baruku itu.

Tiba-tiba saja seseorang menyenggolku dari belakang. Untung saja aku tidak sampai jatuh karena langsung berpegang pada pilar sekolah. Lalu beberapa orang yang sepertinya pemain drama tadi melewatiku sambil membawa properti. Hingga aku melihat sebuah kertas tebal yang sudah dijilid jatuh. Segera aku mengambil dan mengejar laki-laki berpakaian layaknya pangeran yang jalan dibarisan belakang.

"Permisi," ucapku menepuk pundaknya. Dia menoleh secara slowmotion. Hingga sebuah cahaya menerpa wajahku. Astaga cahaya apa ini? Apakah dia pangeran sesungguhnya hingga bercahaya seperti ini?

"Oh, terima kasih," ucapnya dengan suara serak yang terdengar seksi ditelingaku. Dia meraih kertas tebal berjilid yang kupegang. "Untung lo yang nemuin."

Aku tersenyum saat dia juga tersenyum padaku. Rasanya aku ingin meleleh sekarang juga. "Astaga, apa aku sedang bermimpi bertemu pangeran?"

~•~

Bab 2: MIPA 1

"Gue rasa anak-anak di sini pinter-pinter, deh," ucap Yuli sambil berbisik. Sekarang kami sudah berpindah ke kelas tetap. Kelas X MIPA 1. Seperti yang Yuli tulis, kami sekelas.

Masalah yang sedang aku dan Yuli hadapi adalah fakta jika murid kelas ini pintar-pintar. Dari wajah mereka saja sudah memancarkan aura kepintaran. "Gue rasa juga gitu. Kayaknya kita salah masuk kelas."

Yuli menggaruk pipinya yang mungkin gatal. Wajahnya terlihat lucu jika berbicara bisik-bisik seperti ini. "Tapi tadi gue udah lihat 15 kali dan nama kita berdua memang ada di absen kelas ini, Ti. Masa mata gue bermasalah?"

"Gue rasa enggak. Otak kita yang salah bergaul di sini."

"Emangnya kemarin lo jawab soal tes pakai mikir?" tanya Yuli dan aku menggeleng. Soal tes kemarin? Aku menjawabnya pakai intuisi. "Nyesel gue nyamain jawaban sama lo."

"Mangkannya mikir."

"Lo aja nggak mikir."

Aku terkekeh, lalu seorang wanita berjilbab masuk. Singkat cerita dia membuka dengan perkenalan. Nama beliau Anik, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas X MIPA 1. Beliau menunjuk 2 orang siswa untuk menjadi kandidat ketua kelas. "Sekarang yang memilih Herman menjadi ketua kelas silahkan angkat tangan."

Beberapa anak sudah mengangkat tangan mereka. Jujur aku tidak tahu harus memilih siapa antara Herman dan Mulia. Namun dari apa yang kulihat, Herman lebih cocok menjadi ketua kelas. "20 suara, berarti ketua kelas kalian adalah Herman."

~•~

"Kalian berdua segugus?" Aku dan Yuli mengangguk. "Wah sama, kita bertiga juga segugus. Seneng punya teman banyak kayak gini."

Aku tertawa lalu meminum es tehku. Ternyata pemikiranku tentang teman-teman baru di kelas salah. Kalau pintar, aku rasa iya karena kami MIPA 1, kelas yang katanya paling unggul. Namun, kukira mereka adalah anak-anak ambis yang tiap hari berkutat dengan buku. Nyatanya, baru hari ini saja aku sudah dibuat ketawa oleh kaum adam dikelasku. Bagaimana aku tidak ketawa. Bukannya mengerjakan tugas yang disuruh oleh guru mata pelajaran PPKN, mereka malah bermain bekel milik Anye di kelas bagian belakang. Yang buat lucu saat Aji berkata, "duh, biasanya gue kalau main bekel pakai bola basket."

"Nah gue, main bekel bukan bolanya yang gue lempar, tapi bijinya."

"Gue tiap hari mainnya engkle sama tetangga sebelah."

Itu hanya sebagian lelucon yang telah mereka buat untuk membuat suasana kelas makin akrab. Aku tidak bayangkan jika 3 tahun bersama mereka. Mungkin ususku akan keluar karena tidak kuat menahan tawa.

"Nanti kalian kalau kelas 12, rencananya mau ambil peminatan apa?" tanya Dita, anak paling kalem, lugu, dan sepertinya kutu buku.

"Yaampun, Dit. Baru aja hari pertama pelajaran, lo udah tanya gitu ke kita. Gue aja rasanya pingin pindah jurusan ke bahasa," jawab Anye, anak paling kocak ke-2 setelah Yuli.

"Udah enak di Ipa, Nye. Ntar kalau lo masuk jurusan bahasa, lo bakal ketemu sama tulisan-tulisan jepang. Kan, lo bilang kalau mata lo bakal buram tiap kali lihat tulisan itu," celetuk Jihan, anak paling cantik yang ada di kelas X MIPA 1. Jihan dan Anye sedikit mirip, sebelas duabelas-lah. Cuma yang membedakan mereka adalah rambut mereka. Jika rambutnya lurus terurai panjang itu berarti Jihan. Tapi jika rambutnya sebahu dan sedikit curly itu berarti Anye. Kadang aku saja masih salah membedakan mereka ber-2.

"Udah-udah, mending sekarang kalian lihat whatsapp. Buka deh, udah gue buatin grup buat kita ber-5," ucap Yuli membuat kami semua segera mengecek hp. Benar saja. Aku ditambahkan pada sebuah grup bernama JYDAT. Keningku berkerut. Namanya aneh sekali. "Ini kenapa nama grupnya jydat pake y?" tanyaku.

"Iya. Nggak kreatif namanya," tambah Anye.

Yuli tertawa membuatku dan lainnya bingung. "Yang sellow, tenang. Jadi guys 'JYDAT' itu kumpulan dari nama depan kita berlima. J untuk..."

"Jihan."

"Yuli."

"Dita."

"Anye."

"Tia."

Kami ber-5 tertawa mengetahui huruf depan nama kami jika digabung membentuk suatu kata yang mungkin aneh bagi orang lain. Tapi menurut kamu, itu nama yang lucu.

~•~

2 minggu sudah aku berada di kelas baru ini. Kelas yang membuatku hidupku lebih berwarna. Di sini, kami tidak memandang fisik, harta, dan kekurangan lainnya. Kami jadi satu walau pastinya kami punya teman yang lebih dekat di kelas ini.

Setiap hari, selalu ada saja kekonyolan dari mereka yang entah kenapa pasti membuat seisi kelas tertawa. Walau hanya dengan wajah Aji yang memang lawak. Atau hanya dengan ucapan garing ketua kelas.

Dibalik kekonyolan dan kerecehan yang mereka tunjukkan, mereka termasuk pintar. Dengan wajah ola-olo saat diberi pertanyaan oleh Bu Lila, guru mata pelajaran Biologi, Aji mendapat tepuk tangan dari seisi kelas karena jawaban asalnya yang ternyata benar.

Kami makin dekat sejak bermain bekel milik Anye di kelas bagian belakang. Lalu di sampingnya beberapa cowok sedang berkutat dengan hp miring dan tak lupa kata-kata mutiara yang keluar jika mereka kalah. Tidak ada buku yang terbuka saat jam kosong. Bahkan tidak ada yang duduk di bangku masing-masing. Semuanya sibuk main bekel, push rank, dan siswi lain yang main tiktok di dekat meja guru.

"Udahlah, gue push rank aja. Besok kalau pake bola basket, gue ikut," ucap Aji kesal karena sedari tadi tidak bisa bermain bola bekel. Cowok itu pun bergabung dengan tim hp miring.

"Habis ini pelajaran apa?" tanya Jihan sambil memainkan bola bekel.

"Ekonomi," jawab Dita yang tak sabar menunggu gilirannya bermain.

"Solob kuy."

Kami berempat menoleh pada Yuli yang mengajak untuk solob. Jujur selama sekolah 11 tahun, aku tidak pernah bolos jam pelajaran. Namun sepertinya akan hambar jika masa sekolahku tidak ada kata solob.

"Gue sih ngikut," ucap Jihan dan Anye barengan.

"Lo?" tanya Yuli sambil menyikut lenganku.

Sedikit ragu untuk menjawab 'ya'. Aku masih takut jika ketahuan oleh guru. Lalu Mama dan Papa tahu, bisa mati aku. Tapi kapan lagi aku jadi anak nakal jika bukan sekarang.

"Bolehlah, buat permulaan."

"Sip," ucap Yuli sambil memberikan 1 jempol kepadaku, "lo ikut kan, Dit?"

Dita yang baru saja mendapat giliran bermain bekel, terpaksa menghentikannya. Mukanya sedikit memancarkan ragu sepertiku. Aku rasa dia akan menolak. Secara Dita adalah anak yang paling alim, lugu, dan pendiem. Dia tidak banyak bicara. Namun sekalinya bicara yang dia bahas adalah pelajaran favoritnya, biologi. Untung saja aku bukan teman sebangkunya.

"Ayo, Dit. Sekali aja. Ntar kalau hari ini ketahuan guru, yah besok-besok kita coba lagi," ucap Yuli dengan wajah merayunya. "Ntar kalau ketahuan gue bakal kasih kode buat lari. Lo lari didepan gue deh. Gimana? Mau kan? Please?"

Beberapa menit hening. Kami sudah menanti jawaban Dita yang sepertinya 'tidak'. Anak itu terlihat lucu jika menimbang-nimbang pilihan.

"Oke deh, gue ikut."

~•~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!