Seorang pemuda memasuki kedai makan di pinggiran jalan. Tampangnya dekil sekali. Kulitnya menghitam dibakar matahari. Bajunya penuh tambalan. Di punggungnya, sebuah bundelan yang entah berisi apa, mengikat kuat. Rambut panjangnya sudah tampak seperti sarang burung. Orang yang melihatnya tidak akan berani membayangkan bau badan si pemuda, langsung pergi menjauh.
Dia langsung menjadi pusat perhatian di kedai itu berkat tampangnya.
Pemilik kedai menatap pemuda itu lamat-lamat, sebelum berkatalah dia, "Siapakah dikau dan hendak apakah dikau kemari?"
Pemuda itu menyungingkan senyum lebar. "Tentu daku ingin makan di sini, Paman. Mungkin juga akan menginap barang semalam."
Pemilik kedai menatapnya lamat-lamat dari atas sampai bawah. Lalu dia mendesis. Air wajahnya tersuguh seperti melihat mayat berjalan.
"Banyak mimpi, dasar pengemis jalanan! Lebih baik dikau pergi dari sini secepatnya, cari kedai lain yang mau menerimamu!" Pemilik kedai tanpa peringatan sama sekali langsung melempar kain kotor ke arahnya, tepat mengenai wajah si pemuda bernasib malang itu.
"Cara engkau kasar sekali, Paman ...." Yang dilempari itu tertawa pelan, tawaan yang sungguh amat pahit. "Dengarlah namaku, maka engkau akan ketakutan sampai anak-cucumu!" Matanya menatap tajam pemilik kedai jauh di hadapan. "Namaku Jayamantingan!"
Suasana hening sesaat.
"Terserahlah siapa namamu itu, sangat baik jika engkau lekas pergi dari sini!" Pemilik kedai mengacungkan pisaunya, hendak dilempar juga ke wajah Jayamantingan.
Maka terpaksalah Jaya menyingkir dari sana sambil mendumal sebal. Mengapa dia tidak marah? Mungkin satu jawabannya: dia sudah terbiasa. Terlalu terbiasa untuk disebut terbiasa saja. Dirinya sudah kebal.
Memang, namanya tak seberapa berarti. Orang-orang tak akan takut bila mendengar namanya disebut. Nama Jayamantingan pun jarang dikenal orang, bahkan hampir tak dikenal oleh siapa pun. Tidak ada yang mau berkenalan dengan Jayamantingan. Tidak dengan tampangnya yang seperti pengemis itu. Bahkan pengemis pun tak mau berteman dengannya.
Setelah keluar dari kedai itu, Jaya berjalan tak tentu arah. Yang terpenting jalan saja, itulah yang selama ini ia lakukan. Orang kota yang melihat Jaya serentak menyingkir. Tak mau dekat-dekat. Mereka takut Jaya membawa penyakit di tubuhnya. Melihat itu, Jaya hanya bisa mendongakkan dagunya dan membungsung dada, merasa sombong, atau sebenarnya hanya ingin merasa lebih baik. Jadilah ia melangkah tepat di tengah jalan agar tak dekat dengan orang-orang.
Mengalah saja. Jaya memaksakan kakinya tetap berjalan, walau itu terasa amat berat sekarang. Tubuhnya lemah, seakan bisa ambruk kapan saja. Entah sudah berapa hari ia berjalan tanpa henti untuk sampai ke kota ini, dan apa yang ia dapatkan sungguh tidak sepadan dengan perjuangannya.
Jaya melihat sebuah bangunan kecil yang menyerupai bentuk kedai makan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki masuk kedai itu, mencoba kesempatan kedua. Dibuka tirai kedai perlahan. Banyak orang yang makan di sana. Aroma daging bakar membuat perut Jaya bergejolak keras.
Sejurus kemudian, seisi kedai menatap Jaya dengan tidak suka. Bahkan bangku dan meja pun seakan menatapnya tak suka. Wajah para pelanggan terlihat jijik dengan kehadiran Jaya. Sangat tak ingin Jaya masuk, salah satu dari mereka bahkan tak segan berteriak pada pemilik kedai.
"Hoi, engkau berkata kalau pengemis tak boleh masuk kedai! Usirlah pengemis yang hendak masuk ini. Daku tak mau selera makanku rusak karena orang dekil ini!" Pandangannya seperti lembu jantan yang marah. Menyindir Jaya habis-habisan.
Seorang pria paruh baya keluar dari dalam dapur kedai, menghela napas panjang melihat Jaya di ambang pintu. "Benar, daku tidak menerima pengemis. Kamu yang di pintu, cepat angkat kaki dari kedaiku!"
"Daku bukanlah pengemis," balas Jaya, "daku bawa keping uang."
"Tiada mungkin pengemis yang membeli pakaian layak saja tak bisa, hendak membayar makan di kedaiku! Baik engkau pergi sebelum golok kucabut untukmu!"
"Kasar sekali, Paman. Andai daku sedang tidak baik hati, akan aku bunuh kalian semua. Tapi biarlah daku keluar untuk sekarang. Suatu saat nanti, JAYAMANTINGAN akan membalas kalian!" Jaya berteriak keras sebelum mengambil langkah seribu dari kedai itu. Bukti nyata kepengecutan. Harga dirinya ditindas habis-habisan, tetapi ia tak bisa melawan di hadapan golok si pemilik kedai.
Hatinya yang tadinya hanya teriris, sekarang hancur lebur. Jaya berpikir. Tidakkah mereka melihat bahwa penampilannya merupakan penampilan seorang lelaki sejati yang telah melangkahkan kaki lebih sejuta kali dalam pengembaraannya? Bisakah juga mereka tidak menilai seseorang hanya dari pakaian dan hartanya?
Entah ia mendapat tenaga dari mana, pemuda itu terus berlari. Tidak berusaha mencari kedai makan yang lain lagi. Percuma saja. Tak akan ada yang mau menerimanya. Jaya pergi keluar dari kota, karena tempatnya berada saat ini terletak di pinggiran kota dan bertepatan dengan pintu keluar, ia bisa keluar dengan cepat.
Kota itu seakan memusuhinya, atau mengasihaninya, sehingga Jaya dibiarkan keluar tanpa penghalangan dari para penjaga gerbang.
***
Tubuhnya terduduk dan disandarkan pada sebatang pohon besar di sebuah bukit tinggi. Menundukkan kepala, Jaya merasa air mata mengalir di pipinya, membentuk sungai yang bermuara pada dagunya.
"Mengapa ... mengapa aku selalu dibuang dunia?"
Jaya teringat masa lalunya. Saat ia pertama kali keluar dari desa dan memutuskan jalan hidupnya sebagai pengembara setelah tak sanggup menanggung rasa malu dan kecewa. Di desanya yang amat sangat jauh dari sini, Jaya selalu mendapat kegagalan. Dipermalukan. Diejek. Tak dianggap.
Saat ia berusaha menggarap sawah milik orangtuanya, padi-padi gagal panen. Saat mencoba bekerja menjadi kusir kuda, kudanya terkena beragam penyakit sebelum akhirnya mati. Saat ia menjadi pekerja kasar, ia menjatuhkan suatu barang berat hingga satu rumah yang belum rampung itu hancur, lagi-lagi ia harus mengganti rugi. Orang desa menyebut Jaya sebagai anak terkutuk. Anak buangan bumi.
Bahkan jika dipikir-pikir, Jaya tak mempunyai bakat yang bisa ia banggakan. Dia hanya bisa membaca dan menulis, apakah itu bisa disebut bakat?
Maka dari itu, setelah tak sanggup menahan malu dan kekecewaan, Jaya keluar dari desa. Tak ada yang menahannya sama sekali, mereka bahkan lega setelah melihat Jaya pergi, seperti apa yang kota tadi lakukan pada Jaya.
Jaya berpikir menjadi seorang pengembara adalah jalan hidup yang sangat menyenangkan. Namun tenyata, Jaya salah besar, setelah merasakan sendiri kebenarannya. Menjadi pengembara justru membuatnya jatuh lebih miskin.
Beberapa kali Jaya hinggap di sebuah kota, baik kota kecil maupun kota besar. Ia mencari pekerjaan, tetapi tak kunjung juga ia dapatkan. Yang ia dapatkan hanyalah sakit perasaan sebab harga diri selalu tertindas di mana pun ia berada.
Perut Jaya selalu lapar. Jikapun ia menemukan makanan, Jaya tak akan memakan semuanya melainkan menyimpan sebagian besarnya di dalam bundelannya. Hingga ia hampir tak pernah merasakan kenyang selama menjadi pengembara. Bagi Jaya, rasa kenyang adalah sebuah keistimewaan, jarang ia dapatkan.
Angin berembus pelan. Pohon-pohon pinus tinggi sedikit bergoyang, menjatuhkan beberapa bijinya yang bermekaran. Rambut panjang Jaya mendapat sedikit hiburan dari angin.
Saat Jaya semakin berlarut-larut dalam kesedihannya, tetiba saja telinganya menangkap suatu suara panggilan. Entah bagaimana ia dapat menjelaskan rupa suara itu. Halus dan lembut. Syahdu terdengar. Tulus dan suci, seakan pemilik suara itu tidak pernah berbuat dosa apa pun selama hidupnya. Hidung Jaya diisi aroma bunga yang samar, membuatnya nyaman.
"Kaubutuh teman?"
Jaya menengok ke belakang. Seorang wanita muda berdiri di sana. Melihat dari atas sampai bawah dengan terkesima, kecantikan wanita itu amat jauh melebihi perempuan kembang desa di tempat asalnya. Kulitnya bersih dan halus. Rambutnya hitam, bersih dan halus pula. Mata cokelatnya menatap Jaya dengan hangat. Begitu senyumnya juga. Ia memakai pakaian putih-putih yang semakin meneguhkan keanggunannya. Jaya hanya menengok barang sebentar sebelum kembali merenungi tanah di depannya. Di keadaan putus asa seperti ini, adakah yang dipedulikannya selain dari keputusasaan itu sendiri?
Sekalipun wanita itu adalah wanita tercantik yang pernah Jaya temui. Ratusan kali lipat dari wanita tercantik, tetapi Jaya tetap putus asa. Pikirannya kosong. Bahkan wanita muda itu dianggap mengganggunya.
"Ya. Sepertinya kamu memang membutuhkan teman." Gadis itu tersenyum semakin lebar ketika dia menjawab pertanyaannya sendiri. "Bolehkah aku duduk di sebelahmu?"
Jaya tak menjawab, tapi gadis itu telah bergerak duduk di sampingnya. Aroma bunga semakin jelas tercium. Pekat, seperti aroma melati, tetapi lebih lembut darinya. Jaya seketika terbuai.
"Namaku Kenanga. Siapakah namamu, Kangmas?"
Gadis muda itu mencoba bersikap lebih sopan..
"Jayamantingan, Nyai." Singkat dan datar, Jaya ingin gadis itu tahu kehadirannya sangat tidak diinginkan.
Tetapi gadis bernama Kenanga malah tertawa kecil. "Jangan panggil aku dengan sebutan 'Nyai', Kangmas," bisiknya.
"Namamu mengandung arti yang mendalam. Jayamantingan ... jaya karena bantingan. Bukankah begitu?"
Sebenarnya itu bukanlah nama yang diberikan orangtuanya. Jayamantingan adalah nama yang dipilihnya sendiri secara asal-asal. Dipakai setelah memutuskan menjadi pengembara dengan maksud mengubah kepribadian. Ia sama sekali tak menduga arti tersembunyi dari nama barunya itu.
"Kalau Kangmas tahu itu, mengapakah Kangmas masih ada di sini dan menyesali perbuatan yang lalu-lalu?"
"Nyai tidak berhak tahu urusan saya." Jaya berkata lebih dingin tanpa memandang sedikitpun pada perempuan itu.
"Bukankah dengan bantingan, Kangmas bisa meraih kekuatan dan keperkasaan? Pusaka dibanting palu tempa ribuan kali sebelum akhirnya menjadi senjata yang kuat dan membanggakan, bukan?"
Jaya tak menanggapi. Namun meskipun demikian, giginya mengeluarkan suara bergemertak tanda ucapan Kenanga telah benar-benar menyinggungnya. Ia tetap diam di tempat.
"Kangmas ingin menjadi pengembara terkenal, bukan?"
Jaya menatap gadis di sebelahnya dengan pandangan tajam. Bagaimana bisa Kenanga tahu keinginannya yang tak pernah ia katakan atau bisikkan pada siapa pun itu? Bagaimana Kenanga tahu bahwa ia telah berjalan melalui masa-masa terburuknya? Dan bagaimana bisa ada seorang gadis di tengah bukit tinggi yang amat sepi seperti ini? Pandangan Jaya dipenuhi tanda tanya dan ketakutan saat ini. Jangan-jangan gadis ini adalah siluman buaya putih berbau melati yang sedang mencari mangsa!
"Siapa dikau sebenarnya?!" Suara Jaya menggetarkan udara. Keras.
"Sudah kubilang, Kangmas," desisnya, dengan senyum lebar. "Aku Kenanga."
____
catatan:
Tokoh utama butuh waktu untuk memutuskan menjadi pendekar. Pilihan Pembaca yang Budiman ada dua, pertama ialah bersabar dan menikmati arus cerita; yang kedua ialah lompat ke jilid 2. Tetapi saya sarankan untuk bersabar.
Selamat membaca dan berpetualang di antara lembah-lembah hijau Sang Musafir!
Follow IG @westreversed untuk mendapatkan ilustrasi cerita atau informasi terkini.
Melihat senyum Kenanga, Jaya bukannya tenang. Lekas ia memasang kuda-kuda dan sikap silat, walau tak pernah belajar silat barang sesaat pun. Bersiap menyerang jika Kenanga menyerang. Namun jika dilihat dari manapun, gadis ini terlalu lembut, tidak terlihat sedikitpun memiliki kuasa untuk menyakiti Jaya. Tangan Kenanga terlalu halus, tampak rapuh seperti kertas.
"Pergi kau atau kupatahkan lehermu!" Jaya membentak tanpa peduli hal-hal itu.
"Kau mengusirku?" Dahi Kenanga mengerut. "Bukankah kau yang datang ke sini?"
"Aku tak peduli. Menjauh!"
"Dapatkah daku berbicara dengan dikau, sebentar saja." Kenanga mengangkat tangannya, berusaha menenangkan Jayamantingan yang terlanjur tersulut amarahnya.
Namun, usaha Kenanga gagal. Jaya terkuasai oleh amarah yang membara. Entah apa yang membuatnya marah sampai seperti ini. Jaya kalap, maju dengan tinjuan langsung ke arah kepala Kenanga. Tak peduli jika itu siluman buaya putih atau wanita biasa sekalipun. Jika benar Kenanga adalah siluman buaya putih mewangi, maka Jaya tidak akan menyesal. Tetapi saat kepalan tangan Jaya hampir mengenai wajah Kenanga, lajunya terhenti seketika. Tak hanya itu, Jaya tak bisa bergerak. Tidak bisa menggerakkan kaki, tangan, dan bahkan tubuhnya barang sejengkal saja!
Kenanga menggelengkan kepala. "Jaya, jangan biarkan amarah menguasaimu. Engkau memang dalam situasi tertekan. Terombang-ambing. Tetapi jangan mudah marah atau itu akan membahayakan dirimu sendiri."
Tak butuh pikir panjang bagi Jaya untuk mengetahui bahwa Kenanga-lah yang menghentikan laju tinjunya, bahkan menghentikan seluruh gerak tubuhnya. Tapi bagaimana Kenanga bisa melakukannya? Bukankah dia hanyalah gadis cantik, lembut, harum, dan pula rapuh?
Tak ada tanda-tanda bahwa dia adalah pendekar, penyihir, atau semacamnya dalam diri Kenanga. Apakah benar dia adalah siluman buaya putih berbau harum?!
"Matamu mengandung banyak kisah pilu di masa lampau. Dikau adalah sosok penuh wibawa, tegas, dan tak ingin dikasihani, namun dengan harga diri tertindas." Kenanga tersenyum. "Kangmas Jaya, daku tak mengasihanimu. Sebaliknya, engkau yang sepertinya harus mengasihaniku."
Dahi Jaya berkerut. Mengasihani Kenaga? Gadis itu punya rupa bagai mahadewi, pakaian berbahan bagus, punya kekuatan sakti. Untuk apa pula dikasihani?
Kenanga tersenyum tipis, seolah mengetahui jalan pikir Mantingan, dia mendekat. Sangat dekat. Jarak antar wajah Jaya dan Kenanga hanya tersisa dua jengkal saja. Dari jarak sedekat itu, Jaya bisa melihat mata Kenanga yang berlinang sedih. Hembusan napasnya. Harumnya.
"Maukah duduk dan dengar ceritaku?"
Kembali Mantingan bertanya. Kenanga ini ... sebenarnya siapa? Mengapa kecantikannya tampak begitu mengancam nyawa?
Jaya menghela napas panjang dan menunjukkan tanda persetujuan. Lagi pula ia tak punya pilihan lain.
Tubuhnya dapat digerakkan kembali dengan leluasa. Kenanga mengajak Jaya mengikutinya. Untuk saat ini, Jaya tak banyak bertanya. Ia tidak mau membuat Kenanga semakin bersedih dan ia akan dapat imbas buruknya. Siluman buaya sangat sulit ditebak perangainya.
Sampai di kaki bukit, Jaya melihat sebuah pohon besar yang tertekuk ke atas lalu ke bawah menyerupai bingkai setengah lingkaran. Kenanga berjalan ke arah sana, Jaya mengikutinya.
Jaya tanpa ragu berjalan mengolongi pohon melengkung yang menyerupai mulut gua tersebut. Namun setelah melewati pohon itu, Jaya merasakan perubahan pada udara dan hawa di sekitar. Lebih sejuk. Lebih berangin. Seketika itu juga Jaya terkejut karena lingkungan di sekitarnya berbeda jauh dengan lingkungan yang sebelumnya ia lewati.
Kalau tadi daun di pohon berwarna hijau, maka daun di sini berwarna merah dan terus berguguran tatkala angin kecil menyapunya dari tangkai pepohonan kering. Langit berwarna jingga laksana senjakala. Suara gersak menemani dedaunan yang terbang seperti gerombolan kupu-kupu jingga.
"Jangan terkejut, Kangmas. Ini adalah dunia yang berbeda dengan duniamu. Nanti akan daku jelaskan. Sekarang kumohon tetap berjalan."
Mereka meneruskan perjalanan. Jaya dibawa ke sebuah rumah, agaknya bertingkat dua, yang di depannya terdapat gapura dengan ukiran mirip aksara-aksara Pallawa. Di halaman rumah itu terdapat kebun, tanaman di dalamnya jadi satu-satunya tumbuhan berdaun berwarna hijau. Kenanga mengajak Jaya masuk ke rumah yang mungkin saja itu adalah rumahnya sendiri.
Bagian dalam rumah itu sangatlah mengesankan. Penataan rumah yang rapi, di mana tak banyak barang serta merta menjadikan ruangan menjadi sejuk. Ada beberapa pahatan patung dari kayu dan keramik yang ditempatkan di atas meja-meja sudut ruangan tengah.
Terdapat empat ruangan lainnya yang tersambung dengan ruang tengah. Kenanga mengajak Jaya ke salah satu ruangan itu, yang ternyata merupakan ruang untuk lukis.
Sebuah meja pendek dan lebar terletak di tengah ruangan, ada beberapa cangkir dan sebuah teko tanah liat di sana. Di setiap sisi dinding ruangan, terpajang lukisan-lukisan indah.
"Sudilah Kangmas duduk." Kenanga tersenyum saat dirinya kembali berucap sopan.
Jaya duduk bersila di salah satu sisi meja, sedang Kenanga membuka tutupan jendela sebelum dirinya duduk bersebrangan dengan Jaya.
"Ini adalah dunia yang terpisah dari duniamu, Kangmas. Seperti yang daku katakan tadi. Dunia ini sedikit berbeda. Ruang dan waktu terpisah dari duniamu, dan di sini hampir tak pernah malam. Waktu di sini berjalan lebih cepat dari waktu di duniamu. Satu hari di sini sama saja satu kejapan mata di sana. Kangmas mengerti?"
Jaya mengangguk pelan tanda paham. Walau semua ini tidak dapat diterima akal sehatnya. Namun jika melihat kekuatan Kenanga, maka hal seperti ini seharusnya sudah dapat dinyanya.
"Untuk suatu alasan, aku dikurung di sini. aku hampir tak bisa ke mana-mana, dunia ini sempit. Hanya aku manusia satu-satunya di sini. Tidak ada teman selain bayanganku yang setia. Jika aku pergi ke duniamu, maka aku tak bisa pergi lebih dari bukit yang kaudatangi tadi." Kenanga terdiam sambil menghela napas panjang.
"Daku turut bersedih mendengarnya." Jaya pura-pura memasang raut sedih dan menghela napas panjang. "Tidak adakah yang datang membantumu?"
"Itulah tujuanku mendatangimu di bukit itu, Kangmas. Aku melihat sesuatu yang luar biasa dari dalam dirimu, aku yakin engkau bisa menolongku dari kurungan ini."
Mantingan diam beberapa saat, sebelum berkata sedikit takut, "Aku akan membantumu sebisa yang bisa aku lakukan saja. Tapi jika boleh aku bertanya, siapa yang mengurungmu dan menjatuhi kutukan ini?"
Jika dipikir-pikir, Jaya tidak punya tujuan lagi sekarang. Jaya sudah lelah menjadi pengembara dan ingin mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan. Ia memang suka berpetualang, tetapi jika itu membuat hidupnya hancur dan miskin, Jaya memilih untuk berhenti. Membantu Kenanga tak ada salahnya jika mendapat imbalan. Terlebih jika Kenanga ini adalah benar-benar siluman, mungkin saja berbaik hati memberikan kesaktian pada Mantingan! Oh, lihatlah siapa yang akan jadi penguasa nantinya!
"Maaf, Kangmas Jaya. Aku tak bisa menjawab hal itu."
Jaya terlihat berpikir sejenak. Ia tak mau berusan jika tak perlu pada kekuatan besar yang mengurung Kenanga. Namun kepalang tanggung, Kenanga begitu menakutkan dari siluman-siluman buaya lainnya. Bahkan mati pun tak apa, Jaya tak ada tujuan lain, tak ada dia gunanya hidup.
"Itu bukan masalah besar, Kenanga. Sekarang katakan padaku, bagaimana aku bisa membantumu?"
Kenanga mengulas senyum hangat. "Ada satu benda yang bisa membebaskan seseorang dari kutukan ini."
Jaya menatap Kenanga dalam-dalam saat melihat keraguan dari gadis itu.
"Tapi, Kangmas. Benda ini hanya pernah terdengar di ranah dongeng. Mungkin tak pernah ada di jagat Dwipantara. Benda ini bernama Kembangmas. Sebuah bunga. Warnanya emas dan harum sekali wanginya."
Jaya mengingat sebentar. Ia pernah mendapat cerita tentang Kembangmas ini, walau hanya sedikit. Kembangmas ini konon bisa mendatangkan dewi kahyangan bahkan memperbudak setan, Jaya tak pernah percaya akan hal itu, terlebih bunga tersebut tidak pernah ditemukan.
"Namun, aku yakin bunga itu bisa membebaskanku." Kenanga menimpali.
"'Yakin'?" Jaya mengerutkan kening. "Hanya dengan keyakinan?"
Kenanga tersenyum sedih. "Hanya itu yang aku punya. Keyakinan, dan harapan."
Jaya terdiam beberapa saat sebelum mengangguk pelan. Harapan adalah alasan untuk hidup, orang yang tak memiliki harapan adalah orang yang tak pantas hidup. Selagi harapan itu masih ada, Kenanga akan terus hidup.
Jaya tak memilki harapan setelah harapannya menjadi musafir terkenal telah pupus. Sekarang ia bisa menyatukan harapannya dengan Kenanga, agar dirinya tetap hidup dan Kenanga hidup pula. Jaya bertekad kuat menemukan bunga itu. Bahkan jika Kembangmas hanya ada dalam bayangan di dalam otak Kenanga, Jaya akan tetap menemukannya.
"Kangmas tak perlu memaksakan diri untuk terlibat dengan masalahku."
"Tidak, Kenanga. Kurasa sekarang ini adalah masalahku juga.."
Kenanga menunjukkan keterkejutan. Sebenarnya ia tak berharap banyak Jaya akan mau mencari Kembangmas itu. Kenanga hanya ingin Jaya berkunjung sebentar sehingga ia punya teman. Keputusan Jaya melebihi bayangannya.
"Aku akan menemukan Kembangmas meskipun Kembangmas itu hanya ada di dalam kepalamu."
"Jaya ...."
"Aku bersungguh-sungguh, Kenanga." Jaya berdiri. "Usia kita sepantaran, bukan? Aku tak mau kau menghabiskan puluhan tahun terkurung di sini, Kenanga. Tempat ini buruk, maksudku rumahmu bagus, tapi dunia ini cukup buruk."
Tangan Kenanga bergetar saat Jaya berbalik menghadap pintu. "Kakang Mas mau ke mana?"
"Pergi secepatnya menemukan Kembangmas."
"Kangmas kira kembang itu mudah di cari?" lirih Kenanga. "Aku tak tahu letaknya di mana. Mungkin di Negeri Atap Langit, Suvarnadvipa, Champa, atau bahkan belahan bumi lain."
"Aku akan mencarinya ke seluruh Dwipantara."
"Kangmas tak bisa pergi tanpa perbekalan bukan?"
Jaya menoleh pada Kenanga sedang gadis itu melanjutkan, "Kangmas akan beristirahat di sini. Aku akan menyiapkan makanan dan perbekalan lainnya sebelum Kangmas berangkat. Kangmas Jaya bisa tidur di atas."
Jaya mengangguk dan tersenyum. "Jika kau tidak keberatan, aku di sini saja melihat lukisan-lukisan."
"Oh ... tentu." Kenanga menjawab gugup. "Kalau lukisan-lukisan ini dilihat lebih seksama, akan ketahuan jelek. Nah, Kangmas, aku akan keluar dari ruangan ini dan kembali secepatnya."
Jaya mengangguk saat Kenanga berjalan melewatinya. Pintu ditutup. Jaya menghela napas panjang dan melihat lebih seksama lukisan-lukisan di dinding.
Satu lukisan bergambarkan tiga ikan mas dan selembar daun teratai. Begitu nyata hingga gelombang air kecil di lukisan itu bisa tumpah sewaktu-waktu. Semakin dilihat seksama, maka Jaya akan melihat sisik-sisik ikan yang terlihat begitu licin dan nyata. Bahkan butir batu di dalam kolam terlihat seperti batu sungguhan. Seperti ikan dan kolam sungguhan. Ini luar biasa, jauh dari kata jelek.
Pintu kembali dibuka. Waktu berlalu begitu cepat, Jaya begitu terhanyut pada satu lukisan itu. Kenanga datang membawa nampan berisi jamur kuah dan sawi rebus.
"Kangmas Jaya, aku harap kau bisa menikmati ini." Kenanga menaruh nampan itu di atas meja. "Tapi aku jamin, sayuran ini enak."
"Tentu saja." Jaya tersenyum canggung, entah sudah berapa hari ia tak makan.
Lekas-lekas Jaya duduk di sisi meja. Mengambil sendok dan mulai memakan sayuran itu. Mata Jaya terbuka lebar saat suapan pertama masuk. Entah apakah perut Jaya yang terlalu lapar atau memang seperti ini rasa masakan Kenanga.
Jaya teringat lagi akan masakan terindahnya yang pernah ia buat di desa. Jaya yakin betul, ini sama persis seperti sayuran hutan yang pernah ia masak di desa.
Suapan itu tak berhenti. Jaya makan dengan cepat, dan dengan perasaan suka cita. Kenanga bertopang dagu melihat Jaya menikmati masakannya.
"Nanti aku akan bawakan kasur dan selimut tebal ke sini. Mungkin malam akan datang sebentar lagi. Biasanya sangat dingin jika malam." Kenanga bangkit berdiri dan keluar ruangan setelah pamit. Jaya tampak tak peduli dengan Kenanga, ia terlalu berpusat pada makanannya.
Sesaat setelah Jaya menghabiskan makanannya, Kenanga datang membawakan barang dijanjikannya. Kenanga langsung maraih mangkuk kotor Jaya dan hendak keluar ruangan, tetapi ia berhenti di ambang pintu dan menoleh pada Jaya.
"Nanti kalau malam benar-benar terjadi, maukah Kangmas datang ke atas dan melihat indahnya malam bersamaku?"
Jaya menoleh juga dan menatap Kenanga dalam-dalam. Gadis itu terlihat mengharapkan sekali kehadiran Jaya nanti. Jaya tak bisa menolak permintaan itu.
Maka dia mengangguk. "Baiklah."
"Terima kasih banyak, Kangmas."
Jaya mengangguk sekali lagi dan Kenanga keluar ruangan sekali lagi. Maka tersisalah Jaya yang memandangi lukisan lain dalam ruangan tersebut.
Pemuda itu begitu terhanyut dan masuk ke dalam dunia yang ada di setiap lukisan. Saat Jaya melihat lukisan pesawahan, Jaya merasa benar-benar berada di tengah sawah tersebut. Di lukisan air terjun, Jaya benar-benar bisa mendengar deburan air yang menabrak batu. Hingga tak terasa malam yang jarang pun tiba. Udara tetiba mendingin, seolah seluruh rasa hangat dibawa pergi pula oleh matahari.
Jaya meskipun terlarut dalam lukisan, masih bisa merasakan dinginnya udara dan gelapnya ruangan selepas mentari pergi. Seketika itu Jaya mengingat akan janjinya menemani Kenanga di lantai atas, maka bergegaslah ia keluar dari ruangan setelah jendela tertutup.
Jaya menaiki tangga menuju lantai dua yang terbuat dari ubin kayu. Di lantai dua, ada beberapa pintu ruangan yang mungkin diisi kamar-kamar. Kamar-kamar itu bersisian dan saling berhadapan. Di tengahnya terdapat lorong yang mengarah langsung ke balkon. Dari tempat Jaya, balkon itu berada dalam keremangan lampu lentera merah.
Tanpa ragu, Jaya melangkahkan kaki menuju balkon itu. Papan-papan kayu berderak pelan mengiringi setiap langkah Jaya.
Sesampainya di balkon itu, Jaya kedinginan hingga ke tulang-tulang. Balkon ini tak memilki atap, dengan panjang empat depa dan lebar dua depa. Terlihatlah langit yang gelap gulita. Dengan pagar-pagar di sisi luar. Tanpa suara serangga, suasana benar-benar hening.
Kenanga ada di ujung kanan balkon. Terlihat khusyuk menyalakan satu lentera merah lagi di sana. Pakaian yang ia pakai sedikit berbeda, kini ia memakai gaun merah dengan tudung merah berenda tembus pandang.
Api di kapas minyak telah menyala, lalu Kenanga masukan ke dalam tabung merah. Sinar yang dipancarkan berwarna merah, serasi dengan gaun Kenanga.
"Kangmas sudah datang." Kenanga menoleh pada Jaya dengan senyum hangatnya. "Terima kasih sudah memenuhi permintaanku yang aneh ini." Kenanga tertawa kecil sambil melangkah ke dekat Jaya.
"Ini janjiku." Jaya ikut tersenyum. Kenanga tepat di sampingnya, menatap langit.
"Saat duniamu sedang malam hari, aku tak bisa ke luar dari sini ke bukit itu. Aku menyebutnya Bukit Harapan. Langit malam ini bagiku sangat berharga. Jarang sekali terjadi, Kangmas. Dan jikapun terjadi, hanya sebentar saja sebelum matahari kembali teguh di ufuk tengah."
Jaya memandang wajah Kenanga yang disinari cahaya merah lentera. Terlihat betapa gadis itu berbinar memandang langit kosong tanpa bintang dan rembulan. Tak ada suara jangkrik dan seranga lainnya, tetapi Kenanga tetap menikmati ini. Jaya membayangkan betapa lebih buruknya di hari-hari sebelum dirinya menemani Kenanga di sini.
"Saat Kangmas tak ada di sini, aku merasa malam bisa membunuhku dengan sejuta hari kesepian. Aku mencoba menikmatinya dengan menyalakan lentera-lentera di setiap malam. Namun kini, aku sangat menikmati malam. Tanpa sepi. Ada teman yang bisa kuajak bicara, bukan angin."
Jaya merapatkan giginya. Kenanga pasti telah melalui saat-saat yang buruk dan saat-saat yang kesepian. Jaya merasa dirinya tak pantas mengeluh lagi, karena ia masih bisa melihat birunya langit, hijaunya rumput, serta bintang dan bulan. Ia merasakan keberlimpahan mengelilinginya. Tak pantas ia mengeluh.
"Kau akan melihat malam yang indah dengan bulan, bintang, jangkrik, dan kunang-kunang. Aku berjanji."
Terucaplah sebuah janji yang terlalu berani.
____
catatan:
Halo, West di sini. Sang Musafir akan semakin dipenuhi petualangan nantinya. Berikan like jika kamu menyukai Sang Musafir. Berikan komentar untuk menyampaikan pendapat atau untuk membuktikan bahwa kamu adalah pembaca aktif Sang Musafir. Terima kasih. Saya usahakan update 2 kali setiap hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!