Duk ... Duk ....
Duk ... Duk ....
Suara langkah kaki menginjak tangga yang terbuat dari kayu.
Namaku, Kenzo. Aku tinggal di Jakarta bersama ibu. Kami ngontrak di sebuah kontrakan kecil yang sesak. Ibuku membuka jasa menjahit baju. Bukan menjahit cinta ya?
Ibuku seorang pekerja keras. Sedangkan Aku adalah seorang Mahasiswa di salah satu Universitas ternama di Jakarta.
“Kenzo! Ayo bangun! Nanti kita telat masuk kampus, Kenzo!!”
Itu suara Nada. Temanku yang sangat cerewet, dia anak dari pemilik kontrakan. Kami berteman dari mulai masuk SMP. Bosen juga sih, terus bareng sama ni anak! Tapi, ya sudahlah, dia seperti buntut yang mengekor di belakangku.
“Ayok, bangun! Kek bangke aja lu kalau udah molor!” Nada menggoyang-goyangkan tubuhku yang masih terkulai tak berdaya.
“Apaan sih, Nad? Ganggu gue aja! Pakek acara dibilang kek bangke lagi, gue!” ucapku sambil merubah posisi tidur.
“Lu susah amat dah dibanguninnya! Ayok bangun Kenzo!”
“Masih ngantuk gue, Nad!”
“Ohh ... Rupanya ni anak bangke beneran!”
“Paan sih, bangke-bangke terus?”
“Lah ... benerkan? Bang Kenzo, kalau gua singkat jadi bangke sesuai dah sama lu yang suka molor kek bangke!”
Nada terus nyerocos di kamar yang sesak ini. Sumpah! ini anak gak ada manis-manisnya, cerewet dan juteknya gak ketulungan.
Akhirnya Aku menyerah dan bangkit dari ranjang tempat tidur. Kamar yang sempit inilah yang telah memberikanku tempat tinggal. Layak gak layak, ya kami tetap bertahan di sini. Di mana ibuku mencari rejeki sebagai penjahit baju.
Nada memang sudah terbiasa masuk kamarku tanpa permisi. Palingan, dia permisi sama ibuku. Ibu juga sudah menganggap Nada sebagai anaknya, karena dari dulu memang ibu menginginkan anak perempuan. Namun apa daya, Bapak telah tiada.
“Mau kemane, Lu?” tanya Nada dengan logat betawinya.
“Mau mandi! Nape? Mo ikut, lu?”
Aku ambil baju dan celana ganti. Lalu, menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu. Di dalam kontrakanku tidak tersedia kamar mandi. Jadi, kalau mau mandi atau hanya sekedar buang air mesti ke kamar mandi yang berada di luar.
Ada 10 kontrakan yang di dalamnya terdapat 2 WC dan 2 tempat mencuci. Alhasil, kalau pagi-pagi kamar mandi penuh.
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu kamar mandi.
“Sabar, gue lagi b*ker!”
“Wanjer!” ucapku.
Ternyata dua-duanya lagi dipakai penghuni kontrakan. Aku menunggu lebih dari 15 menit. Akhirnya ada juga yang selesai. Aku bergegas mandi.
Dengan langkah kaki yang gontai. Aku kembali menapakan kaki menuju anak tangga itu.
Terlihat Nada sedang memainkan gitar yang biasa ku gantung di dinding kamar. Suaranya merdu ketika mendendangkan lagu.
“Apa lu liat-liat?”
“Lah ... inikan kamar gue, Nad.”
“Lah ... iya, gue lupa.” Nada terkekeh.
“Dasar! Do re mi!”
Aku berlari menuruni anak tangga. Karena, aku yakin Nada bakal ngamuk disebut Do Re Mi.
“Bangkeeeee! Sini, lo!” Nada mengejarku.
Sialnya, ketika sudah ambil motor. Aku mencari kunci dalam saku celana, tapi enggak ada.
Ku lihat kunci itu ada di tangan Nada. Dengan senyum penuh kemenangan, ia menghampiri.
“Nyari ini?”
Nada memperlihatkan kunci yang ada di tangannya, sembari memainkan alisnya.
Aku tersenyum, pasrah mo di'apain sama ni bocah. Akhirnya, kepala ini menjadi korban toyoran Nada.
Kami bergegas meluncur menuju kampus, setelah kepalaku menjadi korban toyoran akibat kekesalan Nada.
Di perjalanan, kami terjebak macet. Sedikit demi sedikit si matic mengurai kemacetan yang parah. Bunyi klakson yang sangat bising, telah menjadi nyayian merdu untuk kami di pagi hari.
“Ken, setelah pulang kampus. Tungguin gue bentar, ya?” ucap Nada.
“Mau ngapain?”
“Gue ada perlu,” sambung Nada.
***
Aku menunggu Nada di parkiran kampus. Sudah satu jam, Aku menunggu Nada tapi belum muncul juga. Akhirnya, aku memutuskan menyusul Nada masuk kembali ke area kampus.
Terlihat, Nada sedang duduk bersama Fajri. Dia kakak kelas kami. Sedari awal masuk kampus, emang si Nada sudah suka sama Fajri. Wajarlah, Fajri merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus. Fajri begitu aktif dan populer di setiap aktifitas kampus. Cewek mana yang enggak kelepek-kelepek dengan wajahnya yang terlihat karismatik.
Aku memilih menunggu Nada di parkiran. Percuma juga liatin orang yang lagi berduaan, pekik dalam hati. Setelah nunggu sekitar 2 jam, akhirnya Nada terlihat melenggang mendekatiku.
“Ken.”
“Hem.”
“Tahu, enggak?”
“Enggak tau,” jawabku
“Kek nya gue bakal jadian sama Kak Fajri, ih ... seneng deh, gue,” ucap Nada.
Terlihat rona bahagia di wajah Nada. Sebenarnya, Aku kurang setuju kalau Nada nanti jadian sama Fajri. Tapi, melihat rona kebahagiaan Nada, sebagai teman ya dukung ajalah.
Di perjalanan, si Nada ngoceh terus seperti burung beo. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik untuknya. Nada menceritakan ketika Fajri memberikan sinyal ketertarikan padanya dan bla ... bla ... bla .... Banyak sekali ia bercerita, sehingga memori ingatanku blank, terlalu penuh dengan orang yang bernama Fajri.
.
Ibu terlihat sedang mengerjakan pekerjaannya. Aku menghampiri dan mencium tangannya.
“Tos mulih, kasep? (Udah pulang, ganteng?)" ucap Ibu.
Aku menganggukan kepala sembari tersenyum.
Ibu memang telah lama tinggal di Jakarta, tapi logat bahasa daerahnya tidak dapat hilang. Sekali pun, ibu berkomunikasi memakai bahasa indonesia, tetap logatnya Sunda banget.
“Sok geura tuang heula. (Gih makan dulu).”
Aku pergi ke dapur dan segera makan. Perut terlalu lapar karena pulang telat gara-gara mesti nunggu si Doremi.
Aku kembali menghampiri ibu yang sedari tadi menjahit baju. Tugasku, mengantarkan baju-baju yang telah jadi untuk dikembalikan ke pemiliknya.
“Udah beres, Bu?” ucapku yang kini berada di samping ibu.
“Atos, kasep. Sakeudap, nya? (Sudah, ganteng. Sebentar, ya?),” ucap ibu.
Terlihat, ibu mengemas baju-baju sesuai dengan alamat dan nama yang ia tulis. Ibu menyerahkan kepadaku setelah dikasih nama dan alamat dari yang punya baju ini. Aku segera berangkat mencari alamat-alamat dan nama si pemilik baju yang sudah ibu jahitkan.
Sedih, apabila melihat ibu kerja keras seperti ini. Namun aku bisa apa? Biaya kuliah pun masih ibu yang nanggung.
Ingin sekali punya kerjaan yang tidak mengganggu kuliah. Tapi kerja apa? Satu per satu, jahitan baju telah sampai kepada pemiliknya. Selesai sudah tugasku hari ini. Kini aku bergegas pulang. Melewati gang-gang sempit yang terdapat banyak anak kecil yang bermain dan ibu-ibu yang sedang berkumpul, mungkin mereka lagi ngegosip? Entahlah.
Aku menaiki anak tangga setelah selesai mandi. Masuk dalam kamar dan hendak mengganti baju.
“Aaaaa!”
JEDUKK!
Suara pintu kamar yang dibanting. Aku kaget mendengar teriakan dari balik pintu.
“Ngapain, lu?”
“Buruan, pake baju sama celana lu! Horor gue.”
Aku yang hanya memakai handuk pendek, segera meraih baju dan celana yang tergantung di balik pintu. Serta menyemprotkan parfum.
Segera ku raih handle pintu dan membukanya. Terlihat, Nada yang sedang berdiri di dekat tangga. Kini matanya memandangku dengan pandangan yang entah.
“Makanya, lain kali ketok dulu. Gak sopan sih, lu!”
Aku menoyor kepala Nada. Nada tersenyum cengengesan, entah karena malu atau emang gak punya malu.
“Ken, main nyok?”
“Kemana?”
“Southbox.”
“Hoream! (Males!)”
“Ayolah, kalau enggak sama lu, babe kagak ngasih ijin, Ken.”
Nada memasang wajah melas yang bikin Aku tak tega untuk menolaknya.
“Ya udah, ayok!”
Aku menuruni anak tangga dan Nada mengekor dari belakang. Akhirnya aku pamit, minta ijin sama ibu untuk jalan-jalan sebentar di malam minggu ini.
Aku mengendarai motor matic bersama Nada. Sebenarnya, aku dan Nada seperti Kakak adek. Aku termasuk orang yang cuek tapi entah kenapa, kalau sama Nada aku care. Sedangkan Nada gadis yang cerewet tapi hatinya baik, terbukti kalau dia sering menolongku.
“Hai, kak Fajri. Udah lama nunggu?”
Ucap Nada, sambil melambaikan tangannya. Nada dengan cepat menghampiri Fajri, sedangkan aku hanya ditinggal begitu saja. Ternyata, aku hanya sebagai alasan agar bapaknya memberi ijin jalan-jalan malam ini.
Kalau saja bukan anak yang punya kontrakan, udah gue tinggalin nih bocah! terbesit di hati.
Aku duduk di dekat panggung. Kebetulan, katanya mau ada live music di sini. Lumayanlah dari pada sendirian, nungguin si Doremi. Namun, ada salah satu karyawan yang sepertinya sedang resah. Mondar-mandir di depanku, mulutnya terus ngoceh kek petasan.
“Haduh! Maaf bang. Saya gak sengaja.”
Kata waitress yang sepertinya sedang panik.
“Kenapa sih, Mba? Kek panik gitu?”
“Iya, Bang. Vocalis yang mau tampil, katanya enggak jadi datang. Padahal ada customer yang udah reqwest lagu untuk acara nembak cewek. Saya bingung harus mencari kemana?” ucap mba waitress.
“Emang dia minta lagu apa?”
“Akhirnya ku menemukanmu dari Naff. Abang bisa nyanyi?”
“Bisa, nyanyi di kamar mandi.”
“Jangan bercanda, ah! Bantuin saya bang, fee (komisi) nya lumayan loh.”
Mendengar ucapan dari mba waitrees, seketika Aku seperti sosok tuan krabs di film kartun apabila mendengar nama uang. Pada bisa ngebayangin dong ekspresi tuan krabs ketika denger nama duit?
“Oke! Gue bisa mba.”
Gak sembarangan, Aku test vocal dulu di belakang panggung tentang kebolehan suaraku. Hingga akhirnya, aku diterima menggantikan vocalis yang gak jadi datang malam ini.
Aku mencoba berinteraksi kepada pengunjung di southbox. Terlihat mata Nada membulat melihatku berada di atas panggung.
“Oke, ada satu lagu yang di reqwest oleh Mas Fajri, yang dipersembahkan untuk ceweknya.”
JERNG ....
Aku mulai memainkan gitar dan bernyanyi sebuah lagu dari Naff band.
Akhirnya 'ku menemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya 'ku menemukanmu
Saat raga ini ingin berlabuh
'Ku berharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti 'ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih 'tuk mencintaiku. __
Setelah selesai perform'ku di panggung. Terjadilah acara penembakan Fajri kepada Nada. Entah ucapannya apa, aku tidak mendengar karena jarak yang lumayan jauh antara meja Nada dengan Aku yang berada di atas panggung. Aku hanya mendengar, riuh suara dari sesama pengunjung yang hadir.
“Terima ... Terima ....”
Terlihat dari arah sana, Fajri berlutut sembari memegang dua benda yang ada di tangannya. Tangan kirinya memegang sebuah balon dan tangan kanannya memegang boneka kecil berwarna pink.
Seseorang memberikan microphone untuk Fajri. Mungkin, tujuannya agar semua orang tahu ketika ia menembak Nada.
“Nad, ada 2 benda yang aku pegan. Jika kamu memilih balon, berarti kamu tolak cintaku. Dan jika kamu memilih boneka, berarti kamu menerimaku.”
Fajri terlihat berlutut di hadapan Nada. Riuh suara dari para pengunjung southbox dan tepuk tangan sebagai tanda menyemangati Nada agar ia menerimanya.
Terlihat wajah nervous Nada, tapi aku tahu itu wajah nervous bahagia. Karena, malam ini sesuai dengan ekspektasinya yaitu jadian dengan Fajri.
Fajri memandang Nada, begitu pun sebaliknya. Kini netra telah saling memandang, seakan bercerita dari pandangan netra yang telah berada di satu titik.
Terlihat Nada tersenyum lebar dan memandang wajah Fajri lekat. Nada meraih balon yang ada di tangan kiri Fajri.
Terlihat kekecewaan pada wajah Fajri, karena Nada telah memilih balon yang mengartikan Nada telah menolaknya. Fajri tertunduk lesu.
Hening.
Hingga akhirnya, Nada melepaskan balon yang ada di tangannya, seraya meraih boneka yang masih Fajri pegang.
Fajri mendongak, heran.
“Apa maksudnya, Nad? Apakah kamu menerimaku?”
Nada menganggukan kepala.
Refleks, Fajri hampir memeluk Nada. Namun, tangan nada menahannya, sehingga Fajri hanya menggenggam kedua tangan Nada.
Waktu yang hening, seketika menjadi Riuh penuh sorak dari para pengunjung.
Kini, hubungan Nada dan Fajri malam ini resmi berpacaran. Mereka melanjutkan makan malam romantis. Sedangkan aku melanjutkan nyanyi di atas panggung.
Setelah perfome selesai, kami bergegas pulang. Karena waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam. Nada dibonceng oleh Fajri, sedangkan motorku mengekor mereka dari belakang.
Di perempatan, motor yang dikendarai Fajri berhenti. Motorku menyalip dan berhenti setelah melewati perempatan. Aku menoleh ke belakang, ternyata Nada turun dari motor Fajri, ia melenggang menuju ke arahku.
“Ngapain lu jalan kaki?"
“Gue takut dimarahin babe, makanya gue turun. Kan, tadi gue pamit ke babe sama elu,” Nada terkekeh.
Nada naik ke motorku, masih lumayan jauh menuju rumahnya. Namun, di perjalanan ban motorku kempes.
“Shit! Malah bocor lagi.”
Aku dan Nada jalan kaki, hingga akhirnya menemukan bengkel di ujung jalan. Hampir saja bengekel mau tutup, tapi berkat teriakan Nada, si abang masih menunggu.
“Malem-malen gini habis dari mane?” ucap si abang tambal ban.
“Nganter yang habis pacaran, bang,” ucapku.
Nada menoyor kepalaku.
“Aduh! Sakit, tau!” ucapku.
Mata Nada mendelik melihatku.
Malam minggu ini, menjadi malam yang sangat indah untuk Nada. Ia menceritakan ketika tadi ia ditembak Fajri dengan romantis. Malam ini sepertinya Nada tidak akan bisa tidur, membayangkan hal indah yang ia lewatkan barusan, dengan disaksikan banyak orang.
***
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu rumah babe Rano.
Cklek ....
Pintu rumah dibuka.
“Dari mane aje, lu pade? Jam segini baru pade nongol,” ucap babe Rano.
“Maaf, be. Tadi motor aye bocor. Jadi, aye tambal dulu dah,” jawabku.
“Ya udah, lu balik sono. Enyak lu udah bolak-balik nanyain elu ame Babe.”
“Iya, be.”
Akhirnya, setelah antar Nada pulang, aku menuju kontarakan tempat tinggalku yang bersebelahan dengan rumah babe Rano.
Logatku bisa menyesuaikan dengan lawan bicara, enggak seperti ibu yang sunda banget.
“Assalamu’alaikum, bu,” ucapku.
“Wa’allaikum salam.”
Terdengar suara ibu dari dalam kontrakan.
“Ti mana wae kasep? Ibu mah meuni hariwang. (Dari mana aja ganteng? Ibu begitu khawatir.)”
“Ngajajap Nada ameung, Bu. Tapi ban motorna malah ka bitu. (Ngantar Nada main, Bu. Tapi ban motornya malah bocor.)”
“Ya udah atuh, istirahat. Udah malem,” ucap ibu seraya mengunci pintu.
Kaki melangkah menuju tangga, bergegas membuka handle pintu kamar dan masuk untuk istirahat. Dalam kamar yang sesak dan panas ini, aku menghabiskan waktu. Ketika penat sekalipun, tempat inilah yang selalu memberi naungan untukku. Udara siang hari yang panas, kini telah berganti dingin yang disertai turunya gerimis.
Aku selalu kasihan melihat Ibu yang sedari kecil telah membiayaiku seorang diri. Setelah SMP barulah aku dibawa sama ibu merantau ke Jakarta.
Dari kecil, aku tidak mengenal sosok bapak seperti apa? Foto pun, ibu tidak menyimpannya. Di buku nikah, foto bapak udah memudar.
Drett ... Drett ....
Gawai bergetar. Kuraih gawai yang terletak di atas meja belajar. Ku sentuh layar gawai dan ku baca isi pesan WA dari Nada.
‘Ken. Thank’s, ya. Udah bantu gue malam ini,” isi WA dari Nada.
‘Oke!’
.
Alarm berbunyi, menandakan aku mesti segera bangkit dari tempat tidur untuk melaksanakan sholat subuh. Kebetulan, mesjid sama kontrakan berdekatan. Mungkin ini point plus untuk ibu mempertahankan tinggal di kontrakan yang sempit ini.
Aku bergegas mandi dan ambil wudhu. Langsung bergegas pergi ke mesjid untuk sholat subuh berjama’ah.
Enggak terlalu banyak orang ketika sholat subuh. Matahari mulai bersinar dengan cahaya jingga yang menghangatkan tubuh di pagi ini.
“Bang Kenzo. Habis sholat subuh di mesjid, ya?” sapa ibu-ibu komplek.
Aku tersenyum.
“Ih, seneng deh lihat senyumnya, coba kalau aku masih gadis. Aku mau dah sama kamu Bang. Udah soleh ganteng lagi,” sambung ibu komplek yang tadi.
“Haduh jeng, jangan halu deh. Eyke juga mau kalau orangnya kek gini. Udah soleh, hidungnya mancung, kulitnya putih, badannya tinggi lagi. Cuco pokoknya.”
Akhirnya aku berlalu pergi setelah digodain ibu-ibu yang sedang nongkrong nungguin tukang sayur.
Masih terdengar suara ibu-ibu itu membicarakanku. Tapi aku tidak menoleh, masa bodo dalam batinku.
Aku bergegas masuk dalam rumah. Ternyata Nada sudah ada di kursi yang terbuat dari banbu. Dia lagi sarapan sambil selonjoran.
“Duh! Enak bener, ye? Pagi-pagi udah sarapan, di rumah orang lagi,” kataku sambil menepuk kaki Nada yang sedang berselonjor santai.
Nada nyengir.
Emang udah biasa Nada seperti ini. Makanya, dia gak itung-itungan kalau sama aku. Aku pergi sarapan dan bergegas ganti baju untuk pergi ke kampus.
“Ya Allah, gara-gara kemalaman gue lupa print tugas kampus! ****** gue, mana tugas dosen killer lagi”
Aku langsung menuruni anak tangga setelah aku ambil flash disk dan bergegas mengeluarkan motor.
“Eh! Mau ke mane?” tanya Nada.
“Mau print tugas kampus, semalem gue lupa. Udah, lu makan dulu gih! Ntar juga gue balik lagi," ucapku.
“Etapi .... “
Aku tancap gas untuk bergegas ke rental komputer. Sialnya, tokonya masih tutup. Aku mencari sampai keujung jalan, belum juga ada yang buka.
“Fix! Habis gue sama dosen killer!”
Ku putar motor untuk kembali ke kontrakan, menjemput Nada yang masih tertinggal.
“Nape lu?” tanya Nada.
“Rentalnya masih tutup, vangke!”
“Hahaha ... pan tadi gue mau ngomong, lu malah nyelonong aja. Sini! biar gue prit. Nama datanya apa?” tanya Nada.
“Tugas dosen killer,” jawabku.
“Segitunya lu kasih nama, dasar bangke!” ucap Nada
“Biarin!”
Aku menunggu sekitar 10 menit. Kemudian keluarlah Nada dari dalam rumahnya. Ia membawa beberapa kertas print yang berisikan tugas kampusku.
“Nih! Coba lu cek dulu,” Nada menyerahkan kertas print yang berisi tugas.
Aku mengecek dan menghitung lembar kertas.
“Oke! Makasih, Doremi.”
“Dasar, bangke!” ucap Nada.
Kami tersenyum. Entah dari kapan aku menyematkan nama panggilan itu untuk Nada. Yang jelas, ini menjadi nama ledekan untuk kami.
Kami bergegas menaiki motor matic. Seperti biasa, kami terjebak macet, banyak lampu merah dan bunyi bising klakson kendaraan.
Setelah sampai di kampus. Aku menyerahkan tugas ini ke dosen killer. Materi kuliah pun dimulai.
Kadang aku berpikir, coba kalau aku dapat beasiswa. Pasti ibu gak akan memikirkan biaya untuk kuliahku. Namun apa daya, otakku ke pelajaran mungkin pas-pasan. Atau mungkin, Allah memberikan kelebihan untukku dalam hal yang lain, entahlah.
Jamnya pak killer udah habis hari ini. Aku bersiap untuk pulang karena ibu pasti sedang menungguku untuk mengantarkan jahitan-jahitan baju yang telah selesai ke pelanggannya. Aku mengangkat pantat yang menempel di kurai.
“Ken,” ucap Nada.
Aku menoleh dan mengangkat alis, pertanda bertanya apa?
“Nanti malam jalan lagi, yuk? Ajak Nada.
“Ogah!”
“Ayok lah, pliiissss ....”
Wajah melas itu selalu membuatku tak tega untuk menolaknya.
“Hemmm." Aku mendehem, lebih tepatnya membuang napas kesal.
“Ya, Ken?”
Terlihat mata Nada yang berbinar seolah ia sedang memohon.
“heu’ueh! (iya!)” ucapku.
.
Hingga waktunya malam tiba, aku sudah siap dengan memakai celana jeans dan kaos berwarna putih yang ku dobel dengan kemeja kotak-kotak. Nada terlihat memakai rok di bawah lutut dan setelan atasan polos berwarna putih. Nada tampak manis ketika berpenampilan seperti itu.
“Mau kemana sih, Nad?”
“Ke pesta temannya Fajri,” ucap Nada.
"Pesta apaan? ulang tahun?"
"Entah, yang jelas gue suruh datang kata Fajri," ucap Nada.
Hadeuh, alamat enggak enak nih gue, pasti dikacangin. Pekik dalam hati.
Kami bergegas pergi setelah meminta ijin kepada orang tua masing-masing. Melaju dengan motor matic berwarna hitam. Menembus di bawah naungan langit yang hitam pekat karena mendung.
Akhirnya, kami tiba di pesta sahabat Fajri.
“Wah, kalian serasi sekali. Cocok untuk jadi couple goals. Pasti nanti kalian terpilih deh. Nanti ada pemilihan couple goalsnya di sini. Ya seru-seruan aja sih kayaknya,” ucap seorang wanita yang entah itu siapa.
Kami tersenyum dan bergegas masuk meninggalkam wanita yang tidak kami kenal.
“Idih, males banget couple’an sama elu, bangke!” ujar Nada.
“He’eleh ... Emanh gue mau couple sama lu yang cerewet, doremi?”
Seketika, Fajri menghampiri kami. Mengajak Nada masuk ke dalam. Berjoget mengikuti alur musik yang di play.
Rangkaian acara demi acara telah terlewati. Kini saatnya pemilihan couple goals. Ada beberapa orang yang bertugas mencari beberapa orang cowok dan cewek yang di pasangkan. Lalu nanti akan di pilih sebagai couple goals di pesta ini.
Tiba-tiba lenganku ditarik, dan ada beberapa kandidat cowok yang lainnya termasuk Fajri. Di seberang sana ada barisan cewek yang telah terpilih dan ada Nada juga di situ.
"Baiklah, yang akan gue dorong berarti itulah couple goals malam ini," suara MC yang memberikan keterangan.
MC itu mendekati lajur para gadis, bolak-balik melihat dan memandang gadis-gadis yang berbaris rapi. Mereka mendorong salah satu gadis.
"Namanya siapa?" tanya MC tersebut.
"Nada."
Fajri tersenyum dari lajur cowok.
"Etdah!" pekikku yang telah di dorong MC.
"Namanya siapa?" tanya si Mc tersebut.
"Kenzo," ucapku.
"Selamat kepada Kenzo dan Nada, kalianlah pasangan yang terpilih pada malam ini sebagai couple goals."
Riuh suara, dan tepuk tangan dari tamu yang datang. Nampak wajah Fajri menjadi masam. Sedangkan Aku dan Nada bertatap mata dengan ekspresi wajah yang entah.
“Gue gak salah, dipasangin sama lu, bangke?”
“Gue juga bingung, padahal banyak cewek yang lebih cantik dari lu. Kenapa lu yang terpilih, Doremi?”
Netra kami saling bertatapan. Bukan pujian yang kami lontarkan.
Di seberang sana, ada Fajri yang menunjukan ekspresi kesal. Mungkin ia berpikir akan dipasangkan dengan Nada menjadi couple goals malam ini.
“Baiklah, karena sudah ada yang terpilih menjadi couple goals malam ini. Gimana kalau kita meminta mereka untuk berdansa? Uuuu ... sepertinya seru ya, guys?” ucap MC.
Uuuu ... sembari tepuk tangan.
Riuh suara dari para tamu yang meminta kami berdansa. Tampak wajah Fajri yang semakin merah menyala karena kesal. Akhirnya, Fajri melangkahkan kakinya menuju pintu dan duduk di luar. Mungkin, baginya udara di dalam terasa panas. Atau bahkan hatinya yang sekarang mulai memanas terbakar api cemburu? Entahlah.
“Maaf, gue enggak bisa,” ucap Nada.
Namun, MC itu mencegah langkah kaki Nada yang hendak melangkah menyusul Fajri. Tangan Nada ditarik oleh Mc itu dan meminta berdansa walau hanya 5 menit saja. Dengan langkah kaki yang gontai, Nada kembali dan berdansa denganku.
Kami saling berdekatan. Kedua tangan Nada, kini telah melingkar di leher belakangku. Sedangkan tanganku telah berada di pinggul Nada. Mata kami bertatapan, aku merasa terpesona dengan Nada malam ini. Detak jantung yang semakin kencang, membuatku kikuk melihat netra Nada. Apalagi, tubuhku malah didorong sama MC itu, sehingga jarak tubuh kami semakin dekat, nyaris tanpa jarak.
Berbalik dengan ekspresi wajah Nada yang seperti jengkel dengan acara dansa ini. Wajahnya terlihat cemberut. Mungkin, waktu lima menit yang diberikan MC itu, baginya terasa lima tahun. Detik demi detik terasa lama untuk dilalui.
“Ken, kenapa gue dipasangin sama elu, sih?” akhirnya Nada berbicara.
“Entah, mungkin gue yang paling ganteng di sini,” ucapku terkekeh.
“Anjer! Pede banget lu, bangke!” Wajah Nada seperti kesal mendengar perkataanku yang mungkin menurutnya garing.
Akhirnya, lima menit waktu yang berkesan untukku telah selesai. Bergegas Nada melangkahkan kaki keluar. Mendekati Fajri yang dari tadi duduk termenung di luar. Terlihat, Fajri sedang menghembuskan asap rokok di luar sana.
Nada mendekat, memegang lengan Fajri dan seperti berusaha menerangkan pada Fajri. Mungkin Fajri cemburu. Aku berusaha mendekati pintu, mendengar percakapan mereka dari balik pintu.
‘Kak, Kakak marah sama aku?'
Terlihat Fajri masih menghembuskan rokok dan tidak menjawab pertanyaan Nada.
‘Kak, aku enggak ada perasaan sama sekali pada Kenzo. Kenzo hanya sahabat aku.' Nada mencoba menjelaskan.
‘Lalu, kenapa kamu mau berdansa sama dia?’ Fajri bertanya.
‘Ya, aku enggak enak sama para tamu yang datang. Lagian, siapa juga yang memaksa aku menghadiri pesta seperti ini?’ ucap Nada yang mulai terlihat malas menghadapi Fajri yang masih marah.
Nada mulai melangkahkan kaki menuju pintu. Namun dengan cepat tangan nada diraih oleh Fajri.
‘Tunggu, Nad. Maafin Kakak. Sebenarnya Kakak cemburu.’
Nada kembali mendekat kepada Fajri. Tangan Nada kini berada dalam genggaman Fajri. Seperti biasa, Fajri hendak memeluk Nada. Namun, Nada selalu menahannya. Entah maksudnya apa.
‘Maaf, Nad.’
Nada menganggukkan kepala.
‘Ya udah, ayok kita pulang, kak. Udah malem. Enggak enak sama babe di rumah.’
Aku berlari menjauh dari balik pintu. Terlihat, Nada seperti mencari keberadaanku. Hingga akhirnya, Nada tersadar tentang di mana keberadaanku. Nada menghampiri dan menarik lenganku.
“Paan?” ucapku yang pura-pura bingung.
“Balik yok, udah malem.” Ajak Nada.
Aku mengekor dari belakang Nada. Terlihat Nada kembali menggandeng lengan Fajri.
He’eleh ... berasa kek obat nyamuk gue! pekik dalam hati.
Mereka telah ada di atas motor, bersiap menempuh perjalanan di malam yang gelap. Rintik hujan pun turun, Fajri masih memacu motornya. Hingga seperti biasa, di perempatan motor Fajri terhenti. Nada turun dan motor Fajri berlalu pergi.
Nada mendekat dengan wajah yang basah. Ketika hendak menaiki motorku, akhirnya aku menyerahkan kemeja panjangku untuknya. Karena aku melihat Nada mulai kedinginan.
“Paan?” pekik Nada.
“Pake aja, lu kedinginan, kan?’
Aku menunggu Nada memakai kemeja panjangku. Lumayan lah, biar dia enggak terlalu kedinginan. Hingga akhirnya Nada menaiki motorku. Lalu, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Entah karena apa, tiba-tiba Nada memelukku dari belakang, menyenderkan kepalanya di pundakku. Aku merasa ada keanehan dari dalam sini. Ada debar yang semakin kencang, entah perasaan apa yang ku punya untuk Nada.
Akhirnya, kami sampai di depan rumah Nada, turun dari motor dan membuka pintu pagar yang tidak terlalu tinggi. Kami masuk ke halaman rumah Nada. Namun, Nada menahan lenganku ketika aku hendak mengetuk pintu rumahnya.
“Gak usah diketuk, gue bawa kunci rumah kok.” Nada memperlihatkan kunci yang ia simpan dalam tas kecilnya.
“Lah, gue gak enak sama babe Rano,” ucapku.
“Babe, udah tudur kok. Lu pulang aja gih, udah malem,” ucap Nada.
“Lah, dari mana lu tahu kalau Babe udah tidur?”
“Babe sendiri yang nyuruh gue bawa kunci cadangan. Katanya, babe mau bangun lebih awal. Jadi, babe tidur lebih cepat,” ucap Nada menjelaskan.
“Oke!”
Aku mulai melangkah dan keluar dari pagar rumah Nada dan memasuki kontrakan yang tepat berada di samping rumahnya.
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu.
“Tos mulang, kasep? (Udah pulang, ganteng)” ucap ibu dari balik pintu.
Aku tersenyum dan mencium tangannya.
“Udah, bu,” jawabku.
“Sok tuang heula. (makan dulu gih.)” ucap ibu.
“Tos tuang, Bu (Udah makan, Bu) Aku masuk kamar aja, ya?”
Ibu tersenyum.
“Ibu juga istirahat, ya?” pintaku.
Kembali, ibu tersenyum padaku. Damai sekali melihat senyuman dari Ibu. Hanya ada Ibu yang paling aku sayang.
Aku melangkahkan kaki dan menginjak tangga satu per satu hingga akhirnya sampailah aku di tangga terakhir. Terlihat handle pintu yang akan ku buka.
Aku membenamkan tubuh ini di kasur. Menatap keadaan kamar yang dindingnya penuh dengan gambar poster dan dinding yang sengaja aku jadikan sebagai galeri foto kebersamaanku dengan Nada.
Entah, rasa apa yang ada dalam sini. Hingga membuat ku tidak dapat memejamkan mata. Ku raih gitar dan menyanyikan sebuah lagu.
Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu
Oh, karena hati telah letih
Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh
Aku ingin kau tahu bahwa 'ku selalu memujamu
Tanpamu sepinya waktu merantai hati
Oh, bayangmu seakan-akan.
Drett ... Drett ....
Tiba-tiba hp bergetar, ternyata ada WA dari Nada.
(Berisik, woy! Gue mau tidur.)
Aku tersenyum membaca WA dari Nada, walau dalam hati mengatakan Vangke! Merusak suasana aja ni anak.
Kamar ku dan Nada memang bersebelahan, jadi kalau aku berisik Nada bisa dengar, begitupun sebaliknya.
Hingga akhirnya, aku melihat jam yang ada di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku memejamkan mata setelah ku seting alarm lebih awal.
***
“Sarapan dulu, kasep!” ucap ibu.
“Iya, sebentar Bu.”
Aku memasuki kamar untuk ganti baju setelah mandi tadi dan menyemprotkan parfum. Ku sambar, tas dan buku yang hendak ku bawa ke kampus. Menuruni anak tangga dan ambil nasi sama potongan daging ayam yang tersedia di dapur.
Aku membawa sarapanku ke depan teras. Aku makan di kursi yang terbuat dari bambu yang ada di depan teras kontrakan. Sambil melihat aktivitas di depan kontrakan. Banyak yang berlalu lalang di pagi hari. Dari yang mengendarai mobil, motor, bahkan yang hanya berjalan kaki.
“Apaan, nih?” Tangan Nada telah mengambil potongan sayap ayam kesukaanku.
Dengan ekspresi yang cuek, Nada duduk dan memakan potongan sayap yang ia ambil dari piringku.
“Vangke!”
Nada tertawa melihat ekspresi kesal yang ada di wajahku.
“Ambil sana kalau lu mau makan.”
“Kagak! Gue udah makan kok.”
“Lah terus ngapain ambil sayap ayam gue?”
“Biar lu bete, pan lu terlihat cute kalau lagi marah ... hahaha.” Nada tertawa.
Aku lanjut makan tanpa sayap ayam yang ku suka.
“Karena gue baik, nih deh. Gue kasih sepotong sayap ayamnya,” ujar Nada yang hendak memotong sayap ayam di tangannga.
“Gak usah, gue gak mau. Enak aja, udah lu jilat pan biar gue nurut sama lu?”
“Anjer! Gue gak mau dibuntutin sama lu, bangke! Najis gue,” ucap Nada.
“He’eleh! Biasanya juga lu yang buntutin gue. Gue masuk SMP ini, lu ngikut. Gue masuk SMA ini, lu ngikut. Sampe gue kuliah juga lu masih tetep jadi buntut gue.”
“Yaealah, itu pan permintaan babe. Kalau gue suruh milih, gue ogah deh bareng terus sama lu.”
Hening.
“Udah, ributnya?” tanya ibu.
“Eh, ade encing.” Nada mencium tangan ibu.
“Heleh, modus lu!”
“Malah ribut terus. Engke janten bogoh geura. (Nanti jadi cinta coba.)” ucap ibu terkekeh.
“Uwooo!” ucap aku dan Nada berbarengan.
“Tos cocok’lah, jadian wae atuh! (Udah cocok’lah, jadian aja dong!)” ibu terus meledek kami.
“Udah, ah! Doremi, ayok berangkat!”
“baiklah, bangke.”
Seperti biasa, aku mencium tangan ibu dulu. Baru berangkat kampus.
Jalanan ibu kota macet. Padat dengan begitu banyak macam kendaraan. Pengendara motor lebih mendominasi. Tak ayal, terik matahari dan debu melekat pada tubuh ini.
Akhirnya, kami sampai juga di kampus. Dimana Fajri telah menunggu di gerbang parkiran. Mungkin menunggu Nada. Entahlah.
“Kak Fajri?” Nada turun dari motorku.
“Ayok, Nad! Ikut Kakak.” Fajri menarik tangan Nada.
Dari awal, Fajri seperti enggak suka terhadapku. Terlebih, setelah kejadian dansa kemarin. Ketika melihatku raut wajahnya berubah seperti monster.
Fajri itu memang karismatik, pintar, pria populer di kampus ini. Namun ada sisi buruknya. Dia seorang play boy. Mungkin karena ia memanfaatkan kepopuleran, kepintaran dan karismatiknya. Banyak cewek yang mendekatinya.
Aku masuk mengikuti kelas Pak Killer. Nada termasuk anak yang cerdas. Dia orang yang kritis dalam segala hal, termasuk pelajaran.
“Bangke, gue pulang bareng Kak Fajri, ya?”
“He’eleh, yang baru jadian, nempel terus dah." Aku terkekeh.
“Dasar, lu!” Nada memukul lenganku pelan.
“Ya udah, gue balik duluan ya? Bye.”
Akhirnya, aku pulang menaiki motor matic hitamku seorang diri. Di jalan terlihat ada yang berkerumun. Ketika motorku mendekat, ternyata ada babe Rano.
“Babe Rano?”
“Ken, tolong Babe. Tadi Babe kecopetan,” terlihat ada luka tusukan di perut Babe Rano.
Akhirnya, aku membawa babe ke rumah sakit. Aku mencoba menelpon Nada ketika udah di rumah sakit namun sial, enggak diangkat-angkat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!