Awan hitam pekat menggulung rendah diatas langit, rintik hujan membasahi ribuan mayat yang tergeletak berserakan di sepanjang dataran yang luas itu.
Malam sebelumya telah terjadi peperangan besar di dataran Beringin. Perang perebutan kekuasaan yang melibatkan dua kerajaan besar yang terjadi telah memakan begitu banyak korban.
Rajendra terbaring lemah diantara mayat-mayat, luka menganga akibat sayatan pedang tampak di bagian depan tubuhnya. Menyilang dari dada hampir sampai ke perutnya, tubuhnya terhimpit oleh tumpukan mayat. Ingin dia menyingkirkan mayat yang menindihnya. Ah tapi jangankan untuk mengangkat, sekedar untuk menggerakkan tangan saja dia tak mampu. Tangannya terasa kaku hampir-hampir mati rasa.
"Pramana bangsaat....." Pekiknya namun yang keluar dari mulutnya tak lebih seperti bisikan.
Dia sadar pihaknya telah kalah, Patih Pramana yang awalnya dikira sekutu ternyata diam-diam telah bergabung dengan kerajaan musuh. Ketika Patih Pramana mulai menyerang pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah timpang. Patih Pramana yang sudah paham tentang medan pertempuran membuat pasukan Rajendra kalang kabut. Tak butuh setengah hari sudah dapat dipastikan siapa yang sejak saat itu berkuasa, dialah Maharaja Prabaswara Raja kerajaan Shaminari.
"Aku akan mati.." Batinnya, bayangan tentang adik perempuan dan orang-orang di kampungnya mengambang di depan matanya. Sekejap kemudian tanah terdengar bergemuruh baris-baris ratusan pasukan berkuda meluncur langsung ke arahnya. "Sial mereka kembali.." Kata hati Rajendra.
Rajendra pun berpasrah menutup matanya dan mendekap mayat yang menumpuk tubuhnya. Karena selain itu tak ada lagi yang mampu dia lakukan. Dalam sekejap mata pasukan berkuda itu berjalan cepat melewatinya. Derap langkah kaki kuda terdengar di telinganya, begitu dekat seperti hampir menginjak-injak tubuhnya. Disertai pekikan perang dan senjata yang berbagai macam itu mereka tampak seperti utusan dewa maut, ratusan prajurit berkuda itu berlalu begitu saja, mengacuhkan mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka.
"Aku selamat..." Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bayangan tentang kematian yang dari tadi berada dalam benak Rajendra kini perlahan berubah menjadi semangat hidup.
"Mungkin aku tak ditakdirkan untuk mati disini.." dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dia punya, Rajendra mulai bergerak. Dengan beringsut perlahan dia mulai bisa melepaskan tubuhnya. Rajendra merangkak perlahan menjauh dari tanah terkutuk itu dan masuk kedalam hutan. Sudah dua hari dia berjalan tertatih di dalam hutan, dia bertahan hidup dengan berbagai buah liar yang ditemukan. Meski tanpa cukup makanan yang dapat mengenyangkan, perlahan Rajendra merasakan sedikit demi sedikit kekuatannya mulai pulih.
Rajendra diberkahi tubuh yang kuat sehingga bekas luka ditubuhnya terlihat cepat sembuh. Ayahnya, adalah seorang pendekar yang sudah mengundurkan diri dan memilih membuka perguruan silat di kampungnya, beliau memilih mengajarkan pemuda-pemuda di kampungnya untuk menjadi petarung atau calon prajurit. Maka apakah tidak pantas buat dirinya untuk ikut masuk dalam kancah peperangan, agar bisa membuktikan pada ayahnya dan penduduk kampung bahwa dia bukan sekedar perusuh kampung.
Dia membayangkan akan membuat sebuah berita besar yang akan menyebar ke seluruh penjuru negeri, sebuah berita tentang Rajendra yang telah berhasil memenggal kepala panglima musuh. Tapi kenyataan menampar keras wajahnya, ketika dia datang untuk bergabung menjadi prajurit, Rajendra diberitahu kalau dia tidak akan menjadi prajurit dengan cepat. Yang hanya dia dapatkan hanya ijin bergabung dan tinggal disana, Rajendra hanya akan ditugaskan untuk mengangkut senjata,membantu dapur atau menjaga tenda perbekalan.
"Menjadi prajurit hach.....jangankan memenggal kepala panglima musuh, mendekati prajurit musuh saja tidak pernah" Keluhnya dalam hati. Rajendra terus berjalan tertatih berharap akan menemukan sebuah rumah berpenghuni untuk sekedar singgah dan menyembuhkan luka-luka ditubuhnya. Malam itu bulan nampak bulat penuh, cahaya nya mampu menembus rimbun daun pepohonan di hutan.
Di kejauhan Rajendra seperti melihat samar cahaya api, maka dikuatkan seluruh tenaga yang dipunyainya untuk mempercepat langkahnya. Langkah yang kelihatanya lebih banyak digerakkan oleh naluri untuk bertahan hidup ketimbang kekuatan dalam dirinya.
Cahaya api itu ternyata berasal dari sebuah rumah, atau setidaknya sisa-sisanya. Karena meskipun itu nampak seperti rumah tapi salah satu temboknya kelihatan telah roboh. Bisa saja dia menerobos masuk begitu saja melalui tembok yang berlubang itu, tapi dia memilih mengetuk pintu.
"Permisi...." Karena tidak juga mendapat jawaban diteruskan perkataanya "Maaf...saya mengganggu di jam seperti ini tapi saya perlu sedikit istirahat".
Terdengar langkah ringan semakin mendekat,
"Siapa disana..?" Suaranya berat yang sepertinya berasal dari laki-laki paruh baya.
"Saya Rajendra, sudilah kiranya bapak mengijinkan saya untuk beristirahat di rumah bapak untuk beberapa saat" Katanya pasrah.
Nampak orang tua itu membuka sedikit pintu rumahnya, sepertinya untuk memastikan jika dia sendirian. "Masuklah" Katanya sambil membuka lebar pintu rumah.
"Terima kasih tuan" Kata Rajendra,
Rasa syukur merasuk didalam hatinya, kegembiraan tak dapat disembunyikan dari raut wajahnya. Dia kemudian diarahkan oleh laki-laki tua yang memperkenalkan dirinya dengan nama yodha itu kesebuah kamar dibelakang rumah. Bahkan kamar yang kelihatan kotor karena tak pernah ditinggali dan hanya beralaskan tikar kumal itupun saat ini terlihat mewah dimata rajendra. Beberapa hari ini dia hanya tidur diatas tanah ataupun batu yang lebar.
Hampir sehari penuh dia tidur dikamar itu, saat akhirnya dia terbangun dia merasa tubuhnya sangat segar. Untuk mengobati luka ditubuhnya dia diberi ramuan tumbuhan tradisional yang dioleskan kebagian lukanya. Dan untuk pertama kalinya untuk beberapa hari ini dia bisa makan makanan yang layak, makanan yang bisa membuatnya merasa kenyang. Sekitar seminggu kemudian Rajendra merasa sudah pulih sepenuhnya. Meskipun bekas lukanya akan tetap abadi terlebih luka dalam batinnya.
Dia nampak mulai berbincang dengan tuan rumah, Yodha menceritakan jika dulu ditempat ini adalah perkampungan yang damai dan tentram. Tapi ketika intrik perebutan kekuasaan mulai pecah, satu per satu lelaki di desa itu mulai direkrut atau lebih tepatnya dipaksa untuk menjadi prajurit. Banyak diantara penduduk yang akhirnya memilih mengungsi. Kini hanya tinggal beberapa yang masih bertahan.
Rajendra merasa sudah waktunya untuk pergi, dia mau kembali ke desanya. Dia penasaran dengan keadaan kampungnya pasca perang yang terjadi. Terlebih dia rindu adiknya dia mau memastikan sendiri kalau adiknya baik-baik saja.
Hari itu juga dia berpamitan dengan Yodha,
"Pak sepertinya saya harus segera pergi, saya mau pulang" Katanya membuka pembicaraan.
"Apa sudah benar-benar kuat, desamu cukup jauh ditempuh dari sin " jawab Yodha seolah enggan melepas sang tamu pergi.
"Saya kira sudah, tak pernah saya merasa sebaik hari ini" Kata Rajendra berusaha meyakinkan sambil memutar-mutarkan bahu kanannya.
Meski Yodha awalnya enggan melepas Rajendra pergi, melihat kebulatan tekad dan semangat mudanya akhirnya bersedia melepas sang tamu pergi. Dia bahkan menyiapkan sedikit perbekalan yang bisa dia berikan.
"Terima kasih atas semua kebaikan yang sudah bapak berikan, saya tak akan pernah melupakan kebaikan yang bapak lakukan.." Rajendra menutup perbincangan itu dengan kata-kata perpisahan. Dia memang merasa sudah selayaknya mengucap terima kasih untuk orang yang telah menyelamatkan hidupnya itu, dia sadar telah berhutang nyawa.
"Iya nak jaga dirimu baik-baik" Kata Yodha seraya melepas sang tamu di depan rumahnya. Dilihatnya Rajendra membungkukkan badan dan segera berbalik, berjalan menjauh semakin jauh hingga menjadi sebuah titik dan hilang ditelan kabut.
Dengan tinggi 170cm Rajendra termasuk jangkung untuk seseorang di masa itu, tubuhnya berotot dadanya bidang namun gerakanya selalu lentur dan luwes. Wajahnya kelihatan jantan dengan tulang pipi yang menonjol, bibirnya penuh dan alisnya yang lebat menambahkan kesan jantan itu. Dia dibesarkan oleh Kanaka, seorang ayah yang gila tata tertib yang tak tahu cara memanjakan anak.
Ibunya telah meninggalkannya saat kecil, dalam usia 10 tahun dia tak tahu kenapa Ayah dan Ibunya berpisah, penjelasan tentang perceraian pada usianya jelas tak cukup membantu pemahamannya. Dia selalu merasa kikuk ketika bersama ayahnya, tak ada hari dilewatinya tanpa latihan bela diri. Pernah suatu ketika dia kabur dari rumah dan mencoba menemui ibunya. Ibunya yang telah pindah ke desa lain, disana telah menikah lagi dan mempunyai anak. Ketika Rajendra berhasil menemui ibunya dia dibawa oleh ibunya ke belakang rumahnya, dipeluk erat tubuhnya dan ibunya segera berucap "kembalilah kepada ayahmu.." tak ada yang lebih paham tentang apa yang akan dilakukan ayahnya jika tahu anaknya hilang selain ibunya.
Dan benar saja sebagai pendekar yang cukup disegani di desanya begitu tahu jika Rajendra hilang Kanaka segera mengutus beberapa orang untuk mencarinya. Tentu saja dia sudah tahu kemana kiranya Rajendra pergi. Ketika Rajendra ditemukan dia diikat diatas kuda dan diserahkan kepada ayahnya yang sedang diselimuti oleh amarah. Ayahnya menghajar Rajendra seolah berusaha menghilangkan nyawanya, dengan suara keras dan tanpa ampun dia ingat betul ultimatum ayahnya saat itu "..JIKA SEKALI LAGI KAU PERGI DARI RUMAH TAK AKAN KU ANGGAP SEBAGAI ANAK LAGI.."
Begitu membekas ketakutannya saat itu hingga tak pernah lagi ada niat untuk menemui ibunya lagi. Ketika pada suatu hari dia mendengar kabar jika ibunya meninggal, Rajendra mulai berubah, dari seorang anak yang pendiam menjadi seorang yang begitu nakal. Kejailannya waktu itu kadang sudah mendekati ke hal yang membahayakan orang lain, ayahnya pun sudah mulai takut dengan segala kenakalan yang Rajendra lakukan.
Saat sang Ayah mendatanginya dengan pentung ditangan, Rajendra malah menantangnya dengan sebilah kayu. Tak ada lagi yang mampu membendung keliaran anak itu karena pada usia yang baru 15 tahun itu tubuhnya sudah seperti orang dewasa.
Suatu ketika pernah ada seorang tak dikenal yang mengaku pendekar pengelana, pendekar itu mengibarkan panji-panji dan bersedia menantang siapapun untuk bertarung dengan hadiah bila berhasil mengalahkannya. Seketika itu Rajendra maju menantang dan dengan cepat berhasil keluar sebagai pemenang dengan mudahnya. Pujian pun mengalir untuknya, namun penghargaan dari orang kampung itu hanya sekejap saja. Karena dengan semakin bertambahnya usia, Rajendra semakin brutal dan tak dapat lagi dikendalikan. Ketika sang Ayah yang selalu keras dan kaku itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir, unsur kejam dalam diri Rajendra makin membesar lagi.
Hanya karena Utari sang adiklah dia masih bisa sedikit dikendalikan. Besarnya rasa sayang Rajendra pada adiknya, membuatnya merasa tak tega ketika air mata mengalir dari pipinya, karena itu biasanya dia melakukan apapun yang adiknya minta.
Sungai yang nampak jernih membelah di sebuah perkampungan, pohon-pohon masih kelihatan asri dan alami tumbuh disekitar desa itu. Penduduknya tampak rukun meski kehidupan mereka tak terlihat makmur, namun bisa tampak kalau mereka bahagia. Rasa sosial dan toleransi masih dijunjung sebagai kebiasaan di desa itu. Kebanyakan penduduknya adalah petani sebagian sebagai tukang kayu, pedagang dan peternak. Desa seruni itulah nama desa itu, desa tempat Rajendra tumbuh dan besar. Dan di desa itulah saat ini Rajendra berusaha untuk kembali.
Sejak memutuskan untuk kembali ke desa, Rajendra memang sudah membayangkan tentang perubahan yang mungkin terjadi di desanya. Tapi setelah saat ini dia melihat kampung halamannya di depan mata perubahan yang terjadi sungguh di luar dugaannya.
Dari jalan masuk menuju desanya saja sudah terlihat perbedaan itu, sekarang di sana sudah dibangun semacam pos penjagaan. Terlihat beberapa prajurit sedang berjaga disana, salah seorang prajurit itu nampak ditugaskan untuk menanyakan ke setiap orang asing yang mau masuk ke desa Seruni. Disekitar tugu masuk desa juga kelihatan dipasang kayu kayu pancang mengelilingi sebagian desa itu.
Rajendra berjalan sambil mengamati setiap perubahan yang terjadi di sekitar pedesaan itu. Ketika akhirnya dia sampai di depan pos jaga, Rajendra pun tak lepas dari pemeriksaan itu. Ketika sampai gilirannya untuk diperiksa prajurit itu bertanya,
"Siapa namamu, apa tujuan anda ke desa ini?" Tanya petugas jaga dengan ketus.
"Saya Rajendra, saya hendak mengunjungi saudara saya" Jawab Rajendra dengan tenang
"Dan siapakah nama saudara yang anda maksud itu?"
"Utari" ucap Rajendra yakin.
Prajurit yang ditugaskan berjaga itu pun kelihatan membuka buku catatan dan sepertinya sedang mencari nama Utari disitu. Sejenak kemudian dia nampak terkejut tapi kemudian dengan cepat dapat menenangkan dirinya dan berkata cepat "Tak ada orang yang bernama Utari di desa Seruni"
Merasa yakin jika adiknya masih tinggal di desa Rajendra mencoba berusaha bertanya,
"Apa bapak yakin?, saya merasa ada yang salah dengan buku catatan itu" ucap Rajendra berusaha membangkang.
Tiba-tiba nada bicara petugas itu meninggi,
"Tidak ada yang salah, lekas pergi dari sini sebelum mereka mengusir mu dengan kasar" Kata petugas itu sambil menunjuk ke arah prajurit-prajurit di pos jaga yang kelihatanya sedang bersenda gurau karena salah satu diantaranya nampak tertawa terbahak-bahak.
Meskipun merasa tidak puas dengan jawaban petugas itu, Rajendra memutuskan untuk segera berbalik karena tak ingin membuat keributan disitu. Akhirnya Rajendra memilih untuk pergi, pikirannya sekarang dipenuhi dengan tanda tanya besar.
"Apa yang sebenarnya terjadi?, Kenapa petugas itu tadi nampak sedikit terkejut ketika memeriksa nama Utari?" Tanyanya dalam hati.
Rajendra yakin tak akan dia mendapat jawaban pasti kalau tak mencari tahu sendiri. Maka diapun memutuskan untuk menyelidiki semuanya. Akhirnya Rajendra mencoba mencari jalan lain untuk masuk ke desanya. Karena dia memang di besarkan disitu, maka dia sangat paham dengan jalan setapak untuk masuk ke desanya. Jalan tanah yang sedang ditempuhnya itu melewati sebuah bukit kecil dan menembus ke belakang desanya yang berupa ladang jagung. Ketika dia melewati ladang itu, dia melihat salah seorang petani yang juga adalah tetangganya dulu, meski tak ingat dengan namanya dia masih ingat wajah orang itu. Petani itu nampak kaget melihat Rajendra, dia mencoba kabur dari situ. Rajendra yang bertekad mencari tahu tentang keadaan adiknya segera mengejar orang itu. Kecepatan Rajendra tentu bukan tandingan orang tua itu, dalam sekejap saja orang itu sudah berhasil ditangkap dan dijatuhkan ketanah.
"Kenapa juga bapak kabur?, apa bapak lupa dengan saya?" Tanya Rajendra kesal.
"Ampun...saya takut, saya kaget anda kembali ke desa ini" orang tua itu nampak hampir menangis.
"Tapi untuk apa mencoba lari?, bukankah Bapak kenal saya?" Kata Rajendra sambil mengeraskan genggaman tangannya.
"Tentu saja saya tau, anda Rajendra anak tuan Kanaka, saya takut dan reflek lari tuan.."
"Lupakan itu, sekarang ada yang mau ku tanyakan padamu, apa yang terjadi dengan adikku apa yang sebenarnya sekarang terjadi di desa? Dan jangan mencoba bohong atau ku patahkan tanganmu !" ancam Rajendra yang masih memegangi tangan kurus petani itu.
Petani itu bercerita dengan prolog panjang dan diakhiri dengan tangisan. Rajendra pun melepaskan genggamannya dari tangan petani itu, wajahnya tampak marah ketika mendengar cerita orang itu. Dari ceritanya dia kini tahu, jika orang-orang di desa yang terlihat masih muda diambil secara paksa oleh pihak penguasa, yang lelaki akan dijadikan prajurit dan wanita muda yang terlihat cantik akan dibawa ke istana untuk dijadikan selir atau pelayan. Tentu saja Utari adik Rajendra salah satu yang dibawa ke istana karena tak akan ada penduduk desa yang mengingkari jika dikatakan Utari adalah kembang desa di desa Seruni.
"Sial..!!" Teriak Rajendra sambil memukul batang sebuah pohon. Dia merasa kesal karena sadar tak ada yang saat ini bisa dilakukan untuk menyelamatkan adiknya. Dia tahu meskipun jika dia nekat menerobos masuk ke istana dan mencoba mencari adiknya, kemungkinan dia hanya akan terbunuh sebelum sampai kedalam benteng. Kekesalan itu berangsur menjadi sebuah kesedihan, dia nampak putus asa dan memandang ke langit, dia membayangkan senyum di wajah adiknya matanya nampak berkaca kaca. Justru ketika saat itu tiba-tiba datang dua orang prajurit yang sepertinya sudah melihat Rajendra dari kejauhan.
"Siapa kamu?apa yang sedang lakukan disini?" Tanya salah satu prajurit yang membawa tombak, sambil berusaha mengancam dengan mengarahkan tombak itu kearah Rajendra.
Tak ada niat Rajendra menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata, karena inilah kesempatan baginya untuk melampiaskan kemarahannya. Dengan sebuah gerakan cepat dia rampas tombak itu dan menyapukannya ke arah prajurit yang lain, gagang tombak itu berdesit mengenai kepala prajurit yang tidak siap dengan serangan itu, lalu dengan gerakan yang sama cepatnya dia hujamkan ujung tombak itu kepada prajurit yang lain. Dua prajurit itu nampak roboh dan mati.
Petani yang melihat pemandangan yang mengerikan itu seketika lari ketakutan dan berteriak-teriak seperti kesetanan. Rajendra sadar dirinya kini telah menjadi musuh pemerintahan yang sedang berkuasa karena telah membunuh dua prajurit itu, dirinya tentu saja kini jadi buronan. Lekas-lekas dia meninggalkan tempat itu dan berlari kearah bukit, larinya semakin dipercepat ketika dia sadar mendengar suara riuh orang-orang dibelakangnya. Dia terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan dan menghilang dalam rimbunnya pepohonan. Beberapa prajurit yang sedang berpatroli sepertinya mendengar suara teriakan minta tolong dari petani itu. Mereka tampak berlari mencari sumber suara, ketika mereka melihat petani yang berlari, seorang prajurit menghadangnya dan bertanya,
"Ada apa? apa yang terjadi?"
"Di sana, di sana ada orang yang membunuh dua prajurit" Jawab petani itu sambil menunjuk ke arah yang tak jelas.
"Dimana? tenangkan dirimu dan tunjukan tempatnya sekarang" Ucap salah satu prajurit yang sudah datang mendekati mereka.
Petani itu pun tampak mengambil nafas dan mulai berhasil menenangkan dirinya, kemudian dia menuntun para prajurit itu ke tempat kejadian. Melihat teman-temannya di bunuh dengan keji darah beberapa prajurit itu bergolak, amarah mereka memuncak.
"Siapa yang melakukan ini?" Tanya seorang prajurit dengan nada tinggi pada petani itu.
"Namanya Rajendra tuan dia dulu penduduk desa ini" Jawab petani itu ketakutan.
"Rajendra" Batin para prajurit itu, nama yang akan mereka ingat dan mereka bertekad akan membalas setiap perbuatannya.
Tepat di selatan desa Seruni mengalir sungai yang kelihatan jernih dan begitu alami. Sungai itu mengalir melingkari sebuah bukit,kemudian mengalir terus melintasi sebuah desa yang besar bernama Askara.
Disekitar desa Askara sepertinya sedang terjadi perubahan besar, sepertinya Raja Prabaswara memutuskan untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan mencoba membuat sebuah benteng di daerah itu. Desa itu nampak sibuk, ratusan pekerja dikerahkan untuk membangun benteng itu, seiring banyaknya orang yang berdatangan usaha penduduk desa setempat pun menjadi berkembang. Banyak kedai makan yang tiba-tiba bermunculan di desa itu. Disekitar benteng nampak beberapa pekerja yang sedang terlibat percakapan
"Apa kau pikir perang akan terjadi lagi..??"
"Mungkin saja siapa yang tahu, sepertinya selama ini tak ada yang cukup kuat memegang kekuasaan"
"Ku kira kau benar, aku dengar Panglima- panglima dari Widyatmaka sedang mencoba mengumpulkan kekuatan"
Dalam perang besar yang terjadi beberapa waktu yang lalu, pihak Widyatmaka adalah penguasa sebelumnya yang berhasil digulingkan kekuasaannya oleh Raja Prabaswara. Banyak yang bilang sekarang Widyatmaka sedang menyusun kembali kekuatan untuk mencoba merebut kembali kekuasaan atas negeri ini.
"Sssst... Bicaramu terlalu keras, bisa kena masalah kita jika salah satu prajurit itu mendengarmu" salah satu pekerja mencoba mengingatkan temanya.
"Apapun yang sebenarnya Widyatmaka sedang lakukan, tak mungkin rakyat kecil seperti kita ini bisa tahu, tapi aku berani bertaruh pasti ada alasannya"
"Hei...kembali kerja kalian..!!!" Obrolan para pekerja itu dihentikan oleh suara keras dari seorang prajurit yang sepertinya ditugaskan sebagai pengawas pekerja. Para buruh itu segera saja melanjutkan pekerjaan, diiringi suara-suara palu yang berdenting dan kayu kayu yang dibelah jelas sekali suara khas pembangunan yang sedang terjadi.
Tak jauh dari pembangunan benteng terlihat sebuah kedai yang nampak ramai oleh tamu. Terlihat beberapa buruh yang sedang beristirahat untuk makan, beberapa prajurit, pengelana dan pedagang. Mereka nampak menikmati makanan dan minum tuak murah. Dengan obrolan-obrolan yang menarik minat masing-masing. Keriuhan di kedai seperti menggambarkan lambang kemakmuran.
Dengan perintah langsung dari Raja Prabaswara Tuan tanah tak lagi diijinkan memerintah semaunya. Mereka tak lagi punya hak untuk memerintah para petani, sekarang petani harus dibiarkan menggarap tanahnya sendiri dan dibuat masa bodoh dengan pemerintahan dan politik yang sedang bergejolak.
Tuan tanah yang dibuat sibuk dengan pembangunan, para saudagar yang dibiarkan berdagang, penduduk yang diberi kebebasan berusaha, dan para petani yang tidak dibiarkan mati kelaparan tapi sekaligus diawasi agar tidak naik melebihi statusnya.
Mereka semua tidak ada yang menyadari, jika secara perlahan mereka sedang dijalinkan dalam sebuah tirani pemerintahan feodal yang akan mengikat kebebasan mereka. Tak ada yang menyadari apa yang akan terjadi 5 atau 10 tahun ke depan kecuali Raja Prabaswara. Untuk sesaat mereka dibiarkan menikmati kedamaian semu itu.
Rajendra telah sampai ke desa itu sekitar dua hari lalu, hari pertama dia sampai dia tampak kagum dengan semua yang dia lihat. Kebisingan suara-suara buruh pekerja, keramaian hilir mudik orang-orang dijalan, tawaran-tawaran dari wanita pekerja di kedai yang mencoba memikat pejalan untuk singgah, semua itu adalah hal baru yang dia temukan. Dari sekian banyak hal baru yang dia lihat, yang paling membuatnya terpesona adalah adanya perguruan-perguruan silat yang cukup banyak bermunculan.
Tiada waktu dia lewati tanpa melihat-lihat para murid yang sedang berlatih. Meskipun sering dia mendapat teguran atau lebih tepatnya pengusiran dari murid senior hal itu sama sekali tak menyurutkan minatnya. Karena dia memang sudah tertarik dengan ilmu bela diri sejak kecil. Hari ini pun dia kelihatan sedang asik memperhatikan murid sebuah perguruan silat yang sedang berlatih, tampak jelas papan besar di sebuah bangunan yang digunakan untuk berlatih. Tulisan "Perguruan Singa Perak" begitulah yang terbaca di papan yang tampak kokoh itu.
"Apa yang kau lakukan disitu?" Hardik seorang yang sepertinya murid senior itu.
"Oh....saya hanya melihat-lihat" Jawab Rajendra tampak kaget dengan kehadiran murid senior yang tiba tiba itu.
"Melihat-lihat? apa kau bukan mata-mata perguruan lain?" lanjut murid itu, memang di saat saat ini para perguruan silat sedang berlomba lomba untuk menarik minat banyak orang untuk menjadi murid. Sehingga banyak dari perguruan-perguruan itu kemudian mengutus beberapa murid atau orang untuk melihat dan mencari tahu tentang kelebihan atau kekurangan dari perguruan lain. Bagi murid senior itu kehadiran Rajendra tampak begitu mencurigakan.
"Hach..." terkejut dia dengan tuduhan yang diarahkan padanya, Rajendra pun melanjutkan kata katanya "Bukan...tentu saja bukan, bahkan saya bukanlah murid sebuah perguruan"
Murid itupun kemudian mulai memperhatikan Rajendra dari ujung kaki hingga kepala, seolah sedang berusaha menilai dan mencari tahu kebenaran ucapan Rajendra.
"Kelihatanya memang begitu, dilihat dari pakaian yang kau kenakan sepertinya kau hanya orang udik yang tak punya uang tapi tertarik dengan ilmu silat" disertai senyuman yang merendahkan murid itu kemudian mencoba mengusir Rajendra, "Lekas pergi dari sini sebelum kau menyesalinya.."
Sadar dirinya diremehkan amarah Rajendra pun bergelora "Ancaman apa pula itu, saya akan pergi jika saya mau, tempat ini tempat umum tak bisa kau mengusir aku seenaknya"
"Oh...punya keberanian juga kau tampaknya, sini mendekat biar ku ajarkan mulutmu untuk hati hati berucap.." Kata murid itu yakin dengan kekuatannya.
Rajendra yang sesaat tadi berusaha untuk bersabar, kini sudah tak dapat lagi menahan amarahnya mendengar tantangan dari murid senior yang angkuh itu. Dia pun datang mendekat dengan tenang. Belum lagi dia sampai didekat murid itu, tampak sang murid berusaha menyerang Rajendra dengan tendangan, Rajendra yang memang sudah menduga datangnya serangan dengan mudahnya menghindari serangan itu. Rajendra menunduk menghindari tendangan tinggi yang diarahkan ke wajahnya, diikuti dengan sapuan kaki Rajendra berhasil menjatuhkan tubuh murid itu. "Arkk....." Suara teriakan keras bergema ketika akhirnya Rajendra meneruskan serangannya ke muka murid itu, nampaknya kesadaran telah lenyap dari murid senior itu.
Teriakan yang keras itu tentu saja didengar oleh semua murid di perguruan itu, atau bahkan ada yang melihat kejadian itu. Karena tiba tiba saja para murid itu sudah berhamburan meneriakkan kata umpatan mendekati tempat kejadian. Tapi ditempat itu hanya ditemukan tubuh murid senior yang tak sadarkan diri. Rajendra sudah pergi, setelah kejadian itu Rajendra segera melompati pagar dan segera berlari masuk ke dalam hutan.
"Aku harus pergi,tempat ini sudah tak aman lagi buatku " Kata Rajendra dalam hati.
Dia pun berjalan lebih jauh kehutan dan melanjutkan perjalananya ke kampungnya, tujuan yang beberapa hari ini sempat teralihkan oleh minat Rajendra pada hal hal baru yang dilihatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!