Tia menatap neneknya dengan mulut ternganga. Rasanya masih tidak percaya dengan pendengarannya
sendiri.
“Apa nek?? Tia harus nikah dengan siapa?”
Nenek menghela nafas, sepertinya kurang sabar menghadapi cucunya.
“Ndu, ini demi kebaikanmu. Nenek sudah tua, sudah tidak bisa menemanimu selamanya.
Kamu butuh orang yang bisa membimbing dan melindungimu dalam jangka waktu yang
lama”
“Tia bisa melindungi diri sendiri nek. Tia tidak butuh orang lain dalam hidup Tia.
Yang Tia butuhkan hanya nenek.” Tia berjalan mendekati neneknya, memeluknya sembari
terisak.
“Nek, jangan paksa Tia Nek. Please…” Tia terisak. Sang nenek memeluk cucunya sembari
mengusap kepalanya.
“Semua sudah nenek tentukan Ndu. Tidak bisa nenek batalkan. Rizal laki-laki yang baik
ndu. Dia akan menjadi suami yang baik bagimu. Pekerjaannya mungkin tidak sesuai
keinginanmu, tapi laki-laki baik tidak dipandang dari pekerjaannya kan?”
“Tapi nek…” Tia terdiam. Tidak berani melanjutkan kata-katanya. Dia tidak habis
pikir, kenapa neneknya tega menikahkan dirinya dengan seorang buruh bangunan??
Bukannya mau merendahkan profesi orang, tapi dirinya lulusan S1, bekerja di
bank pemerintah. Setidaknya dirinya dapat pasangan seprofesi kan?? Bukan malah
yang jauh dibawah dirinya, pikir Tia.
Tia adalah seorang anak yatim piatu, dia tidak tahu siapa orang tuanya. Kata orang,
waktu dia masih bayi ibu kandungnya meletakkannya didepan pintu wanita paruh
baya (wanita yang telah dianggap sebagai neneknya sekarang). Nenek adalah
seorang janda yang sangat berkecukupan. Suaminya meninggalkan banyak warisan
untuknya. Malangnya, dalam pernikahan tersebut nenek tidak dikarunia seorang
putra satu pun, sehingga ketika suaminya meninggal dia harus hidup sendiri
dirumah warisan almarhum suaminya. Kedatangan Tia yang tidak di undang dianggap
sebagai hadiah Tuhan untuknya. Nenek menyayanginya seolah-olah dia anak plus
cucu sendiri.
Tia menatap neneknya, dia berpikir akan bagaimana hidupnya bila tidak bertemu
dengannya. Walaupun ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah dan ibu,
tapi kasih sayang yang diberikan nenek lebih dari cukup untuk mewakili semua
perasaan itu.
“Nek…nenek beneran ingin Tia nikah dengan laki-laki itu?? Apa tidak ada cara lain
yang bisa Tia lakukan untuk membahagiakan Nenek??”
“Tidak ada Ndu, Nenek hanya ingin kamu menikah dengan Rizal. Dengan begitu Nenek akan
merasa sangat lega karena telah menitipkanmu ditangan dia”
“Tapi Nek, pekerjaan laki-laki itu dibawah pekerjaanku. Apa nantinya dia tidak akan
merasa minder memiliki istri yang memiliki pekerjaan lebih bagus dari dirinya?”
Nenek tersenyum mendengar berbagai alasan yang dilontarkan Tia. Dengan sabar nenek
menjawab.
“Ndu, kalau laki-laki itu merasa minder dengan menikahimu maka dari awal dia juga
tidak akan pernah mengajukan lamaran ke nenek”
“Lalu mengapa Nenek menerimanya? Apakah Nenek tidak takut dia tidak akan mampu
membahagiakan Tia? Mencukupi segala kebutuhan Tia?
“Nenek sangat yakin dengan pilihan Nenek sayang. Tia harus percaya sama Nenek. Apapun
yang Nenek lakukan semuanya untuk kebaikanmu Ndu”
Tia menghela nafas, sepertinya tidak ada satu hal pun yang dapat merubah pendirian
neneknya. Tia juga berpikir, mungkin ini saatnya dia bisa membalas semua
kebaikan neneknya. Dengan berat hati, Tia menjawab.
“Baiklah Nek, bila dengan menyetujui hal ini dapat membahagiakan Nenek maka Tia akan
setuju menikah dengan pria manapun yang nenek pilih” Tia tertunduk lesu.
“Keputusan yang bagus Ndu, sudah nenek putuskan pernikahan kalian akan dilaksanakan bulan
depan!!”
Selama sebulan penuh Tia tidak sibuk apa-apa. Dia hanya bekerja seperti biasanya.
Berangkat jam setengah delapan pagi, pulang dengan jam yang tidak tentu. Bila
pekerjaan sedang banyak, dia akan pulang sekitar pukul jam sembilan malam. Bila
sedang sedikit dia akan pulang jam lima sore. Tidak ada kesibukan yamg berarti
antara hari Senin sampai Jum’at. Kesibukannya akan sedikit berubah di hari
Sabtu dan Minggu. Biasanya weekend dia akan bersantai atau jalan-jalan dengan teman-temannya tapi kali ini
berbeda. Neneknya selalu mengajaknya ke tempat yang berbeda. Fitting baju pengantin, memilih cincin
pernikahan, memilih barang-barang seserahan, tes kesehatan dan lain-lain yang
berhubungan dengan pernikahan. Selama itu pula dia belum pernah bertemu dengan
laki-laki yang bernama Rizal. Sepertinya neneknya ingin membuat surprise?? Gila sekali, menikahi
laki-laki tanpa tahu wajah laki-laki tersebut. Entah laki-laki itu jelek, cacat
atau punya kelainan dia sama sekali tidak tahu. Dia hanya pasrah mengikuti
semua kemauan neneknya.
Kebetulan hari pernikahannya jatuh dihari Sabtu, jadi Tia tidak perlu merasa untuk
mengambil cuti. Hal ini sangat menguntungkannya. Dia tidak perlu menjelaskan
dan memberitahu teman-teman kerjanya bahwa dia sudah menikah. Tidak ada yang
perlu dibanggakan dari pernikahannya. Menikah dengan buruh bangunan, yang ada
dia malah diejek teman-teman kerjanya. Tia merasa lega.
Hari H
Pernikahan yang berupa ijab qabul akan dilangsungkan jam sembilan pagi. Dari jam tiga
subuh Tia sudah dibangunkan neneknya untuk dirias. Pernikahan dilangsungkan
secara sederhana tanpa resepsi. Selain karena masalah waktu yang terlalu mepet,
Tia juga tidak ingin melaksanakan resepsi. Tia tidak ingin teman-temannya tahu.
Jam menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit. Pengantin pria sudah siap dan
Tia juga sudah digiring untuk memasuki ruang ijab qabul yang kebetulan
dilaksanakan didepan rumah neneknya. Tia tidak begitu peduli dengan wajah calon
suaminya. Begitu didudukkan disebelah laki-laki yang akan menjadi suaminya, Tia
hanya tertunduk. Bukan karena malu, tapi karena malas untuk melihat wajah calon
suaminya tersebut.
Pukul delapan lebih lima puluh menit, pak penghulu datang.
“Dengan mas siapa saya bicara??” tanya pak penghulu tanpa melihat buku nikah yang sudah
ditangannya.
“Rizaldy Yusuf Maulana Pak..” jawab Rizal sambil menjabat tangan pak penghulu.
“Saya panggil mas Rizal saja ya, gimana mas Rizal sudah siap berumah tangga belum?”
“InsyAlloh siap pak!” Jawab Rizal mantap. Pak penghulu dan orang-orang yang hadir ikut
tertawa mendengar jawaban Rizal. Sedangkan Tia hanya melengos dan tersenyum
kecut. Yaiyalah kamu siap, kamu hanya buruh bangunan, bisa menikahi aku yang
pekerja kantoran pasti keuntungan besar untukmu. Pikir Tia dengan masam.
“Baiklah saudara-saudara, karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan bagaimana kalau
ijab qabulnya segera dilaksanakan. Gimana nak Rizal, apa perlu latihan dulu apa
langsung praktik?” tanya pak penghulu
“Langsung saja pak, insyAlloh sudah hafal Pak” Rizal menjawab tegas lagi. Dan acarapun
dilanjutkan.
“Saya nikahkan engkau Rizaldy Yusuf Maulana bin Ismail dengan ananda Mutia Amalia
Azmy binti Shiddiq dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dibayar
tunai!!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Mutia Amalia Azmy binti Shiddiq dengan mas kawin
tersebut dibayar tunai!!” Ucap Rizal dengan suara tegas dan lantang.
“Bagaimana saksi, sah??”
“Saaaaaahhhhhhhhhhhh….” Jawab saksi serempak. Dan Tia hanya terduduk lemas. Pupus sudah harapannya
untuk memiliki suami mapan. Bukannya matre, tapi hidup harus sesuai dengan
realita.
“Baiklah, pengantin laki-laki silakan pasang cincin pernikahannya ke pengantin perempuan”
Rizal mengambil tangan Tia, memasukkan cincin dijari manis Tia dan begitu pula
sebaliknya.
“Cium..cium..cium..” Teriak para tamu yang hadir dalam prosesi ijab qabul tersebut. Dengan malu-malu
Rizal mendekati Tia dan mencium kening Tia. Dan untuk pertama kalinya Tia
menatap seluruh wajah dan tubuh pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Tia
terpana.
Rizal adalah laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan atletis. Mungkin tingginya
sekitar 180 cm atau lebih? Kulitnya sawo matang, dan wajahnya perpaduan antara
tampan dan manis. Sejenak Tia lupa dengan profesi Rizal dan hanya terpana. Kemudian
dia teringat kembali, sayang sekali laki-laki setampan dia jadi buruh bangunan, pikir Tia getir.
Acara dilanjutkan dengan prosesi tasyakuran. Tiga jam kemudian acara pun selesai. Tia
berada didalam kamar pengantin. Dibantu penata rias dia membersihkan riasan
wajah dan membuka baju pengantin dan menggantinya dengan gaun tidur yang sudah
disiapkan neneknya. Tia sudah bersiap-siap untuk istirahat siang ketika pintu
kamarnya dibuka orang. Tia berpura-pura tertidur. Dalam hati dia bertanya-tanya
siapakah orang yang masuk ke kamarnya? Apakah nenek? Atau saudara nenek-nenek?
Tia mencoba mengintip dan…
DEG…
Jantungnya serasa berhenti. Rizal ada didepannya. Sedang bertelanjang dada dan mencoba
mengganti bajunya dengan baju santai. Tia kembali menutup matanya rapat-rapat.
Dia tidak sanggup menatap tubuh maupun wajah Rizal. Tia merasakan ada seseorang
yang berbaring disampingnya.
“Ohmy goaaat, jangan bilang laki-laki ini tidur disampingku!!” Teriak Tia dalam
hati. Nyatanya Rizal memang berbaring disebelahnya. Tia mulai merasakan kaku
ditubuhnya. Dia gugup dan salah tingkah. Bagaimana kalau laki-laki ini
mengajaknya berhubungan suami istri? Pikiran Tia berkecamuk. Tia berbaring dan
membatu. Menunggu detik demi detik, menit demi menit Rizal akan menerkamnya. Beberapa
menit berlalu ketika Tia mendengar dengkur halus disebelahnya. Tia membuka matanya
sedikit demi sedikit dan melihat Rizal sudah tertidur lelap disampingnya.
Disitu dia merasa sudah sia-sia mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu.
Karena kecapekan, Tia pun ikut tertidur.
VISUAL CAST
Tia terbangun begitu mendengar pintu kamarnya digedor seseorang. Ia membuka matanya dan terkejut mendapati tangan aneh melingkari perutnya. Dia bersiap-siap untuk berteriak sebelum akhirnya dia sadar kalau laki-laki disebelahnya ini adalah Rizal, si suami buruh bangunan!!.
Tia melempar tangan Rizal jauh-jauh darinya. Dia merasa jijik karena tubuhnya sudah tersentuh oleh tangan Rizal. Dia bergegas membuka
pintu kamar.
“Sudah Ashar Ndu, mandi dan sholat dulu ya” Nenek berdiri didepan pintu sembari tersenyum hangat padanya. Tia langsung memeluk neneknya dengan sayang.
“Iya Nek, Tia mandi dulu ya..”
“Bangunin suamimu juga Ndu, ajak mandi dan sholat juga”
“Aduh.. Ogah mah.. Kalo nenek mau, biar nenek aja yang bangunin. Tia mah ogah” jawab Tia asal-asalan sembari ngeloyor pergi. Nenek hanya menatap dengan wajah sedih.
“Akan ada waktunya kamu akan sayang sama suamimu Ndu” batin nenek.
Rizal dibangunin nenek. Akhirnya Tia dan Rizal pun sholat terpisah. Ketika menjelang magrib, Rizal baru bisa menjadi imam bagi Tia dan beberapa saudara nenek yang datang. Setelah Isya’ seluruh keluarga berkumpul
diruang tamu. Oh ya, nenek melupakan rincian penting tentang Rizal. Ternyata Rizal juga anak yatim piatu. Dia dibesarkan dipanti asuhan sehingga tidak ada keluarganya yang datang. Boleh dibilang, diruang tamu tersebut keseluruhan keluarga dari nenek. Sebenarnya riwayat Rizal yang hampir sama dengannya harusnya membuatnya lebih memiliki empati terhadapnya. Namun kenyataannya Tia tetap saja membenci Rizal.
“Ini gimana nak Rizal, apa nak Rizal yang tinggal disini bersama Kami apa Tia yang ikut tinggal bersama nak Rizal??” nenek memulai pertanyaan yang membuat Tia terkejut. Sudah tentu lah Rizal harus tinggal dirumah nenek. Dia tidak mau bila harus ikut Rizal dan tinggal dirumah Rizal. Bayangkan aja sih, bagaimana tempat tinggal seorang buruh bangunan?? Membayangkan saja sudah membuatnya ngeri. Dia bukan cewek matre, hanya saja dia
tidak rela meninggalkan rumah nyaman milik neneknya.
“Nek, kenapa tanya hal seperti itu? Sudah jelas Tia akan tinggal disini bersama nenek. Menemani nenek selamanya…”
“Jangan membuat keputusan sendiri Ndu, Kamu sekarang sudah menikah. Hidupmu sudah menjadi tanggung jawab suamimu. Apapun keputusan suamimu, kamu harus patuhi itu.” Nenek melirik Tia, seolah-olah menyuruh Tia
untuk tidak menyela perkataannya. Tia tertunduk lesu. Dia berharap Rizal akan memberikan jawaban yang sesuai dengan keinginannya. Namun harapan hanyalah tinggal harapan.
“Kalo dek Tia tidak keberatan, saya ingin adek ikut saya Nek. Tinggal dirumah sederhana saya” jawab Rizal kalem. Tia memelototkan matanya. Rasanya dia ingin menampar wajah Rizal saking geramnya. Tapi Tia hanya diam, tidak bisa berkutik dihadapan neneknya.
“Kalau itu yang diinginkan nak Rizal, maka Kami keluarga besar Tia akan dengan ikhlas dan senang hati melepas anak Kami” dan Tia pun kembali terduduk lemas. Berkali-kali dia dikejutkan dan dia hanya bisa pasrah tanpa bisa melakukan apa-apa. Ingin rasanya dia memukul Rizal untuk meluapkan amarahnya yang tak tersalurkan. Tapi Tia hanya bisa diam, pasrah menerima keadaan.
“Kalau Tia tinggal dengan Mas Rizal, trus Nenek tinggal dengan siapa?” Tia merengek. Masih berupaya untuk mencegah nenek melepaskannya.
“Ndu, Kamu tidak usah kwatir. Disini banyak saudara-saudara nenek. Kamu juga bias berkunjung ke rumah Nenek kapan pun Kamu mau. Setahu nenek, rumah nak Rizal juga tidak begitu jauh dari sini. Benar itu nak Rizal?”
“Benar Nek, kira-kira sekitar 4-5 km dari sini Nek.” Rizal tersenyum sumringah.
Tia benar-benar kalah telak. Tidak ada lagi alas an yang bias digunakannya. Dengan menghela nafas berat, dia pun berkata.
“Baiklah, bila itu keinginan Nenek maka Tia akan melaksanakannya.”
“Bukan keinginan Nenek saying, tapi keinginan suamimu.” Nenek tersenyum, memeluk Tia dan mencium keningnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!