Zulfa berulang kali menengok ke arah pintu. Hatinya was-was memikirkan suaminya yang sampai selarut ini belum juga pulang. Apa dia kembali pada kebiasaannya semula? Kebiasaannya saat dia remaja? Begitu yang dia dengar dari para tetangga.
Zulfa tak begitu mengetahui tentang kehidupan Herman, sebelum dia dipertemukan dalam ikatan pernikahan.
Maklumlah mereka menikah atas dasar perjodohan. Dia seorang yatim piatu. Sehingga menerima saja, saat pamannya menjodohkan dengan anak sahabatnya yang kini sudah meninggal.
Apalagi mas Herman, calon suaminya adalah anak dari orang berpengaruh di desanya. Selain kaya dan terdidik semua. Dia anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga itu. Sedangkan adik perempuannya yang berjumlah 2 orang, sudah berkeluarga dan menjadi orang sukses. Tak ada alasan menolak perjodohan itu.
Ditambah pula mas Herman juga tak menolak saat diperkenalkan dengannya. Dan menerima dia apa adanya. Serta bertanggung jawab.
Herman termasuk orang yang gigih dalam bekerja. Dengan mudah mengumpulkan uang.
Tapi satu yang tidak dia ketahui, Yaitu kebiasaan berjudi. Kebiasaan itu seakan sudah mendarah daging. Sehingga sulit untuk hilang. Bila sudah memegang uang, maka penyakitnya itu akan kambuh. Dan tak akan berhenti sebelum uangnya habis semua. Kalau sudah demikian maka minuman keras akan jadi pelariannya.
Pada saat awal-awal kami menikah, tidaklah demikian. Kami sangat bahagia, apalagi dengan kelahiran putra pertama kami. Yang kami nama Irwan Setia Budi. Dia sangat bahagia, semakin giat bekerja. Dan melupakan kebiasaannya itu.
Tetapi menjelang kelahiran putriku, Malika Hapsari. Kebiasaan itu muncul kembali. Maklumlah saat itu, bisnis mas Herman sedang berada di puncaknya. Ditambah lagi teman-temannya yang dulu, sering mengunjunginya. Dia tak bisa menolaknya. Tapi lama kelamaan ... inilah awal ketidak stabilnya keluargaku.
Kadang, kucoba mengingatkan. Tapi hanya membuat amarahnya meledak-ledak. Sehingga mengeluarkan kata-kata kasar, yang kurang baik bagi pendengaran anak-anak yang masih kecil.
Tak jarang Irwan yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar menjadi sasaran. Bila tak puas memarahiku. Mungkin lebih baik diam. Aku sebagai istrinya benar-benar dibuat tak berdaya, dengan kebiasaannya itu. Seperti yang terjadi di malam ini. Tanpa salam terlebih dahulu, dia masuk ke dalam rumah.
"Mas sudah pulang? "
"Dasar wanita tak bawa hoki. Gara-gara kamu, aku selalu kalah judi."
Apa maksudnya, Aku tak tahu. Aku hanya bisa beristighfar dengan kebiasaannya itu. Aku sudah tak lagi bisa marah padanya.
"Mas sudah makan?"kataku mencoba berbicara baik padanya. Aku tahu kalau dia sedang kesal. Ini terlihat dari ekspresi wajah mas Herman yang memerah. Ah, mungkin karena alkohol juga.
Herman menuju meja makan, tanpa peduli sapaan Zulfa, melahap makanan yang ada, hingga habis tanpa sisa. Sedangkan Zulfa menemaninya duduk tanpa berkata apapun. Sambil sesekali mengambilkan apa yang dia butuhkan.
Dari ruang yang ada di sebelah kiri, Irwan datang sambil mengucek matanya, menghampiri mereka.
"Bunda, Irwan haus."
"Sini Sayang, bunda ambilkan."
Segera aku berlalu dari mas Herman, menyiapkan susu coklat untuknya.
"Ini Sayang," sambil mendudukkannya di hadapan mas Herman.
"Hai kamu, sudah besar masih juga minum susu." Diraihnya cangkir itu dari tangan anakku dan melemparkannya begitu saja. Hingga susu itu tercecer di lantai.
Tak ayal, membuat tangis Irwan meledak. Ada ketakutan di wajahnya.
"Bunda."
"Sudah Sayang, Bunda buatkan lagi."Kataku menghibur. Aku pun beranjak meraihnya. Belum sempat melangkah. Mas Herman sudah berteriak.
"Nggak usah, air putih saja!"
"Mas!" teriakku lembut.
"Apa. Mau membantah." Tampak sorot matanya tajam, seakan menusuk jantung kami berdua. Membuat diriku tak berdaya. Aku hanya bisa mengusap kepalanya dengan lembut dan mencium pipinya, agar tenang.
Dengan sedikit bujukan, akhirnya Irwan menurut. Dan mau minum air putih. Setelah Itu aku bawa kembali ke kamarnya, menidurkannya dengan membelainya lembut.
Ada air mata di sana. Di sudut mata putraku Segera ku hapus dengan doa. Semoga engkau jadi anak yang sholeh.
"Sabar, ya Nak." bisikku setelah dia terlelap.
Zulfa merenung atas kebiasaan Herman yang demikian. Mencoba bersabar atas keadaan ini. Mungkin dia bisa, tapi bagaimana dengan putra-putrinya.
Bukannya dia tak tahu, saat suami pulang pasti membawa cukup uang. Namun hanya sebagian kecil yang dia serahkan padanya. Yang terkadang harus dia kembalikan, manakala modal bisnis habis di meja judi.
"Herman, ada apa ribut-ribut."
Rupanya mama terbangun oleh ulah mas Herman tadi.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun ...."
Kudengar suara mama menjerit. Segera aku bangkit meninggalkan Irwan, menuju ke ruang tengah. Aku melihat jatuh terduduk di lantai. Dia mencoba berdiri memegang pinggangnya yang sakit.
Astagfirullah ....
Rupanya aku lupa belum membersihkan susu yang tercecer tadi. Aku menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Maaf, Ma. Zulfa lupa bersihkan."
"Nggak apa-apa, Zulfa. Irwan sudah tidur."
"Sudah Ma."kataku sambil membantunya duduk di kursi.
Sedangkan mas Herman, dengan cueknya berlalu dari hadapan mama. Menuju kamar kami.
"Sudah, jangan banyak ceramah wanita tua. Uangku lagi habis nich."teriaknya.
"Dan kamu. Cepat beresin ini. Bikin celaka orang saja."
Aku pun menganggukkan kepala. Dan segera mengambil lap basah dan kering, untuk membersihkan bekas-bekas susu.
Melihat itu, mama terlihat mengelus dada.
"Mama sudah bangun?"
"Ya Zulfa, mama sedang sholat saat terdengar benda pecah tadi."
"Maafkan Zulfa Ma."
"Nggak apa-apa. Herman pulang malam lagi."
Entah itu pertanyaan atau pernyataan aku tak tahu. Aku hanya mengangguk.
"Untuk besok sudah ada persediaan?" tanya mama.
"Ada, Ma."jawabku berbohong.
"Ini, mama ada sedikit uang. Buat cucuku senang."kata mama sambil mengulurkan sejumlah uang padaku.
"Tidak, Ma. Itu untuk mama. Nanti apa kata Rahmi kalau tahu."
Aku tahu mama tak pernah kehabisan uang. Karena adik-adik mas Herman selalu mengirimkannya uang tiap bulan. Bahkan lebih. Atau kalau mereka datang. Karena mereka bekerja, sedangkan suami mereka, selalu memberi uang belanja yang lebih dari cukup, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
"Sudahlah. Mereka tak apa-apa. Dan itu juga untuk Irwan dan Lika."kata mama.
Aku tahu mereka juga selalu menitipkan uang untuk Lika dan Irwan melalui mama. Karena kalau memberikan secara langsung, pasti akan membuat mas Herman marah.
"Ma, boleh Zulfa ngomong."
"Bicaralah Zulfa."
Jawabannya yang teduh membuatku punya keberanian untuk bicara.
" Zulfa ingin bekerja, Ma."
Tak sangka mama meneteskan air mata. lalu membelai rambutku hingga pundakku.
"Maafkan Mama, Zulfa. Yang nggak bisa mendidik Herman menjadi suami yang baik untukmu."
"Mama jangan ngomong seperti itu. Zulfa selalu berdoa. Semoga Mas Herman segera mendapat hidayah. Dan berhenti dari kebiasaannya."
"Makasih, Zulfa."
"Bagaimana, Ma."
"Mama hanya bisa mendukungmu. Tak bisa bantu apa-apa."
" Lalu, kamu kerja apa?"
"Bikin kue kering. Untuk sementara penjualannya melalui on line dan tetangga-tetangga sekitar. Jadi nggak sampai ninggalin Lika."
"Bagus itu." kata mama antusias
"Lalu, apakah harus ijin mas Herman, Ma."
Mama menarik nafas panjang dengan berat.
"Memang sebaiknya ijin. Tapi bilang saja itu pekerjaan mama, kamu mau bantu mama."
"Iya, Ma."
Tak terkira bahagia hati Zulfa, dia langsung memeluk mertuanya.
Mama Halimah, mamanya mas Herman. Dia sangat menyayangi menantunya itu seperti putrinya sendiri. Demikian juga dengan Zulfa, seolah-olah menemukan ibu kembali. Dia merasa sangat beruntung. Meski Herman sering menyakitinya, tapi melihat mama Halimah, hatinya terobati.
Mama Halimah berkata demikian bukan tanpa alasan. Dia paham betul tentang sifat putra satu-satunya itu. Yang egois dengan harga diri tinggi. Sehingga sulit sekali menerima kalau dia bekerja untuk sekedar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu sama saja dengan merendahkan dirinya.
"Sekarang istirahatlah."
"Mama juga."
Setelah mama kembali ke kamarnya, diapun ke kamar Herman. Sekedar melihat apakah dia sudah tertidur atau belum. Bila sudah tidur, akan merasa lebih tenang.
Khawatir kalau belum tidur, lalu membuat keributan karena Zulfa tak ada di sampingnya. Alhamdulillah, dia sudah tidur nyenyak.
Zulfa menuju kamar putranya. Menuju ranjang Irwan. Membelainya sejenak. Lalu menuju ranjang yang satunya lagi. Dimana Lika juga sedang menikmati mimpi indahnya. Terlihat senyum menghias bibirnya.
Kembali rumah ini sunyi. Zulfa menikmati malam dengan ketenangan di kedua sisi anak-anak manis, yang sudah tertidur pulas. Mengantarnya tidur, matanya terpejam sempurna.
🔷
Seperti biasa, sebelum subuh Zulfa bangun. Membantu suami menyiapkan barang dagangan. Yaitu menata tempe-tempe dalam keranjang. Yang nanti akan dibawa ke pasar, dengan memakai mobil pick up yang dia punya.
Demikian juga di hari ini, setelah melakukan sholat tahajud, bergegas menuju kamar suaminya yang masih tertidur nyenyak. Dia sentuh bahunya agar terjaga.
"Ada apa sich. Masih ngantuk. Ganggu saja." racaunya dengan mata masih terpejam.
"Mas, nanti kesiangan." ganti dia sentuh pipinya. Tapi Herman mengibaskan tangannya dengan kasar. Lalu berbalik membelakanginya. Rupanya dia masih ingin melanjutkan tidur.
"Ya sudah," kata Zulfa sambil berlalu dengan hati kecewa.
Kalau sudah begini, mau tak mau dia yang akan melakukan semuanya. Dari memotong-motong tempe yang masih terhampar di atas 'widik' besar, sampai siap untuk dibawa ke pasar.
Meski demikian, dia menjalaninya tanpa banyak cakap. Segera dia buka penutup tempe dari daun pisang, yang masih terhampar. Dan tersusun di atas rak. Dengan berpijak di atas kursi panjang, dia memotongnya dengan hati-hati. Untunglah, sudah ada ukurannya. Yaitu penggaris kayu.
Sudah hampir selesai memotong, baru Herman berjalan mendekatinya.
"Mas sudah bangun. Maaf, Zulfa potong-potong."
Dipikirnya akan mendapatkan ucapan terima kasih. Tapi ternyata tidak.
"Kamu ini apa-apaan. Kalau gini bikin rugi tahu!" ujarnya dengan mata tajam. Memakinya dengan suara keras.
Hingga dia tersentak, membuat pisau yang ada di tangannya terlepas. Dan jatuh, hampir-hampir melukai kakinya.
"Mas."teriaknya.
Tapi malah membuat Herman makin kesal. Sehingga telapak tangannya melayang menuju wajah Zulfa. Beruntung dia berhasil menghindar. Meski dilakukannya tanpa sengaja. Karena ingin memungut pisau yang jatuh tadi.
Terdengar suara Lika yang sedang menangis. Dia terbangun karena mimpi. Tidak mendapati bundanya di dekatnya.
Zulfa segera berlari, menyerahkan pisau dan penggaris kayu pada Herman. Meninggalkan Herman yang masih marah dan kesal.
Setelah dirasa tenang dan tertidur, dia kembali membantu Herman yang sedang menyelesaikan pekerjaannya tadi.
"Masukkan semua ke keranjang. Aku mandi dulu."katanya berang.
"Mas, jangan lupa sholat subuh."
"Jangan sok alim. Lagian nggak tahu apa, kalau ini sudah siang. Keburu pergi pelangganku nanti."bentaknya. Lalu berlalu pergi meninggalkan Zulfa.
Zulfa hanya menunduk. Lalu dia memasukkan semua tempe ke dalam keranjang. Dengan sekuat tenaga dia mengangkat keranjang itu ke atas pick up. Akhirnya selesai sudah pekerjaannya.
Dulu dia mempekerjakan tetangganya untuk membantu. Tapi karena tak mampu lagi memberi upah, dia berhentikan. Dan kini,dia lakukan sendiri pekerjaan itu.
Herman seperti nggak perduli dengan kesulitan yang dihadapi istrinya. Yang dia tahu segera ke pasar dan mendapatkan uang.
Setelah selesai diapun membersihkan diri, untuk menyambut azan subuh yang sebentar lagi . Karena tarhim sudah berakhir.
Bertepatan azan subuh dikumandangkan, Herman pun menghidupkan mobilnya hendak berangkat. Zulfa berlari menghampirinya dengan rukuh yang telah dipakainya.
"Mas, beras di rumah sudah habis."
"Ya belilah."
"Uangnya?"
"Boros banget kamu jadi istri. Masak kemarin yang aku kasih, sudah habis."
"Ya Mas, Sudah. Untuk beli kedelai, Mas."
"Kamu tahu, uangku juga habis, tahu!" bentaknya.
" Sudah, nanti aku kesiangan."
Meski kecewa, Zulfa mencoba bersabar.
"Mas, mama mau bikin kue untuk dijual. Aku bantu mama ya?"
Sepertinya dia berfikir.
"Terserah."
Zulfa menarik tangan Herman dan menciumnya.
"Assalamu'alaikum ...." Zulfa berucap dahulu.
Bukan tanpa alasan dia yang mendahului. Karena selama ini tak pernah Herman yang mengucapkannya. Maka dia yang berinisiatif untuk memulainya.
"Wa'alaikum salam ...."jawab Herman tanpa menoleh sedikitpun. Dia langsung menginjak pedal. Segera pergi dari hadapan Zulfa, seiring nada merdu pujian putra pak Zainal di musholla.
Terlihat mertuanya keluar rumah dengan memakai rukuh, menuju arah tersebut.
"Kamu sholat di rumah saja. Nanti Lika bangun."nasehatnya, karena melihat Zulfa yang memakai rukuh. Disangka akan jamaah di musholla.
"Ya, Ma. "jawab Zulfa. Ia kembali ke dalam rumah, khawatir kalau-kalau Lika atau Irwan terbangun.
Alhamdulillah, selesai melaksanakan sholat subuh, mereka masih pulas tertidur. Sehingga Zulfa bisa tenang menyiapkan minuman kopi susu untuk mertuanya. Yang juga telah kembali dari musholla.
Setelah itu, dia duduk sejenak. Menimang-nimang uang yang ada di genggamannya.
Ini adalah uang pemberian mama tadi malam untuk Irwan dan juga Malika. Dia benar-benar merasa tak berhak atas uang itu. Tapi bagaimana lagi.
Maafkan bunda, ya nak. Hanya itu, yang mampu dia bisikan dalam hati.
" Ma, aku mau ke warung dulu."
"Sekalian beli bahan untuk membuat kue."
"Ya," jawab mama singkat.
"Titip Irwan dan Lika, Ma."
"Cepatlah."
Dengan langkah lebar Zulfa menembus gelapnya subuh yang mulai tersibak oleh sinar surya yang malu-malu menampakkan diri. Menuju toko kelontong yang berada 500 meter dari rumahnya.
Sampai di sana toko masih sepi, baru pintu pertama di buka. Suci, pemilik toko itu pun tersenyum menatap Zulfa.
"Alhamdulillah, sudah buka."kata Zulfa.
"Tapi sebentar, aku buka semua pintunya dulu."
Sambil duduk di kursi panjang, Zulfa menunggu mbak suci menyelesaikan membuka pintu. Setelah itu dia mendekati mbak Suci.
"Mbak, boleh aku ngomong."
"Ngomonglah, mumpung masih sepi."kata mbak Suci.
"Mbak aku mau bikin kue-kue kering, untuk aku jual. Tapi nggak punya modal. Bolehkah aku ngambil bahan-bahan dari mbak Suci. Dan pembayarannya nanti."
"Wah, aku senang sekali Zulfa. Aku lebih suka meminjami dengan cara itu dari pada meminjami uang."
"Benarkah, Mbak."
...
...
.....
SELAMAT MEMBACA
Zulfa dengan semangat, mengambil bahan-bahan yang dia perlukan. Untuk pembuatan kue keringnya.
"Kamu mau bikin apa tho?''
"Pastel, unthuk yuyu, antari. Sementara itu dulu."
"Aku pesan, masing-masing 1 kg. Kalau bisa besok jadi, bagaimana?''
''Benarkah?''
''Besok aku mau jenguk anakku, di Malang. Sekalian berkunjung ke saudara yang di sana."
"Jam berapa?"
"Insya Allah , Sore."
"Bisa, bisa, mbak. Insya Allah bisa."
Setelah semua bahan yang dia perlukan sudah terkumpul di meja kasir, mbak Suci menghitung semuanya.
"Semua habis 350 ribu."
"Maaf, mbak Suci. Hanya ada 100 ribu. Yang lainnya nanti. Aku bawa dulu, boleh?"
"Ya, Fa. Aku ngerti kok. Sudah jangan kamu pikirkan. Pikirkan pengembaliannya saja, hehehe ...." kata Suci sambil tertawa.
"Maaf mbak."
"Jangan diambil hati, Fa. Aku hanya bercanda kok."
"Makasih, mbak Suci."
"Iya, Fa. Semoga kamu nggak bosan belanja di sini."
"Ya mbak."
"Pelaris-pelaris."teriak mbak Suci mengiringi langkah kaki Zulfa pergi.
Dengan langkah lebar dia menuju ke rumahnya. Sesampai di rumah disambut Malika yang mengucek-ucek matanya di depan pintu.
"Rupanya putri bunda sudah bangun."ujar Zulfa menatap putrinya dengan senyuman.
"Bunda, kemana sich. Lika cari dari tadi tak ada."
"Bunda belanja sayang, nich."
"Mana oleh-olehnya."
Dengan setia dia mengekor pada bundanya yang berjalan ke arah dapur. Zulfa hanya tertawa melihat putrinya itu.
"Sebentar, ya."
Untunglah, tadi dia tidak lupa mengambil 2 batang wafer, untuk oleh-oleh ke dua anaknya.
Setelah meletakkan semua belanjaan nya di meja dapur, dia mengambil wafer itu, diberikannya pada Lika, yang masih setia menanti.
"Ini." kata Zulfa. Sambil bercanda memberikannya pada Lika. Lalu meninggalnya. Mengambil beras yang baru dibelinya, dibersihkan, menjerangnya di atas kompor.
"Mama, mbak Suci pesan kue yang mau kita buat."
"Alhamdulillah, semoga ini bertanda baik, buat usahamu."
"Amiiiin." sahut Zulfa.
"Hari ini masak apa, Nduk." Panggilan sayang yang membuat hati ini nyes, seperti mendapatkan air zam-zam dari Mekkah.
"Mama mau dimasain apa?"
"Mama sih peyetan tempe sudah cukup. Untuk Lika dan Irwan?"
Selalu itu yang mama pikirkan, cucu-cucunya.
"Pagi ini, cukup telor mata sapi kesukaan mereka. Nanti siangnya sayur bening dan dadar jagung."
"Bagus lah."
Tak terasa matahari sudah beranjak naik, sepertinya Irwan belum bangun juga. Zulfa segera menuju kamar Irwan. Tapi ternyata yang dicarinya sudah tidak ada. Kemana perginya ....
Setelah mencari-cari di setiap sudut rumahnya, akhirnya ketemu juga. Ternyata dia asyik bermain tanah dengan adiknya. Entah bikin apa. Terlihat beberapa gundukan tanah yang mereka bentuk.
Tak mau membuang waktu, Zulfa kembali ke dapur mengambil nasi dan telur mata sapinya. Dengan telaten menyuapi keduanya. Hingga nasi di piring, habis tak tersisa.
"Sudah mainnya. Sekarang mandi."
"Sudah siang. Nanti telat sekolah."
"E ... e ... e ... Bunda, masih pagi." rengek Irwan.
"Irwan ...."panggil Zulfa dengan lembut, sekali lagi.
"Ya Bunda."sahutnya tanpa meninggalkan permainannya.
"Irwan ..., anak bunda yang sholeh dan rajin belajar." panggilnya dengan banyak pujian.
"Hehehe... ya Bunda."
Akhirnya Irwan mau berdiri. Lalu mengibas-ngibaskan bajunya, agar terbebas dari tanah.
" Lika, mandi juga."
Malika ini lebih menurut dari pada kakaknya. Mungkin karena dia perempuan.
Namanya juga anak-anak. Dimana pun berada, selalu punya ide untuk membuat alat-alat di sekitarnya menjadi permainan yang mengasyikkan.
Baru ditinggal sebentar, untuk menyiapkan baju. Air yang ada di bak sudah berubah warna dan penuh busa. Yang bikin berang bundanya.
"Sudah, sudah. sini kalian." kata Zulfa sambil mengambil slang yang ada di dekatnya. Dia menyemprot keduanya hingga bersih. Lalu memberi masing-masing sebuah handuk.
"Kalian masuk. Tunggu bunda di dalam."
Zulfa pun membereskan kehebohan yang diperbuat krucilnya. Lalu menyusul mereka setelah semua beres.
Alhamdulillah, mama Halimah turun tangan juga. Ikut memakaikan baju keduanya. Sehingga saat Zulfa masuk, tinggal menyisir rambutnya.
"Zulfa, kapan kamu bikinnya?"
"Setelah mengantarkan sekolah Irwan, Ma."
"Sudah, kamu mulailah bikin sekarang. Biar mama yang mengantarkan Irwan sekolah. Sekalian mama mampir ke adik kamu, Indah."
"Saya takut, nanti Irwan merepotkan mama"
"Irwan, hari ini bundamu sibuk, mau bikin kue. Diantar sama eyang ya ...."
"Bunda mau bikin kue, Eyang"
"Tanya itu sama bundamu itu!"
"Benar, Bunda?"
"Ya." kata Zulfa sambil membereskan sisir dan bedak, untuk diletakkan di tempatnya.
"Baiklah, Irwan diantar sama eyang putri saja sekolahnya. Soalnya asyik,"katanya senang.
Mamanya memang sering memanjakan mereka. Sehingga kadang-kadang membuat Zulfa malu. Sudah tak pernah memberinya uang. Ini malah anak-anaknya sering meminta sesuatu pada mamanya.
"Nanti belikan Irwan mobil-mobilan ya, Eyang putri." ucapnya tanpa dosa.
"Irwan ...." tegur Zulfa.
Yang ditegur, sepertinya nggak peduli.Dia menggandeng eyang nya, hendak berangkat ke sekolah.
"Salim dulu sama bundamu." tegurnya.
Diapun segera menghampiri bundanya dan mencium tangan bundanya.
"Irwan pergi sekolah dulu, Bunda. Assalamualaikum ....." kata Irwan.
"Wa'alaikum salam .... Ingat, nggak boleh nakal."
"Ya, bunda." jawabnya.
Irwan menggandeng neneknya, dan berjalan ke luar untuk ke sekolah dengan hati senang.
Tak usah menunggu keduanya menghilang, Zulfa menuju dapur. Dan membuat kue sesuai rencana. Kebetulan semua sudah di kuasainya. Sehingga tak perlu waktu lama untuk membuat adonan unthuk yuyu. Kemudian menggorengnya. Dengan setia, Lika duduk di sampingnya, untuk mencicipi karya pertama bundanya.
Lika yang sangat suka dengan kue itu, begitu kue itu di angkat dari penggorengan, langsung mengambil kue tersebut. Dan memakannya. Sehingga satu gorengan yang pertama habis olehnya. Mau dicegah, kasihan juga. Zulfa pun membiarkannya.
Ya memang dasar anak-anak, selalu saja ingin menunjukkan sesuatu yang dia suka kepada teman-temannya. Tak terkecuali Lika. Dia membawa setelangkup kue itu kepada teman-temannya.. Dan membagikannya dengan gratis.
Para ibu yang menyaksikan putra-putri mereka kembali dengan membawa kue pun tertarik, dan mencicipinya. Karena memang kue itu sangat lezat. Dengan cepat, mereka menuju rumah Zulfa, untuk memesan kue tersebut.
Alhamdulillah, awal pembuatan kue ini sukses. Hampir 8 kilo unthuk yuyu, yang dia buat, sudah terpesan semua. Begitu juga dengan rencana membuat antari 5 kilo serta 7 kilo Pastel kering juga sudah terpesan semua. Tinggal membuatkannya dengan bahan yang ada. Rezeki anak Sholeh ....
Ketika Irwan pulang sekolah, sudah selesai yang unthuk yuyu.Sedangkan antari baru dalam tahap pembuatan adonan. Untuk sementara dihentikan dulu. Untuk menyiapkan makan siang mereka dan mengantarkan mereka tidur siang.
"Bagaimana, Fa?"
"Alhamdulillah, Ma. Tetangga banyak yang pesan."
"Kok bisa?" tanya mama Halimah heran, "Bagaimana bisa mereka tahu."
"Ya, itu semua berkat bagian pemasaran cilik kita." kata Zulfa sambil tertawa.
"Maksudmu?"
"Lika."
Mama Halimah kelihatan semakin tak percaya.
"Tapi ya gitu, 3 kali angkatan habis oleh dia dan teman-temannya." kata Zulfa tertawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!