NovelToon NovelToon

Ahan

Farel_Dirgantara_Adhiatama_1

Hari ini Farel pulang lebih awal, ia merasa lelah dengan pekerjaannya yang menumpuk.

Belum lagi dengan ibunya yang selalu mendesak dirinya untuk segera menikah. Sudah capek dengan urusan kantor, ia juga capek dengan permintaan ibunya.

Mobil sport hitam berhenti di halaman rumah yang sangat megah dan juga mewah. Farel bergegas turun dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Baru saja Farel mau naik ke atas, suara ibunya terdengar memanggil dirinya.

"Farel, ke sini sebentar Sayang, mama mau tunjukin sesuatu sama kamu," panggil Lidia ibunda Farel.

Dengan langkah kaki yang malas, Farel pun membalikan tubuhnya dan berjalan menghampiri ibunya yang sedang duduk di sofa.

Farel menjatuhkan bobot tubuhnya di samping ibu, punggungnya menyender di senderan sofa.

Sementara Lidia tengah sibuk dengan foto-foto yang ia pegang, Lidia tengah menaruh satu persatu foto tersebut di atas meja.

"Sayang, kamu lihat dulu sini," pinta Lidia. Dengan malas Farel pun bangkit.

Melihat foto-foto itu, Farel merasa jengah, ia tidak tau maksud ibunya dengan semua foto tersebut.

Farel pun memperhatikan foto itu, ia bergidik ngeri melihat foto-foto tersebut, meski Farel seorang lelaki, tetapi melihat foto seperti itu, ia sangat tidak suka.

"Kamu pilih salah satu di antara mereka, nanti akan mama kenalkan sama kamu," pinta Lidia. Farel langsung melotot mendengar ucapan ibunya itu.

"Enggak deh ma, enggak ada yang menarik," ucap Farel. Ia sama sekali tidak tertarik secuil pun dengan foto-foto tersebut.

"Masa enggak ada yang menarik, apa kurang cantik, atau kurang seksi," ujar Lidia. Ia heran dengan putranya itu, wajah cantik-cantik begitu masa tidak menarik.

Setelah itu, Farel memutuskan bangkit dari duduknya dan beranjak menuju ke kamar.

Sementara Lidia masih sibuk dengan foto-foto tersebut, ia masih memeriksa foto itu satu persatu.

Farel tiba di kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh hari yang sangat melelahkan.

Lelah hati dan juga pikirannya, ibunya selalu memaksa dirinya untuk segera menikah, dan hal itu sangat mengganggu pikiran Farel.

"Huuft." Farel membuang nafas. Ia menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya tengah berputar mencari akal agar bisa menghentikan aksi ibunya itu.

Tiba-tiba handphonenya berdering, dengan malas ia pun mengambil benda pipih itu.

Farel melihat di layar handphonenya tertera nama Viona. Semakin malas ternyata wanita itu yang menelepon.

"Ngapain sih nih orang nelfon-nelfon, kurang kerjaan banget," gerutu Farel. Bukanya di angkat, justru Farel melempar handphonenya ke samping.

Farel mencoba memejamkan matanya, berharap nanti pikirannya akan kembali fresh. Setelah otaknya berfikir seharian.

***

Pagi-pagi sekali, Farel sudah siap dengan pakaian kerjanya, pagi ini Farel ada meeting, itu sebabnya ia akan berangkat lebih awal.

Selesai bersiap-siap, Farel segera turun. Setibanya di bawah Lidia langsung memanggil putranya untuk sarapan pagi.

"Sayang, sarapan dulu, mama udah nyiapin makanan kesukaan kamu," kata Lidia. Ia masih sibuk menata makanan di atas meja.

"Farel sarapan di kantor ma, pagi ini ada meeting," sahut Farel. Ia pun menghampiri ayah dan ibunya, untuk berpamitan.

"Ya sudah, ingat ya, besok kamu harus kenalin calon istrimu pada mama sama papa, iya kan pa," tutur Lidia mengingatkan. Ia pun melirik ke arah suaminya, sementara yang dilirik hanya terkekeh.

Farel menghela nafas, masih pagi otaknya harus memikirkan hal seperti itu lagi. Belum lagi urusan kantor. Sungguh sangat menyebalkan.

Farel benar-benar tengah diuji kesabarannya.

"Ya sudah ma, pa, Farel pergi dulu, assalamualaikum," pamit Farel. Ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah.

Kini Farel tengah dalam perjalanan, ia menyenderkan kepalanya di senderan joknya.

Ia memijit pelipisnya yang terasa sedikit pusing, minggu depan ia harus ke Jepang untuk urusan bisnisnya, besok harus mengenalkan calon istri pada orang tuanya.

"Arrght sial," Farel mengerang frustasi. Supirnya hanya menggelengkan kepalanya melihat Tuannya.

***

Di lain sisi, seorang gadis sedang duduk di bangku, sementara teman-temannya yang lain sudah berhamburan keluar menuju ke kantin.

Tiba-tiba salah satu temannya datang menghampirinya.

"Ke kantin yuk Del," ajaknya. Sementara yang di ajak masih duduk santai.

"Kamu aja Ris, aku bawa bekel," jawab Adelia. Iya gadis itu adalah Adelia, sementara temannya bernama Riska.

"Oh, ya sudah, duluan ya," sahut Riska, dan dibalas dengan anggukan oleh Adelia.

Setelah Riska pergi, Adelia segera membuka bekel makanannya. Setiap hari Adel memang selalu membawa bekel dari rumah.

Lumayan, biar uang sakunya irit, hidup dalam kondisi serba kekurangan, membuat gadis berusia 18 tahun itu, harus pintar mengatur keuangannya.

Adel tidak seperti teman-temannya, yang hidup serba kecukupan, tapi meski begitu, Adel tetap menjalaninya dengan senang hati. Ia tidak pernah merasa minder atau gengsi dengan temannya, walaupun sering ada yang menghinanya.

Selesai makan, Adel bergegas menuju ke perpustakaan untuk belajar, hampir setiap hari Adel seperti itu, ia lebih memilih untuk membaca buku, ketimbang ngumpul bareng temannya yang ujung-ujungnya bergosip. Saat Adel tengah fokus membaca, tiba-tiba seseorang datang, dan tanpa permisi orang itu langsung duduk di sebelah Adel.

"Kok, sendirian sih Del, temen kamu mana?" tanyanya, sementara Adel tetap fokus pada buku yang ia pegang.

"Ini temen aku," jawab Adel, sembari menunjuk buku yang ia pegang.

Seketika orang itu tertawa, entah apa yang lucu, sampai membuat orang itu tertawa.

Namun Adel sama sekali tidak menggubris teman sekelasnya itu, ia tetap fokus membaca.

"Del, nanti pulang sekolah kita jalan ya," ujarnya. Ia berharap jika gadis itu mau menurutinya.

"Nggak." Tolak Adelia dengan tegas.

Matanya pun tetap fokus pada buku yang ia pegang.

"Adelia, ayolah, sekali ini saja," bujuknya. Cowok itu terus membujuk Adel agar mau menerima ajakannya.

"Revan, kamu ajak Putri aja, primadona di sekolah ini, dan kamu juga tau kan, aku itu enggak suka sama kamu, jadi aku minta kamu jangan ganggu aku lagi, ngerti," jelas Adelia panjang lebar. Setelah itu Adel pun bangkit dan beranjak pergi.

Sementara itu, Revan masih duduk, ia tidak percaya jika Adel akan bicara seperti itu.

Padahal Revan sangat mengharapkan jika rasa yang ia miliki bisa terbalaskan, tapi kenyataannya itu hanya mimpi.

"Aku enggak akan nyerah begitu saja, Adelia kamu pasti akan menjadi milikku," desis Ravan. Matanya menatap tajam pada punggung gadis itu yang mulai menghilang.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, semua siswa-siswi sudah berhamburan pulang, begitu juga dengan Adel, ia juga sudah pulang.

Namun sebelum ia pulang ke rumah, terlebih dahulu Adel datang menemui ibunya yang tengah berjualan kue.

"Aku harus cepat sampai, kasihan ibu, pasti sangat lelah dari pagi berjualan," gumam Adelia. Ia terus berjalan menyusuri jalan raya yang ramai akan kendaraan.

Jarak sekolah ke tempat ibunya berjualan lumayan jauh, untuk berjalan kaki menempuh sekitar 40 menit, sementara sekolah ke rumah, hampir 2 jam. Maka dari itu, Adelia selalu datang lebih pagi agar tidak terlambat ke sekolah.

Meski begitu, Adel tidak pernah mengeluh, ia tetap bersemangat untuk bersekolah.

Adel ingin membahagiakan kedua orang tuanya, kedua adiknya pun begitu, meski hidup dalam keluarga yang sederhana, mereka tidak pernah putus asa.

Adel telah tiba di tempat di mana ibunya berjualan kue.

Namun mata Adel membulat sempurna saat melihat kejadian yang di luar dugaannya. Dengan segera Adel berlari menghampiri ibunya.

Diandra_Adelia_Putri_2

Adel menatap tajam ke arah tiga pria yang berdiri di depannya, Adel akui, tubuh mereka jauh lebih besar darinya.

Selain besar, juga tinggi dan juga kekar, belum lagi tato yang menghiasi lengan dan lehernya.

Entah kenapa Adel berani menatap ketiga pria itu, ia tidak peduli dengan tubuh mereka yang besar itu. Dalam keadaan marah Adel berubah menjadi lebih berani.

"Apa yang kalian lakukan pada ibu saya," seru Adel. Matanya menatap tajam ke arah tiga pria itu.

"Heh anak kecil, mulai sekarang ibumu tidak bisa berjualan di sini lagi, karena ada yang mampu menyewa tempat ini dengan harga lebih mahal, jadi kalian cepat pergi dari sini," jelas orang itu.

Adel terperangah mendengar penjelasan itu, ia tidak percaya jika orang itu tega mengusir ibunya.

Mata Adel beralih pada dagangan ibunya yang sudah berserakan di tanah. Gadis itu merasa miris dengan keadaan yang sekarang.

Semenjak ayahnya pergi entah kemana, ibunya yang telah menjadi tulang punggung keluarga, ibunya bekerja keras, demi menghidupi ketiga anaknya.

Adel yang sudah dewasa, ia selalu membantu ibunya berjualan setiap pulang sekolah.

"Bang, ibu saya kan selalu tepat waktu membayar uang sewanya," seru Adel. Ia tidak terima dengan perlakuan ketiga orang itu.

"Ah sudah, sekarang kalian pergi dari sini, dan bawa barang-barang butut ini, cepat!" Bentaknya. Mereka pun kembali melempar dan membanting perabot yang terletak di atas meja.

Adel ingin melawan, tapi dengan cepat ibunya menghalanginya, karena percuma melawan, mereka lebih kuat.

Sementara teman pedagang lainnya hanya bisa melihat, mereka tidak berani membantu, karena nantinya barang dagangan mereka yang akan menjadi korban.

"Sudah Nak, kamu tidak perlu melawannya lagi, ibu ikhlas," tuturnya dengan lembut. Tangannya memegangi kedua bahu Adel, untuk menenangkan putrinya itu.

"Sekarang bantu ibu beresin ini ya," sambungnya. Adel pun mengangguk, setelah itu Adel membantu ibunya untuk membereskan itu semua.

Setelah semua beres, Adel dan ibunya bergegas pulang ke rumah, untung saja jarak rumahnya tidak terlalu jauh.

Hanya butuh waktu 30 menit mereka sudah tiba di rumah, belum sempat masuk ke rumah, Adel dan ibunya melihat Irma dan Indra pulang dari sekolah.

"Irma, Indra, kok kalian baru pulang, kalian dari mana saja?" tanya Adel. Ia berjalan menghampiri kedua adiknya itu.

"Iya Kak, kami tadi habis dipanggil oleh pak kepala sekolah, besok kami harus membayar biaya ujian, kalau tidak ... kami tidak bisa ikut ujian," jelas Indra. Hal itu membuat Adel dan ibunya terdiam.

"Ya sudah, ayo kalian semua masuk dulu, pasti kalian capek," sela Mira, ibunda Adel dan kedua adiknya.

Mereka pun masuk ke dalam rumah, Adel dan kedua adiknya segera berganti pakaian, sementara Mira duduk di kursi, ia tengah meratapi nasibnya, dan juga nasib ketiga anaknya. Air matanya pun menetes tanpa meminta izin.

***

Hari telah berganti, seperti kemarin,

hari ini Farel berangkat ke kantor lebih awal. Selain ada meeting, Farel juga mencoba untuk menghindari masalah pernikahan, yang selalu Lidia desakan.

Setelah berpamitan, Farel bergegas keluar dan masuk ke mobil.

Dalam perjalanan, Farel terus memikirkan perkataan ibunya, ia terus memutar otak untuk mencari alasan yang tepat, tapi sayang, hampir semua alasan yang pernah Farel pake, tidak ada yang berhasil.

Ibunya juga bukan tipe orang yang mudah menyerah.

Mata Farel beralih pada benda pipih yang ia pegang, sedari tadi terus saja berbunyi, dan setelah ia mengeceknya, mata Farel tiba-tiba membulat sempurna.

Rentetan pesan dari ibunya sudah memenuhi layar handphonenya, dan isinya tak lain adalah, permintaan Lidia agar nanti malam Farel harus mengenalkan calon istrinya.

"Arrght, mama apa-apaan sih, maksa banget," Farel mengerang frustasi. Ia pun melempar handphonenya ke jok sebelahnya.

Farel benar-benar dibuat pusing oleh ibunya sendiri. Ia pun menyenderkan kepalanya di punggung jok, tangannya terangkat dan memijit pelipisnya yang terasa begitu pusing. Bukan pusing karena sakit, melainkan pusing dengan keinginan ibunya itu.

Tidak butuh waktu lama, Farel sudah tiba di kantor, ia pun bergegas turun dari mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Semua karyawan memberikan salam hormat kepada Farel, tapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.

Farel kini sudah berada di ruangannya, ia segera duduk di kursi kebesarannya, banyak berkas-berkas yang harus Farel periksa, dan di tanda tangani.

Farel membuang nafas berat, lalu ia mulai mengerjakan pekerjaannya.

***

Kedua adik Adel sudah siap dengan seragam sekolahnya, begitu juga dengan Adel, ia pun sudah siap.

Namun Irma dan Indra nampak tidak bersemangat untuk berangkat ke sekolah, Adel yang tau akan kecemasan kedua adiknya, ia pun menghampirinya.

"Irma, Indra, pake uang ini untuk bayar ujian kalian," kata Adel. Ia menyodorkan amplop yang berisikan uang.

"Tapi Kak, itu kan buat bayar ujian Kakak," jawab Indra. Ia tau jika Kakaknya telah menabung sendiri untuk membayar biaya ujiannya.

Adel tersenyum. "Jangan pikirkan Kakak, sekarang cepat berangkat, dan sekolah yang bener."

Saat itu juga, kedua adiknya menghambur ke pelukan Adel.

Keduanya bangga memiliki Kakak seperti Adel. Meski dirinya butuh, tapi Adel selalu mendahulukan orang lain, tanpa memperpedulikan dirinya sendiri.

"Ya sudah, kami berangkat dulu ya Kak," ucap Irma. Keduanya pun segera berpamitan dan beranjak pergi.

Mira tersenyum melihat Adel yang begitu perhatian kepada kedua adiknya. Mira sangat bangga memiliki anak seperti Adel.

Selang beberapa menit Adel masuk ke dalam menghampiri ibunya yang tengah bersiap-siap untuk berjualan.

"Adel bantu ya Bu," ujar Adel. Ia berjalan menghampiri ibunya.

"Enggak usah Del, sekarang kamu berangkat sekolah saja, nanti kesiangan kamu bisa terlambat," sahut Mira. Ia tidak tega jika Adel mengorbankan sekolah hanya demi membantu dirinya.

"Lalu ibu mau berjualan di mana, kan tempat ibu berjualan sudah disewa orang," balas Adel. Adel merasa sedih saat mengingat kejadian kemarin.

"Ibu masih punya kaki Adel. Jadi kamu tidak perlu khawatir, sekarang kamu berangkat sekolah saja ya," tutur Mira dengan tersenyum.

"Ya sudah Bu, ibu hati-hati ya jualannya, Adel berangkat dulu," ujar Adel. Setelah berpamitan Adel bergegas pergi.

Adel segera berjalan menuju ke sekolahnya, meski jarak tempuh cukup jauh, Adel tetap semangat.

Ia juga berniat setelah sekolah, Adel akan mencari pekerjaan, agar bisa membantu keuangan keluarga.

***

Waktu berjalan begitu cepat, matahari sudah di atas kepala, dan perlahan mulai condong ke barat.

Farel masih terus menyibukkan diri di kantor.

Namun aktivitasnya terhenti saat handphonenya berdering, dengan terpaksa Farel meraih benda pipih tersebut.

Setelah dicek, ternyata ibunya yang telah mengirimkan pesan, dan lagi-lagi pesan yang Farel dapat, sama seperti tadi pagi.

Farel mendengus kesal, pikirannya kembali gusar, Farel pikir jika ibunya sudah lupa akan hal itu.

Namun ternyata Farel telah salah menyangka, ibunya tidak akan menyerah begitu saja.

Setelah membaca pesan dari ibunya, ia meletakkan kembali handphonenya, lalu mengacak-acak rambutnya karena frustasi memikirkan hal itu.

"Arrght, aku pikir mama sudah lupa," Farel mengerang frustasi. Ia kembali memutar otaknya, untuk mencari ide. Setelah cukup lama berfikir, ide pun muncul di otaknya.

"Raka ... iya, aku harus minta bantuan Raka," ucapnya. Tanpa menunggu lama, Farel langsung berteriak memanggil Raka.

Tidak butuh waktu lama, Raka sudah ada di hadapan Farel, dan tanpa basa-basi lagi, Farel langsung menceritakan apa maksud dan tujuannya. Farel menyuruh Raka untuk mencari gadis yang bersedia berpura-pura menjadi calon istrinya.

"Bagaimana, kamu paham," ucap Farel. Matanya menatap tajam ke arah Raka.

Raka mengangguk. "Paham."

"Baik, aku tunggu kamu di apartemen," ujarnya kemudian.

"Ok." Sahut Raka. Setelah itu Raka bergegas keluar dari ruangan Farel.

Farel tersenyum, ia sangat yakin jika usahanya akan berhasil. Setelah itu Farel segera menyelesaikan pekerjaannya, dan ia bergegas pergi ke apartemen untuk menunggu Raka.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, semua siswa-siswi berhamburan pulang ke rumah masing-masing, begitu juga dengan Adel, tapi kali ini ia tidak langsung pulang, Adel akan mencari pekerjaan terlebih dahulu.

Kini Adel tengah berjalan menyusuri jalan raya, tekadnya sangat kuat untuk mencari kerja, demi bisa membantu ibunya, dan kedua adiknya.

Ia tidak peduli, meski dirinya masih bersekolah, tapi kedua adiknya lebih penting.

"Aku harus dapat pekerjaan, Irma sama Indra harus menyelesaikan sekolahnya," ucap Adel. Ia yakin dan sangat berharap, jika niatnya akan terlaksana.

Hampir satu jam Adel keluar masuk toko dan restoran, bahkan perusahaan, demi bisa mencari pekerjaan.

Namun hasilnya nihil, tidak ada seorangpun yang mau menerimanya, terlebih Adel masih mengenyam pendidikan, mereka tidak berani memperkerjakan seorang siswi.

"Pak please dong, saya butuh pekerjaan ini, berapapun bayarannya, saya akan terima Pak," Adel terus memohon pada bos pemilik toko kue yang ia datangi.

"Maaf Dek, kami tidak bisa menerima pekerja yang masih bersekolah, lebih baik Adek pulang saja," tolaknya. Hal itu membuat Adel merasa putus asa.

Dari kejauhan sepasang mata tengah memperhatikan Adel. Orang itu tidak sengaja melihat Adel yang tengah berdebat dengan pemilik toko kue tersebut.

Dengan sangat kecewa, Adel melangkahkan kakinya pergi dari toko tersebut, dan saat ia tengah berjalan, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

Pertemuan_Adel_Dan_Farel_3

Dari kejauhan sepasang mata tengah memperhatikan Adel. Orang itu tidak sengaja melihat Adel yang tengah berdebat dengan pemilik toko kue tersebut.

Dengan sangat kecewa, Adel melangkahkan kakinya pergi dari toko tersebut, dan saat ia tengah berjalan, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

Adel terlonjak kaget, saat tangannya ditarik, dan sekarang ia sudah berdiri di depan seorang lelaki, lumayan tampan sih, penampilannya juga menarik.

Namun sayangnya Adel tidak mengenalinya. Lalu sekarang yang ada dalam otak Adel adalah, maksud dan tujuan orang tersebut.

Adel langsung menepis tangan lelaki itu. "Lepas, om siapa sih, main tarik-tarik aja." Adel menatap tajam lelaki itu.

Orang itu terlihat mengerutkan keningnya, apa dia tidak salah dengar. Orang setampan ini dipanggil Om, tapi kali ini dia tidak mempermasalahkan hal itu.

"Maaf, tadi saya dengar kamu sedang mencari pekerjaan, apa benar?" tanya lelaki itu, yang tak lain adalah Raka.

Seketika wajah Adel terlihat lebih bersemangat. Ia berharap jika lelaki yang berdiri di hadapannya bisa memberinya pekerjaan.

Apapun itu, asalkan pekerjaan yang halal.

"Benar Om, apa Om punya pekerjaan buat saya,sudah 10 toko menolak saya, sudah 8 restoran menolak saya, gara-gara saya masih sekolah," jelas Adel. Matanya berbinar berharap jika lelaki itu akan memberi pekerjaan.

"Ada, sekarang kamu ikut dengan saya," jawab Raka. Tanpa pikir panjang Raka langsung menarik tangan gadis itu, untuk masuk ke mobil.

Dalam perjalanan Adel tak henti-hentinya bertanya, ia merasa was-was jika lelaki itu akan menculiknya dan membawanya pergi entah kemana. Bahkan Adel sempat berfikir jika lelaki itu akan berbuat yang tidak-tidak.

"Om enggak nyulik saya kan, Om juga nggak akan macam-macam kan?" tanya Adel was-was. Gadis itu merasa merinding.

Raka hanya tersenyum, dan menoleh gadis itu sekilas. Setelah itu lelaki itu kembali fokus menyetir.

"Kamu tau PT Angkasa Development tbk perusahaan terbesar yang berdiri di bidang properti itu kan, saya asisten pribadi pemilik perusahaan itu," seketika Adel melongo, mendengar penjelasan dari lelaki itu

Adel tidak menyangka jika ia bisa bertemu dengan salah satu orang penting yang bekerja di perusahaan tersebut.

Saat Adel hendak berucap, dengan Raka memotongnya.

"Diam, jangan banyak tanya, sebentar lagi kita sampai," ucap Raka cepat dan tegas. Seketika Adel terdiam, dan memandang lurus ke depan.

***

Sementara itu Farel tengah berjalan mondar-mandir tidak karuan, pikirannya sedang gelisah. Sesekali Farel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Raut wajahnya nampak gelisah, berkali-kali Farel juga mengumpat kesal.

"Sial, sudah dua jam lebih Raka belum kembali juga, jangan-jangan dia gagal lagi," umpat Farel. Pandangannya selalu mengarah ke pintu apartemennya.

Farel tengah gelisah dan juga bimbang, ibunya benar-benar mendesak dirinya untuk segera menikah, tapi Farel sendiri sampai saat ini belum menemukan gadis yang cocok. Bukan karena tidak laku, hanya saja Farel yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, ia tidak begitu memikirkan seorang pendamping hidup.

Tak berapa lama kemudian pintu apartemennya terbuka, muncullah Raka asisten pribadinya.

Farel langsung menghampirinya dan melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada asistennya itu.

"Bagaimana, kamu berhasil kan, jangan bilang kalau kamu gagal lagi, ingat gaji kamu bisa aku potong, kalau kamu gagal," Raka hanya tersenyum mendengar pertanyaan yang Farel lontarkan.

Selang beberapa menit, seorang gadis masuk ke dalam, Farel yang melihatnya seketika menganga tak percaya.

Farel langsung memandangi gadis itu, dari ujung kaki sampai ujung kepala, gadis itu masih memakai seragam abu-abu lengkap dengan tas gendong di punggungnya.

Sejenak Farel melirik ke arah Raka, matanya menatap tajam ke arah pria itu, setelah itu Farel menarik tangan Raka agar menjauh sedikit dari gadis tersebut.

"Ka, kamu udah gila apa, aku pikir kamu akan membawa wanita yang lebih dewasa, yang mengerti arti pernikahan, tapi kamu malah bawa anak ABG," Farel berujar dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, Raka membawa gadis ABG yang masih polos.

"Kalau kamu mau cari yang dewasa, dan berpengalaman, ambil aja di diskotik, di sana banyak," detik itu juga, Farel menjitak kepala Raka, sementara Raka hanya meringis menahan sakit.

"Gila, sama aja dapet second dong," sahut Farel. Ia benar-benar kesal dengan hasil kerja Raka.

"Ya makanya, aku cari yang masih ABG, masih gres, masih fresh, dan yang terpenting, masih bersegel," Farel terdiam, setelah mendengar penjelasan dari Raka. Memang ada betulnya juga apa yang Raka katakan.

Farel membuang nafas kasar, setelah itu ia berjalan menghampiri gadis itu. Sebelum memulai pembicaraannya, tak lupa Farel mengajak gadis itu untuk duduk di sofa, sementara Raka berdiri di samping Farel.

Adel terus saja menunduk, ada rasa takut dan juga khawatir, tapi di lain sisi ia merasa senang, karena bisa melihat langsung pemilik perusahaan terbesar di kotanya.

Ada rasa bangga tersendiri, karena Adel bisa melihat langsung, bukan sekedar melihat di majalah ataupun di televisi.

"Nama kamu siapa?" Farel melontarkan pertanyaan tanpa ada basa-basi. Seketika Adel terlonjak kaget.

Jantungnya terasa berhenti berdetak, dengan segera Adel menormalkan keadaannya. Ia tidak ingin terlihat gugup di depan lelaki itu.

"Nama saya Adel Om," jawab Adel. Seketika mata Farel melotot. Sementara Raka hanya tersenyum dan terkekeh geli.

Namun saat ini Farel tidak mempermasalahkan hal itu, yang terpenting adalah, bagaimana caranya agar gadis itu mau berpura-pura menjadi calon istrinya.

"Em, maaf Om, kalau boleh tau, nanti saya bekerja apa ya di sini?" pertanyaan yang Adel lontarkan mampu membuat Farel tercengang.

Farel mengerutkan keningnya, ia bingung dengan arah pembicaraan gadis itu. Seketika Farel melirik tajam ke arah Raka, dan detik itu juga Farel menarik tangan Raka, sampai-sampai lelaki itu mencondongkan tubuhnya.

"Tadi kamu ngomong apa sama gadis itu, kenapa dia malah nanya pekerjaan," bisik Farel tepat di telinga Raka.

"Sorry Rel, tadi aku ketemu Adel saat dia lagi nyari kerjaan, jadi biar mudah aku bilang kalau kamu akan memberinya pekerjaan," jelas Raka setengah berbisik.

Mendengar penjelasan dari Raka, saat itu juga Farel melepaskan tangan Raka, dan menyuruh pria itu untuk berdiri lagi. Sejenak Farel berfikir kenapa gadis ABG itu mencari pekerjaan, sedangkan dia masih sekolah.

Perlahan Farel menarik nafas dan mengeluarkan nya, setelah itu ia memulai pembicaraannya, perlahan Farel mengutarakan apa maksud dan tujuannya. Gadis itu terperangah setelah mendengar apa tujuan dari Farel.

Adel tidak menyangka jika pria itu menginginkan dirinya untuk berpura-pura menjadi calon istrinya.

Adel terdiam setelah mendengar penjelasan dari Farel. Otaknya tengah bekerja untuk menemukan jawaban yang sangat tepat.

Farel melihat jika gadis yang ada di hadapannya tengah bimbang.

"Bagaimana Adelia, apa kamu bersedia?" tanya Farel. Matanya menatap penuh harap.

Lagi-lagi Adel terdiam, ia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Pikirannya masih bergelut, haruskah dia menerima tawaran itu, atau menolaknya, Adel benar-benar bimbang.

"Adelia." Panggil Farel. Seketika Adel mendongakkan kepalanya.

"Em, tapi beneran kan, cuma pura-pura jadi calon istri doang," Adel kembali bertanya untuk meyakinkan.

"Iya, jadi bagaimana," sahut Farel. Ia berharap gadis itu mau menerima tawarannya.

"Baik, saya mau Om," Adel menjawab dengan penuh semangat.

"Om lagi, Om lagi," gumam Farel dalam hati. Ia pun membuang nafas berat.

"Ok, sekarang kamu ikut saya," Farel bergegas bangkit dari duduknya, dan tanpa menunggu jawaban dari Adel. Farel langsung menarik tangan gadis itu.

"Raka, cabut dulu," ujar Farel. Raka hanya menganggukkan kepalanya.

Farel bergegas keluar dari apartemennya, sementara tangannya masih menarik tangan gadis itu. Adel hanya menurut saja, mereka berjalan menyusuri koridor apartemen. Banyak pasang mata yang menatap keduanya dengan tatapan heran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!