Namaku Sarena Almaira. Sejak kecil, aku hidup dengan banyak penderitaan yang diberikan oleh orang-orang di sekitarku. Mentalku dihancurkan habis-habisan oleh mereka, padahal waktu itu aku baru berusia 9 tahun. Apalagi, semenjak ayahku menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu apakah ia masih hidup atau tidak. Kepergian ayahku bermula dari pengkhianatan ibuku. Sejak itu, penderitaan datang bertubi-tubi padaku.
FlsBck Onn
"Teganya kau mengkhianatiku, Nia," ucap ayahku sambil melemparkan foto-foto kemesraan ibuku dengan pria lain ke hadapan ibu, Nia, ibu Sarena.
"Mas, aku capek hidup miskin. Aku merindukan kehidupanku yang dulu. Aku ini terlahir dari keluarga kaya, Mas. Ibuku bahkan tidak merestui pernikahan kita. Sejujurnya, aku baru sekarang merasa menyesal menikah denganmu dan tidak mendengarkan kata-kata ibuku," jawab Nia dengan suara lirih.
"Lalu, mengapa kau mau menikah denganku, Nia, jika kau tak sanggup hidup miskin? Aku bahkan tak tahu asal-usulku. Kau tahu, aku tak mengingat siapa diriku sebenarnya. Aku pikir kau tidak akan pernah menyesal menikah denganku," ujar Ahmad, ayah Sarena. Kata-kata itu membuat hatinya sangat perih mendengar jawaban Nia.
Semua berawal ketika ayah Sarena ditemukan tak sadarkan diri di tepi sungai. Saat itu, Nia kabur dari rumah karena tidak mau dijodohkan. Mereka bertemu tanpa sengaja. Nia, yang melihat Ahmad terdampar tak sadarkan diri, menolongnya. Sejak saat itu, mereka saling jatuh cinta dan menikah diam-diam tanpa restu keluarga Nia.
"Saat itu, aku masih labil dan bodoh, Mas. Aku tidak tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Aku pikir menikah denganmu akan membuatku bahagia, meskipun kita tak punya apa-apa. Tapi kenyataannya, aku malah sangat menderita," Nia pun bangkit dari duduknya, mengambil tas, lalu berjalan pergi.
"Ibu, Ibu mau ke mana? Ibu, jangan tinggalkan Sarena, Bu!" tangis Sarena sambil memeluk kaki ibunya.
"Sarena, tinggal lah di sini bersama ayahmu. Ibu harus pergi. Jaga dirimu baik-baik." Nia pun pergi dengan cepat meninggalkan Sarena. Sarena mencoba mengejar, namun ditahan oleh Ahmad.
"Tinggallah di sini. Apa kau juga ingin meninggalkan ayah seperti ibumu, hah?" ucapnya dingin.
Ahmad kemudian menggendong Sarena dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Nia pergi, Ahmad mulai berubah. Dia menjadi dingin dan cuek.
"Sarena, kelak jika ayah sudah tidak ada, kau harus tetap kuat dan semangat. Jangan jadi pecundang seperti ayah."
"Ayah, jangan tinggalkan Sarena. Jika Ayah juga pergi, siapa yang akan merawat Sarena?" ucap Sarena dengan tangis.
"Suatu hari nanti, kau pasti akan bahagia, Nak," kata Ahmad, lalu ia memeluk Sarena dan mencium keningnya.
"Tinggallah di rumah. Ayah mau keluar sebentar," ujar Ahmad. Setelah itu, ia meninggalkan Sarena.
Ahmad pergi ke tempat di mana dulu dia ditemukan oleh Nia.
"Air sungai ini cukup deras. Jika aku menceburkan diri, pasti akan terbawa," gumam Ahmad.
Ahmad pun membuka bajunya dan meletakkannya di tepi sungai. Ia lalu menceburkan diri, dan seketika air sungai itu membawanya pergi.
---
Malam itu, Sarena masih menunggu ayahnya yang tak kunjung kembali. Dia pun keluar rumah dan meminta bantuan tetangga untuk mencari ayahnya.
"Sarena, tadi ayahmu bilang mau ke mana?" tanya Tetangga A.
"Tadi ayah tidak bilang apa-apa. Dia hanya mengatakan ingin keluar sebentar," jawab Sarena.
"Baiklah, ayo kita bantu mencarinya. Kasihan anak ini," ujar warga.
"Kasihan sekali anak ini. Siang tadi, ayah dan ibunya bertengkar. Ibunya pergi dari rumah, sekarang ayahnya juga hilang," gumam Tetangga B.
"Ya Allah, Ayah, jangan tinggalkan Sarena, Ayah," gumam Sarena dalam hatinya.
"Sabar ya, Nak," ucap Pak RT yang ikut mencari Ahmad, ayah Sarena.
---
"Pak RT, ada baju di tepi sungai," ujar seorang warga. Mereka pun segera menghampiri baju tersebut.
"Ini kan baju ayah," ujar Sarena dengan gemetar.
"Ayah... Ayah, di mana Ayah?" Sarena mulai menangis karena sangat khawatir akan ayahnya.
"Pak RT, sepertinya Pak Ahmad mengakhiri hidupnya," ujar salah satu warga dengan nada serius.
"Bagaimana mungkin?" balas Pak RT terkejut.
"Di sisi baju ini, saya menemukan surat yang berisi..." Warga tersebut membaca surat yang ditemukan di samping baju.
Isi surat:
Teruntuk siapa pun yang menemukan surat ini, aku yakin kamu mengenal siapa aku. Aku adalah Ahmad, ayah dari Sarena. Aku merasa tidak menjadi ayah yang baik baginya, jadi aku memilih untuk mengakhiri hidupku. Tolong beritahu anakku agar dia tidak sedih dan jangan mencariku. Jika aku masih bisa selamat, aku pasti akan menemuinya lagi nanti. Namun, jika tidak, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Ahmad
"Ya Allah, apa dia tidak kasihan pada anaknya?" gumam salah satu warga dengan raut sedih.
"Lalu, bagaimana ini, Pak RT?" tanya warga lainnya cemas.
"Saya tahu, Sarena masih memiliki seorang nenek. Nanti saya akan menyuruh neneknya untuk menjemput Sarena," jawab Pak RT tegas.
"Nak, ayo ikut Pak RT. Kamu tinggal dulu di rumah Bapak. Nanti Bapak antar kamu ke rumah keluargamu," ucap Pak RT dengan lembut.
"Terima kasih, Pak. Tapi Sarena ingin ayah," ujar Sarena sambil terus menangis.
"Nanti kita akan cari lagi, ya," kata Pak RT menenangkan. Sarena pun menurut dan ikut bersama Pak RT, menginap di rumahnya malam itu.
---
Keesokan paginya, Sarena masih tenggelam dalam kesedihan akibat kepergian ayahnya. Ia tak bisa berkata apa-apa.
"Sarena," panggil seseorang dengan suara lembut.
"Ibu?" ucap Sarena terkejut.
"Sarena, kamu ikut Ibu, ya, Sayang," ujar Nia, ibunya.
"Ibu, Ayah sudah pergi," jawab Sarena dengan suara bergetar sambil memeluk tubuh ibunya erat.
Beberapa saat kemudian, Nia membawa Sarena ke rumah ibunya.
"Mah, aku mau merawat Sarena. Bagaimanapun juga, dia anakku," ujar Nia dengan tegas.
"Apa kau gila? Kau mau merawat anak itu?" ucap ibu Nia dengan nada tajam.
"Mah, dia anakku. Kau sebagai seorang ibu, apa kau tidak merasa kasihan sedikitpun? Dia itu cucumu," balas Nia mencoba membujuk ibunya.
"Yang diakui cucu hanyalah anak yang punya ayah dengan status tinggi. Anakmu itu tidak pantas," sindir Lisa, kakak Nia, dengan dingin.
"Kak, kenapa kau tega sekali bicara seperti itu tentang anakku? Ayahnya sudah meninggal! Di mana hati nurani kalian? Dia anakku. Apa salah jika aku ingin membawanya? Bukankah kalian yang memaksaku untuk kembali?" ujar Nia dengan penuh amarah.
"Ya, memang kami menyuruhmu kembali. Tapi itu untuk menikah dengan Biyan," jawab Lisa dengan nada sinis.
"Aku tidak akan menikah dengan siapa pun jika kalian melarangku merawat anakku!" seru Nia.
"Baiklah, kau boleh merawatnya, tapi kau harus berjanji dan mau menikah dengan Biyan," ujar ibu Nia dengan dingin.
"Baik, aku setuju. Tapi kalian harus berjanji untuk menjaga anakku dengan baik. Jika tidak, kalian akan lihat apa yang terjadi nanti," ancam Nia.
"Baiklah," jawab ibunya dengan singkat.
---
Nia akhirnya rela menikah dengan Biyan, seorang duda dengan dua anak. Namun, kedua anaknya sangat nakal meskipun usia mereka masih kecil. Anak perempuan Biyan yang berusia 9 tahun, Tasya, sangat tidak menyukai Sarena. Bahkan setelah menikah, Sarena dilarang untuk bertemu dengan ibunya, meskipun Biyan tidak melarangnya.
"Paman, biarkan aku bertemu dengan ibu," pinta Sarena kepada Biyan dengan wajah penuh harap.
"Tidak boleh!" sahut Tasya, anak tiri Nia, dengan nada ketus.
"Mengapa? Dia ibuku," jawab Sarena.
"Maaf, Nak. Lain kali saja kamu bertemu dengan ibumu," ujar Biyan dengan lembut, mencoba menenangkan.
"Sarena, ikut Nenek pulang," tiba-tiba neneknya datang dan menarik Sarena.
"Nenek, Sarena ingin ibu..." jawab Sarena dengan suara lemah.
---
"Mulai sekarang, ibumu sudah menjadi milik mereka. Kau tidak boleh mengganggu kebahagiaan mereka," ucap neneknya.
Sejak saat itu, kehidupan Sarena berubah. Yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba harus hancur, dan ia pun harus menjalani semuanya dengan ikhlas.
Flashback off
Pagi yang cerah, Sarena bangun pagi untuk bekerja. Dia selalu melewati harinya dengan tabah. Bagi Sarena, hinaan dan cacian yang sering ia terima sudah bukan masalah besar lagi. Kini, ia telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa, meski usianya baru 18 tahun. Semangat kerjanya sangat besar, berbeda dengan sepupu-sepupunya yang jauh berbeda darinya.
"Pagi ini aku harus cepat sampai ke restoran. Bagaimanapun, aku harus semangat, aku tidak boleh lemah," gumam Sarena.
Dia keluar dari rumah mewah neneknya, menutup pintu perlahan sebelum orang-orang di rumah terbangun.
"Semoga saja aku tidak membangunkan mereka," bisiknya, sebelum segera pergi menuju restoran tempatnya bekerja.
"Selamat pagi, teman-teman!" sapa Sarena dengan senyum hangat.
"Pagi juga, Sarena. Tumben datang pagi," jawab Naira, teman kerjanya.
"Wih, tumben banget lu datang pagi," tambah Apan, rekan kerjanya.
"Kalian kan tahu gimana keluargaku. Jujur, aku capek, tapi aku akan terus berusaha. Semoga Tuhan memudahkan jalanku," kata Sarena dengan nada serius.
"Iya, Na, yang sabar ya," balas mereka penuh empati.
"Aku selalu sabar, terus sabar, dan akan sabar sampai kesabaranku habis," ujarnya sambil tertawa kecil. Sarena pun mulai bekerja dengan mengepel lantai dan mengelap meja.
"Na, lu masih sendiri aja? Kapan punya cowok?" tanya Naira tiba-tiba.
"Gue nggak mikirin itu, Nai. Gue lagi fokus cari cara supaya bisa banyak duit dan keluar dari keluarga itu. Gue capek," jawab Sarena tegas.
"Iya, gue paham, Sar. Semoga lu bisa keluar dari keluarga yang sering nyakitin lu itu," ujar Naira dengan tulus.
Mereka pun melanjutkan pekerjaan masing-masing. Setelah selesai membersihkan restoran, para pelanggan mulai berdatangan.
"Na, tolong anterin makanan ini ke ruangan VIP ya. Gue mau ke toilet bentar, nggak kuat," kata Naira sambil menyerahkan makanan.
"Yaudah, sini," balas Sarena.
Sarena pun berjalan menuju ruang VIP untuk mengantarkan pesanan. Sesampainya di sana, dia masuk dan meletakkan makanan di meja.
"Ini pesanannya, Tuan," ucapnya, lalu hendak beranjak pergi. Namun, salah satu pelanggan menahannya.
"Hai, kau cantik sekali. Mau menemaniku di sini, cantik?" tanya Arya, salah satu sahabat dekat Aldevaro.
"Maaf, Tuan, saya masih banyak pekerjaan," jawab Sarena sopan.
"Kau menolakku? Apa kau tahu siapa aku?" tanya Arya dengan nada angkuh.
"Saya tidak tahu, Tuan. Sekarang saya permisi dulu," jawab Sarena, lalu segera pergi dari hadapan mereka.
"Astaga, lihat betapa sombongnya pelayan itu," keluh Arya.
"Kau saja yang nggak pandai menggoda wanita," canda Aditya, sahabat dekat Aldevaro.
"Heh, kau salah. Yang nggak pandai menggoda wanita itu Aldevaro," ledek Yoga sambil menatap Aldevaro.
"Kenapa kau bawa-bawa aku? Aku bahkan tidak tahu apa-apa," ucap Aldevaro, bingung.
"Jelas kau nggak tahu, karena kau belum pernah bercinta dengan wanita manapun. Hahaha," ejek Arya sambil tertawa.
"Astaga, aku tidak punya waktu untuk percintaan. Itu hanya membuang-buang waktuku saja," jawab Aldevaro santai.
Aldevaro bener-bener sudah sangat lelah menanggapi teman-teman nya yang sangat gila.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!