NovelToon NovelToon

Rahim Bayaran

Perjanjian Pertama

BAB 1

PERJANJIAN PERTAMA

“Ini uang 100 juta, setelah anak itu lahir, hidupmu pasti akan terjamin. Uang ini hanya untuk DP. Tanda tangani surat ini! Begitu anak itu lahir, kamu tidak memiliki hak sedikit pun atas anak ini, tapi jangan khawatir. Semua hutang ibumu akan dilunasi begitu kita sepakat!” ucap Agam, penerus Salim Group.

Ini di luar ekspetasi Agam, ini hal gila yang pernah ia lakukan. Ratusan kali ia melakukan perjanjian kerja, tapi tidak seperti saat ini. Kalau bukan desakan mama dan istrinya, Marcelia Agata. Rasanya lebih baik ia tak memiliki keturunan. Hanya demi dua wanita yang paling ia cintai, Agam akhirnya memilih Dira. Gadis yang nantinya ia harapkan bisa mengandung benihnya. Nanti, setelah Dira hamil dan melahirkan, maka ia akan mengirim Dira jauh dari hidup mereka. Ia hanya butuh wanita yang menggandung benihnya. Tidak lebih, ia hanya menjadikan Dira sebagai alat pencetak anak untuk pernikahannya yang berjalan 12 tahun itu.

Sementara itu, Dira tampak tertegun. Membaca satu persatu lembar kertas yang ia pegang. Matanya terus menyisir deretan pasal yang ditulis oleh pria yang baru ia kenal itu. Bila ia menorehkan tanda tangan di atas kertas-kertas itu, artinya Dira tak bisa mundur. Bila ia menandatangani itu sekarang, artinya ia akan segera menikah dengan pria yang usianya dua kali lipat usianya. Bahkan lebih, karena Dira kini berusia 18 tahun. Sedangkan Agam Salim Wijaya, pria yang berniat menyewa rahimnya. Pria tersebut sudah berusia 40 tahun.

Dira tahu usia pria tersebut setelah membaca surat perjanjian yang ada di tangannya. Awalnya ia kaget, wajah Agam yang tampan dan rupawan, tak menggambarkan usianya. Agam malah masih terlihat seperti usia tiga puluhan, jadi Dira sempat kaget saat mengetahui akan menikahi pria 40 tahun tersebut.

Martah, ibunya kini masih di rumah bordil. Ya, Dira adalah putri dari seorang wanita malam. Demi melepaskan ibunya dari jeratan di tempat terkutuk itu, Dira pun akhirnya mau melakukan perjanjian dengan Agam. Setelah menghela napas panjang, gadis yang masih lugu dan polos itu pun akhirnya memberikan tanda tangan di atas kertas yang sudah diberi materai.

“Ini, Pak.” Dira mengulurkan surat perjanjian yang sudah ia tanda tangani. Dengan acuh Agam meraih kertas itu.

“Bagus,” ucap Agam. “Nanti sore kita akan menikah, siapkan dirimu!” sambung Agam, masih dengan wajah dingin.

Menikah? Nanti sore? Mengapa buru-buru sekali? gumam Dira dalam hati. Gadis itu tak pernah menyangka akan melakukan hal semacam ini. Sebuah perjanjian sewa rahim dengan seorang pria asing. Hanya demi menyelamatkan sang ibu dari lembah paling nista.

“Dira!” panggil Agam dengan begitu keras, karena dilihatnya Dira malah melamun.

“Eh. Iya, Pak.”

“Nanti tolong jangan panggil saya Bapak! Saya bukan bapakmu!” ujarnya dengan ketus.

Tunggu, kalau tidak mau dipanggil bapak, terus harus memanggil apa? batin Dira.

“Jangan panggil Bapak, kamu mengerti yang saya omongin?” tegas Agam sekali lagi.

“Iya, Pak!”

Manik mata Agam hampir keluar ketika mendengar Dira kembali memanggil dirinya bapak. Mata hitam mengkilat itu memindai gadis yang sebentar lagi akan ia nikahi, tidak jelek. Kulitnya putih bersih, meski tak semulus kulit istrinya. Agam yakin, bila dibawa ke klinik kecantikan. Dira tidak kalah dari Agata, istrinya.

Sementara itu, Dira yang merasa ada sepasang mata sedang mengamati dirinya. Ia pun menundukkan wajah. Gadis yang tahun lalu baru lulus sekolah menengah atas itu merasa canggung dan tidak  nyaman. 

“Setelah menikah, kamu tinggal sama saya!”

Ucapan Agam memecah keheningan yang sempat tercipta. Tanpa sadar, Dira mengangkat wajah. Hingga sepasang mata itu pun bertemu tanpa sengaja. 

“Iya, Tuan!”

“Jangan panggil saya tuan!” teriak Agam agak kencang, membuat Dira terhenyak, kaget karena suara Agam yang menggema di kamar hotel tersebut.

“La-lalu, lalu saya harus panggil apa?” tanya Dira dengan suara bergetar. 

Pria itu seolah memiliki sisi iblis yang membuat Dira ketakutan bukan main. Kalau bukan demi ibu, rasanya lebih baik Dira pergi dan menghilang dari dunia ini. Gadis itu sudah putus asa, melihat Martha ibunya yang terus disiksa di tempat terkutuk itu.

“Panggil Mas!”

“Baik, Mas.” Bibir Dira ragu mengucap sebutan itu, lidahnya seolah kaku. Menolak memanggil pria itu dengan sebutan mas. Meski wajahnya awet muda, setelah melihat berapa usia sebenarnya Agam. Dira jadi tertegun sendiri. Pria itu memang cocok sebagai bapaknya, bukan malah suami.

Sore harinya, Dira sudah tampak rapi dengan pakaian kebaya sederhana. Sekretaris pribadi Agam, Robby. Sudah menyiapkan semua. Acara pernikahan secara agama akan segera dilakukan.

“Apa kamu sudah siap?” tanya Robby yang melihat kecemasan di wajah calon istri siri atasannya.

Dira hanya mengangguk. Namun, hatinya seolah menjerit minta diselamatkan. Tapi, beberapa saat kemudian. Ketika Agam datang mendekati dirinya, mata Dira tak dapat berpaling dari pria tampan yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Bersambung

Klik profile Sept, ada 18 judul novel yang tersedia dari berbagai macam genre.

Kekasih Bayaran

Crazy Rich

suami Satu Malam

Dinikahi Milyader

Suamiku Pria Tulen

Dipaksa Menikah

KANINA yang Ternoda

Dea I love you

My Husband My Boss

Wanita Pilihan CEO

Pernikahan Tanpa Rasa

Cinta yang terbelah

Dokter Asha and KOMPOL Bimasena

The Los Mafia Boy

Prince of Wolf

Ikuti IG Sept, follow dan dapatkan hadiah setiap bulannya.

IG Sept_September2020

Follow IG dan akun NT/MT Sept, dapatkan hampers cute untuk pembaca terpilih setiap bulannya.

Selamat membaca, SEMOGA terhibur bestie. Jangan lupa follow ... inga-inga ting ... hehehe

Fb Sept September

IG Sept_September2020

Ditinggalkan Di Saat Malam Pertama

Di sebuah ruangan tanpa hiasan apapun, meskipun akan dipakai sebagai tempat akad. Ruangan itu terlihat sangat biasa. Seolah acara pernikahan ini bukan acara yang istimewa. Hanya ada segelintir orang di dalam sana, sepasang calon pengantin. Pria berkopyah dengan mata teduhnya yang akan menikahkan calon pengantin, para saksi dan sekretaris Agam, Robby Purba.

Ini seperti pernikahan tersembunyi, pernikahan dadakan yang harus ditutupi dari khayalak ramai. Tidak boleh ada yang tahu pernikahan ini.

Sesuai apa mau Agam, pria itu memang hanya berniat menghalalkan Dira untuk ia sentuh. Tanpa ada keinginan untuk memiliki.

Hanya satu yang ia mau dari gadis belia itu. Yaitu seorang anak, buah hati yang tak pernah hadir di antara dirinya dan Agata yang telah belasan tahun menikah.

Kini nampak Dira dengan wajah tegang. Beberapa bulir keringat muncul di dahi yang sempit itu. Sejak tadi ia memainkan jari-jemari runcingya. Itu adalah kebiasaan Dira bila dilanda serangan panik atau merasa cemas. Gadis berparas ayu, meski berpenampilan sederhana itu kini hatinya tengah resah campur gelisah.

Bagaimana tidak, sebentar lagi pria yang duduk di sebelah Dira akan menjadi suaminya. Jantung gadis itu sedari tadi juga sulit untuk dikontrol. Meskipun hanya sebuah pernikahan kontrak, ini tetaplah sebuah pernikahan.

Apalagi saat ini, sebentar lagi. Agam akan mengucapkan ijab kobul. Hati Dira Makin gelisah. Meskipun didasari atas perjanjian, ini tetaplah sebuah pernikahan bagi Dira.

'Kamu hanya butuh 9 bulan untuk mengandung, ayo lakukan secepatnya. Maka kita akan segera bebas.' Dira membatin, gadis itu mencoba menguatkan hatinya yang sudah mulai cemas lagi.

Sekilas mata Robby memperhatikan kecemasan yang tergambar jelas di wajah ayu Dira. Meskipun hanya memakai bedak tipis-tipis, aura kecantikan Dira terpancar tanpa bisa dihalangi.

'Pantas Tuan Agam mensegerakan pernikahan ini. Padahal mereka baru bertemu beberapa waktu laku,' gumam Robby sambil masih memperhatikan kecantikan alami Dira.

Pria berusia 35 tahun itu rupanya sudah berperasangka buruk pada bos yang selama ini ia abdi.

Robby mengira, alasan ingin memiliki anak hanya omong kosong. Paling juga Agam ingin daun muda, apa karena bosan dengan Nyonya Agata? Kasihan Nyonya Agata. Sekretaris Agam terus saja mengasihani istri pertama bosnya itu.

Robby baru tersadar dari lamunan saat kata SAH diucapkan beberapa orang di sampingnya.

"Alhamdulillah," ucap salah seorang di antara mereka.

'Alhamdulillah? Apa aku harus bersyukur setelah menjual rahimku, Tuhan?' Tiba-tiba Dira merasa bersalah, merasa resah dan gelisah. Apakah yang ia lakukan patut mengucap rasa syukur? 'Ampuni Dira, Tuhan.' Dira terus saja berjibaku dengan perasaannya yang terus mengusik.

Ia sampai tak sadar, sedari tadi Agam menatapnya dengan amat tajam.

"Kami permisi, Tuan. Bila ada hal lain lagi, Tuan bisa langsung panggil saya," ucap Robby yang akan meninggalkan Agam dan Dira sendirian saja.

Sementara itu, Dira menatap Robby penuh harap. Meskipun juga baru mengenal Robby, setidaknya pria itu lebih berwajah ramah. Tak semasam pria dingin di depannya kini.

'Tunggu, pria dingin itu kini adalah suamiku, ya Tuhan. Bagaimana ini?' lirih Dira menatap kepergian orang satu persatu dari ruangan itu.

Bulunya tiba-tiba bergidik ngeri ketika Agam kembali menatapnya.

"Kamu pasti lelah, istirahtalah. Masalah ibumu, saya sudah menyuruh orang untuk membereskannya."

Mata yang semula sendu itu langsung berbinar-binar.

"Terimakasih, Tuan!" ucapnya dengan senyum kelegaan.

"APA?"

Dira langsung menelan ludah kembali, duh. Lidahnya kesleo hingga kembali salah ucap.

"Maaf, Mas."

Gadis yang polos itu langsung menegelamkan wajah dalam-dalam. Belum juga satu jam menjadi istri Agam, ia sudah mendapat semburan dari ular berbisa itu.

Ketika Dira masih tertunduk karena rasa bersalah. Agam kini justru meraih jaket yang semula ia gantung tak jauh dari sana. Setelah itu membuka isi dompet kulit warna coklat miliknya.

Pria yang memiliki rahang tegas, dengan alis tebal itu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

"Ambil ini!"

Setelah memberikan lembaran uang, Agam berjalan menuju pintu.

"Mau ke mana?" Dira mengigit bibir bawahnya. Bisa-bisanya kata tanya itu lolos begitu saja dari bibirnya.

Itu pertanyaan spontan karena dilihatnya Agam akan membuka pintu dengan memakai jaket. Seperti akan pergi, entah kemana.

"Bukan urusanmu!"

Tanpa berbalik, tanpa menatap Dira. Agam langsung memegang handle pintu. Kemudian menutupnya dengan kencang. Seolah marah pada istri sirinya itu.

"Astaga! Mengapa pria itu terlihat gusar?" Dira bertanya-tanya, mengapa pria itu terlihat selalu ingin marah padanya.

Sedangkan di luar sana, Agam kini sedang berada di kursi belakang. Ia sudah duduk dengan disopiri oleh sekretarisnya.

"Mau ke mana, Tuan?"

"Pulang!"

'Pulang? Mengapa ia meninggalkan istri muda yang baru ia nikahi di malam pertamanya?' Robby kembali menduga-nduga.

Tidak banyak tanya lagi, mobil warna hitam mengkilat itu melaju memecah angin malam. Melewati barisan gedung-gedung yang menjulang tinggi di tengah ibu kota yang gemerlap.

Agam hanya diam, pria itu menerawang pemandangan lewat kaca di sebelahnya. Hanya kelap-kelip lampu yang mampu di tangkap oleh matanya.

Pikirannya juga kacau, seolah menyesali keputusan yang diambilnya barusan.

Apa menikahi Dira adalah awal dari sebuah kesalahan fatal?

Ah, Agam mencoba menepis semua rasa bersalah itu. Dilihatnya sudah hampir sampai depan rumah.

Setelah tiba di sebuah hunian lantai tiga, dengan pagar corak emas yang super tinggi menjulang. Akhirnya Agam bisa bernapas lega.

Rumah ini, rumah yang seharusnya menjadi surga. Beberapa minggu lalu nampak seperti neraka.

Agata meminta cerai, wanita itu merasa tertekan karena keluarga Agam terus mendesaknya.

Dari situlah tercetus hal gila yang keluar dari pikiran Agata dan mamanya. Untuk solusi win-win, Agata memperbolehkan Agam mencari wanita lain.

Seorang wanita yang mau melahirkan anak Agam. Tapi, anak itu kelak harus menjadi milik Agam dan Agata.

Agam hanya perlu menyewa rahimnya saja. Bayar semahal apapun yang ia minta. Agata bahkan rela memberikan semua hartanya itu.

Mama Agam sangat setuju, asal itu benih Agam. Mama sebenarnya sayang sekali dengan anak mantunya itu, tapi karena 12 menikah tak kunjung diberikan cucu. Mama terus saja menuntut.

Begitu Agata memberi ijin, Mama seperti mendapat angin segar. Seolah menimang cucu sudah tidak jadi impian belaka.

Tapi bagaimana dengan Agam?

Pria itu langsung menolak ide gila itu. Agata adalah cinta pertama dan terakhir, mana bisa ia mencari wanita lain?

Dua orang wanita yang paling Agam cintai itu rupanya sudah sama-sama gilanya. Demi seorang anak, mereka mengorbankan perasaan sebagai seorang wanita.

Karena kegigihan Agata, dan sempat mengancam akan pergi dari rumah itu, akhirnya Agam pun menyetujui permintaan istri serta mamanya.

Kini, di malam pertamanya. Malam pengantin dengan istri muda, ia malah memilih pulang ke rumah.

"Sayang."

Karena sangat mencintai istrinya itu, begitu melihat Agata yang sedang termenung di balkon kamarnya.

Agam langsung memeluk tubuh istrinya dari belakang.

"Mengapa malah pulang?" tanyanya dengan lesu. Namun ketika Agam memutar tubuh itu, hatinya mendadak pilu.

Ditatapnya Agata sang istri, dua bola mata yang selalu menatapnya dengan binar-binar cinta itu, kini sudah banjir air mata.

Terlihat sembab dan bengkak, entah sudah berapa lama ia menangis.

"Maafkan aku."

Agam memeluk tubuh istrinya dengan lembut dan penuh kehangatan, seolah ia juga tak rela dengan takdir yang mempermainkan hati mereka.

Sedangkan di dalam sebuah kamar hotel, sejak tadi Dira menatap langit yang gelap gulita. Dira juga berada di sebuah balkon, hanya saja ia berada di sebuah hotel bintang lima.

Dilihatnya terus menerus ke atas, langitnya nampak gelap, seolah menjadi pertanda. Mungkin hidupnya yang akan datang juga akan diisi dengan kegelapan yang sama.

Bersambung.

Yuk kenalan sama penulis Rahim Bayaran di Instagram : Sept_September2020

Jangan lupa tap tombol LOVE, dan selamat membaca RB. Lope lope sekebon cabe.

Aku Keluar Agar Dia Masuk

Langit malam ini terlihat sedikit muram, semuran dan sesuram hati Agata. Perempuan itu sedari sore, hatinya sudah seperti disayat sembilu.

Sedangkan Dira, di kolong langit yang sama, Dira si gadis belia juga merasakan hal yang sama. Keputusan menikah dengan pria dewasa nan asing itu, membuat Dira tak mampu lagi melihat masa depannya.

Seakan-akan garis takdirnya sudah ditulis dengan tinta hitam. Dira yang belum pernah berpacaran itu, tidak pernah menyangka, harus berakhir menjadi seorang istri siri bagi seorang pria seperti Agam.

Parahnya lagi, ia hanya sebagai alat. Ya, kehadiran Dira dalam rumah tangga Agam dan Agata hanya sebagai alat pencetak anak. Tidak kurang dan tidak lebih.

Dira yang memang terdesak ingin membebaskan sang Ibu dari jeratan mucikari, jeratan rumah bordil yang mengikat leher sang Ibu, terpaksa menerima tawaran dari Agam.

Toh hanya sembilan bulan. Dira yakin, semua akan berjalan sesuai rencana. Gadis polos itu sangat yakin, bahwa dalam tempo sembilan bulan. Ia akan bisa mengandung dan melahirkan anak dari pria yang bernama Agam tersebut.

Haduh Dira, bagaimana bisa punya anak? Bila malam pertama saja kamu sudah ditinggalkan. Isi kepala Dira tak sampai di situ.

Yang ia pikir, hanya tunggu waktu sembilan bulan. Ia akan bebas, dan membawa ibunya lari dari kota yang kejam ini. Memulai hidup baru, sebab Agam sudah menjanjikan banyak uang padanya.

Karena terlalu lama berdiri di luar kamar, hawa dingin itu pun merasuk. Menembus kulit Dira yang lembut. Merasa kedinginan, gadis belia itu pun memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba membuat suhu tubuhnya agar terasa sedikit lebih hangat.

Di sisi lain, di kediaman Salim Wijaya. Rumah setinggi tiga lantai itu sangat terasa hangat. Alat pemanas sudah dinyalakan. Terlebih Agata, wanita tiga puluh lima tahun itu kini sedang menikmati kehangatan dari sang suami.

Di atas ranjang ukuran king size, dengan balutan seprai lembut motif bunga-bunga kecil. Agata menikmati dekapan hangat suaminya itu.

Keduanya saling memeluk, seolah tak rela bila takdir berbuat curang dan memisahkan mereka berdua. Tidak boleh! Tidak akan pernah.

"Siapa wanita itu, Mas?"

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Agata menanyakan wanita seperti apa yang dinikahi suaminya hari ini.

Agata dan Mama meminta pada Agam untuk menikahi wanita lain guna mengandung anaknya, tapi siapa itu? Sudah menjadi keputusan Agam. Pria itu yang akan memilih, siapa yang mau ia nikahi dan ajak tidur.

Itu syarat yang Agam ajukan, ia mau melakukan rencana gila mereka berdua. Tapi mengenai siapa wanita itu, pilihan ada di tangannya. Tidak boleh diganggu gugat.

"Mas, siapa dia?" tanya Agata lagi.

Agam tersentak, saat Agata kini sudah menatap dirinya. Wanita itu seolah terus menuntut jawab.

"Ah ... nanti kamu juga akan tahu."

Agam mencoba menghindar, tidak ingin merusak momen kebersamaan mereka dengan membahas Dira.

Bisa-bisa istrinya itu shock berat, karena dia sendiri tak habis pikir, mengapa harus Dira? Bukan wanita lain. Ya, mengapa harus gadis 18 tahun yang masih bau kencur itu?

Jika dipikir-pikir, pria itu merasa ada yang tidak beres dengan keputusan yang ia buat kali ini. Agam mungkin risau bila Agata tahu berapa usia Dira, atau Agam justru takut. Bila mana Agata memandang aneh pada dirinya, terhadap pilihan yang telah ia buat.

Agam merasa sudah tak waras karena menikahi gadis belia yang lebih cocok jadi putrinya. Ah, sudahlah. Sudah terlanjur, tidak ingin membahas Dira. Agam memilih memeluk tubuh istrinya kembali.

"Ayo tidur, hari ini ... Mas lelah sekalih."

Melihat wajah kusut suaminya, Agata jadi kasihan. Ini juga pasti berat untuk cinta mereka. Anak adalah ujian cinta terberat selama ini. Segala cara sudah mereka tempuh, sampai usaha bayi tabung beberapa kali. Sayang, semua selalu berakhir dengan kegagalan.

Membayar seseorang untuk ditanam benih Agam, itulah jalan keluar satu-satunya.

Mama tak mau anak adopsi, begitu juga dengan Agata. Meskipun nanti anak itu tidak lahir dari rahimnya. Agata berjanji akan menyayangi anak itu. Karena itu adalah anak dari pria yang belasan tahun ia cintai.

Tidak terasa, jam terus berjalan. Waktu terus berputar. Hingga malam yang semula menyelimuti kini berganti pagi yang hangat.

Agam mengerjapkan mata, kilau mentari pagi yang menerobos jendela kamar, membuat matanya terasa silau, ia sampai menggunakan tangan untuk melindungi matanya.

Saat kesadarannya terkumpul penuh, ia meraba-raba ranjang di sampingnya.

"Ke mana kamu, Agata?" bisiknya lirih sambil turun dari ranjang.

Pagi-pagi Agam sudah kehilangan jejak istrinya. Ke mana wanita yang semalam tidur sambil memeluk dirinya?

"Bik ... Bik!"

Agam berteriak, memanggil asisten rumah tangga yang sudah setia sejak mereka menempati hunian yang megah ini.

"Iya, Tuan."

Seorang wanita datang dengan langkah sedikit cepat, tidak ingin Tuan besarnya marah-marah. Bibi langsung datang secepat ia bisa.

"Di mana Nyonya Agata?"

Dari ekspresi wajahnya, Bibi terlihat takut saat akan mengatakan apa yang ingin ia bicarakan.

"Ke mana?"

Karena Bibi tak kunjung menjawab, akhirnya nada bicara Agam pun mulai meninggi.

"Itu ... Itu, Nyonya pergi pagi-pagi dengan membawa koper besar."

Mata Agam langsung membulat sempurna, bola matanya hampir saja keluar. Ia kaget mendengar keterangan asisten rumah tangganya.

Tidak peduli pada Bibi yang masih mematung di depannya. Pria berpostur tinggi besar itu langsung masuk kembali ke dalam kamar. Perasaannya sudah tidak enak saat menatap selembar kertas putih di atas nakas.

Itu pasti surat yang Agata tulis sebelum pergi, apa maunya wanita itu? Ketika ia memilih menghabiskan malam pertama bersamanya. Mengapa Agata malah memilih pergi?

Semua pertanyaan di benak Agam terjawab di dalam lembar kertas yang kini ia baca sekarang.

'Mas, sebelumnya maaf bila caraku keliru. Tapi ini untuk kebaikan kita. Aku akan ke Bali, ke vila kita dulu. Ajaklah wanita itu tinggal di rumah kita. Mari kita selesaikan ini secepat mungkin. Begitu dia hamil, aku akan segera pulang. Dan satu lagi, jangan susul aku, Mas. Aku tahu Mas tak akan bisa melakukannya bila ada aku, untuk sementara ini. Biarkan aku di sini dulu. Salam sayang, aku tunggu kabar bahagia itu.'

Setelah membaca pesan yang diberikan Agata lewat sebuah surat yang ditulis tangan itu.

Entah mengapa, ada rona kekesalan di mata pria bermata hitam mengkilat itu. Perlahan ia mengepalkan tangan, membuat kertas yang ia pegang jadi lusuh.

"Apa cinta sudah hilang? Hingga kamu rela berbagi suami dengan wanita lain? Apa anak itu sangat penting bagimu Agata?" Agam bicara sendiri dengan tatapan kosong.

"Baik! Akan aku lakukan seperti maumu!" ucapnya kemudian dengan nada putus asa namun mengandung sebuah kemarahan.

Pria itu marah lantaran mengapa begitu mudah istrinya melepas dirinya begitu saja. Agam marah, karena anak nyatanya lebih penting dari pada cinta tulusnya selama ini.

Karena Agata sudah memukul genderang perang. Agam pun meraih ponsel yang juga ada di atas nakas.

"Rob, bawa Dira pulang ke rumah. Sekarang!"

Agam bicara di telpon dengan sekretarisnya. Sementara itu, Robby yang sudah stand by di depan rumah kaget bukan main.

"Dira dibawa ke sini?" tanyanya, namun sambungan telponnya sudah diputus oleh Agam.

Keinginan bos adalah perintah, maka Robby pun menyalakan mesin mobil. Ia sudah siap menjemput wanita yang kemarin dinikahi oleh bosnya tersebut.

Di sebuah hotel bintang lima.

"Kita mau ke mana, Mas Robby?" Dira heran mengapa pria itu terlihat buru-buru dan berwajah serius. Padahal kemarin pria itu ramah padanya. Kini terlihat agak jutek dan dingin.

Ini semua karena Robby tak suka, bila Dira di bawa pulang ke rumah. Artinya akan tinggal seatap dengan Nyonya Agata.

Sekretaris Agam ini memiliki rasa empati yang tidak biasa pada istri bosnya itu. Begitu tahu Dira akan dibawa ke rumah. Robby memasang wajah kurang ramah.

"Ke rumah Tuan Agam!" jawabnya sembari menutup kamar hotel.

Dira mematung sejenak, seolah tidak ingin meninggalkan hotel itu. Belum apa-apa ia sudah merasa ngeri duluan.

Bersambung

Jangan pernah memberi cela pada orang lain untuk masuk dalam hubungan Kita, karena begitu orang ke tiga masuk. Akan hadir orang ke empat dan kelima.

Terima kasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!