NovelToon NovelToon

PRIYA

PROLOG

Apakah kamu tahu,

Apa special moment bagi seorang anak?

Dan apa special moment bagi sepasang kekasih?

“Bagaimana cara memenangkan mecha event di HM Hero of Leaf Valley,” gumam Kiya sambil mengetik di kolom search Youtube.

Setelah menekan tombol Enter, berbagai macam video muncul. Kiya segera mencari akun bernama BigGames. Sejak dia memulai memainkan game ini, akun tersebutlah yang menjadi referensinya. Selain video berkualitas HD, tips dan triknya pun mudah dimengerti. Cocok banget untuk Kiya yang pemain pemula di Harvest Moon Hero of Leaf Valley ini.

Permainan Harvest moon sendiri adalah permainan simulasi yang dikeluarkan oleh Natsume. Semua orang pasti mengetahuinya, setidaknya pernah mendengar namanya. Game ini memiliki banyak versi. Kiya dulu pernah memainkan Harvest Moon Back to Nature di playstation satu. Tapi udah lamaaa... banget. Terakhir main mungkin waktu kelas empat SD sebelum PS tersebut rusak.

“Kamu udah makan belum Dek?” tanya Raika yang kepalanya melongok di pintu kamar Kiya.

“Bentar lagi Mbak,” jawab Kiya tanpa menoleh.

“Udah hampir jam satu lho dek. Nanti maagmu kambuh.”

“Iya Mbak. Bentar lagi. Nanggung nih.”

“Ck, pasti main game lagi, kan?!”

Kiya tak mengindahkan celetukkan Raika, justru semakin memfokuskan pandangannya ke layar laptop. Dia memperhatikan dengan saksama setiap pergerakan si Hero—nama pemain yang dibuat BigGames—saat menyelesaikan event melawan mecha crow. Cukup mudah. Hanya perlu mengambil semua makanan di area sekitar Lyla Shop atau Louis Shop.

Kiya tak berniat sececahpun untuk berhenti dan beranjak. Perutnya masih belum lapar. Dia malah berniat melanjutkan menonton video-video milik BigGames yang lain. Mungkin dia bisa menemukan game simulasi lainnya selain Harvest Moon ini.

Dia segera mengklik nama akun BigGames hingga menampilkan tampilan depan menu beranda. Kemudian dia mengklik menu video. Muncullah beberapa video yang sudah diupload BigGames. Dan manik Kiya menatap sedikit ganjil pada video pertama yang terlihat berbeda dari video yang di bawahnya. Gambar awal video tersebut tidak seperti video-video lain yang menampilkan grafis-grafis 2D atau 3D, namun sebuah gambar candi yang cukup familier dengan teras berundak dan sebuah stupa. Ah, benar. Ini candi Borobudur yang terletak di daerah Magelang. Dia dan keluarganya pernah ke sana. Beberapa kali.

Kiya terus menilik, lalu dia tiba-tiba sedikit tersentak. Bukan. Bukan karena bentuk candinya yang berubah. Itu hal yang mustahil terjadi. Tapi dua wajah remaja laki-laki yang mendadak memenuhi layar laptopnya. Salah satunya sedang tersenyum lebar sambil menyapa. Sementara yang memakai topi merah tampak enggan melihat ke arah kamera.

Tunggu! Tunggu! Kalau nggak salah...

Kiya memundurkan lagi durasi videonya. Dia memperhatikan dengan cermat. Dia seperti pernah melihat mereka. Sungguh nggak asing.

“Kak Awan? Kak Prisma?” ujar Kiya sambil sedikit mengernyitkan alis.

Sebenarnya Kiya tak terlalu kenal mereka, hanya tahu saja. Awan dan Prisma itu merupakan salah dua dari cowok-cowok ganteng di sekolahnya. Banyak anak-anak cewek SMAN 24 Sleman mengidolakan mereka. Termasuk sahabatnya, Yeyen.

Kiya kembali memperhatikan isi video tersebut. Cukup menarik untuk dilihat. Mengingatnya kembali dengan kenangan bersama keluarganya saat berkunjung ke sana. Tapi sampai durasi 08:36, matanya kontan terbelalak. Tercengang. Juga sedikit menatap tak percaya.

Sepasang pria dan wanita yang tertangkap kamera itu menggelitik kasar hati Kiya, apalagi melihat tangan mereka yang saling merangkul mesra. Kiya juga melihat sang pria mencium sayang pucuk kepala sang wanita sebelum terarah ke tempat lain.

“Ah, aku pasti salah lihat. Nggak mungkin itu Papa,” lirih Kiya seraya mengucek-ngucek kedua matanya. Mungkin efek mengantuknya sudah memengaruhi. Malam tadi dia tidur jam empat pagi dan terbangun tiga jam kemudian.

Tapi beberapa kalipun dia memastikan penglihatannya, laki-laki itu tetap terlihat mirip dengan Papanya, terutama tahi lalat cukup besar yang ada di bawah mata kanannya.

“Siapa wanita itu? Kenapa Papa bisa bersamanya....”

Kiya segera memutar kembali video itu dari awal. Kalau nggak salah, dia menangkap sebuah suara yang sedang menanyakan tanggal hari itu. Dan di detik 07:50, dugaan Kiya memang benar. Suara serak yang diyakini Kiya sebagai Prisma sedang menanyakan tanggal. Suara lain pun menjawab—Kiya menyakini suara itu suara Awan—kalau sekarang tanggal 7 Juli. Lantas Kiya segera menggeser ke bawah dan mendapatkan sebuah tulisan: published on Jul 9. Berarti sudah tiga hari setelah hari ini.

Benak Kiya mulai meraung-meraung kini. Bertanya-tanya silih berganti. Kenapa pria paruh baya itu bisa ada di sana? Bukankah beliau mengatakan sedang ada tugas di Bandung? Lalu siapa perempuan itu. Mereka tidak terlihat seperti teman. Apa mungkin...? Dan kini pikiran-pikiran negatif menggerubungi benak Kiya.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA KARYAKU YANG BARU.

PRIYA 01

Kiya menatap lesu ke cermin seluruh badan yang ada di depannya. Kedua maniknya terlihat sayu dan sedikit kemerahan. Tubuhnya juga terasa pegal-pegal dan sekarang kepalanya terasa sedikit sakit. Mungkin efek dari bergadang. Tadi malam mata Kiya memang tak mau terpejam. Lebih memilih memandang langit-langit kamar. Banyak spekalusi-spekulasi yang mengusik otaknya sejak melihat video tersebut.

Sebenarnya Kiya tak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Papanya nggak mungkin mengkhianati Mama. Tapi... Tapi kemesraan yang ditunjukkan mereka lantas merontokkan dugaan-dugaan positif yang coba dibangun Kiya. Adegan diantara kedua sosok dewasa tersebut sangat menggelitik dan menyentil hatinya. Jelas kalau interaksi di antara mereka bukanlah interaksi antar teman. Lebih daripada itu.

“Dek, bangun!” teriak Raika di balik pintu setelah mengetuk terlebih dulu.

Kiya menguap sebentar sebelum menjawab. “Iya, Mbak.”

“Cepet turun ya Dek. Ada Papa di bawah. Kita sarapan bareng.”

Kiya tak lagi menyahut, justru berjalan mendekati pintu kamar mandi. Dia butuh membasahi seluruh tubuhnya. Supaya lebih fresh. Supaya dapat menghilangkan jejak-jejak dari efek bergadangnya tadi malam. Juga supaya Rasti dan Raika tidak bertanya-tanya bila melihat raut wajahnya.

Setelah menyelesaikan aktivitas pribadinya, Kiya segera pergi menuju ruang makan. Tidak terlihat Raika di sana. Hanya ada Rasti yang terlihat sibuk menata piring-piring dan Bimo yang fokus membaca koran. Kiya memperhatikan lekat raut wajah papa dan mamanya. Bila dilihat secara kasatmata, Bimo dan Rasti tidak tampak sedang terlibat pertengkaran. Selama ini juga Rasti terlihat sangat melayani Bimo dengan telaten dan penuh kasih sayang. Sifat dan sikap Rasti sudah bisa dikatakan sebagai istri idaman. Jadi nggak ada alasan bila Papanya tergoda wanita idalaman lain.

“Selamat pagi Dek!” sambut Rasti saat menyadari keberadaan Kiya.

Bimo yang mendengar sapaan Rasti spontan menurunkan bacaannya. Dia menyunggingkan senyum lebar. “Pagi Dek!”

“Pagi juga Ma, Pa!” balas Kiya.

“Kamu sakit Dek?” Rasti menghampiri Kiya yang masih berdiri di palang pintu. Kedua matanya menilik keseluruhan wajah Kiya. Meskipun sudah mandi, mimik tak bersemangat dan lesu masih tampak jelas di wajah gadis itu.

Kiya menggeleng. “Nggak kok Ma.”

Rasti menyentuh mata Kiya. “Kok matamu merah gini Dek? Pasti bergadang lagi, kan?!”

Kiya membalas dengan cengiran.

“Ya udah, kamu duduk sana gih,” suruh Rasti sebelum membalikkan badan, berniat melanjutkan rutinitas paginya.

“Ada yang perlu dibantu, Ma?” tanya Kiya seraya mengekori Rasti.

“Nggak ada, Dek. Udah hampir selesai kok,” jawab Rasti tanpa menoleh dan tetap melajukan langkahnya menuju dapur .

“Jangan suka bergadang Dek. Nggak baik untuk kesehatanmu,” nasihat Bimo setelah Rasti menghilang dari balik pintu dan Kiya sudah duduk di tempatnya yang dekat dengan dispenser.

Sekali lagi Kiya menjawab dengan cengiran.

“Besok kamu mulai sekolah, kan?”

“Iya Pa. Besok aku udah kelas sebelas.”

“Wahhh... nggak nyangka ya?! Anak gadis Papa udah kelas sebelas aja. Kayaknya baru kemarin Papa gendong kamu,” tutur Bimo dengan tersenyum kecil dan sedikit menerawang kejadian silam beberapa tahun lalu.

Sekali lagi Kiya kembali cengar-cengir sebelum dia tiba-tiba memasang mimik serius. Video itu kembali menggelitik otak dan hatinya. “Papa kemarin dinas ke mana?”

Bimo sedikit menaikkan alisnya. “Ke Bandung. Kan sebelum pergi, Papa udah bilang. Memang kenapa?” Tiba-tiba Bimo cengengesan. “Ah, Papa tahu. Kamu pasti mau nagih oleh-oleh, kan? Ada tuh di kamar Papa, dekat lemari biasa. Rencananya setelah kita sarapan, baru Papa mau kasih. Eh ternyata, kamu udah nagih duluan,” duganya.

“Kata temanku, dia lihat Papa di Borobudur.”

Raut wajah Bimo seketika menegang. Hanya sepersekian detik saja. Karena setelahnya raut itu kembali terlihat santai, bak kalimat Kiya tak pernah menyentilnya. “Pasti temanmu salah lihat. Papa sudah lama nggak ke sana. Kalo nggak salah, terakhir Papa ke Borobudur tahun lalu sama kalian,” bantah Bimo.

Binar di mata Kiya lantas meredup. Reaksi awal Bimo yang terbilang cukup berlebihan di matanya—karena dia tak pernah sekalipun melihat raut tegang Bimo seperti itu—semakin membuatnya berpikir yang bukan-bukan. Yang mana yang harus dipercaya. Video itu atau perkataan Bimo? Lalu perempuan itu siapa? Kiya belum pernah melihatnya dan perempuan itu juga tidak pernah datang ke rumah ini. Apakah mungkin perempuan itu temannya atau seling....

Pusing! Pusing! Pusing! Kiya juga nggak bisa sembarangan bertanya tentang wanita itu sekarang. Takut Mama atau Mbak Raika tiba-tiba mendengarnya. Takut jadi masalah nanti.

“Udah bangun kamu, Dek? Mbak kira kamu masih lanjut molor,” tukas Raika yang mendadak masuk ke ruang makan diikuti laki-laki berjambang tipis di belakangnya.

“Pagi Pa, Pagi Dek,” sapa Galih dengan senyum merekah hingga menampilkan dua lesung pipi di sudut-sudut bibirnya. Memang sejak dia dan Raika bertunangan, Galih memanggil Bimo dan Rasti dengan panggilan yang sama seperti Raika dan Kiya—Papa Mama.

“Pagi,” balas Kiya dan Bimo berbarengan.

“Kalian jadi cari gedung hari ini?” tanya Rasti yang baru kembali dari dapur dengan semangkuk nasi goreng di tangannya.

“Jadi Ma. Selesai makan, rencananya kami mau langsung ke sana,” jawab Raika.

“Gedung yang dekat bandara Adisutjipto itu, kan?”

Raika mengangguk. “Iya Ma. Gedung Mandala Bakti Wanitatama.”

“Doakan semoga lancar ya, Ma,” timpal Galih.

“Amin. Mama dan Papa akan selalu mendoakan kalian.”

“Kamu kenapa Dek? Kok melamun?” tanya Raika yang refleks membuat mata Kiya mengerjap-ngerjap. Setelah menyapa Galih tadi, dia kembali bergelut dengan dugaan-dugaan yang tak berdasarnya, juga kembali menerka-nerka apa yang harus dilakukan kedepannya mengenai video itu.

Kepala Kiya menggeleng pelan. “Nggak ada papa kok, Mbak,”

“Kita makan sekarang yuk!” ajak Rasti sambil menggeser kursi yang ada di samping Bimo ke belakang sebelum mendudukinya, kemudian dia mengambil piring Bimo dan meletakkan nasi goreng di atasnya.

Kiya memperhatikan saksama setiap gerak-gerik Rasti yang cekatan. Wanita paruh baya itu tampak menikmati tugasnya sebagai seorang istri yang melayani sang suami. Selama ini Rasti juga menjadi sosok ibu yang luar biasa. Beliau selalu mencurahkan kasih sayang untuknya dan Raika. Dan saat mata Kiya menatap wajah Bimo, spekalusi-spekulasi negatif itu kembali menyeruak mengacaukan otaknya.

Kalau seandainya perkataan Bimo bohong dan spekulasi negatif ini benar, apakah yang akan terjadi. Apa Papa dan Mama akan berpisah? Apa pernikahan Mbak Raika dan Mas Galih akan batal, karena keluarga Galih mungkin mengganggap keluarganya tidak beres? Apa yang harus kulakukan Tuhan? Kiya membatin.

^^ P R I Y A ^^

“Woy, jangan melamun! Nanti kesurupan!” tukas Yeyen sambil menepuk kencang bahu Kiya.

Tubuh Kiya kontan terlonjak. Matanya refleks mengerjap. Untung saja dia tidak latah dan tidak mengeluarkan kata-kata absurd. Dia langsung menoleh ke samping kirinya dan menatap garang sang pelaku. “Duh, kamu iseng banget sih! Siapa juga yang lagi melamun?”

“Kalo nggak melamun, tadi namanya apa?”

Kiya nggak berniat untuk menjawab. Dia lebih memilih memandang Agung—si ketua kelas—yang baru masuk ke dalam kelas dan sekarang sedang melangkah menuju meja guru. Pasti ada pengumuman penting nih. Mengingat belum ada guru yang masuk meskipun bel sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

BERSAMBUNG...

PRIYA 02

“Kalo nggak melamun, tadi namanya apa?”

Kiya nggak berniat untuk menjawab. Dia lebih memilih memandang Agung—si ketua kelas—yang baru masuk ke dalam kelas dan sekarang sedang melangkah menuju meja guru. Pasti ada pengumuman penting nih. Mengingat belum ada guru yang masuk meskipun bel sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

“Shuttt! Diam semuanya! Ada pengumuman nih!” ucap Agung setengah berteriak, berharap dapat menarik perhatian teman-temannya dan bisa meredakan suara mereka yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Guru-guru sedang rapat sampai siang. Jadi kelas hari ini kosong. Kalian bebas mau melakukan apapun. Tapi jangan buat keributan ya?!” sambungnya.

Seketika kelas menjadi ricuh. Suara sorak bergembira menggelegar. Bahkan sebelum Agung menyelesaikan ucapannya, sudah ada sebagian siswa yang pergi keluar. Yeyen yang duduk di samping Kiya juga ikut bersorak. Sementara Kiya hanya tersenyum simpul. Tidak ada seorang siswapun yang tak suka kelas kosong. Ibarat itu kebahagiaan hakiki di sekolah. Ditambah lagi suasana liburan kemarin masih melekat.

“Ke lapangan yuk! Siapa tahu di sana ada Kak Awan,” ajak Yeyen.

“Ehm... Oke deh,” jawab Kiya setelah terdiam berpikir cukup lama. Sebenarnya dia sedang malas ke mana-mana. Tapi dia nggak mau tinggal di dalam kelas sendirian. Kelas ini hampir kosong, hanya ada empat orang. Agungnya yang tadi memberikan pengumuman pun juga sudah tak terlihat lagi.

Selama perjalanan menuju satu-satunya lapangan outdoor di sekolah ini, pikiran Kiya masih mengajaknya bergumul, hingga tak memperhatikan lalu lalang yang ada di sekitarnya. Kalau Yeyen tidak menarik lengannya, mungkin dia sudah menabrak Jessica dkk. Dia sungguh tak ingin bersinggungan dengan mereka lagi. Cukup sekali saja.

Dulu Kiya pernah dilabrak sama ketiga cewek tersebut. Bikin malu saja, apalagi dia dilabrak di kantin sekolah yang hari itu lebih ramai daripada biasanya. Dikira setelah insiden labrakan tersebut, kehidupan SMA-nya akan suram. Kebanyakan kan seperti itu kalau di sinetron-sinteron ftv. Tapi untunglah apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Jessica, Amira, dan Natasya tidak pernah mengusiknya. Kiya juga lebih meminimalisir tatap muka dengan mereka. Dia lebih banyak menghindar dan memilih jalan memutar.

“Ki, sebenarnya ada apa denganmu?” tanya Yeyen yang tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya sejak menangkap sikap Kiya yang tidak biasa. Meskipun Kiya termasuk cewek acuh dengan sekelilingnya, tapi sangat jarang—mungkin nggak pernah—dia bertingkah seperti ini, seperti orang yang sedang memikul beban berat saja. Kiya itu orang yang paling santai yang pernah Yeyen kenal.

Mata Kiya menatap ragu-ragu ke wajah Yeyan. Apakah dia harus mengatakannya? Tapi kalau seandainya pikiran negatif itu benar, ini akan menjadi aib keluarganya. Bukankah aib itu harusnya disembunyikan? Tapi kalau nggak ke Yeyen, harus dengan siapa lagi dia bercerita. Nggak mungkin dia bercerita dengan Mama atau Mbaknya. Mereka pasti sudah disibukkan dengan acara pernikahan Raika dan Galih.

“Kita kembali ke kelas aja yuk!” pinta Kiya sambil membalikkan badan.

Kiya sudah memutuskan. Sebaiknya dia memang harus menceritakan kegundahan ini kepada Yeyan. Siapa tahu Yeyen bisa memberikan solusi. Atau setidaknya bisa sedikit memberikan keringanan di dalam hatinya karena bukan hanya dirinya sendiri yang tahu. Karena ada pepatah mengatakan, hal yang paling sulit dan berat adalah menyimpan rahasia. Apalagi ini bukan pertama kalinya juga dia bercerita ke gadis itu.

Yeyen segera mengekori langkah Kiya. Rencana melihat Awan terpaksa diurungkan. Dia dan Awan satu sekolah, jadi dia bisa melihatnya di lain waktu. Pasti ada yang ingin Kiya ceritakan, mengingat raut serius yang mendadak menghiasi wajahnya.

“Jadi?” tuntut Yeyen setelah mereka duduk di bangku masing-masing. Sekarang di kelas ini hanya ada empat orang, termasuk mereka berdua.

“Ehm....” Kiya masih bimbang. Namun dia sungguh-sungguh tak ingin menyimpan kegundahan ini sendirian. “Aku melihat Papaku dengan wanita lain.”

Yeyen mengerutkan dahi. Kemudian dia berbisik. “Maksudmu Papamu selingkuh?”

“Entahlah. Aku nggak tahu.”

Lagi-lagi dahi Yeyen berlipat. “Trus kenapa kamu bisa bilang gitu?”

Kiya merogoh ke dalam saku baju dan mengambil ponsel pintarnya. Dibuka sebuah video yang telah diunduh pagi tadi. “Lihat video itu!” suruhnya sambil menyodorkan ponselnya.

“Memang ada apa?”

“Lihat aja dulu!”

Yeyen menatap cermat video berdurasi sepuluh menit tersebut. Tidak ada yang aneh di awal-awal video itu diputar. Hanya berisikan penampakan kawasan Borobudur. Tidak juga ada yang menarik. Situasinya sama saja saat dia pergi ke sana setahun yang lalu. Tapi mata Yeyen lantas membulat lebar ketika pemandangan itu berubah menjadi dua sosok remaja laki-laki.

“Kak Awan!” teriak Yeyen histeris.

Alice dan Chacha—kedua teman sekelas Yeyen dan Raika yang memilih untuk tetap di kelas tadi—spontan menoleh. Wajah mereka jelas menunjukkan keheranan dan keingintahuan dengan suara teriakan Yeyen. Sementara Kiya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sudah diduganya. Yeyen pasti kegirangan melihat sosok Awan di video itu.

“Kamu dapat darimana sih video ini? Kok bisa ada Kak Awan?” seru Yeyen heboh. Dia memang sudah lama mengidolakan cowok berbulu mata lentik itu. Sejak awal masuk sekolah mungkin. Cuma dia nggak berani mendekati. Saingan untuk mendapatkan perhatian Awan sangat berat. Dia lebih memilih memandang dari kejauhan.

“Teruskan nontonnya!” suruh Kiya lagi tanpa menanggapi lontaran Yeyen.

Gadis itu mendengus kecil sebelum kembali menatap layar ponsel Kiya. Di menit kedelapan, mata Yeyen spontan kembali terbuka lebar. Kemudian dia menatap wajah Kiya lalu menatap layar itu lagi. Terus berganti-gantian sampai tiga kali.

“Apa aku harus bertanya tentang wanita itu ke Papaku?” lirih Kiya dengan nada lesu.

“Jangan! Jangan sekarang!” Yeyen menggerakkan sebelah tangannya ke kiri dan ke kanan. “Kamu bertanyanya setelah pernikahan Mbak Raika aja. Takutnya nanti bila kamu tanya sekarang, malah timbul masalah jika memang benar Papamu ada something dengan wanita itu,” terangnya.

Kiya mengangguk pelan. Pikiran mereka ternyata sama. “Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?”

“Sebaiknya kamu cari cara bagaimana menghapus video ini dulu, agar nggak semakin banyak orang yang salah paham,” jawab Yeyen sambil menyerah benda segiempat tersebut ke pemiliknya. “Kamu sebenarnya dapat darimana sih video itu?”

“Di youtube. Akunnya BigGames.”

“Kak Awan ato Kak Prisma pemiliknya?” tebak Yeyen.

“Mungkin saja.”

“Oke, gini aja. Kamu datangi mereka, lalu minta mereka untuk menghapusnya.”

“Tapi,”-Kiya menghela napas panjang-”aku nggak ingin berurusan dengan mereka lagi.”

“Kenapa? Pasti karena kejadian itu, kan?”

^^ P R I Y A ^^

“Kamu masih dendam? Tapi kejadiannya kan udah lama banget,” imbuh Yeyen lagi.

“Aku nggak dendam,” bantah Kiya.

“Lalu?”

“Hanya malas aja berurusan dengan mereka,” sahut Kiya dengan menerawang kejadian setahun lalu saat pertemuan pertamanya dengan kedua cowok tersebut, dan sekaligus alasan kenapa dia sungguh tak ingin lagi bersinggungan dengan Prisma atau Awan lagi.

Kiya menghela napas panjang setelah keluar dari WC yang bersebelahan dengan XI IPS 4. Lega. Hampir setengah jam dia menahan pipis gara-gara takut dengan Bu Desi yang terkenal dengan sebutan guru tergalak di SMAN 24 Sleman. Guru tambun itu sebenarnya tidak melarang siswa-siswinya untuk izin ke kamar kecil, cuma Kiya terlanjur takut dengan raut wajahnya yang terkesan selalu ingin meradang.

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!