NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Bule Tampan

Love At First Sight

Akhir bulan adalah hari yang paling sibuk bagi Rania, tugasnya sebagai admin keuangan membuatnya harus berjibaku dengan berbagai macam laporan keuangan perusahaan. Neraca, arus masuk kas, laba rugi, deretan nominal angka-angka yang berderet tak berseri terkadang membuat kepalanya ingin meledak.

Gaji menggiurkan yang diberikan oleh PT. ADIGUNA Corp, memaksanya untuk tetap bertahan meskipun perusahaan ini memaksanya juga untuk bekerja lebih keras dibandingkan dengan perusahaan lain.

PT. ADIGUNA Corp adalah sebuah perusahaan raksasa di Indonesia, bahkan masuk ke dalam daftar perusahaan terbesar di Asia. Berbagai macam produk di produksi oleh perusahaan ini, dari mulai skincare, produk kebersihan rumah, produk khusus bayi, makanan hingga jasa konsultan pembangunan semua tersedia lengkap di perusahaan ini.

"Ran, bisa minta tolong ambilkan berkas-berkas saya yang baru tiba di Customer Service gak?" Pinta Mirza sang Manager keuangan, Rania yang mendapatkan meja di depan pintunya selalu saja di tumbalkan untuk harus menuruti segala perintah sang Manager yang terkenal dingin itu.

"Baik pak, permisi!" Sahutnya yang diangguki oleh sang Manager tanpa menoleh kemudian ia bergegas menuju resepsionis yang berada di lantai dasar.

"Kenapa gak minta OB aja sih buat ambilin, kok harus gue? dasar Manager rese, gak liat apa gue lagi sibuk!" Gerutu Rania dalam hati sambil memonyongkan bibirnya karena kesal.

Ting..

Pintu lift terbuka, Rania melenggang menuju meja resepsionis yang letaknya tak jauh dari pintu lift.

"Mel, ada berkas punya pak Mirza?" Tanya Rania kepada Melina sahabatnya yang bertugas sebagai resepsionis, ketika ia telah tiba di sana.

"Tadi ada beb, gue taro dimana ya? sebentar gue cari!" Ucap Melina sambil mencari berkas Pak Mirza diantara tumpukan berkas lain.

Telepon di meja resepsionis berdering, dengan cekatan Melina mengangkatnya. Seketika ia panik setelah menutup teleponnya.

"Kenapa beb, panik amat?" Tanya Rania yang mengamati perubahan raut wajah Melina setelah mendapat telepon.

"Mampus, Pak Mirza suruh buru-buru anterin berkasnya, gue lupa tadi simpan dimana ya. Mana itu bahan buat meeting para direksi lagi!" Ucap Melina heboh sendiri, sambil mengacak-acak semua yang ada di mejanya.

"Cari pelan-pelan Mel, lo tau sendiri gimana seremnya dia kalau lagi ngamuk. Gue bantu ya!" Tawar Rania sambil melihat ke sekeliling meja resepsionis.

Mel mengangguk sambil bergidik ngeri membayangkan kemarahan yang akan diterimanya jika sampai berkas itu tidak ditemukan, tangannya masih sibuk menggapai tiap inci meja berusaha untuk menemukan berkas itu.

"Itu map merah apaan Mel?" Tanya Rania menunjuk ke atas meja resepsionis agak ke pojok.

"Oh my god, iya itu berkasnya beb. Thanks sayangku, sepagi ini lo udah menyelamatkan nyawa gue!" Mel berkata sambil memeluk Rania.

"Ckk.. Apaan sih lebay lo Mel, ya udah gue harus buru-buru anterin berkasnya nih. Bye Mel, thanks ya!" Pamit Rania sambil menyambar berkasnya dan berbalik dengan tergesa hingga ia tak sengaja menabrak seorang pria yang hendak berjalan ke arah meja resepsionis.

Rania terpental dari tubuh pria itu hingga terjatuh, membuat berkas yang dibawanya terbang berhamburan.

"Astaga, i'm so sorry, are you okay?" Tanya pria itu sambil mengulurkan tangan untuk membantunya bangun. Sedangkan Mel bergegas membantu memunguti berkas yang berhamburan tadi dibantu oleh seorang pria lainnya.

Rania mengangkat wajahnya ke atas, terlihat seorang lelaki bule yang berparas amat tampan tengah menatap dengan mata hijaunya lalu bibirnya merekah menyunggingkan seulas senyum memamerkan sepasang lesung pipit yang sangat menawan.

Rania terpaku dibuatnya begitupun dengan pria bule itu, mereka saling berpandangan satu sama lain hingga Rania tersadar, ia menunduk mulai merasakan rasa panas yang menjalar di kedua pipinya.

"Ehmmmm.. Mau sampai kapan kamu memandangi dia?" Tanya pria yang tadi membantu Melina merapikan berkas.

Pria bule itu berkedip lalu menggaruk tengkuknya sambil tersenyum simpul, sementara Rania bangkit berdiri dan mengambil berkas yang diserahkan oleh Melina yang kini sudah kembali ke meja resepsionis.

"Saya minta maaf ya Tuan, saya terburu-buru mau mengantarkan berkas ini!" Pinta Rania penuh penyesalan sambil menunjuk berkas yang dipegangnya.

"It's okay.." Jawab pria itu masih tersenyum.

"Sekali lagi saya minta maaf, saya permisi Tuan!" Pamit Rania yang diangguki oleh pria itu, lalu berjalan cepat ke arah pintu lift yang masih tertutup.

Pria itu terus memperhatikan Rania yang sedang menunggu di depan pintu lift sambil tersenyum penuh arti.

"Perempuan itu sangat cantik ya, Bray!" Ungkap pria itu pada ada Brayan sang asisten tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sosok gadis di depan lift yang berdiri membelakanginya.

"Iya, dia sangat cantik. Kamu suka padanya? Kejar dia hingga dapat!" Ucap Brayan menyemangati sang bos yang juga sahabatnya itu.

"Yes, i will.. Jika dia menoleh lagi ke arahku, saya bersumpah akan kejar cintanya hingga dapat!" Sungut pria itu berapi-api.

"Noted... Kita hitung ya 1.. 2.. !" Brayan mulai iseng berhitung diiringi tatapan heran bosnya.

"Masya Allah hati gue dag dig dug gini! Itu orang apa malaikat ya sempurna banget." Tutur Rania dalam hati lalu ia menoleh lagi ke belakang, dan mendapati kedua pria itu masih memperhatikannya.

Blush.. Rania merasa pipinya telah memerah kini, segera ia memalingkan lagi pandangannya sambil masuk ke dalam lift yang secara kebetulan pintunya telah terbuka.

"Woooww.. Dia menoleh, dia menoleh Harry padahal belum sampai hitungan ketiga.. Wooow!" Ujar Brayan heboh hingga tak sadar mereka tengah menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.

Harry memutar kedua bola matanya sambil berlalu meninggalkan Brayan yang baru tersadar ia tengah menjadi pusat perhatian. Brayan hanya mengangguk ramah lalu berjalan menyusul Harry yang hampir tiba di depan meja resepsionis dengan tampang yang dibuat cool.

"Selamat pagi tuan, ada yang bisa saya bantu?" Sapa Melina dengan ramah pada kedua lelaki yang tengah berdiri gagah di hadapan mejanya.

"Saya ada janji bertemu dengan Bapak Anwar Lukito , apa beliau ada di tempat!" Jawab Harry lugas sambil melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Maaf atas nama siapa, Tuan?" Tanya Melina kembali dengan sopan.

"Saya Harryson Arthur dari Jourel Group Britania."

"Ditunggu sebentar Tuan, saya akan menghubungi sekertaris beliau untuk memberitahukan kedatangan Tuan." Pinta Melina yang diangguki oleh Harry, lalu ia meraih gagang telepon di sampingnya.

Sambil menunggu Harry memperhatikan seluruh sudut kantor yang terjangkau oleh matanya, kantor yang sangat megah dan terlihat modern, setiap sudut kantor terlihat estetik sehingga tak pernah jemu dipandang mata.

"Nona.... Emhhh!" Panggilan Harry menggantung karena tidak tau nama lawan bicaranya sesaat setelah Melina meletakan gagang telepon.

"Saya Melina Tuan!" Ucap Melina segera karena ia menangkap maksud panggilan Harry yang menggantung.

"Oh iya nona Melina, maaf saya ingin mengetahui siapa nama perempuan yang bertabrakan dengan saya? dan di divisi mana dia ditempatkan?"

"Oh, namanya Rania tuan, staf admin keuangan. Maaf, apakah ada masalah dengan Rania, Tuan?" Tanya Melina yang sedikit terkejut karena Harry tiba-tiba menanyakan sahabatnya.

"No, tidak sama sekali. Saya hanya ingin mengetahui saja. Terima kasih infonya!" Jawab Harry lalu terbitlah segaris senyum dari sudut bibirnya.

"Sama-sama!" Jawab Melina.

Tak berselang lama, seorang pria muda menghampiri mereka sambil memperkenalkan diri dan meminta mereka untuk mengikutinya menaiki lift untuk menuju ke ruangan meeting yang terletak di lantai 10 gedung ini.

"Pak, kalau divisi keuangan terletak di lantai berapa ya?" Tanya Harry memecah kesunyian sesaat setelah mereka bertiga memasuki lift.

"Di lantai 10 Tuan, letaknya tidak begitu jauh dari ruangan meeting. Maaf, apa ada masalah Tuan?" Tanya pria muda tadi yang tak lain adalah sang Manager divisi keuangan itu sendiri dengan hati-hati.

"Oh tidak, saya mendengar ada seorang teman saya yang bekerja di divisi keuangan perusahaan ini. Hanya ingin memastikan apa betul itu teman saya atau bukan!" Jelas Harry yang diiringi oleh suara berdehem dari Brayan yang sedari tadi mengunci mulutnya karena tak ingin membuat gaduh lagi.

Harry melirik tajam ke arah Brayan yang secepat kilat telah merubah mimik wajahnya dari senyum mencibir menjadi pura-pura bersiul sambil membuang pandangan ke sembarang arah.

"Nama teman Tuan Harry siapa? Kebetulan saya pun membawahi divisi keuangan." Tanya Mirza yang secara tidak langsung menyelamatkan Brayan dari tatapan tajam Harry, pria itu menghembuskan nafas lega.

"Rania!" Jawab Harry singkat.

Samar terlihat perubahan ekspresi Mirza saat mendengar nama Rania disebut oleh client besar perusahaannya tersebut, namun ia berusaha terlihat biasa.

"Apa Rania kekasih Tuan Harry?" Tanya Mirza hati-hati.

"Calon!" Jawab Harry singkat, padat, jelas sambil tersenyum samar namun membuat kedua orang di dalam lift tersebut sangat terkejut.

Lembur

Rania mengambil nafas sejenak sambil memijat pelipisnya, hingga pukul 20.00 pekerjaannya belum rampung sama sekali. Ia terpaksa mengambil jam lembur, dikarenakan semua laporan keuangan bulan ini harus selesai hari itu juga, tak peduli harus lembur hingga jam berapapun, yang jelas besok pagi semua laporan keuangan ini harus sudah ada di atas meja Pak Mirza.

Jarinya mulai menari lagi di atas tuts keyboard dengan lincahnya. Entah sudah berapa kali ia menguap, matanya sangat mengantuk tak bisa diajak kompromi.

"A cup of coffee?" Tawar seseorang tiba-tiba menghampiri Rania sambil membawa 2 cangkir kopi.

"Loh Pak Mirza? Belum pulang?" Tanya Rania kaget.

"Iya, masa saya tega ninggalin perempuan sendirian di ruangan ini. Yuk kopi dulu biar gak ngantuk!" Pinta Mirza sambil menyodorkan kopi ke hadapan Rania.

"Makasih ya pak." Ucap Rania mengambil alih cangkir kopi itu lalu menyeruputnya. Ia memandang sekeliling, benar saja karena terlalu fokus pada layar komputer dia tidak menyadari bahwa satu per satu temannya sudah pamit pulang dan hanya tersisa ia sendirian.

"Tumben banget ini Pak Mirza perhatian, padahal seharian tadi marah-marah. Aneh!" Gumam Rania dalam hati, lalu ia melanjutkan lagi pekerjaannya.

Pak Mirza masih duduk di kursi yang biasa Monica tempati sambil menyeruput kopi dan sesekali memperhatikan Rania.

"Masih banyak yang harus diselesaikan?" Tanya Mirza memecah kesunyian.

"Eh, sedikit lagi kok pak. Kalau bapak mau pulang, saya gak apa-apa kok!" Ucap Rania merasa tidak enak.

"Santai aja, saya tungguin sampai beres ya!" Mirza tetap bersikeras. Lalu ia menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi.

"Oh iya Ran, tadi siang kan kita meeting sama client dari London, beliau menanyakan kamu ke saya. Apa kamu kenal dengan Tuan Harryson?" Tanya Mirza penasaran.

"Tuan Harryson? Saya tidak kenal pak? Memang beliau menanyakan apa?" Tanya Rania balik mengernyit bingung sambil melirik ke arah Mirza.

Rania berusaha mengingat-ingat lagi apakah ia mengenal orang yang disebutkan oleh Mirza tadi, namun ia sama sekali tidak pernah mengenalnya. Rania sungguh penasaran dia siapa dan kenapa menanyakan dirinya kepada Mirza.

"Apa kamu yakin tidak mengenalnya?" Tanya Mirza lagi memastikan.

"Saya yakin Pak, memangnya ada apa?" Rania balik bertanya kian penasaran.

"Oh engga, dia hanya bertanya apa saya mengenal kamu!" Jawab Mirza entah kenapa jawaban Rania tadi membuatnya lega, segaris senyum tersungging di wajahnya.

Rania hanya mengangguk-angguk sambil ber-oh ria. "Hah apa gue salah lihat dia senyum kaya gitu ke gue? Fix hari ini dia aneh!" Gumam Rania sambil mengalihkan pandangan lagi ke laptopnya, sedikit salah tingkah.

1 jam kemudian..

Rania mematikan komputernya lalu ia menguap seraya menggeliat untuk meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Ia tak menyadari bahwa perbuatannya tadi tak luput dari pandangan Mirza yang terlihat excited.

"Yuk pulang!" Ajak Mirza bergegas bangkit dari kursi.

"Tapi pak, saya bisa naik ojek online kok!" Tolak Rania secara halus, merasa tidak enak jika harus merepotkan atasannya.

"Sudah malam Rania, Gak baik perempuan pulang sendirian jam segini!." Ucap Mirza bersikeras.

"Tapi pak.." Rania tetap merasa tidak enak.

"Gak ada penolakan Rania!" Ujar Mirza terdengar tegas, lalu ia masuk ke dalam ruangannya untuk mengambil tas kerja dan kunci mobilnya.

Rania hanya mengangguk pelan, merasa sungkan. Ia juga takut jika ada yang melihat mereka pulang bersama, takut tersebar gosip yang tidak sedap.

Rania keluar ruangan terlebih dahulu, ia berjalan pelan sambil menunggu Mirza. Tanpa ia sadari ada seseorang yang sedang menguntitnya. Saat orang itu hendak keluar dari tempat persembunyiannya untuk menyergap Rania, terdengar suara pintu terbuka dan Mirza lah yang keluar dari ruangan sambil kebingungan mencari Rania.

Dari sudut mata Mirza ia melihat sekelebat bayangan orang berlari dan menghilang di balik tembok yang menuju ke toilet. Ia menajamkan pandangan ke arah sana, namun tak terlihat seorang pun disitu.

"Ah, mungkin hanya perasaan saya saja." Gumam Mirza sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaan Rania. Lalu ia menangkap sosok Rania yang tengah berdiri menunggunya di depan lift sambil memainkan handphone.

Mirza berjalan ke arah lift, lalu melongok ke arah yang ia rasa ada sekelebat bayangan yang menghilang disini, namun ia tak menemukan siapapun disitu.

"Saya cariin, kamu malah ada disini!" Tegur Mirza setelah tiba di tempat Rania menunggu. Lalu ia menekan tombol lift.

"Maaf pak, saya pegel duduk terus makanya saya bawa jalan." Jawab Rania sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Tadi kamu melihat ada seseorang gak disini?" Tanya Mirza yang masih penasaran atas sekelebat bayangan tadi.

"Gak ada kok pak, entah karena saya terlalu fokus sama handphone jadi gak aware sama sekitar. Memang kenapa pak?" Tanya Rania balik sambil menyimpan handphone nya ke dalam tas.

"Saya ngerasa ada seseorang saja yang mengawasi, ah sudahlah mungkin hanya perasaan saya saja!" Ucap Mirza mencoba mengusir rasa khawatirnya.

Mereka masuk ke dalam lift yang sudah terbuka dan membawa mereka ke basement, tempat khusus parkir mobil, sedangkan parkir motor terletak di samping gedung.

Rania biasanya membawa Vespa tosca kesayangannya, namun tadi pagi kebetulan Vespa nya sedang mogok jalan jadi ia memilih berangkat menggunakan ojek online, sedangkan si Vespa dibawa ayahnya ke bengkel.

Mirza membukakan pintu mobilnya untuk Rania sambil tersenyum. Entah kenapa hari ini dia merasakan sesuatu perasaan yang spesial terhadap gadis ini, bentuk perasaan yang tak bisa dijelaskan.

"Makasih pak, jadi malu sampai dibukain pintu segala!" Ucap Rania segan, lalu ia masuk ke dalam mobil setelah Mirza memberinya isyarat untuk masuk.

Keheningan tercipta sepanjang jalan, baik Mirza ataupun Rania keduanya tidak ada yang berniat untuk membuka percakapan. Jalanan kota Bandung yang lengang di malam hari, membuat perjalanan terasa cepat. Mobil Mirza sudah memasuki komplek perumahan yang sepanjang perjalanan di arahkan oleh Rania.

"Rumah saya itu yang gerbangnya coklat tua pak." Ucap Rania sambil menunjuk rumah minimalis bercat putih kombinasi abu dengan gerbang kayu bercat coklat tua.

"Oh iya, saya pinggirkan dulu!"

Mirza mengamati rumah itu, meskipun hanya type 36 namun rumah Rania nampak elegan dan nyaman. Yang menarik perhatiannya adalah balkon di lantai 2 , penggunaan pagar diganti dengan fasad bergaris dari atas hingga ke bawah senada dengan warna gerbangnya.

"Terima kasih banyak ya Pak Mirza, mau mampir dulu?" Tawar Rania berbasa-basi, karena sesungguhnya Rania sangat lelah dan ingin segera berbaring di atas kasurnya yang empuk.

"Sudah malam Rania, kalau besok saya ingin berkunjung apa kamu keberatan? Besok saya ada perlu dengan teman saya yang rumahnya tidak jauh dari sini!" Pinta Mirza sedikit ragu, ia takut Rania menolaknya.

"Tentu boleh pak, ya udah kalau gitu saya turun duluan ya pak, maaf sudah merepotkan. Terima kasih sekali lagi." Pamit Rania lalu segera turun dari mobil Mirza.

"Iya sama-sama, saya berangkat lagi ya. Assalamu'alaikum." Pamit Mirza pula sambil membuka kaca mobil.

"Waalaikumsalam.. hati-hati di jalan pak!" Ucap Rania berdiri di depan gerbang hingga mobil Mirza menghilang dari pandangan.

Rania bergegas masuk ke dalam, tak lupa ia mengunci gerbangnya. Si Tosca sudah terparkir cantik di carport, tandanya besok ia sudah dapat menunggangi lagi si Tosca ke kantor.

"Assalamu'alaikum." Salam Rania sambil mengetuk pintu yang terkunci.

"Waalaikumsalam.. cieeee kak Rara dianterin siapa tuh?" Goda Riana adiknya, yang ternyata sedari tadi dia mengintip dari balik gorden karena penasaran dengan suara mobil yang berhenti di depan gerbangnya.

"Temen kerja dek, udah deh gak usah heboh!" Rania menjawab sambil mencubit pelan pipi adiknya.

"Temen apa temen?" Goda Riana lagi sambil mencolek-colek lengan kakaknya.

"Berisik tau! bunda sama ayah mana?" Tanya Rania sambil menaiki tangga, diikuti oleh Riana.

"Udah tidur kayanya.. Dari tadi nunggu kak Rara gak pulang-pulang sih!" Jawab Riana masih mengekor di belakang kakaknya.

"Kakak lembur dek, udah biasa kan setiap akhir bulan lembur kaya gini. Ya udah kakak capek, istirahat dulu ya, bye!" Pamit Rania segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

Rania menyambar handuk dan segera pergi ke kamar mandi kecil yang ada di dalam kamarnya. Air hangat membuat rileks tubuhnya yang penat dan letih, ototnya menjadi sedikit lebih kendur. Matanya kian memberat tak dapat diajak kompromi, perutnya yang lapar tak ia hiraukan. Rania terbuai ke alam mimpi.

Kedatangan Tamu

Seperti biasa akhir pekan Rania dihabiskan dengan berkutat melakukan hobinya di dapur. Semua resep yang ditontonnya di YouTube langsung ia eksekusi sendiri. Hobi memasaknya tercipta karena sedari kecil ia dibiasakan oleh bundanya untuk membantu pekerjaan di dapur, walaupun hanya sekedar memotong sayuran ataupun mengupas bawang.

Kali ini Rania sedang mencoba membuat fire chicken wings dengan cocolan saus keju ala sebuah restoran ayam cepat saji yang cukup terkenal.

Pertama, Rania membaluri ayam dengan jeruk nipis lalu diamkan sebentar sambil membuat bumbu marinasi. Rania mengambil cobek dan memasukkan bawang putih, jahe, garam dan kaldu jamur lalu menguleknya hingga halus. Ayam tadi dicuci bersih, kemudian Rania membuat keratan dengan menggunakan garpu dan membalurkan bumbu marinasi ke ayam itu.

Sambil menunggu bumbu meresap, Rania mengambil teflon yang tergantung untuk membuat saus keju. Ia menuang 1 sendok makan margarin ke atas teflon dan menyalakannya dengan api sedang, Rania mulai memasukkan susu, terigu, keju, merica, garam dan bumbu tabur dengan rasa keju. Semua bahan diaduk hingga keju larut dan mengental, setelah mengental Rania memindahkan saus keju ke dalam wadah.

Lalu kini Rania meracik bahan untuk membuat saus barbeque, ia memasukkan air, saus barbeque siap saji, saus tomat, saus sambal, madu, gula pasir dan sedikit bubuk cabai agar tambah hot ke dalam sebuah mangkok lalu dicampur hingga rata. Rania mengambil teflon lagi, dia menumis bawang putih, setelah harum Rania menuangkan racikan saus di dalam mangkuk tadi hingga mengental. Angkat dan sisihkan.

Untuk ayamnya Rania memakai tepung siap saji supaya praktis, dicampur juga dengan sedikit terigu. Buat adonan basah dan kering, gulingkan di keduanya lalu digoreng hingga berwarna kuning keemasan.

Step terakhir Rania mengambil saus barbeque yang masih di dalam teflon tadi, ia gulingkan ayam ke dalamnya dan dimasak sebentar dengan api kecil hingga tercampur satu sama lain. "Voila... "Seru Rania girang akhirnya masakannya telah siap.

"Ririiiiiiiii..." Teriak Rania memanggil adiknya yang ada di lantai atas.

"Apa sih kak teriak-teriak?" Tanya Riri sambil menuruni tangga dan menuju dapur.

"Nih mau coba?" Tawar Rania sambil menunjuk masakannya di piring saji.

"Ya mau bangetlah pake ditanya lagi, baunya aja udah enak banget ini!" Jawab Riana bergegas menyomot sepotong sayap ayam dan segera melahapnya.

Rania terus menatap ekspresi demi ekspresi adiknya saat menyantap masakannya, ia tak sabar ingin segera mengetahui responnya. Setiap selesai bereksperimen Rania selalu memanggil adiknya untuk mencicipi, sejauh ini ia mendapat feedback positif untuk setiap hasil masakannya.

"Kak ini rasanya mirip banget loh sama yang asli, enak bangeeeettt ini rasanya kek mau meninggoy!" Puji Riana dengan gaya dan intonasi suara yang alay.

"Apaan sih Ri, masa cuma makan ginian aja mau meninggal. Amit-amit ih, ralat ngga kata-katanya!" Respon Rania sambil melotot.

"Ih kan biar kaya anak-anak zaman now." Ucap Riana sambil nyengir kuda.

"Eh.. eh.. ini anak bunda yang cantik-cantik lagi pada ngeributin apa sih sampe kedengeran ke kamar?" Tanya bunda menghampiri kedua anak gadisnya.

"Ini loh bunda si Riri, masa cuma cicip masakan Rara aja rasanya kaya mau meninggal katanya." Adu Rania sambil menunjuk adiknya.

"Kak Rara aja yang ga update, kan becandaan anak kekinian itu!" Ucap Riana tetap membela diri.

"Bener kata kakakmu, ucapan itu doa sayang, jadi berucap lah yang baik-baik. Istighfar loh nak!" Nasihat bunda sambil mengelus rambut Riana.

"Astagfirullah, ampuni hamba mu Ya Allah, hamba cuma bercanda tadi, hamba cuma mengikuti anak-anak zaman now. Jangan dengerin kata-kata hamba yang tadi ya Ya Allah!" Kata Riana sambil menengadahkan kedua tangannya.

Tingkah Riana lantas membuat Rania dan bunda tertawa geli. Rania mengacak rambut adiknya gemas.

Ting.. tong..

Bel terdengar berbunyi, lantas bunda bergegas membukakan gerbang.

"Assalamu'alaikum, Rania nya ada bu?" Salam seorang pria ketika gerbang sudah terbuka.

"Waalaikumsalam, ini temannya Rania?" Tanya bunda pada tamu itu sambil menelisik wajahnya.

"Iya bu, perkenalkan saya Mirza, teman satu kantor Rania." Ucap Mirza sopan sambil mencium tangan bunda.

"Iya nak Mirza, Rania ada kok di dalam. Ayo, silahkan masuk!" Ajak bunda melangkah ke dalam diikuti oleh Mirza.

"Silahkan duduk dulu, saya panggil dulu Rania ya. Dia lagi masak di dapur." Pamit bunda sambil berlalu.

"Ra, itu ada yang cari, udah bunda suruh duduk di ruang tamu." Lapor bunda sambil menunjuk ke arah ruang tamu.

"Siapa bun?" Tanya Rania sambil melongok ke arah ruang tamu meski tak terlihat apa-apa.

"Udah liat aja langsung." Kata bunda.

"Ri, awas loh fire wings nya jangan dihabisin!" Ucap Rania pada adiknya yang hendak mencomot lagi.

"Liat aja nanti." Respon Riri sambil memeletkan lidahnya.

Rania bergegas ke ruang tamu, dengan wajah dan badan yang penuh keringat, ia yakin saat ini wajahnya sangat tidak enak dipandang.

Dilihatnya seorang lelaki dengan gaya casual, memakai jeans biru dan kaos polos hitam sedang duduk manis di ruang tamunya.

"Loh pak Mirza." Ucap Rania kaget, ia merasa malu menemui Mirza dengan keadaan seperti ini. Ia betul-betul lupa sudah membuat janji dengan pria itu.

"Hi, Rania!" Sapa Mirza ramah sambil melambaikan tangannya. Di matanya Rania masih terlihat cantik meskipun wajahnya dipenuhi dengan keringat dan baju rumahan yang sangat sederhana, rambutnya pun diikat ekor kuda sedikit berantakan.

"Kok gak kirim pesan dulu pak kalo mau kesini? Saya kan malu nemuin bapak dalam keadaan kucel kaya gembel begini!" Gerutu Rania polos namun terlihat malu.

"Kalo lagi di luar panggil Mirza aja ya.. " Pinta Mirza sambil tersenyum.

"Yah, kirain boleh langsung dateng aja, jadi gimana dong?" Lanjutnya lagi.

"Saya rapi-rapi dulu ya sebentar." Pinta Rania hendak berbalik meninggalkan ruang tamu.

"Udah santai aja, kamu kan habis masak jadi wajarlah sedikit keringetan. Ga usah rapi-rapi segala lah ya!" Pinta Mirza sambil menepuk-nepuk sofa disampingnya, mengisyaratkan Rania untuk duduk.

"Aduh saya malu pak, eh Mirza.. eh.. !" Ucap Rania terbata merasa tidak enak kalau harus memanggil atasannya dengan sebutan nama saja.

"Masih risih ya panggil nama, ya udah panggil apapun yg buat kamu ga risih. Asal jangan bapak aja, saya kan masih muda!" Usul Mirza sambil terkekeh.

"Ya udah kak Mirza aja ya!" Ucap Rania

"Itu lebih terdengar lebih manusiawi dibanding bapak!" Ujar Mirza, kali ini ia lebih banyak tertawa daripada biasanya.

Mirza nampak lebih tampan dalam balutan baju casual, dia juga banyak tersenyum sehingga level ketampanannya meningkat drastis, Rania harus mengakui itu.

"Mau pergi cari makan gak keluar?" Tawar Mirza melirik ke arah Rania di sampingnya.

"Kalau pergi makan keluar sayang banget nanti makanan yang saya masak jadi mubazir, mending kak Mirza makan bareng saya aja disini, mau gak?" Tawar Rania balik sambil ke arah meja makan dengan jempolnya.

"Wah apa gak ngerepotin?" Tanya Mirza sungkan.

"Ngga sama sekali, malah seneng banget kalo orang lain mau makan apa yang saya masak.. yuk ke meja makan." Ajak Rania lalu berjalan ke meja makan. Mirza mengikutinya sambil mengedarkan matanya ke sekeliling rumah.

Ruang makan berbatasan langsung dengan ruang tamu yang dibatasi dengan partisi yang terlihat estetik dipandang mata. Dari ruang makan Mirza bisa melihat taman kecil nan asri dengan kolam ikan yang memanjang sepanjang taman berdinding kaca transparan, sehingga sambil makan kita bisa melihat ikan-ikan yang berenang.

Bruuuukkkkk..... Tiba-tiba suara berdebum benda jatuh mengejutkan seisi rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!