Pagi itu, kulihat langit bersinar sangat cerah. Hangat mentari menyapa tubuh, menguapkan sejejak embun yang masih tertinggal pada daun dan ranting-ranting pohon.
Aku berlari memasuki gerbang sekolah menengah atas untuk pertama kalinya. Dengan rambut kuncir dua dan topi kerucut dari karton berwarna biru muda.
Kegiatan MOS sekolah kuikuti dengan sedikit gembira, berjumpa dengan teman-teman baru. Pun dengan suasana baru yang sebelumnya tidak pernah kurasakan.
Siang itu, aku berdiri sedikit gemetar, dengan tangan yang meremas sebuah kertas berwarna cokelat muda, menundukan kepala jauh kedalam.
Sebagian baju di punggung belakang terasa basah dengan gelinciran peluh sangat deras, entah karena keringat matahari atau karena aku grogi?
Berdiri berhadapan seorang pria manis yang terus menatapku lekat. Bibirnya menyungging lebar, dengan tatapan sendu yang begitu membuat hati sejuk. Entahlah, perasaanku mengatakan begitu.
"Ayo tunggu apa lagi?" ucap seorang lelaki di sebelahku.
Aku mendongakan pandangan, melihat lelaki yang saat ini berdiri tepat di hadapan. Bibir makin terasa kelu, tak bisa berucap.
"Ayo," kata lelaki di hadapanku ini, lembut.
Saat itu, dengan debaran jantung yang sangat kencang. Aku membacakan isi surat yang ada di genggaman tangan. Dengan bibir yang sedikit bergetar karena malu, kadang juga suaraku tak terdengar dengan jelas.
Tak tahu mengapa, di antara puluhan wanita muda yang sedang MOS bersama, mereka harus memilih aku untuk membacakan surat cinta di hadapan Ketua Osis, Virgo Anthonio.
"Hay, Tamy." Seorang remaja terasa mengambil lengan tanganku dan menggandengnya mesra.
Meletakan kepala miliknya di bahu kiriku dengan manja. Aku menatap wajahnya yang saat ini bersandar seraya memejamkan mata diatas bahu.
Perlahan, salah satu tanganku terangkat, menyentuh dahinya dengan mengelus lembut.
Kehadirannya harus mengakhiri perjalanan masa lalu yang terlintas dalam anganku lagi, kenangan saat pertama kali masuk ke sekolah ini.
"Apa, sih? Manja banget?" kataku seraya menarik lengan tangan dari dekapannya.
"Ish, apa sih Tamy, pelit banget," balasnya, detik kemudia dia kembali menarik lengan tanganku dan mendekapnya erat.
"Ngantuk pulang sana, jangan tidur di bahu aku."
"Memang kenapa? Bersandar sama pacar sendiri emang nggak boleh? Kalau gitu aku nyandar sama cewek lain aja, ya."
"Ya udah, nyandar sana," jawabku sambil menggulum senyum.
"Aish, Tamy, cemburu sedikit kenapa? Nggak peduli banget, sih, jadi pacar," rengeknya.
"Awas Virgo, aku mau masuk kelas."
"Masih juga jam berapa? Bentar lagi, deh."
"Ck ... Virgo," balasku jutek.
"Ya udah, ya udah. Bareng ya."
"Nggak mau, emangnya kelas kamu di mana?"
"Kalau aku mau jalan memutar memang kenapa?" tanyanya sambil memainkan kedua alis mata.
"Ayo." Virgo menarik pergelangan tanganku.
Aku menggulum senyum dan mengikuti langkahnya menyusuri koridor sekolah bersama-sama.
Virgo Anthonio ketua osis yang populer pada masa itu, terus mengejarku, menyatakan aku pacarnya sesaat setelah pembacaan surat cinta kala itu.
Walau banyak mata memandang kagum pada sosok Virgo, tapi aku tak pernah merasa takut. Karena selama ini sikap Virgo menunjukan bahwa dia tak pernah memandang wanita lain selain aku.
"Sudah, lepas!" kataku saat berdiri di depan kelas.
"Masih juga di ambang pintu, belum masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi," jawabnya enteng.
"Ayolah, Virgo. Seluruh sekolah tahu kok, kalo kamu pacar aku. Nggak ada yang bisa membawa aku pergi darimu."
"Hem, baiklah," balasnya mengalah, namun entah kenapa dia tidak juga melepaskan genggaman tanganku.
Aku tersenyum seeaya menhangkat genggaman tangan kami, memperlihatkan kedepan pandangannya.
"Hem!" kataku seraya menaikan sebelah alis mata.
Virgo terlihat menggulum senyum, perlahan genggaman tangannya merenggangkan. Lantas, saling terlepas.
"Aku tunggu di kantin saat istirahat pertama," ucap Virgo mengecup punggung tanganku lembut.
"Baiklah."
Aku menghela napas seraya melangkah memasuki kelas. Membuang tas di atas meja dan mulai mengeluarkan buku catatan.
"Rintamy Khalia. Apa sih yang buat Virgo Anthonio begitu tergila-gila padamu?" tanya gadis manis di sebelahku saat ini.
Kupandangi gadis itu dengan sudut mata, aku mengendikan bahu. Aku juga tidak tahu, apa yang membuat Virgo bisa begitu jatuh cinta kepadaku?
"Ih, Tamy. Bagi susuknya sedikit, aku juga mau dapat pacar seperti Kak Virgo," katanya dengan nada kesal.
"Rajin-rajin saja minum susu sebelum tidur," jawabku.
"Hubungannya?" tanya Shela bingung.
"Biar sehat," jawabku cuek.
"Ih ... Tamy, aku serius." Shela menyempiti dudukku.
"Aku juga nggak tahu, Shela. Tanya sama Virgo, karena yang aku tahu, aku hanya membacakan isi surat cinta di hadapannya saat MOS. Setelah itu, dia yang terus mendekat."
"Hem, sombong banget sih, Tamy. Jangan sampai kesombongan kamu itu membuat Kak Virgo jauh darimu," ucap Shela kesal.
"Bagus dong, aku sebal ditempeli terus seperti prangko sama dia," jawabku sedikit bercanda.
Suara deringan di ponsel berbunyi, kuraih benda pipih tersebut dan melihat ke dalam layar. Sedikit menghela napas, pandanganku mulai meredup. Lagi, aku harus mengulangi ritual membosankan ini.
Aku kembali melangkah, keluar dari kelas dan mencari tempat sepi. Memutuskan untuk ke taman belakang sekolah, suasana di sini sedikit sepi setelah anak-anak yang lain masuk ke dalam kelas masing-masing.
Kukeluarkan bungkusan butir yang tak asing lagi dari dalam saku kemeja. Rasanya sangat bosan, juga muak, bungkusan pil itu kuperhatikan dengan seksama, lantas benda itu melayang ke tong sampah yang berada di dekatku.
Aku kembali menghela napas panjang, memandangi tong sampah itu sebelum akhirnya menoleh pada arah lain. Semua itu membuat aku ketergantungan. Kapan ini akan berakhir, sungguh lelah?
Perlahan, aku mengatupkan mata, menikmati semilir angin menyapa, menghirup udara pagi yang masuk ke rongga hidung. Sejuk dan damai, sedikit kericuhan di dalam pikiranku menguap, meski aku akan kembali mengkhawatirkan banyak hal setelah menyadarinya lagi.
Kadang semua ini membuat aku ingin menyerah, aku lelah. Virgo kamu harus tahu, demi kamu, semua ini karena untuk kamu.
"Tamy." Suara itu kembali mengejutkan, seketika mata memgembang, melihat lelaki yang ada di hadapanku saat ini.
"Kebiasan, ih." Kucubit pinggang Virgo, kesal.
"Kamu bohongi aku, katanya mau masuk kelas. Ini malah sendiri di belakang, ngapain?" tanyanya ikut menjatuhkan bokongnya di sisiku.
"Aku lelah, Virgo." Aku letakan kepala di bahunya. Menghela napas panjang dan membuangnya sedikit berat.
"Bolos, yuk!"
"Ck ... jangan buat aku jadi nakal seperti kamu, ya."
"Sesekali nakal, nggak masalah, ayo. Katanya lelah."
Aku mengelengkan kepala, menatap wajah Virgo sendu. Memperhatikan setiap inci pahatan parasnya yang sangat indah. Hidung mancungnya dengan sedikit patahan di tengah. Irisnya yang berwarna cokelat terang, pun dagunya yang sedikit terbelah.
Wajah lelaki blasteran Australia ini memang sangat menggoda, tanpa sadar senyumku malah merekah dengan indah saat menikmati parasnya.
"Ada apa, hem?" tanyanya saat melihatku terus menatapnya.
Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala pelan.
"Apa sekarang kamu sudah jatuh cinta sama wajah tampan kekasihmu ini?" tanya Virgo, dengan alis mata yang dia mainkan, menggoda mungkin.
"Dih, aku nggak akan jatuh cinta sama wajah tampan kamu itu, Virgo. Jangan ge-er." Aku bangkit dan melangkah menjauh.
Terasa tarikan pada pergelangan tangan, Aku menolehkan pandangan, melihat ke arah Virgo
"Aku tak peduli, mau kamu jatuh cinta atau tidak terhadapku. Asalkan kamu selalu berada disisiku, itu sudah cukup."
"Ck ... kita sudah pacaran hampir dua tahun, simpan saja gombalanmu itu untuk menggoda wanita lain. Aku sudah kebal."
"Benar ya, aku boleh godain cewek lain. Kamu gak boleh cemburu," ucap Virgo sambil merangkul bahuku.
"Iya, gombalin saja. Aku tak peduli, jika ada cewek yang mau sama kamu, berarti dia sama gilanya sama kamu." Aku berjalan melewati koridor sekolah.
"Berarti kamu gila, dong." Virgo menguatkan rangkulannya di bahuku, menggandeng berjalan menyusuri koridor sekolah.
"Aku, aku tidak termasuk."
"Kenapa, saat ini kan hanya kamu yang mau sama aku. Berarti kamu lebih gila dari pada aku."
"Baiklah, baiklah. Mulai hari ini aku mencampakanmu."
"Ah, aku tidak terima, Tamy."
"Kenapa? harus terima dong."
"Gak terima, aku gak akan terima kamu campakan begitu. Selamanya kamu harus ada di sisi aku."
"Ah, aku muak Virgo."
"Ha ha ha. Biarkan saja, biar muak sampai kamu gak bisa lupa sama aku."
Virgo semakin menguatkan rangkulannya. Seakan benar-benar takut kalau aku mencampakannya.
Ku tatap kembali wajah Virgo yang berjalan bersisian. Aku tak akan pernah melakukannya Virgo. Karena sama denganmu, aku juga tergila-gila padamu.
****
"Selamat pagi," sapa wali kelas saat memasuki ruangan.
"Pagi, Bu," jawab anak-anak kelas serentak.
"Hari ini, kita kedatangan murid pindahan baru, ayo kenalkan dirimu."
"Hai, namaku Aura. Salam kenal semua."
"Hai Aura," riuh sahutan para lelaki di kelasku.
"Baiklah, Aura, silahkan duduk. Kita lanjutkan pelajarannya.
Entah kenapa, aku sangat suka melihat wajah cantik gadis ini. Dengan tubuh tinggi semampainya, dia bagaikan model remaja.
Bel istirahat pertama berbunyi, sedikit bercanda dengan Shela. Aku berjalan menuju kantin sekolah.
Dengan tawa yang meledak, aku memasuki pintu kantin, menghampiri sahabat-sahabat yang saat ini duduk riuh bercanda.
Aku banyak bersahabat dengan kakak kelas, karena Virgo. Jika wanita di kelas, aku hanya punya Shela saja.
Seketika tawaku memudar, saat melihat Virgo dan Aura duduk bersisian. Mengobrol ringan seakan tanpa beban.
Untuk pertama kalinya, aku merasa cemburu saat Virgo berbicara dengan wanita, selain aku.
"Tamy!" panggil Virgo saat melihat aku berdiri di ambang pintu kantin.
Ku sungging bibir dan berjalan mendekati perkumpulan para sahabat-sahabatku itu.
"Tamy, seperti biasa, makin hari makin menawan saja," goda kak Donny padaku.
Dengan cepat tangan Virgo melilit batang leher kak Donny dan menjitak pucuk kepalanya.
"Hey, kalau mau godain cewek lihat-lihat dong. Tamy itu pacar aku," ucap Virgo kesal.
"Santai saja, Bro. Seluruh sekolah juga tahu siapa Tamy. Jangan baper, selow saja lah." Sikut kak Donny di perut Virgo.
Aku hanya melepaskan senyum dan menggelengkan kepala. Melihat gadis manis yang sedari pagi tadi terus menarik perhatianku.
"Hai, kamu Aura kan?" Ku ulurkan tangan tepat di depan wajah Aura.
"Iya, aku Aura," sambut gadis itu dengan tersenyum manis.
"Aku Tamy, aku duduk di belakang kursi kamu loh," ucapku ramah.
"Oh, maaf. Sepertinya aku gak memerhatikan."
"Santai saja, mulai sekarang kita kan teman," balasku sambil menarik kursi di depan Aura.
Gadis itu tersenyum dan menundukan pandangannya. Sepertinya dia tipe orang yang pemalu, suaranya sangat lembut dan juga halus.
"Makanan datang." Virgo datang dengan membawa dua piring nasi goreng di tangannya.
Meletakan perlahan di depanku, dengan cepat Virgo mengambil tisu dan mengelap sendok di tangannya, lalu memberikannya padaku.
Kebiasan dia yang selalu peduli pada kebersihan makanan masih tak berubah.
"Virgo, kamu itu sebenarnya pacar Tamy atau pembantu Tamy sih? Segitunya?" tanya kak Donny meledek.
"Virgo, budak cintanya Tamy. Tentu saja dia akan seperti itu," sambung kak Jerry.
"Tenang semua, aku ini bukan budak cinta atau pembantu Tamy. Tapi aku hanya ingin menjaga apa yang menjadi milik aku. Benar gak Tamy?" Virgo menyenggol bahuku dengan lembut.
"Apa sih Virgo?" Ku gulum senyum dan menggelengkan kepala.
Setiap hari, aku dan Virgo yang selalu jadi topik perbincangan mereka. Jika di bilang, masa remaja adalah masa-masa yang paling indah dan menyenangkan, mungkin itu benar.
Menghabiskan waktu untuk bermain dan juga belajar. Berteman dan juga bersahabat, membuat semua warna di dunia masa remajaku menjadi begitu indah.
"Ini punyaku!" teriak Shela keras.
"Baiklah, baiklah. Ambil saja, semua ini untukmu," balas kak Donny mengalah.
Ku palingkan perhatian kearah Shela yang duduk bersebelahan meja denganku.
"Memang ini punyaku, dasar pencuri!" ucap Shela sengit.
"Ada apa sih?" tanyaku penasaran.
"Kak Donny, dia mengambil cokelat milikku. Lihat ini Tamy, cokelatku tinggal setengah," adu Shela padaku.
"Shela, coba lihat lagi. Bukan hanya cokelatmu yang tinggal setengah," ucap Kak Donny lembut.
Shela memeriksa beberapa snack di atas mejanya. Menelisik satu persatu snack itu.
"Hem, dasar penipu! Selain mencuri kamu juga menipu aku kan, semua bungkusnya masih tersegel," jawab Shela ketus.
"Bukan snackmu yang tinggal setengah, tapi hatimu. Karena bersamaan dengan cokelat itu masuk ke dalam mulutku, kamu pun masuk kedalam hati aku." Kak Donny memainkan kedua alis matanya dan mentoel ujung hidung Shela.
"Ciyeee ...." Serentak kami semua, menggoda Shela yang memadam karena malu.
"Suit, suit. Jadikan terus Don!" jerit kak Mike menyemangati.
"Sudahlah Shela, menyerah saja. Donny itu seperti Roman di kelas kami," balas kak Jerry memanasi.
"Roman apa? Romansa pembunuh berdarah?" ucap Shela meradang.
"Jangan Shela, jangan kamu bunuh aku dulu, tunggu sampai aku bisa membuatmu jatuh kedalam pelukanku." Kembali kak Donny menggoda Shela yang berada di depannya.
Shela mengambil gelas dan juga piringnya, bangkit dengan cepat dan berjalan ke sebelahku.
"Aku mau pindah meja saja, gak sudi berada di depan kak Donny," ucap Shela merajuk.
"Shela jangan tinggalkan aku," ucap kak Donny semakin berdrama.
"Kak Virgo pindah, gih!" perintah Shela saat berada di belakang Virgo.
"Kenapa harus aku yang pindah, gak mau ah."
"Sudahlah Virgo, mengalah saja. Lihat wajahnya sudah merah begitu," ucapku menengahi.
"Yah ... baiklah." Virgo bangkit dan membawa makanannya ke meja sebelah.
"Ah ... Shela, sakitnya hatiku kamu meninggalkanku." Kembali Kak Donny berdrama, membuat seisi kantin tertawa.
"Bwee ...." Shela menjulurkan lidahnya, mengejek kak Donny.
Ku lihat Aura tersenyum dan menangkupkan telapak tangannya di depan mulut.
"Apa suasana di sini selalu seperti ini? Menyenangkan sekali," ucap Aura lembut.
"Kamu harus baik-baik sekolah disini." Kak Mike menyentuh ujung kepala Aura dan mengelusnya dengan lembut.
"Iya, Bang."
"Kak Mike, kenal?" tanyaku bingung.
"Ini adik sepupu aku. Tamy, tolong temani dia ya, jangan biarin dia sendiri di kelas."
"Hem, baiklah," balasku cepat.
Ku gulum senyum dan melihat wajah Aura kembali. Sepertinya dia gadis yang sangat lembut, bahkan kak Mike yang jarang sekali berinteraksi dengan wanita saja terlihat begitu menyanyanginya.
***
"Istirahat dan jangan banyak nonton drama, ingat untuk banyak belajar," ucap Virgo saat berada di depan pintu pagar rumahku.
"Iya, Virgo."
"Ayahmu belum pulang?" tanya Virgo kembali.
"Mungkin belum, mobilnya juga gak ada."
"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, bye, Tamy."
"Hati-hati ya."
"Selalu," jawab Virgo cepat.
Ku perhatikan Virgo yang berjalan dengan langkah besarnya meninggalkan gang rumah.
Semenjak aku masuk ke SMA dan pacaran dengan Virgo, pulang dan pergi Virgo selalu mengantarkan.
Padahal Virgo bisa saja menunggu aku di halte, entah kenapa dia lebih suka repot-repot menjemput ke sini.
Ku hela nafas saat tak lagi melihat punggung badan Virgo. Berjalan memasuki pintu rumah.
"Di antar Virgo lagi?" tanya seorang pria dibalik pintu.
"Ayah? Kok sudah pulang?" tanyaku sedikit terkejut.
"Memang kenapa kalau Ayah sudah pulang? kamu gak senang?"
"Mana mungkin." Aku tersenyum dan mencium punggung tangan Ayah.
"Ini." Ayah menyerahkan amplop putih ke tanganku.
"Hasil laporan kesehatanmu bulan ini."
Ku ambil amplop itu dan membawanya keatas. Membuka salah satu laci nakas di samping tempat tidur dan meletakannya bersama amplop-amplop yang lain.
Sebagai anak tunggal dari Dokter ternama di kota ini, Ayah selalu protektif dengan kesehatanku. Padahal Ayah benar-benar paham bagaimana kondisi aku selama ini.
Ku buka pintu balkon kamar, menikmati semilir angin malam yang menerpa kulit wajah.
Ku raih pot kecil yang berada di jejeran pot bunga-bunga di pagar balkon kamar. Melihat pohon kaktus yang minggu lalu disemai, mulai tumbuh subur.
"Tamy," panggil Ayah lembut.
"Ayah lihat, kaktusku sudah tumbuh," ucapku senang.
Ayah datang mendekat dan duduk di kursi santai balkon kamar. Meletakan segelas susu cokelat di atas meja.
Sementara aku masih terfokus pada pohon kaktus kecil yang baru tumbuh ini. Ku sentuh duri-duri kaktus itu, geram melihat pohon yang penuh dengan duri ini.
"Tamy, apa kamu sudah memikirkan mau masuk universitas apa setelah lulus?" tanya Ayah kembali.
Ku hela nafas dan meletakan kembali pot kecil itu ke tempatnya semula. Memandang wajah Ayah yang sedang duduk santai terpaut jarak 2 meter di sampingku.
"Memang aku bisa Ayah?" tanyaku sendu.
"Jangan bertanya seperti itu, pikirkanlah kamu ingin masuk universitas apa, nanti Ayah akan pilihkan yang terbaik."
"Aku ingin masuk ke jurusan biologi, Ayah. Aku akan memanam banyak tumbuhan di taman rumah kita," ucapku bersemangat.
"Bagus, nanti Ayah akan carikan universitas yang terbaik buat kamu," jawab Ayah lembut.
"Ayah," panggilku sembari berjalan mendekati Ayah.
"Ada apa?"
"Dari dulu Ayah selalu menuruti keinginanku, padahal gak tahu Ayah suka atau gak. Tapi Ayah selalu mengikuti semua keinginanku, apa Ayah gak ingin aku menjadi seperti yang Ayah mau?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Semua teman-temanku selalu mengeluh, mereka bilang orang tua mereka selalu mengatur dan mengekang. Tapi aku gak tahu kenapa Ayah berbeda, padahal aku tahu Ayah gak suka kalau aku pacaran sambil belajar. Tapi Ayah gak pernah ngomong apapun untuk ngelarang aku, kenapa?"
"Walaupun Ayah gak melarang, tapi Ayah selalu mengawasi kamu, Sayang."
"Ayah, apa karena aku ...."
"Tamy, hanya kamulah satu-satunya peninggalan kekasih Ayah. Mama kamu minta Ayah untuk membahagiakanmu seumur hidup, karena itu, asalkan kamu bahagia dan senang, Ayah tak akan melarang."
Ku gulum senyum dan duduk menyempiti Ayah. Memeluk badan Ayah dengan erat.
Aku tahu sebagian perkataan Ayah adalah kebohongan, jelas Ayah menyembunyikan hal lain dariku, tapi aku juga tahu, bahwa Ayah benar-benar ingin melihatku bahagia.
"Ayah, terimakasih karena Ayah telah menjadi Ayahku." ku eratkan pelukan tangan yang melingkari pinggang Ayah.
Terdengar suara helaan napas Ayah, dan kurasakan tangan Ayah menyentuh ujung kepala.
"Terima kasih kembali, karena kamu sudah menjadi anak Ayah. Maaf, karena menjadi anak Ayah, kamu harus menanggung semuanya, Tamy."
"Gak masalah, asalkan Ayahku itu Ayah, jika harus menanggung beban seluruh dunia pun aku sanggup."
"Dasar anak nakal, cepat habiskan susumu dan istirahatlah."
Ku hembuskan nafas dengan sedikit berat, sembari memainkan kaki menyapu lantai semen halte bis.
Beberapa kali aku mengecek ponsel, tapi tak ada juga pesan yang masuk ke dalam gawai. Padahal 20 menit lagi bel kelas akan masuk.
"Virgo Anthonio lihat saja nanti, akan ku hajar kau sampai cacat!" rutukku geram sendiri.
Padahal dia tidak pernah setelat ini sebelumnya. Sebagai mantan ketua osis dia paham betul bagaimana peraturan sekolah, tapi kenapa dia telat sekali hari ini?
Aku bangkit dan berjalan ke bibir halte, menghadang sebuah taksi yang melintas di depan. Tak ada waktu lagi untuk menunggu, bisa telat jika terus bertahan.
"Pak, ke SMA Swasta Bangsa Merdeka, ya. Ngebut ya pak, saya sudah hampir telat," pintaku manja.
"Baik, Neng."
Kembali menghela napas dan memandang keluar jendela. Tak pernah Virgo seperti ini sebelumnya, seharusnya dia mengabari, jika tak sempat menjemputku.
Ku husap sudut mata yang mulai berair, kesal setengah mati melihat ulah Virgo hari ini, awas saja kalau dia masih berani menampakan dirinya di hadapanku.
Ku keluarkan uang lembaran lima puluh ribu dalam saku kemeja, memberikan dengan cepat dan langsung berlari menuju kelas.
Ku ambil napas dengan memburu kencang karena berlari dari gerbang ke koridor memiliki jarak yang lumayan jauh.
Dengan membungkukan badan, ku atur kembali napas yang sempat memburu kencang karena habis berlari.
Aku melangkah, berjalan menyusuri koridor menuju kelas.
"Untunglah, aku belum telat," lirihku pelan.
Ku bangting tas di depan Shela, membuang bokong dengan keras, geram karena ulah Virgo hari ini membuat mood ku berantakan.
"Ada apa, Tamy? kenapa sengit sekali wajahmu pagi-pagi begini?" tanya Shela bingung.
"Gak apa-apa, aku hanya ingin makan orang pagi ini," jawabku ketus.
"Apa?" tanya Shela heran, "kamu sakit?" Shela meraih dahiku dan berniat mengecek suhu badan.
Ku tampel tangan Shela dan memandang kearahnya. Tak menyangka malah melihat Virgo dan Aura sedang mengobrol dibalik jendela kelas.
Seperti tak percaya, namun aku melihat ini sendiri di depan mata. Virgo, mengabaikan aku karena Aura.
Ya Tuhan? Aku tak percaya, bisakah ini hanya sebuah mimpi saja?
"Tamy!" teriak Shela mengalihkan perhatianku.
"Eh,"
"Kamu kenapa?" tanya Shela kembali.
"Gak apa-apa, aku hanya lelah."
Ku palingkan pandangan dan melipat kedua tangan di atas meja. Meletakan kepala di atas kedua tangan, kenapa aku sakit hati melihat mereka berdua?
Sebenarnya sedekat apa Virgo dan Aura?
Kenapa Virgo tak pernah cerita apapun sebelumnya?
Virgo, selama ini aku percaya padamu, jangan buat rasa ini hancur karena sikapmu.
Bel pertama kelas berbunyi, dengan cepat suasana yang tadi ramai menjadi sepi.
Ku jatuhkan kepala ke atas meja, memandang kaca jendela kelas dengan kosong. Masih terbayang, bagaimana tadi pagi Virgo dengan santai berbicara dengan Aura.
Sepertinya dia sama sekali tak ada rasa bersalah karena tak menjemputku pagi ini.
Dasar lelaki sialan!
"Tamy, gak ke kantin?"
"Enggak, uang jajan aku sudah habis, Shela."
"Heh, tumben?"
"Tapi pagi aku naik taksi," jawabku melas.
"Kenapa? biasa juga berduaan sama suami naik bis?"
"Aku ini masih gadis, belum menikah. Aku gak punya suami, catat ya, gak punya suami!" jelasku jutek.
"Cih ... jutek amat, Mbak? Sarapan apa tadi pagi, Neng?" ledek Shela sambil menyenggol bahuku.
"Sarapan serbuk cabai? Mau?" tanyaku jutek.
Kembali ku jatuhkan kepala keatas meja dan tidur membelakangi Shela. Beberapa kali aku menghela napas karena kesal, lapar juga.
"Kamu pergi ke kantin sana, belikan aku roti ya, Shela," pintaku melas.
Tak ku dengar lagi Shela menjawab perkataan, hanya langkah kaki yang terus menjauh dan perlahan menghilang.
Ku pejamkan kedua kelopak mata, rasanya jika mengingat kejadian tadi pagi, hati ini terasa nyeri sekali.
Virgo, kenapa tega sekali kamu melakukan ini padaku?
"Shela, kenapa kamu belum pergi?" tanyaku saat merasakan sebuah colekan di bahu.
Namun Shela hanya diam dan tak menjawab, entah apa maksudnya? Biarkan sajalah aku tak ingin berdebat.
Kembali jari Shela mencolek bahu, ku hela napas dan bergeser lebih ke samping.
Tak berhenti, Shela kembali mencolek bahuku.
"Shela, aku menyuruhmu untuk membelikan roti. Aku lapar!" ucapku memalingkan wajah kearah Shela.
Namun bukan lagi Shela, melainkan Virgo yang berada di belakangku.
"Ngapain kamu kesini?"
"Laparkan? Ayo makan?"
"Lupakan saja, aku eneg setelah lihat wajah kamu," jawabku jutek.
"Tamy, kamu marah?" tanya Virgo mendekat.
"Enggak!"
"Jadi kenapa gak ke kantin?"
"Uangku habis karena untuk bayar taksi, bayar taksi!" tekanku pada Virgo.
"Tamy, soal itu ...."
"Aku tahu, kamu gak jemput aku karena pergi bareng Aura kan? Yasudah pergi saja sana, siapa yang melarangmu?" putusku geram.
"Tamy aku ...."
"Sudahlah, pergi sana! Jangan ganggu aku, hush, hush," usirku jutek.
"Tamy dengarkan aku dulu ...."
"Virgo tinggalkan aku!" bentakku keras.
"Tamy maafkan aku."
"Haish, aku mohon Virgo, tinggalkan aku sendiri disini."
Virgo menundukan pandangannya dan menghela nafas.
"Baiklah," jawab Virgo mengalah.
Virgo bangkit perlahan, tangannya menyentuh ujung kepalaku sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan sendiri.
Ku perhatikan punggung badan Virgo yang meinggalkan kelas. Ku tendang kaki meja itu karena kesal.
"Dasar Virgo gak berguna, aku suruh pergi, dia malah benar-benar pergi. Aku lapar!" ucapku geram.
***
Ku remat jemari tangan sambil berjalan keluar menuju gerbang sekolah. Sepanjang perjalanan, tak berhenti mulut mengomel karena geram.
"Virgo kurang ajar, bahkan istirahat kedua pun dia tidak membawakanku makanan, aku kesal, lihat saja kalau jumpa akan ku makan dagingnya!" rutukku geram sendiri.
Begitu sampai di gerbang sekolah aku menatap kesekeliling, mencari keberadaan lelaki tengil itu. Biasa dia akan menunggu di gerbang jika keluar lebih dulu.
Beberapa kali aku melihat kesekeliling namun Virgo dan kawan-kawannya belum menampakan batang hidung mereka.
Ku tempelkan bahu di tembok penjagaan, sekalian menunggu Virgo datang. Aku mengeluarkan gawai, dan mengirim pesan ke Virgo.
"Hai Tamy, gak pulang?" sapa seorang teman yang lewat di depanku.
"Nanti, lagi nunggu seseorang," balasku cepat.
"Tamy duluan ya," sapa seorang yang lainnya.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan, kembali mata ini tertuju pada gawai digenggaman. Bahkan chat yang terkirim saja tidak lagi di baca olehnya.
"Huft ...." ku hela napas dan kembali memandang ke arah koridor kelas.
Mencari sosok Virgo yang tak kunjung hadir di depan mataku.
Suara deringan ponsel mengejutkan, ku geser layar itu dengan cepat dan menempelkan di telinga kanan.
"Tamy kamu sudah pulang, Nak?" tanya Ayah cepat setelah panggilan tersambung.
"Sudah, ini lagi nunggu Virgo keluar Ayah, ada apa?" tanyaku langsung.
"Bisa kamu kerumah sakit sebentar? ada yang Ayah mau bicarakan sama kamu?"
"Apa ada sesuatu yang penting Ayah? Tamy lapar sekali."
Tak lagi ku dengarkan apa yang di bilang Ayah di seberang sana, saat melihat Virgo dan Aura jalan bersisian sambil bercanda.
Sesekali tawa Virgo pecah saat berbicara dengan Aura. Tak pernah ku lihat Virgo senyaman itu dengan wanita sebelumnya.
Sebenarnya apa yang terjadi antara Virgo dan Aura?
Apa yang tidak ku ketahui dari mereka?
Tak lama tangan Virgo mengelus pucuk kepala Aura dan kembali memecahkan tawanya. Terlihat begitu bahagia dan juga nyaman sekali saat berada di samping Aura.
Ku hirup napas yang sedikit menyesak di dada saat melihat kejadian itu. Tanpa sadar buliran dari mata, melintas tanpa menunggu waktu lama.
Ya Tuhan, apa aku gak salah lihat?
Benarkah Virgo Anthonio melupakanku secepat ini?
Kenapa? Aura dan Virgo terlihat sangat akrab begini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!