NovelToon NovelToon

Bidadari Surga Yang Dirindukan

Bab 1

BIDADARI SURGA YANG DIRINDUKAN

Bab 1

Jika rasa cinta terhadap seorang hamba mendatangkan rasa sakit dan membuat luka, maka akan ku cabut rasa cinta itu hingga sakit yang ada akan pergi, dan luka yang tersisa akan ku obati dengan segala cara. Tolonglah daku yang lemah ini, ya Allah….

Hani mengusap butiran airmata yang terus mengalir membasahi pipinya yang semakin tirus. Ia tak menyangka harus mengalami proses menuju perceraian dalam rumah tangganya yang baru berumur 4 tahun, dengan 3 putra dan putri yang masih berusia balita.

Sudah kedua kalinya ia memenuhi panggilan pengadilan agama dalam proses mediasi. Tetapi Aditama suaminya tidak pernah sekalipun menghadiri panggilan dari pihak pengadilan karena kesibukannya, sehingga proses yang dilalui hanya diwakili pengacara Aditama saja yaitu Benhart Sujiwo.

“Mbak baik-baik saja…?” Hanif menggoyang-goyang tangan Hani kakaknya yang terus melamun.

Hani menoleh ke samping memandang wajah Hanif kembarannya yang selalu setia mendampinginya selama proses sidang perceraian. Ia menghela nafas dengan berat.

“Aku tidak baik-baik saja, Nif…” Pandangan Hani kosong menatap keluar jendela pengadilan agama.

“Mbak tidak bisa terus seperti ini. Pikirkan  Ariq dan Ali, serta Hasya. Mereka memerlukan mbak.” Hanif menggenggam tangannya dengan erat untuk memberikan kekuatan kepada saudara perempuan satu-satunya.

“Kenapa  mas Adi tega mengkhianatiku hingga menceraikanku…” Hani menghapus airmata yang kini tak terbendung. “Kalau memang dia tidak mencintaiku, harusnya dia tak menerima perjodohan ini, dan menikah denganku…”

“Persetan dengan cinta.” rutuk Hanif dengan kasar. “Kalau tidak ada cinta tidak mungkin ada si kembar dan Hasya. Aku tidak terima Aditama melakukan hal ini. Jangan mentang-mentang mereka kaya, bisa melakukan hal sekehendak mereka.” Hanif menggeram kesal.

Sementara di dalam bangunan yang sama, seorang laki-laki muda sedang membolak-balik berkas perceraian  sambil membaca dan mempelajari dengan seksama. Dialah Faiq Al Fareza, hakim muda yang akan memutus perkara perceraian yang kini dijalani Hanifah Az Zahra dengan Aditama Prayoga.

“Aku merasa kasihan dengan perempuan muda itu…” ujar Hendro rekan Faiq yang akan mendampinginya dalam proses persidangan, “Umurnya baru 26 tahun, tetapi sudah menyandang predikat janda dengan 3 anak.”

“Apa kau tertarik dengannya…” sela Hesti yang juga merupakan rekan seprofesi mereka, sambil meletakkan teh hangat di meja Faiq.

Hendro memandang Hesti sambil tersenyum, “Bilang aja mbak Hesti cemburu, karena mas Faiq akan berhadapan dengan janda ayu itu.”

“Apa sih mas Hendro…” Ia merasa malu, karena yang dikatakan Hendro banyak benarnya. Sudah setahunan ini kedekatannya dengan Faiq membuat debaran tersendiri di dalam dadanya. Hakim muda yang umurnya memasuki  kepala 3 tersebut telah membuat benih-benih di hatinya tumbuh tak terkendali. Mereka sudah bekerja satu atap hampir 3 tahun, tetapi semenjak Faiq mulai menggantikan seorang senior yang telah memasuki purna bakti membuat hubungan mereka semakin dekat walaupun masih berjarak.

Dr. Faiq Al Fareza, LC, MH., alumnus Al-Azhar Mesir. Siapa sih yang tidak terpesona padanya. Dengan postur tinggi menjulang, wajah ganteng serta keturunan sultan, tak heran para gadis  yang bekerja di Pengadilan Agama Jakarta Selatan berusaha menarik perhatiannya. Hanya  Hesti Handayani yang berhasil dekat dengannya walaupun tanpa status karena hubungan pekerjaan yang membuat mereka terus bersama.

“Kalau aku masih lajang, sudah pasti.” Hendro menjawab dengan lugas.

“Kalau perawan masih banyak, kenapa milih janda?” Hesti mengerling Faiq dengan raut tak senang.

“Janda semakin di depan, bro.” tukas Hendro cepat.

Faiq tersenyum tipis, “Kalian ini seperti nggak ada kerjaan saja.” Ia terus membaca gugatan permohonan cerai pihak Aditama Prayoga terhadap Hanifah Az Zahra yang menerangkan bahwa pihak suami menggugat cerai istri karena isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, ditambah point istri berbuat zina, sehingga terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

“Mas Faiq, komen dong.” pinta Hesti manja, membuat Faiq menoleh padanya.

“Apa yang harus ku katakan…?” Faiq mengerutkan keningnya tak paham dengan ucapan Hesti seraya memandang Hendro.

Hendro memanyunkan bibirnya  ke arah Hesti. “Tuh, anak perawan pengen dilamar.” Ia tertawa kecil membuat Hesti memukul bahunya dengan keras.

“Mas Hendro jangan kelewatan …” sela Hesti sambil menatap Faiq dengan malu-malu tapi mau banget.

Faiq menggeleng-gelengkan kepala atas kelakuan kedua rekannya. Ia  bangkit dari duduknya tak lupa membawa dokumen yang sempat ia baca sekilas melangkah meninggalkan ruang pertemuan menuju ruang kerjanya. Tapi sebelum melangkahkan kaki menuju ruangannya, Faiq melewati ruang tunggu. Tatapan matanya teralihkan pada sesosok perempuan muda yang berdiri dekat jendela, sehingga menutupi sebagian kaca membuat cahaya hanya masuk sebagian ke dalam ruangan.

Dengan pelan Faiq berjalan menghampiri perempuan tersebut, “Maaf mbak, apa nggak merasa silau menantang cahaya matahari seperti itu?”

Hani menoleh mencari suara yang menegurnya. Ia memandang lelaki itu dengan wajah sendu tak bercahaya.

“Deg…” Faiq terpana melihat sosok perempuan yang memandangnya tanpa bersuara. Tatapan teduh dengan mata sayu bulat membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.

Tanpa menjawab Hani beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah pelan memasuki ruang sidang tak mempedulikan tatapan Faiq yang tak lepas darinya.

Faiq segera memasuki ruang kerjanya dan duduk di kursi yang meja kerjanya dipenuhi berkas dengan laptop yang masih menyala. Tatapan teduh bermata sayu itu terus mengganggu pikirannya.

“Astagfirullahadjim, ya Allah… apa yang terjadi padaku …” Ia menghela nafas berat. Sorot mata teduh dengan bulu mata lentik sayu itu tak lepas dari ingatannya.

“Apa ia sedang menemani saudaranya yang menghadiri persidangan hari ini…” guman Faiq berbicara sendiri. Tak dapat ia pungkiri, pertemuan pertama dengan si mata teduh telah mengacaukan kosentrasinya saat ini.

“Ah, sudahlah. Fokus.” Faiq menyemangati diri sendiri. Ia melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8.45 menit. Hari ini ia mulai menggantikan pak Husen yang akan memasuki masa purna bakti untuk memimpin sidang perceraian. “Ini adalah kasus perceraian pertama yang ku tangani. Semoga Allah melancarkan urusanku…”

Ketukan di pintu ruangannya membuat Faiq meletakkan berkas perceraian di meja. “10 menit lagi persidangan akan dimulai.” Hendro memajukan kepalanya melongok ke dalam ruangan Faiq memberitahunya.

“Ya, aku akan segera bersiap.” Faiq segera mengenakan pakaian kebesarannya mengikuti langkah kaki Hendro yang sudah bergabung dengan  Hesti serta beberapa rekan mereka yang akan mengiringi persidangan kedua kasus perceraian Aditama Prayoga dan Hanifah Az Zahra.

Langkah  Faiq yang berjalan di depannya membuat  Hesti menelan ludah. Ia begitu mengagumi sosok  tegap kokoh nan tampan  itu, yang seolah-olah tak bisa disentuh, hanya dapat dilihat dan dikagumi tapi susah untuk dijangkau. Tapi Hesti tak peduli, selama ia masih berada di samping Faiq, ia akan melakukan apapun untuk menarik perhatian hakim ganteng tersebut.

Faiq segera duduk di kursi kebesarannya sambil merapikan berkas yang ada di hadapannya. Hesti, Hendro beserta 3 orang rekannya, Rudi, Anggi dan Darwin sedang mengisi buku besar beserta administrasi lainnya.

Mata Faiq terpaku menatap sosok yang sempat menghentikan dunianya sesaat, duduk didampingi seorang laki-laki muda dengan wajah tegang. Ia mengedarkan pandangan ke samping, dilihatnya seorang lelaki muda lainnya dengan didampingi pengacara beserta seorang perempuan yang memegang berkas dan memberikan kepada sang pengacara.

“Persidangan akan segera dimulai.” Hendro mengeluarkan suaranya membuat ruangan seketika hening. “Silakan pihak penggugat untuk membacakan surat gugatan.”

Bernhart Sujiwo segera berdiri hendak membacakan surat gugatan yang telah dikuasakan oleh Aditama kepadanya.

Ruangan hening mendengarkan isi gugatan Aditama sebagai pihak penggugat kepada istrinya sendiri yaitu Hanifah Az Zahra yang dibacakan oleh pengacaranya yang disaksikan  oleh asisten Aditama yakni Johan Pangestu, yang sudah dikenal Hani dengan baik.

Johan memandang Hani dengan perasaan iba. Ia tahu bahwa apa yang dibacakan Bernhart tidaklah benar, tetapi nyonya Linda yang merupakan mama Adi beserta Helen sekretaris Adi yang kini menjadi istri mudanya telah merencanakan dan mengatur semuanya.

 

 

Bab 2

Bab 2

Hanif mengepal tangannya dengan gusar. Ia marah mendengar gugatan terhadap kakaknya yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ia menggebrak meja, membuat semua mata mengarah pada mereka.

“Dek…” Hani mengelus bahu Hanif dengan lembut sambil menggelengkan kepalanya. “Tahan emosimu…”

Hanif berusaha menahan amarahnya mendengar segala fitnah yang telah dibacakan Bernhart Sujiwo di depan para hakim yang mulia.

“… demikian  isi dari gugatan  klien kami Tuan Aditama Prayoga terhadap pihak tergugat. Saya atas nama kuasa hukum menyampaikan dalam keadaan sadar tanpa ada paksaan dari siapapun.” ujar Bernhart segera duduk kembali ke tempatnya.

Hendro kembali berdiri, “Silakan dari pihak tergugat nyonya Hanifah Az Zahra diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atas gugatan yang telah disampaikan.”

Ruangan sidang hening sesaat, Hani tertunduk sedih, matanya menekuri  lantai ubin tempat dimana nasibnya dan ketiga anaknya kini sedang dipertaruhkan. Ia tak punya tempat untuk mengadukan segala kepedihan yang kini menderanya, hanya Hanif serta ketiga anaknya yang menjadi kekuatannya saat ini.

Hanif segera berdiri setelah diberikan kesempatan untuk menjawab gugatan yang ditujukan untuk kakaknya. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh. Terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepada saya  Hanif az Zaidan, mewakili pihak tergugat yakni saudari saya yang bernama Hanifah az Zahra…” Hanif memandang Hani yang nampak tegang dikursinya.

Faiq terperangah setelah mengetahui bahwa si perempuan yang telah mengalihkan dunianya sesaat adalah janda ayu yang dikatakan oleh Hendro. Matanya tak berkedip memandang Hani yang terus menatap Hanif yang berbicara dengan lantang.

“… kami dari pihak tergugat sangat keberatan atas apa yang dituduhkan. Karena saudari Hanifah az Zahra tidak mempunyai cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Yang kedua pihak tergugat tidak pernah berbuat zina, kesibukannya sebagai ibu rumah tangga serta mengurus ketiga buah hatinya telah menguras habis waktunya, karena itu adalah tuduhan yang terlalu mengada-ada dan tidak sesuai dengan fakta. Kalau dari pihak penggugat merasa keberatan dengan menyebutkan bahwa putri ke tiga yang benama Ananda Hasya Berliana bukanlah darah dagingnya, kami siap untuk melakukan tes DNA.” ujar Hanif dengan berapi-api.

Air mata Hani tanpa terasa menetes kembali menganak sungai. Dan itu tak luput dari pandangan Faiq. Ingin rasanya ia berlari mendekat dan menghapus airmata yang jatuh dari mata indah  yang tanpa ia sadari telah mencuri hatinya.

Hani menunduk, luka yang berusaha ia obati perlahan, kini berdarah lagi. Bayangan si mungil Hasya yang baru berusia 6 bulan, tanpa pernah merasakan belaian kasih sayang dari seorang ayah yang sampai kini tidak mengakui keberadaannya. Sekelebat wajah Adi yang menyuruhnya menggugurkan kandungan kembali mengusik sanubarinya.

“Sidang ditunda 20 menit, sebelum pembacaan replik dari penggugat.”  Hendro memecah keheningan setelah Hanif mengajukan jawaban tangkisan (eksepsi) atas keberatan pihak tergugat.

Faiq bersama rekan-rekannya bergegas meninggalkan ruang sidang. Ia berhenti sebentar seraya mengulurkan sapu tangan kepada Hani yang masih terpaku dengan butiran air mata mengalir di pipi tirusnya.

“Ambillah…” ia meletakkan ke tangan Hani, karena tidak ada sambutan atas tindakan spontannya, lalu berjalan meninggalkan keduanya.

Hanif dan Hani terkejut atas perlakuan Faiq yang langsung berjalan meninggalkan mereka diikuti yang lain. Hesti merasa dongkol melihat perbuatan Faiq. Ia menghentakkan kakinya sambil memandang sinis pada Hani yang tidak menghiraukan keberadaan rombongan itu. Sementara Hendro dan Darwin saling melempar senyum penuh arti.

“Mbak, bagaimana perasaanmu?” Hanif berbicara dengan pelan agar tidak kedengaran Johan dan Bernhart cs.

“Aku harus kuat demi anak-anak.” Hani menghapus sisa-sisa airmata menggunakan sapu tangan yang diberikan Faiq  di tangannya.

“Aku akan menyingkap kebenarannya.” ujar Hanif  penuh antusias.

“Itu tak akan merubah keadaan. Mas Adi tetap akan menceraikanku, apalagi bu Helen sedang mengandung anaknya…” lirih Hani dengan getir sambil menghela nafas dengan berat. Suaranya terdengar parau karena terlalu banyak menangis.

“Mereka telah memanipulasi kenyataan, dan memutar balik fakta. Dia yang berselingkuh malah menuduh mbak, dasar nenek lampir dan tukang sihir.” maki Hanif geram.

Langkah kaki terdengar mendekat ke  arah Hani dan Hanif. Tampak Johan berdiri mematung di samping Hani. “Bagaimana kabar anda, nyonya?” ia menyapa dengan sopan.

“Untuk apa kau ke mari? Apa ingin menghina kami?” seru Hanif tak senang.

Hani menggenggam tangan Hanif, “Sudahlah, dek.” Ia membalas sapaan Johan dengan tenang, berusaha menutupi kegundahan hatinya. “Kami baik-baik saja, tuan.”

“Maafkan saya, Nyonya. Saya sudah berusaha mengingatkan tuan Adi atas kesalahan yang diperbuatnya. Dia telah dibutakan nyonya Linda dan nona Helen, sehingga melupakan tanggung jawabnya terhadap keluarganya sendiri…” guman Johan nyaris tak terdengar. Karena ia tau sendiri bagaimana Linda dan Helen telah merencanakan semuanya dari awal. Adi terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga tak pernah meluangkan waktu untuk Hani dan anaknya.

“Sudahlah tuan Johan. Mungkin pernikahan kami sudah tak bisa dipertahankan lagi. Saya tak bisa berjuang sendirian, kalau nyatanya mas Adi memang tak pernah mencintai saya…” lirih Hani dengan getir berusaha menahan airmatanya yang kembali ingin terjun bebas.

“Saya tau, tuan Adi mulai mencintai Nyonya dan anak-anak. Hanya ambisinya yang ingin memperluas bisnis membuatnya  menyepelekan perasaannya.”

“Saya paham.” sela  Hani cepat. Ia tak ingin kembali terjebak dengan perasaannya yang tak terbalas, karena kenyataannya  Linda lebih menginginkan Helen yang merupakan mantan tunangan Adi semasa kuliah menjadi menantunya. “Kami hanya orang biasa, tuan Johan. Tak mungkin untuk disandingkan dengan keluarga mas Adi…”

“Saya harap suatu saat  tuan Adi menyadari kesalahannya, dan tidak dibutakan dengan ambisi untuk menjadi pengusaha terbesar di negeri ini.” ujar  Johan sambil mengusap mukanya dengan gusar.

“Terimakasih atas perhatiannya, tuan Johan.” Hani tersenyum tipis. “Dan anda tidak perlu memanggil saya Nyonya lagi, karena saya akan segera berpisah dengan mas Adi.”

Johan terdiam sesaat sambil berpikir, “Baiklah, mulai sekarang saya hanya akan menyebut nama saja jika kita bertemu, begitupun anda boleh menyebut nama saya tanpa embel-embel. Dan saya siap membantu jika anda mengalami kesulitan.”

Hani mengangguk pelan, “…akan saya pikirkan. Terima kasih atas perhatiannya.”

Johan merasa prihatin dengan keadaan Hani. Ia bersimpati atas kehidupan rumah tangga bosnya. Hani seorang gadis muda sederhana yang dipaksa untuk masuk ke dalam lingkungan elit. Perjodohan mereka atas balas budi tuan Sofian Prayoga kepada ayah Hani yang pernah menyelamatkannya dari incaran penjahat.

Setelah mengetahui perselingkuhan menantunya,  pak Ginanjar   yang hanya seorang pemilik rumah makan sederhana mengalami serangan jantung hingga mengambil nyawanya, peristiwa itu terjadi dua tahun silam. Setahun kemudian bu Marni juga menyusul suaminya karena penyakit bawaan dan tidak sanggup menghadapi hinaan besannya yang selalu merendahkan  putrinya.

Sementara di ruang pertemuan, Faiq termenung setelah keluar dari ruang sidang. Tak diperdulikannya bisik-bisik rekannya yang lain.

“Wah, kelihatan ada yang kebakaran jenggot nih…” cetus Anggi melirik Hesti yang tampangnya kecut, “…nggak ada manis-manisnya.”

“Emang le Mineral…” balas Darwin.

“Ada saingan nih…” sambung Rudi to the point.

Hesti mendengus tajam, “Kalau jodoh nggak kemana…” tukasnya. “Perjuangan masih panjang.”

“Pak Faiq mikirin apa sih?” Anggi menghidangkan kopi hangat beserta snack di hadapan Faiq yang masih asyik dengan dunianya.

“Tatapannya mengalihkan duniaku…” Hendro mulai bermain drama.

Faiq tersadar dari lamunannya, “Maaf, aku tidak konsentrasi…” ia segera menghirup kopi yang sudah tersedia.

“Saya mengenal tuan Adi suami dari mbak Hani.” Rudi membuka suara. “Orangnya ganteng, tapi kurang bergaul…”

“Namanya juga pengusaha, kalau gaul nanti dimanfaatkan orang yang tak bertanggung jawab.” Darwin berusaha membela.

“Istrinya yang sekarang kulihat juga lagi hamil muda?” ujar Rudi.

“Apa benar?” jiwa kepo Hendro membuat Faiq menajamkan pendengarannya. “Apa ia cantik, karena menurutku istrinya yang sekarang tak kalah menarik…”

“Cantik itu relatif.” balas  Darwin.

“Yang pasti ia seumuran tuan Adi mungkin 35 an. Tapi penampilannya memang modis sih, dan selalu seksi.”

“Pak Adi suka yang lebih pengalaman, ha ha ha ….” Rudi tertawa keras.

 

 

Bab 3

Bab 3

“Gibah, gibah ….” Anggi menghentikan obrolan santai mereka. “…5 menit lagi sidang akan dimulai.”

Johan menghentikan lamunannya begitu melihat rombongan hakim telah memasuki ruang sidang didampingi rekan-rekannya, dan langsung menempati posisi masing-masing.

Hendro segera membuka  kembali persidangan setelah rehat selama beberapa menit.

“Untuk selanjutnya kepada pihak penggugat untuk menyampaikan tanggapan (replik) atas keberatan dari pihak tergugat.” ujar Hendro setelah suasana ruang sidang tenang kembali.

Bernhart segera berdiri menyerahkan  berkas pada Faiq yang masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

“Kami akan menyampaikan replik pada pihak tergugat. Yang pertama adalah secara gamblang pihak penggugat menyampaikan keluhan bahwa pihak tergugat sudah tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri untuk memberikan nafkah lahir dan batin sehingga pihak penggugat merasa kecewa. Yang kedua pihak penggugat mengaku bahwa semenjak kelahiran si kembar, sudah jarang bahkan tidak pernah melakukan hubungan intim dengan tergugat…”

“Astagfirullahaladjim…” Hani menutup mulutnya tak percaya mendengar replik penggugat. Ia hanya bisa menghela nafas tak henti-henti sambil beristighfar.

Faiq merasakan ada sesuatu yang tergores dihatinya melihat  Hani yang tampak terluka mendengar ucapan kuasa hukum Adi.

“… sehingga perselisihan dan pertengkaran terus menerus terjadi dalam rumah tangga mereka. Demikian yang dapat kami sampaikan dewan Hakim yang terhormat. Untuk bukti-bukti penguat telah saya lampirkan pada berkas yang ada di meja dewan hakim.” Bernhart menutup repliknya sambil membungkukkan badan. Ia merasa puas karena bukti-bukti yang ia dapatkan dari Helen begitu rapi dan lengkap.

Hendro menghela nafas. Ia memandang Faiq yang serius memandang Bernhart. Tatapannya beralih pada Hanif dan Hani yang tampak tegang setelah mendengar replik penggugat.

“Bagaimana pihak tergugat, apa masih ada yang ingin disampaikan untuk menanggapi pernyataan penggugat atas kasus ini…”

Hanif  dengan sigap berdiri, “Saya akan menanggapi pernyataan penggugat. Mohon maaf sebelumnya yang mulia…” Ia memandang dengan hormat pada Faiq yang dibalas Faiq dengan anggukkan.

“…setelah berumah tangga dengan tuan Aditama Prayoga, klien saya mengikuti suaminya pindah ke rumah mertuanya. Saat tergugat  hamil, penggugat izin untuk pindah rumah, tetapi nyonya besar tidak mengizinkan karena tidak sanggup berpisah dengan penggugat karena anak satu-satunya yang dimiliki.” Hanif menghela nafas sebentar. “Setelah melahirkan, penggugat tidak pernah membantu tergugat untuk mengurus bayinya…”

“Keberatan yang mulia…” potong Benhart.

“Keberatan ditolak, lanjutkan pihak tergugat.” ujar Faiq tajam.

“Nyonya besar tidak mengizinkan penggugat untuk mencarikan baby sitter bagi si kembar, dengan alasan tergugat tidak punya kesibukan lain selain mengurus bayinya. Untuk nafkah lahir dan batin, menurut pihak tergugat, suaminya jarang pulang ke rumah. Kesibukan bisnis membuatnya sering bepergian ke luar kota dan ke luar negeri, sehingga intensitas pertemuan mereka sangat jarang. Ditambah lagi masuknya orang ketiga di dalam rumah tangga tergugat. Dan untuk kasus perzinahan yang dituduhkan kepada tergugat kami sangat keberatan, karena tergugat tidak pernah keluar dari rumah untuk meninggalkan putra kembarnya. Masalah bukti yang disiapkan pihak penggugat, kami tahu itu adalah rekayasa yang dilakukan oleh pihak lain. Dan masalah bayi perempuan yang tidak diakui sebagai putri kandung, kami hanya menyerahkan kepada Allah yang Maha tau, karena tergugat selalu menjaga kesucian hanya untuk suaminya.” Hanif mengakhiri dupliknya sambil menunduk hormat kepada para hakim yang berada di hadapannya.

Faiq dan rekan-rekannya membuka berkas pembuktian yang disediakan pihak penggugat. Matanya sesekali mencuri pandang ke  arah  Hani yang terus menunduk. Ia merasa terenyuh melihat perempuan muda yang baru pertama ia temui, tapi telah mampu menggetarkan hatinya. Dadanya terasa sakit melihat perempuan muda yang tampak terpukul di depannya.

Hendro memediasi antara Bernhart dan Hanif masalah foto-foto bukti perselingkuhan Hani bersama seorang pria seusianya yang sedang  berdua di minimarket, serta foto yang menunjukkan Hani keluar dari poli kandungan bersama dengan pria yang sama.

“Bagaimana pihak tergugat ingin menyangkal bukti yang telah diberikan oleh pihak penggugat?” suara Bernhart memecah suara-suara para hakim yang mengomentari bukti yang ada. “Dengan inilah kami sebagai pihak penggugat ingin agar proses perceraian ini segera terlaksana, dan kami berharap pihak tergugat tidak  menunda-nunda proses persidangan ini, karena membuat klien kami tidak bisa konsentrasi dalam pekerjaannya, yang menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan.”

“Cih,” Hanif memandang  Bernhart dengan sinis. Tatapannya beralih pada Hani dengan raut sedih, “Mbak, tampaknya mas Adi memang sudah mantap untuk berpisah denganmu.”

Ruang persidangan tampak hening, hanya helaan nafas yang terdengar, serta mata-mata yang saling melempar pandangan dengan makna yang berbeda.

“Bismillahirrahmanirrahim…” Hani berdiri dengan perasaan  kecewa. Ia memandang setiap yang ada di dalam ruangan sidang, dan terakhir ia menatap Bernhart. “Saya tidak akan menyangkal atas bukti yang disiapkan oleh pihak penggugat. Tak perlu pembelaan apapun, karena tidak akan berdampak terhadap pernikahan kami yang akan segera berakhir. Perlu saya sampaikan tuan Bernhart yang terhormat. Terimakasih atas waktu 4 tahun yang telah diberikan bos anda kepada saya,  dengan  memberikan cinta sekaligus luka yang akan selalu saya ingat. Dan perlu saya sampaikan mulai detik ini, saya dengan ikhlas akan melepas tuan Aditama Prayoga dari ikatan pernikahan kami. Saya tidak akan menuntut apapun atas waktu yang telah kami jalani selama 4 tahun. Cukup 3 buah hati yang akan selalu menguatkan saya untuk mengingat pernah ada cinta sekaligus luka antara saya dan tuan Aditama Prayoga.”

Setelah mengucapkan  hal tersebut Hani segera berjalan meninggalkan ruang persidangan dengan penuh luka dan airmata. Ia tak memperdulikan bisik-bisik dari pihak hakim serta Bernhart dan rekannya yang merasa bahagia karena tujuan mereka telah tercapai.

Di sebuah rumah megah, seorang wanita yang sedang hamil muda tampak tertawa bahagia sambil menjawab telpon. Wajahnya bersinar cerah, saat mengetahui keinginanya tercapai untuk menjadi satu-satunya istri Aditama yang merupakan pewaris tunggal dari perusahaan besar.

“Akhirnya si parasit akan pergi dari kehidupan mas Adi. Dan akulah menjadi wanita satu-satunya dalam kehidupan mas Adi.” ujar  Helen tersenyum puas mendengar perkataan Bernhart yang masih berada di ruang sidang. “Terima kasih atas bantuan anda, Mr. Bernhart.”

“Sama-sama, Nyonya. Saya merasa puas, karena pihak nyonya Hani tidak membuat persidangan bertele-tele. Dan mereka tidak menuntut harta gono-gini.”

“Baguslah! Karena semua harta Sofian Prayoga yang akan menjadi milik mas Adi hanya akan jatuh pada anakku…” ujar Helen sambil mengelus perutnya yang baru berusia 3 bulan.

“Sidang terakhir sekaligus putusan akan dilaksanakan 10 hari yang akan datang. Dan dewan hakim akan mempercepat proses persidangan.” Bernhart menutup ponselnya segera, karena persidangan akan segera ditutup.

Setelah sidang ditutup, Hanif berjalan menghampiri Bernhart sambil tersenyum sinis, “Selamat atas berhasilnya anda memisahkan ikatan rumah tangga yang telah dipersatukan Allah dan disaksikan malaikat. Dan aku bersumpah demi Allah yang telah memberikan jiwaku untuk menjaga kakakku serta ponakan-ponakanku, mulai hari ini kalian yang telah menzolimi bayi mungil yang tak berdosa, tidak akan menemukan kebahagiaan dalam kehidupan kalian.”

Johan terpaku mendengar perkataan Hanif yang telah berlalu dari hadapan mereka. Kesedihan langsung menghampirinya. Ia melihat tatapan para hakim yang mendengar perkataan Hanif yang sangat keras. Namun Bernhart seolah tak peduli, dan ia hanya melengos  dan segera berlalu didampingi sekretarisnya menuju mobil yang sudah disediakan Helen, karena mereka akan segera merayakannya di restoran yang sudah di booking Helen.

Johan langsung kembali ke kantor karena sudah ditunggu Adi yang baru kembali dari Surabaya. Tampak wajah lelah di wajah tampannya.

“Bagaimana hasil persidangan hari ini?” ia menatap tajam pada Johan. “Apakah Hani masih menyangkal perselingkuhannya dengan teman kuliahnya itu?”

Johan menghela nafas pelan. “Apakah tuan tidak memiliki setitikpun kepercayaan pada nyonya. Saya yakin nyonya tidak mungkin melakukan perbuatan tercela itu. Dan masalah bayi perempuan itu, harusnya tuan melakukan tes DNA untuk mengetahui kepastiannya.”

Adi meremas kepalanya dengan kasar, “Apa kamu mengatakan bahwa mama dan Helen melakukan kebohongan dan memanipulasi foto-foto perselingkuhan Hani?”

Johan terdiam. Ia tak berani menyanggah perkataan Adi, tak mungkin ia melawan perintah keluarga bosnya. Ia hanya berdoa yang terbaik untuk Hani dan anak-anaknya. “Lantas bagaimana dengan sikembar?” Johan mengalihkan topik pembicaraan.

Adi menghela nafas sesaat, “Aku akan membiayai si kembar hingga dewasa, tetapi tidak untuk bayi perempuan itu.”

“Apakah tuan tidak ingin mengambil hak asuh si kembar?”

“Tidak perlu. Karena aku akan memiliki keturunan dari Helen, dan kami akan fokus merawat dan membesarkan anak-anak kami berdua.” jawab Adi cepat dengan penuh percaya diri. “Aku tak ingin membuat Helen cemburu, karena membagi kasih sayangku pada putra Hani.”

“Bukankan mereka putra tuan sendiri….” Johan tak habis pikir dengan perkataan Adi. “Apa nanti kata tuan besar?”

“Terserah apa yang akan papa katakan. Aku tak peduli, karena aku akan mencari rumah sendiri untuk keluarga kecilku bersama Helen.”

“Bagaimana kalau nyonya tidak setuju?”

“Mama pasti akan setuju, karena Helen menantu kesayangannya.”

“Baiklah tuan.” Johan segera bangkit dari kursinya, “Oh, ya… 10 hari lagi putusan pengadilan. Dan Nyonya tidak menuntut harta gono-gini.”

“Aku telah menyerahkan semua kepada Bernhart, dialah yang akan mengatur semuanya.” Adi bangun dari duduknya, “Siapkan mobil, aku ingin pulang. 3 hari di Surabaya membuat aku merindukan rumah dan Helen…”

Johan bergegas membukakan pintu ruangan presdir dan membiarkan Adi berjalan mendahuluinya.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!