X.
Satu huruf yang bisa membuat dunia Acha jumpalitan. Saat umurnya empat tahun, X adalah sebuah huruf yang menyenangkan. Satu dari boneka figur milik kakaknya, Aldrich, yang ia juluki X-man selalu menggantikan posisi Ken untuk barbie-barbie mahalnya.
Disaat usianya bertambah, X menjadi sebuah huruf yang sangat menyebalkan karena satu huruf itu selalu muncul di pelajaran Matematika yang membuat pusing kepala Acha.
Kini, bagi gadis berusia dua puluh dua tahun itu, huruf X semakin membuatnya alergi. Teman-temannya selalu menggunakan kata eks untuk menyebut mantan kekasih. Satu hal yang sangat ingin Acha hapus dari ingatannya.
Mantan sekaligus cinta pertamanya berlabuh saat Acha menduduki bangku SMP. Nathan, kakak kelas paling hot itu telah mencuri ciuman pertamanya. Tapi cinta monyet pada anak sulung pewaris tahta keluarga Ardhana itu pun harus berakhir tepat di pesta kelulusan sekolah.
Tidak butuh waktu lama bagi gadis belia seusia Acha untuk jatuh cinta lagi. Kali ini dengan teman sekelasnya kala dia sudah berseragam putih abu-abu. Fariz, sang ketua kelas yang dengan wibawa dan kharismanya menemani tiga tahun perjalanan Acha di SMA. Namun lagi-lagi, kisah cinta paling manis yang pernah Acha rasakan itu harus pupus di hari kelulusannya. Alasannya sederhana, Acha harus bangun dan menjalani kehidupan sesungguhnya.
Calista Aquirilla, atau yang biasa dipanggil Acha, adalah anak bungsu bos entertainment Indonesia. Keluarga merupakan pemegang saham tertinggi di MegaTV, sebuah saluran televisi nasional yang menjuarai dunia entertainment Indonesia. Bisnis mereka kini mengembangkan sayap ke ranah hiburan tanah air, salah satunya menaungi artis-artis besar ibu kota.
Bagi kaum konglomerat atas, sejak dini mereka telah dikenalkan sistem kasta dalam lingkungan pergaulan. Kelas satu ditempati oleh anak-anak pewaris manajemen perusahaan keluarganya. Biasanya anak sulung, seperti Nathan dan Aldrich, yang digadang-gadang akan menggantikan posisi sang ayah.
Kelas kedua adalah untuk mereka yang tidak akan menempati posisi nomor satu di perusahaan keluarga tetapi sudah memiliki saham tanpa harus bersusah payah. Anak perempuan atau selain anak sulung biasanya menempati posisi ini. Tidak terkecuali Acha. Si bungsu cantik itu tentu saja harus mengalah karena kakak laki-lakinya lah yang akan mendapatkan lebih banyak harta warisan. Tugasnya sebagai anak perempuan bukanlah untuk menjalankan bisnis, namun memperkuat ikatan bisnis dengan pernikahan. Ya, bagi kaum burjois pernikahan tak ayal hanya lah investasi bisnis jangka panjang. Begitu menyelesaikan pendidikan tinggi biasanya orang tua sudah memilihkan partner yang sederajat untuk anak-anak mereka. Karena keegoisan klasik inilah Acha harus berpisah dengan Fariz.
Meskipun Fariz adalah lelaki sempurna di mata Acha, tetapi tidak bagi keluarganya. Fariz bahkan tidak masuk ke dalam kelas ketiga, kelas anak-anak menteri, hakim, dan mereka yang menduduki jabatan kehormatan di kursi pemerintahan. Fariz hanyalah anak seorang karyawan di perusahaan ayah Nathan, dan itu membuatnya berada pada kasta paling rendah.
Sejak dikirim ayahnya untuk sekolah ke luar negeri, belum pernah sekalipun Acha bertatap muka dengan Fariz. Sesekali, diam-diam dia membuka sosial media hanya untuk mendapat sedikit kabar tentang mantannya. Acha kira hal itu bisa mengobati sedikit kekosongan di hatinya, tapi nyatanya malah membuat rasa rindunya semakin membuncah. Pernah juga gadis itu mencoba berkencan dengan laki-laki lain, tapi Fariz tak bisa dengan mudahnya digeser lelaki manapun.
"Seneng banget gitu ketemu gue?" Tita, teman sekelasnya waktu SMA yang kini berstatus sebagai tunangan mantan pertamanya, Nathan, jauh-jauh terbang ke Boston untuk memberi Acha undangan pernikahan.
"Lo kan udah jauh-jauh dateng ke Boston Tit, masak ya enggak gue sambut" senyum merekah terpampang nyata di bibir merah cherry gadis bermata cokelat itu. Padahal bukan undangan pernikahan sang cinta pertama dengan sahabatnya yang membuat Acha bahagia, tetapi ada hal lain.
"Nama gue Tita. Bukan Tit. Tat tit tat tit mulu lo manggil gue." koreksi wanita di hadapannya.
"Iya Titaaaa." sengaja Acha memperjelas huruf terakhir yang diucapkannya.
"Gue tau lo bahagia banget ketemu gue karena mau cari tau info tentang Fariz kan?" Tita memang tidak mudah dikelabuhi.
"Enggak. Siapa bilang? For me past is just past. Just like me and your husband-to-be. Everything is ended. No string attached" kilah Acha penuh percaya diri.
"He is fine. More than fine actually" tanpa diminta Tita menyampaikan kabar tentang Fariz. Tita dan Fariz sudah saling mengenal sejak kecil. Tentu saja gadis itu yang paling tau kabar terbaru tentang Fariz dibandingkan teman-teman Acha lainnya.
Putri bungsu konglomerat industri hiburan itu bersedekap, "Whatever. I don't care about him anymore"
"He is starting his own business" lanjut Tita.
"I'm not interested" masih saja Acha bersikap seolah tidak peduli.
"Dan dia lagi deket sama cewek"
Refleks Acha menggebrak meja dihadapannya, "Hah? Siapa? Anak mana? Lebih cantik dari gue? Kasih gue fotonya" ucap Acha tanpa jeda. Tapi begitu Tita menarik alisnya ke atas, Acha segera sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. "Ups" dia menutup mulut. "Gue cuma bercanda kok. Siapa juga yang penasaran soal dia. Gue udah move on ya. MOVE ON. Lo tau sendiri kan berapa banyak cowok yang udah gue pacarin di sini. Mana mungkin gue ada rasa lagi sama dia, haha.." tawa yang dipaksakan jelas terlepas dari bibir Acha.
"Yakin?" Tita menggoda.
"Seratus persen. No, seribu persen yakin" ucap Acha mantap.
"Oke kalau gitu. Lo liat aja sendiri ntar ceweknya di nikahan gue. Palingan Fariz gandeng dia ntar." jawab Tita sellow sambil mengulurkan undangan pernikahannya. "Gue cabut dulu. Masih harus fitting baju pengantin di Brooklyn. See you" Tita pun melambaikan tangan meninggalkan Acha yang mengigiti bibir bawahnya sebal.
Pesta kelulusan sekolah tidak pernah menjadi kenangan yang indah bagi Acha. Termasuk pesta kelulusannya dari Buston University. This is America. Graduation means mabuk-mabukan, party, dan **** bebas. Bukan gaya Acha sebenarnya. Tapi rasa gundah yang merongrong hatinya sejak mendapatkan kabar terbaru dari sang mantan membuatnya menuangkan sekali lagi botol Armand de Brignac Midas di tangannya.
"Just go and **** yourself *******" umpatnya pada setiap lelaki yang mencoba mendekat. Acha sedang tidak dalam suasana hati yang cukup gembira untuk menari di bawah lampu kelap kelip, atau menanggapi lelaki yang ingin sedikit bermain.
"Armand de Brignac is not for a broken-hearted woman, try this coctail lady" tiba-tiba saja ada sebuah tangan kekar yang menarik botol minumannya dan menggantikan dengan satu gelas Winston Coctail biru topaz yang sangat cantik.
"No. I'm not broken-hearted" Acha memandang kesal ke lelaki yang kini duduk di sampingnya itu. Kepalanya sudah sedikit pusing akibat minuman memabukkan. Namun begitu menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas lelaki di sampingnya, Acha tertawa.
"Laughing?" lelaki itu mengerutkan kening.
"You look like one of my exes" lontarnya diantara kekehan tawa.
"Oh My God, this face is not just an ordinary face you know" sang lelaki memutar bola matanya. "I'm Karel, MIT"
"Acha, Boston University" Acha menyambut uluran tangan pria di sampingnya. "Give me back my drink" lenguh gadis itu sembari tangannya sibuk meraba-raba letak gelasnya.
"No. You are drunk." Karel bersikeras.
"I WANT MY DRINK RIGHT NOW" teriak Acha dengan jeda yang sangat jelas di sela-sela ucapannya.
"For God sake, broken-hearted is a stupid reason to get drunk lady"
"I'm not broken-hearted. Who said I'm broken-hearted?" kilah Acha dengan tubuh yang sudah limpung. "I don't care anymore about him. He can date any girl he wants and I'm okay with that. Did he think I can't date and kiss other guy? Look, I can do that" dengan satu tarikan kuat Acha menarik kerah kemeja lelaki itu dan menubrukan bibirnya di bibir tebal Karel. Awalnya hanya hisapan kecil. Namun tatkala Karel balas mengigit, logika Acha menguap lepas. Lidahnya masuk mendobrak pertahanan lelaki itu, menjajah isi mulutnya, bertarung memperebutkan dominasi dengan benda lunak lawannya, dan saling menghisap hingga paru-paru mereka kehabisan udara. Acha menarik diri untuk bernafas. Namun rasa manis bibir lawan mainnya masing terasa. Itu bahkan lebih memabukkan dari Whiskey manapun. "You are so damn good" pujinya tanpa sadar. Mata Acha menatap sayu lelaki yang lehernya dia rangkul dengan kedua tangan. Karel sama kacaunya dengan sang gadis. Cara Acha menatapnya membuat sesuatu di bawah sana menegang dan sulit dikendalikan. Terbawa suasana, satu ajakan terlontar dari mulut Karel, "Bedroom?"
Karel ambruk dengan nafas terengah-engah. Tenaganya tertarik habis oleh pergulatan mereka malam itu. Karel menatap Acha yang masih terlena akan euphoria pelepasan pertamanya. Sungguh, belum pernah lelaki itu melihat pemandangan lebih cantik dari ini. Tanpa sadar, bibirnya bergerak maju mengecup kecil bibir Acha sebelum akhirnya dia tertidur dengan dada telanjang Acha menempel di dadanya.
Seperti hari-hari sebelumnya, pesta kelulusan selalu saja menjadi titik awal kehidupan Acha. Tak terkecuali malam ini.
Acha hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri. Bahkan pria yang sekarang duduk bertelanjang dada sambil menawarinya sarapan itu tidak bisa ia salahkan sepenuhnya. Kenapa? Karena Acha sadar, dia sama sekali tidak menolak tindakan laki-laki itu tadi malam.
Shit.. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Tubuh polosnya kini dicemari tanda-tanda keunguan hasil kebuasan Karel tadi malam. Belum lagi rasa sakit di selangkangannya bak tubuh terbelah jadi dua. Ah.. untuk beranjak saja sangat sulit rasanya.
"Kalau lo nggak suka sarapannya, gue bisa pesen yang lain" tawar Karel tanpa bergeser sedikitpun dari tempat duduknya.
"Just shut up" cerca sang gadis menahan perih. "Wait.. You speak in bahasa?" dahinya berkerut bingung. Siapa sangka lelaki yang berkeringat bersamanya tadi malam memiliki kewarganegaraan yang sama.
"I'm an Indonesian. Just like you" jawab Karel santai sambil menyerutup Vanilla Late di cangkirnya.
"Dari mana lo tahu?" Acha tekesiap, "Jangan-jangan lo mata-matain gue? A pervert? Psikopat?" gadis itu menarik selimutnya lebih tinggi sambil bersilang dada. Matanya memicik menatap lelaki di seberang.
Karel memutar bola matanya, "Just fucking stop your wild imagination Madam. Siapa yang semalem jerit-jerit keenakan in bahasa? Ya otomatis gue tau lah lo orang Indo"
Ingatan kejadian semalam menghantam kepala Acha bagai petir di tengah badai. Ups.. Acha mengigit kecil bibir bawahnya merasa malu. Pipinya berubah merah seperti tomat dan gelagat itu tertangkap indera pengelihatan Karel. Membuat sang lelaki tersenyum geli. Gadis ini sangat manis.. pikirnya.
"Okay Mister I don't know who-"
"Karel. You moan my name the whole night" sela Karel mengingatkan namanya.
"Allright Karel, I said this just once so give me your attention, okay. Nothing happened last night. We are stanger and we never met each other. Semalem cuma one night stand, and we gonna forget it. No one should know what happened. You go your way and I go mine. You, me, we end here. Understand?"
Bukannya menjawab, si lelaki hanya terus mengunyah buah anggur yang datang bersama peanut toast pesanannya. "Still hurt?" Dia balik bertanya.
Acha gelagapan. Bagaimana pun ini adalah hal memalukan di Amerika. Umurnya cukup tua untuk ukuran gadis yang baru saja kehilangan keperawanan. Lelaki itu benar-benar membuatnya ingin menggali lubang dan sembunyi di dalamnya. "What's hurt?" celutuknya.
Dengan santai Karel mengacungkan jarinya ke arah ************ Acha yang terbungkus selimut. "That must be hurt" dia membuat ekpresi meringis seakan-akan ikut meradakan sakit.
"Who said? I'm not" kilah Acha penuh pengelakan.
"Really?" Karel beranjak dari sofa dan berjalan mendekat. "Kalau gitu kenapa cuman diem aja di situ dari tadi. Sakit kan buat gerak?"
Was-was dengan pergerakan Karel yang semakin merapat ke tubuhnya, Acha panik, "Mau apa lo? Jangan deket-deket. Ahhh.." teriakan gadis itu melengking tatkala Karel membopong Acha tanpa permisi dan membawanya ke arah kamar mandi. "Mau apa lo? Lepasin! Lepasin atau gue lapor polisi. Auch.." punggung sang gadis bereaksi ketika menyentuh dinding bath up yang terasa dingin di permukaan kulitnya.
"Buka selimutnya!" perintah Karel memegangi ujung selimut yang ikut terangkat tatkala membopong gadis itu. Ia sedikit memiringkan kepala agar tidak melihat gadis itu kembali telanjang bulat dihadapannya. Bukannya Karel tidak mau, hanya saja dia pikir dia harus sedikit menghormati sang gadis yang nampaknya bukan gadis sembarangan.
"Pervert! Cabul! Mesum! Dasar otak ************!" teriak Acha sambil memukul-mukul badan Karel yang mampu digapai oleh tangannya.
Karel mendesis. Wanita ini... kenapa yang ada dipikirannya hanya hal yang tidak-tidak. "Gue nggak akan ngapa-ngapain lo" balasnya dengan nada sama tinggi. "Gue cuma mau tanggung jawab"
Acha berhenti, perempuan itu sudah nampak lebih tenang. Namun masih was-was dan menarik selimutnya lebih kencang. "What kind of responsibility?" desisnya dengan nafas naik turun menahan marah.
"Tanggung jawab udah ngambil keperawanan lo" ucap Karel sembari menekan tombol air hangat di bawah keran yang mengalir langsung memenuhi bath up.
"You-" jari telunjuk Acha mengacung tepat di depan muka Karel. Ingin rasanya dia menenggelamkan Karel dengan seribu sumpah serapah. Tapi tak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutnya. Acha terlanjur malu. Ternyata lelaki itu menyadari dirinya masih perawan hingga beberapa waktu lalu.
Karel memajukkan wajah hingga berjarak hanya beberapa centi dari wajah gadis di hadapannya. Cantik. Batin Karel untuk sepersekian detik.
"Just stay here for a while. Warm water will make you feel better" ucapnya sebelum menarik selimut dan berjalan keluar menutup pintu kamar mandi.
Shit.. Sekilas penampakkan tubuh polos gadis itu membuat kepala bawahnya berdenyut nyeri. Karel harus cepat melakukan sesuatu. Akan sangat memalukan jika Acha mendapati celananya menggembung setelah keluar dari kamar mandi nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!