Tampak seorang pemuda tampan dengan kaos oblong dan celana pendeknya, terdapat keringat yang bercucuran di sekujur tubuhnya, rambutnya yang basah dan senyumnya yang menawan membuat beberapa gadis di sana tak melepaskan pandangan mereka, pemuda itu-- dia sedang berolah raga pagi di sekitar taman dekat mansion kakek buyutnya.
"Menyebalkan sekali para gadis itu! kenapa dia sukanya menggoda seorang pria, padahal harusnya mereka itu bersikap lebih menjaga diri," gerutu seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang di kuncir kuda.
"Biarkan saja, Kak. Mereka tidak salah, itu hak mereka," ucapnya santai. Dia meneguk air mineral yang di bawanya, dan gadis di sampingnya juga meminum air di botol minum yang di pegang oleh pemuda itu.
"Ayo kita pulang saja, aku tidak suka para gadis melihatimu seperti itu." Gadis itu berlari lebih dulu di depannya.
Kedua alis tebal dan terlihat sangar itu berkerut bingung. "Kak Zia itu apa maksudnya? dia tidak mungkin kan menyukaiku? aku dan dia saudara, apa dia kesal karena para gadis itu bersikap agresif?"
Dia berlari kecil menyusul gadis yang di panggilnya kakak itu.
"Sayang, kamu tidak bisa hari ini pulang lebih awal?" tanya seorang wanita yang masih terlihat cantik walapun sudah melahirkan dua buah cinta mereka.
"Ada apa? kamu manja sekali, apa di dalam perut kamu ada calon adik Sabinna?" Tangan kekar pria yang juga masih terlihat tampan itu menarik tangan istrinya yang sibuk dengan piring dan hidangan makanan di depannya.
"Juna! aku tidak mau hamil lagi, mengurusi 3 anak kita saja sudah sangat melelahkan, walaupun bahagia, tapi aku tidak mau memiliki anak lagi, Juna!" serunya manja.
Tidak lama kecupan Juna mendarat pada bibir Arana dengan mesra, mereka saling berciuman di sana. Dari luar terdengar suara kekehan seseorang, Arana langsung melepaskan ciumannya dan agak menjauh dari Juna.
"Kenapa dilepaskan? aku belum puas, katanya mau menyuruhku pulang lebih awal, beri aku imbalan, baru aku akan pulang lebih awal nanti."
"Tuan vampire! ada anak-anakmu. Apa kamu tidak malu?" suara Arana pelan tapi penuh penekanan.
"Ehem ...!" suara deheman seseorang berhasil membuat Arana dan Juna menghentikan perdebatan tidak penting mereka.
"Ibu, aku nanti tidak sarapan pagi, aku lupa ada kelas pagi-pagi sekali dengan dosen pembimbingku." Gadis itu langsung berlari masuk dan naik ke lantai atas.
Tinggalah si pemuda tampan yang memperhatikan mereka dari tadi. "Kalian habis ngapain? kenapa aku mencium hal yang mencurigakan?" kedua mata indah itu melirik ke Juna dan kemudian berpindah pada Arana.
"Hei ...! jangan memberikan pandangan mata seperti itu pada kedua orang tua kamu, Ya Uno!" seru Arana kesal.
"Ahahhaha! ternyata benar, ibu dan ayah habis bermesraan, Ya?" Uno mengambil buah apel di sebelah ibunya dan menyenggol lengan tangan ibunya.
Arana memutar bola matanya jengah melihat tingkah laku putranya yang memang sudah seperti teman bagi mereka. "Jangan mengganggu ibumu, Nak. Nanti ayah yang harus menanggung akibatnya.
"Tenang saja, Yah. Ibu itu sangat mencintai ayah, jadi dia tidak akan bisa jauh dari ayah," bisik Uno mendekat pada ayahnya.
"Sudah cepat bersiap-siap sana dan kita makan pagi bersama, dan jangan lupa panggil adik kamu--Binna." Arana menghela napasnya pelan. "Gadis kecil kamu itu, sejak kamu membuatkan dia tempat untuk latihan menari, dia tidak bosan- bosannya di sana, bisa-bisa kamarnya dia pindahkan ke sana." Lagi-lagi Arana memutar bola matanya jengah.
"Biarkan saja lah, Bu! Bagi Binna, menari itu bagian dari hidupnya, sama halnya dengan kegemaranku menato tubuhku."
Ini salah satu yang membuat Arana kesal sekali dengan putranya itu
Halooo asalammualaikum, langsung cus bikin season 2 biar tidak lupa ceritanya, Wakakak! Sehat selalu ya. Dan semoga sukaaa ...
Uno masih mendengarkan keluh kesah ibunya tentang tato yang ada di tubuhnya. Uno malah dengan santai membuka kaosnya di sana. Beberapa maid yang usianya masih muda bahkan ada yang sudah paruh baya yang baru saja masuk ke ruang makan itu membulatkan matanya melihat hal tersebut.
"Uno! jangan meperlihatkan tubuh yang ada tato kamu itu! kenapa putraku satu ini susah sekali menurut orang tua!"
"Ayolah. Bu! aku mentato diriku bukan karena aku tidak menurut kata-kata ibu, aku justru sayang sama ibu, lihat di bagian dadaku aku mentato nama ibu, wanita pertama yang sangat aku cintai." Uno menunjukkan tulisan kecil di dada sebelah kirinya.
"Ibu tidak pernah memintanya!" Pandangan Arana mengarah ke Juna, yang malah santai menikmati sarapan paginya. "Sayang! kamu beritahu juga putra kamu itu," perintahnya.
"Biarkan saja, yang terpenting dia bisa bertanggung jawab dengan dirinya, dia tidak melupakan apa kewajibannya. Iya kan, Uno?"
"Itu baru ayahku." Mereka berdua malah tos.
Lagi-lagi Arana menghela napasnya kesal. "Kenapa kamu tidak meniru ayah kamu saja? lihatlah tubuhnya bersih dari yang namanya gambar aneh-aneh itu."
Putrnya itu beranjak dari tempat duduknya kembali menuju ibunya. "Bukannya ayah tidak mau mentato tubuhnya, hanya saja ayah takut sama ibu, karena Ibu kan sangar," Pada bagian itu dia membisikkan pada telingan ibunya.
Arana seketika mendelik. "Aku sayang ibu." Uno mencium cepat pipi ibunya dan langsung kabur dari sana sebelum kena omelan Arana.
"Dasar anak nakal!" seru Arana kesal. Juna yang melihatnya berusaha menahan tawanya. "jangan menertawakan hal ini, Juna. Ini tidak lucu."
"Kalian ini ibu dan anak, tapi seperti kucing dengan tikus. Uno itu sangat menyayangi kamu. Hanya saja dia memang tidak suka terlalu diatur, kamu harusnya mengerti."
Brukkk ...
"Aduh ... kakak!" suara kesal seorang gadis dengan rambut lurus sebahunya. Sabinna Salingga Atmaja--putri kedua dari pasangan Harajuna Atmaja dan Arana. Dia sangat suka menari, tingkahnya mirip bola bekel, tidak bisa diam, dia juga sangat berprestasi di sekolahnya.
"Maaf, kamu ditunggu ayah dan ibu di meja makan, turun sana! kamu tidak kesekolah?"
"Tentu saja aku sekolah, memangnya kakak, yang berangkat kuliah hanya untuk sensus gadis-gadis yang belum pernah kakak pacari."
"Mereka yang mengejarku, bukan aku, Binna. Ingat itu." Telunjuk Juna menunjuk hidung kecil Binna. "oh ya! aku dengar kamu punya pacar di sekolah, Ya? aku beritahu ibu nanti, kamu lupa kalau kamu mau dikenalkan dengan seseorang-- anak dari sahabat ibu yang tinggal di luar negeri."
Gadis imut itu terdiam, dia ingat ibunya-- Arana pernah bercerita mau memperkenalkan dia dengan anak dari sahabatnya. "Aku tidak mau," ucapnya pelan.
"Kenapa tidak mau? siapa tau dia sangat tampan, dan sekeren aku. Pilihan ibu itu tidak akan salah."
"Kenapa bukan kakak Uno saja yang dijodohkan dulu? kenapa harus aku?"
"Ahahah! gadis yang dijodohkan denganku harus sekuat wonder women, baru dia bisa menikah denganku. Sudah, kamu terima saja, kamu kan anak baik." Tangan Uno mengacak-acak rambut adiknya lalu pergi dari sana.
Muka Binna di tekuk kesal. "Semoga saja nanti dia jatuh cinta benaran pada seorang gadis," gerutunya kesal, Binna kembali teringat ucapan kakaknya. "apa benar aku bakal di jodohkan sama ibu? dan apa pria itu benaran baik? ih ...!" Binna menghentak-hentakkan kakinya ke lantai beberapa kali. "Lalu bagaimana dengan hubunganku dengan Lukas?"
Askano Hadju Atmaja
Sabinna Salingga Atmaja
Kanada. Tepatnya dia sana sekarang jarum jam menunjukkan angka 9 malam. Seorang pria tampan sedang duduk di ruang kerjanya, dari raut wajahnya dia tampak sedih. Kedua manik mata indahnya memandangi bingkai foto yang di pegangnya.
"Hai, Sayang. Aku merindukan kamu, apa kamu di sana juga sedang merindukan aku?" Dia berdialog sendiri.
Dari dalam kamar dengan didominasi warna putih dan silver itu seorang gadis cantik dengan postur tubuh mungil dan rambut coklat panjangnya, dia berjalan dengan tangannya menelusuri setiap sudut didinding ruangan itu, tidak lama dia sudah berdiri di depan pintu ruang kerja yang tidak tertutup rapat.
"Ayah, ayah belum tidur?" panggilanya, dan seketika pria yang memandangi bingkai foto itu menoleh dan tersenyum.
"Diandra, kamu kenapa belum tidur? dan bagaimana kamu bisa tau ayah di sini?"
Diandra masuk dengan langkah tegapnya dan duduk di samping ayahnya. "Tentu saja aku tau ayah ada di sini, walaupun aku tidak bisa melihat, aku bisa merasakan bau ayah berada di sini?" celetuknya sambil terkekeh kecil.
"Apa ayah begitu bau, Ya?" Tommy yang sekarang memakai kacamata dan rambutnya sudah berubah cepak itu mengendus-endus tubuhnya sendiri ingin memastikan dia bau apa tidak?"
"Ayah ini, aku cuma bercanda, ayah tidak bau, justru aku sangat menyukai aroma tubuh ayah. Aromanya sangat menenangkan." Kedua tangan gadis cantik itu memeluk ayahnya.
"Kamu ini, ayah khawatir kalau sampai ayah bau, ayah memang dari tadi belum mandi, masih malas. Maaf ya, ayah hari ini tidak bisa menemani kamu makan malam, pekerjaan ayah sangat banyak." Tangan Tommy mengusap pucuk kepala putrinya.
"Tidak apa-apa, Yah. Aku tau akan hal itu. Aku tadi makan di temani Rose, dia tadi main ke sini sampai sore," jelas Diandra.
"Ayah senang kamu tidak kesepian, bagaimana dengan latihan piano kamu? semua baik-baik saja?"
"Semua berjalan dengan baik, Yah. Dan tidak lama lagi ada kompetisi yang akan di selenggarakan oleh salah satu tempat kesenian terbesar di sini, dan aku harap ayah nanti bisa datang dengan tante Mara, aku akan sangat senang sekali?" Raut wajah Diandra tampak bahagia.
Beda dengan Tommy, dia malah terdiam dan menunjukkan raut wajah yang sulit diartikan. "Ayah pasti akan datang, walaupun nanti ayah ada rapat penting, ayah pasti akan datang untuk melihat putri ayah ini." Tommy mencubit kecil hidung mancung putrinya.
"Ayah tolong bicara sama tante Mara, supaya dia bisa datang ke acara itu." Tangan Diandra memegang tangan ayahnya, dan kedua matanya yang memang tidak dapat melihat, tapi terlihat berbinar.
"Iya, nanti ayah akan mencoba menghubungi tante Mara," suara Tommy terdengar pelan.
Manik mata cantik itu melihat ke arah Tommy. "Ayah dan tante Mara sedang ada masalah?" Diandra seolah bisa merasakan ada hal yang sedang terjadi antara ayahnya dan tante Mara. Tante Mara-- adalah sepupu dari mendiang Diandra, dan kalau kalian baca di season satu pasti tau.
Tommy terdiam sejenak, dan dia mengusap lembut kepala Diandra. "Ayah dan tante Mara tidak ada masalah apa-apa, Sayang. Nanti dia pasti akan datang, kamu tenang saja."
"Aku kangen sama tante Mara, kenapa dia pulang ke Indonesia buru-buru? apa tante Mara ada masalah di Indonesia?"
"Ayah belum bicara sama dia, ayah masih sibuk dalam beberapa hari ini." Tommy teringat beberapa hari yang lalu dia dan Mara sedang duduk di restoran sedang makan siang.
Maaf ya, bisanya 1 bab dulu, masih belum fit juga, anak sakit, author juga agak drop, tapi pengen tetep nulis. Hiks author alay lebay kebanyakan curhat wakkakaka, maaf 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!