Screams and nightmares
Of a life I want
Can't see living this lie no
A world I haunt
You've lost all control of my
Heart and soul
Satan holds my future
Watch it unfold
I am the Antichrist
It's what I was meant to be
Your God left me behind
And set my soul to be free
Watching disciples
Of the satanic rule
Pentagram of blood
Holds the jackal's truth
Searching for the answer
Christ hasn't come
Awaiting the final moment
The birth of Satan's son
Screams,
From a life I live
Torment,
Is what I give
Torture,
Is what I love
The down fall,
Of the heavens above
I am the Antichrist
All love is lost
Insanity is what I am
Eternally my soul will rot
~Dissection - Antichrist ~
.
.
FROGNER, OSLO.
Sekar memperhatikan dua orang pria berkulit putih yang tengah menggotong sebuah upright piano masuk ke dalam kamarnya.
"Hvor kan du legge piano (mau di letakkan di mana pianonya)?" tanya salah seorang pria itu pada Sekar dengan bahasa Norsk yang tak ia mengerti. Namun Sekar masih bisa mengira-ngira kalau pria itu sepertinya menanyakan di mana ia harus meletakkan pianonya.
Sekar menunjuk dinding yang segaris lurus dengan tempat tidurnya. Kedua pria itu meletakkan pianonya di sana dan mengatur segala sesuatunya.
"Takk (terimakasih)," ucap Sekar dengan satu-satunya kata dalam bahasa Norsk yang ia ketahui.
Setelah kedua pria itu berpamitan dan keluar dari kamarnya, ia pun mengangkat kursi dari meja riasnya dan meletakkannya di depan piano.
Jemarinya pelan menekan tuts-tuts hitam putih itu mengalunkan nada-nada melankolis dari Chopin, Nocturne Op.9 No.2. Ia begitu mendalami rasa dari permainan pianonya. Memejamkan matanya menikmati irama lembut yang dihasilkan oleh jari-jari lentiknya.
"Wah, udah makin jago aja nih anak Mama."
Suara selorohan dari balik punggungnya itu membuat Sekar menghentikan permainan pianonya. Ia berbalik dan mendapati sang Mama tersenyum padanya.
"Makasih pianonya, Ma," ucapnya senang.
Wanita berumur empat puluhan yang terlihat cantik dan elegan itu mengelus pipi Puteri semata wayangnya dengan lembut. "Mama tahu kamu nggak bisa hidup tanpa benda ini," katanya membuat Sekar meringis malu.
"Ohya, besok hari pertamamu masuk sekolah, ya, Se?" tanya sang Mama.
"Iya, Ma ...." Sekar kembali teringat akan kecemasannya esok hari memasuki sekolah baru. Beradaptasi dengan lingkungan baru adalah hal yang paling tidak ia sukai. Wajahnya pun murung seketika.
"Kenapa, Sayang? Kok murung begitu?"
Sekar hanya menggeleng. "Nggak papa, Ma. Cuma dikit nggak enak aja harus jadi murid baru," kekehnya.
Sang Mama tersenyum. Ia paham karakter Sekar yang sedikit sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi di negeri asing yang segala sesuatunya berbeda.
"Mama sama Papa masukin kamu ke sekolah internasional biar kamu nggak merasa beda sendiri. Mama yakin kamu pasti bisa lebih gampang beradaptasi di sana."
"Tapi bahasa Norsk susah, Ma," keluh Sekar sembari memanyunkan bibirnya.
"Kamu anak pinter, pasti bisa, lagi pula di sekolah kamu itu sebagian besar pakai Bahasa Inggris," hibur sang Mama sembari membelai rambut panjang Sekar lembut.
"Kalau aku kena bully gimana, Ma?"
"Nggak ada bully-bullyan, Sekar. Yang sekolah di sana itu rata-rata anak-anak diplomat dari berbagai negara, juga anak-anak pejabat. Mereka punya pendidikan etika dan moral yang bagus. Percaya sama Mama. Mama nggak mungkin masukin kamu ke sekolah sembarangan."
Sekar menghela napasnya pelan. Di Indonesia, anak pejabat banyak yang kelakuannya bejat.
"Ya udah, Mama mau nengok Mbok Maryati dulu di dapur, dia udah selesai belum siapin makan malam," ujar Sang Mama menyebutkan nama asisten rumah tangga yang dibawanya dari Indonesia. "Sambil nunggu Papa pulang juga," lanjutnya sembari mengelus pipi Sekar lembut sebelum akhirnya keluar dari kamar Puterinya itu.
Sekar melangkah menuju jendela kamarnya. Memandang keluar jendela memperhatikan suasana di luar sana. Matahari masih bersinar terang walaupun jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Awal musim semi di bulan maret yang masih begitu dingin. Mata Sekar dimanjakan oleh salju yang berserakan di mana-mana. Di jalanan, di atap-atap rumah mewah, dan di pepohonan.
***
GRØNLAND, OSLO.
"Einar!!"
Wanita paruh baya dengan rambut digelung dan wajah yang tampak pucat itu menggedor pintu kamar bercat abu-abu lusuh dengan keras.
"Skru ned gitaren din (kecilkan suara gitarmu)!" serunya sembari memijit kepalanya. Suara lengkingan gitar electric dari dalam kamar yang cukup keras membuat kepalanya semakin berdenyut.
"Einar!" panggilnya dengan setengah berteriak. Ia kembali menggedor pintu. Berharap si penghuni kamar yang ia panggil dengan mama Einar itu mendengarnya di sela-sela suara berisik di dalam sana.
"Drittsekk (dasar breng sek)!" makinya kesal.
Suara distorsi gitar dari dalam kamar berhenti. Perlahan pintu dibuka dari dalam. Sosok jangkung berambut panjang hitam kecokelatan dengan wajah tampan yang sedikit pucat muncul dari baliknya. Sepasang mata berwarna hazel brown itu menatap si wanita paruh baya dengan sebal.
"Hva (apa)?" tanyanya setengah menghardik.
"Aku tadi mau bilang, kecilkan sedikit suara gitarmu. Aku sedang sakit kepala."
Einar memutar bola matanya sembari menghembuskan napas kasar. Lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.
Ia kembali meraih gitarnya dan melanjutkan permainannya yang tertunda. Mencabik-cabik senar gitarnya dengan membabi-buta.
"Sialan!" makinya ketika salah satu senarnya putus. Ia pun melepas kabel jack gitar dari amplinya dan melempar gitar warna hitam itu ke atas kasur sempitnya.
"Gitar murahan!" makinya kembali. Ia melepas kaos hitam bertuliskan Mayhem yang dikenakannya dan melemparnya sembarang, memperlihatkan tubuh berkulit pucatnya yang penuh dengan tattoo.
Ia menghempaskan badan ke atas sofa bean bagnya. Lalu meraih botol whiskey yang hanya tinggal setengahnya saja. Sebatang rokok ia nyalakan dan menghisap asapnya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya ke udara. Matanya menyapu ruang kamar sempitnya yang penuh dengan poster-poster bergambar pria-pria berambut panjang dengan lukisan wajah hitam putih.
***
***
***
BASECAMP LORD ABADDON, NITTEDAL, OSLO.
Ruangan berukuran empat kali lima meter itu penuh dengan kabel-kabel yang berserakan, tiga amplifier besar yang berada di sudut-sudut ruangan, satu stand mic lengkap dengan microphone, serta satu set drum lusuh.
Poster-poster bergambar pria-pria dengan wajah dilapisi corpse painting serta tulisan-tulisan bergaya medieval blackletter yang telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga terlihat seperti tulisan yang penuh tetesan darah, memenuhi dinding ruangan.
Einar memasukkan kabel ke dalam out put jack pada badan gitarnya, lalu menyambungkan sisi kabel yang lain ke lubang input pada efek gitarnya. Dahinya mengerenyit ketika ia menggenjreng gitarnya dan tidak terdengar suara apa pun dari dalam ampli.
Ia menggoyang-goyangkan gitarnya, mencabut kabel jack lalu memasukkannya kembali. Namun tetap saja suara distorsi gitarnya tak terdengar. Wajahnya mulai terlihat kesal.
"Fy flate (sialan)!" makinya geram. "Gitarku rusak!" serunya. Dengan kasar ia melepas tali selempang gitarnya dan menyandarkan gitar di standnya.
Ia meraih sebotol Akevitt di atas meja yang telah habis setengahnya. Einar membuka penutup botolnya lalu menenggaknya.
"Haahh!" erangnya begitu cairan kuning jernih berkadar alkohol empat puluh persen itu membasahi tenggorokannya.
Ia melangkah keluar dari studio dan mendapati tiga sahabatnya, Folke, Edvard, dan Goran, semuanya berambut panjang dan bertato, telah terkapar di sofa ruangan tempat mereka biasanya berkumpul, dengan beberapa botol minuman yang telah kosong.
"Hei, Einar ... hvor skal du (mau kemana kau)?" Folke, si rambut pirang dengan wajah tirus, yang masih sedikit terjaga, berseru.
"Til skogen (ke hutan)," sahut Einar sembari terus berjalan menuju pintu keluar. Tak dipedulikannya suara kekehan Folke di belakang sana.
Halaman rumah kecil yang menjadi sarang band yang ia dan ketiga temannya namai Lord Abaddon itu ditumbuhi pepohonan pinus yang rimbun dan tertutup salju tebal. Udara begitu dingin. Mantel berlapis yang Einar kenakan pun seakan tak bisa menghalau hawa dingin yang menusuk.
Namun semua itu tak menyurutkan langkahnya menapaki salju tebal yang menghampar dan memasuki hutan lebat di depan sana.
***
OSLO INTERNATIONAL SCHOOL, BEKKESTUA, OSLO.
"Are you ready (kau siap), Sekar?
Wanita berambut pirang itu menyentuh punggung Sekar pelan, mempersilahkannya masuk ke dalam sebuah ruang kelas.
Sekar menarik napas dalam-dalam. Mengusir rasa cemas yang mulai menyerangnya.
"Perkenalkan, Sekar Prayoga ... murid baru ... dia berasal dari ...."
Sekar tak berani mengangkat kepalanya memandang seisi kelas. Telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin.
"Please, sit down, Sekar ...."
Sekar mengangguk. Lalu dengan kepala masih tertunduk ia berjalan menuju kursi kosong di tengah kelas yang ditunjuk oleh wanita berambut pirang itu.
"Hei, aku Adam ... aku juga dari Indonesia."
Seorang pemuda yang berada di kursi sebelahnya mengulurkan tangannya pada Sekar.
Sekar menoleh pada pemuda berkulit terang dengan mata sipit dan rambut rapinya itu. Perlahan ia menyambut uluran tangan pemuda yang mengaku bernama Adam padanya.
"Sekar," ucapnya lirih. Lalu mengalihkan perhatiannya pada si wanita berambut pirang yang telah memulai pelajarannya. Bahasa Norwegia yang ia ambil untuk mata pelajaran di jam pertamanya.
"Kamu tinggal di mana?" Suara Adam kembali terdengar.
"Frogner," jawab Sekar singkat.
"Wah, enak banget ... aku tinggal di Nordre Aker, cuma dua puluh menit pake mobil loh dari tempat tinggal kamu." Adam menyebutkan salah satu daerah elite di Oslo.
"Owh ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Sekar. Ia memang tidak terlalu suka banyak bicara dengan orang yang baru saja dikenalnya.
"Kapan-kapan aku main ke rumahmu boleh, kan?"
Sekar tak menjawab pertanyaan Adam. Ia memilih menyapu pandangannya ke seluruh kelas. Ada sekitar dua puluh siswa dengan etnik berbeda di sana. Chinese, India, namun sebagian besar adalah Caucasian yang sepertinya berasal dari negara-negara di Eropa Timur.
"Norsk grammar is quite easy (grammar bahasa norwegia cukup mudah) ...." Suara si wanita berambut pirang terdengar. Sekar buru-buru meluruskan pandangannya ke arah whiteboard.
"Boleh nggak?" Adam mengulang pertanyaannya. "Nambah teman baru, kan? Pasti kamu belum punya banyak teman di sini."
"Terserah aja," jawab Sekar asal.
"Nanti jam istirahat aku temenin kamu jalan-jalan keliling sekolah deh ...."
Sekar menghela napasnya. Pemuda bernama Adam ini sungguh cerewet dan sok akrab. Hal itu membuatnya tidak terlalu nyaman.
"Aku mau ke kelas musik nanti," sahut Sekar tanpa menoleh pada Adam.
"Owh, kamu main musik? Main apa?"
"Piano ...."
"Kereeeen," puji Adam.
Sekar hanya mengedikkan bahunya. Ia tak berminat menanggapi ucapan pemuda itu.
"Adam ... pay attention, please (tolong perhatikan)!"
Sekar tersenyum miring mendengar Adam yang cerewet itu ditegur oleh si wanita berambut pirang. Ia melirik pemuda itu sekilas. Si cerewet itu tengah menggaruk kepalanya dan memanyunkan bibirnya.
.
.
"Pak Karso, aku turun di situ aja, itu depan toko alat musik."
Sekar memberi titah pada sopir pribadi Papanya untuk berhenti di depan sebuah toko alat musik berpapan nama 4sound Kongens Gate.
"Iya, Non ...." Lelaki paruh baya dengan wajah khas pria Jawa itu, Pak Karso, menepikan mobil Tesla X Performance milik majikannya di depan toko yang disebut oleh Sekar.
"Pak Karso pulang aja, aku nanti pulang sendiri," ujar Sekar sembari membuka pintu mobil bagian belakang.
"Lho, nanti pulangnya gimana, Non?" tanya Pak Karso dengan wajah cemas.
"Naik T-bannen (metro Oslo)."
"Lah, nanti saya dimarahin Nyonyah, Non," ujar Pak Karso dengan logat Jawanya yang kental.
"Nanti aku telpon Mama, udah nggak papa, Pak."
Sekar menutup pintu mobil dan memberi isyarat dari luar pada Pak Karso untuk pergi.
"Hva kan jeg gjøre for deg (ada yang bisa kubantu)?"
Masuk ke dalam toko berdesain minimalis itu, seorang gadis cantik berkuncir kuda menyambutnya.
"Sorry, I don't speak Norsk (maaf aku tidak bicara bahasa norweigia)," sahut Sekar.
Si gadis berkuncir kuda terkekeh. "Sorry (maaf)," ujarnya. "What are you looking for (kau sedang mencari apa)?" tanyanya dengan aksen Norwegia yang kental.
Mata Sekar menangkap deretan keyboard music yang tertata rapi di bagian sudut ruangan. "Keyboard," jawabnya.
Setelah si gadis berkuncir kuda mempersilahkannya untuk melihat-lihat sendiri, Sekar pun dengan antusias mengamati deretan alat musik bertuts hitam putih dari berbagai merk yang di matanya begitu menggiurkan.
Casio, Korg, Yamaha, Roland, dan beberapa merk terkenal lain dengan harga yang terbilang mahal, membuatnya bingung untuk memilih.
Perhatiannya kini tertuju pada upright piano yang menempel di dinding. Ia memandang pada gadis berkuncir kuda yang berdiri tak jauh darinya. "Can I (boleh)?" tanyanya sembari menunjuk pada piano di hadapannya, meminta izin apakah ia boleh memainkannya.
Si gadis berkuncir kuda mengangguk. "Sure (tentu)," ucapnya.
Jemari Sekar mulai meraba tuts tuts piano dan bersiap memainkannya. Namun ia mengurungkan niatnya begitu mendengar lengkingan melodi gitar dari ruang sebelah yang hanya dibatasi dengan lemari memanjang.
Lagu Cannon D milik Johann Pachelbel dalam sayatan gitar elektrik terdengar begitu rapi dan sempurna. Membuat rasa penasarannya begitu membuncah untuk melihat siapa gerangan yang sedang memainkannya.
Sekar melongok dari ujung lemari dan mendapati seorang pemuda berambut panjang tengah tenggelam dalam cabikan gitarnya. Sekar hanya bisa melihat punggung pemuda berjaket hoodie hitam itu.
Namun ia begitu menikmati permainan gitarnya yang sangat mumpuni.
"Kau jadi membelinya atau tidak?"
Seorang lelaki paruh baya berpakaian rapi, yang sepertinya karyawan, menghampiri pemuda itu. Wajahnya sama sekali tak ramah.
"Aku sedang memilih-milih," sahut pemuda itu degan suara beratnya.
"Kau hampir tiap hari datang ke sini, mencoba gitar berjam-jam, namun tidak pernah membelinya." Lelaki itu tersenyum sinis.
"Apa kau keberatan?"
"Bilang saja kau tidak punya uang untuk membelinya!" hardik si lelaki paruh baya itu.
Pemuda itu tersulut emosinya mendengar kata-kata yang menyakitkan hatinya.
"Aku akan membelinya nanti!" serunya sembari meletakkan gitar di tangannya ke stand dengan kasar.
"Hei, hati-hati itu gitar mahal!"
Brakkk.
Terdengar suara benda berat terjatuh ke lantai.
Sekar terkesiap ketika ia sadar suara itu berasal dari dirinya, akibat ia menjatuhkan satu efek gitar tanpa sengaja dari rak lemari.
Si lelaki paruh baya dan pemuda berambut panjang itu menoleh ke arah Sekar.
Mata hazel pemuda itu bertemu dengan mata cokelat Sekar.
Hening.
Waktu seakan berhenti untuk beberapa saat.
***
***
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!