Gelap!
Hanya itu yang sekarang bisa terlihat. Serta dingin yang teramat sangat.
“Di mana, aku?” jerit hati Bang Dani, sementara tubuhnya terasa berat dan kaku, hanya bisa menggerakkan leher ke kiri dan kenan melihat sekeliling.
Selebihnya … gelap.
Tiba-tiba selarik cahaya muncul di hadapan.
“Dani Firmansyah!” Sentak suara tersebut. Suaranya dingin dan datar, seperti datang dari kedalaman yang sangat jauh.
“Si-siape?” ucap Bang Dani gugup.
“Man Robbuka?” ucap bayangan sinar padanya.
“Hah, ape?” jawab Bang Dani gugup.
CTAR!
Sebuah cambuk melayang menghujam tepat mengenai tubuhnya.
“Ugh,” jerit lelaki itu kesakitan, tubuhnya berdarah, kemudian tak lama kembali lagi seperti semula.
“Man Robbuka?” ulang sinar itu kembali bertanya.
“Am-ampun, Bang. Aye kagak tau, bukan aye pula pelakunye.” Tersedu sedan lelaki itu ketakutan.
Dan kejadian pencambukan terulang kembali.
“Am-ampun,” isak tangis Bang Dani menjadi. Dia bingung.
Sumpah, dia bingung. Yang dia tau, tadi dia tengah berada di dalam kamarnya, tengah asyik sendiri pakai narkoba.
Sekarang, terbangun dalam ruang dan dimensi yang sangat berbeda. Lidahnya kelu.
Sinar yang dia yakini sekarang sebagai malaikat menarik dirinya kuat, dia menjerit setinggi langit. Takut, gamang dan berbagai perasaan berkecamuk menjadi satu.
Setelah terangkat tinggi, kemudian secepat kilat, tubuhnya dihempaskan entah kemana, yang dia tau seperti terjatuh dari tempat yang tinggi.
AAARGHHH! Dia takut, sungguh takut setengah mati.
Akan tetapi, dia tidak terjatuh. Perlahan tubuhnya yang nyaris menghantam tanah seperti melayang.
Di sana, dia melihat rumahnya, tampak ramai.
Dilihatnya para tetangga sibuk memadati rumahnya. Ada Engkong Ma’in yang dia tau adalah teman kakeknya dulu, serta Tuan Soka, sahabat almarhum ayahnya, serta beberapa orang lain yang tak dapat dia ingat, tampak mengangkat sesuatu keluar dari rumah, kemudian memasukkannya ke dalam mobil yang telah dipersiapkan.
Beberapa orang tampak ikut masuk ke dalam mobil tersebut, yang kemudian melaju kencang, membelah jalan siang menuju petang.
Tanpa sadar dia juga ternyata ikut masuk ke dalam mobil, sekilas dilihatnya apa yang tetangganya bawa dan dimasukkan dengan cepat ke dalam mobil.
“Hah?” Dia terkejut bukan kepalang.
Yang diangkat tetangganya tadi ternyata adalah sesosok tubuh, entah mati atau kah sekadar pingsan. Dan orang itu, adalah dirinya.
Kini, dia jadi ingat. Mungkin, dia tadi over dosis di kamarnya, dan sekarang … telah mati.
Keringat dingin membanjiri tubuhnya, menyadari bahwa cerita hidupnya telah berakhir.
“Allah.” Entah kenapa, saat seperti ini akhirnya dia teringat akan Tuhan juga.
“Aku belum siap. Aku belum siap untuk selesai. Masih terlalu banyak dosa yang aku punya. Tolong! Aku tidak siap ke nerakaaaa…,” jeritnya setinggi langit.
Tubuhnya dengan cepat mengangkasa, kembali ke tempat gelap yang semula.
Secercah sinar itu masih menunggu di situ. Lengkap dengan cambuk di tangan, yang siap setiap saat menghantam badan. Inilah hukuman.
“Ampun. Izinkan aku kembali. Izinkan aku turun lagi ke bumi. Menjalani hidup seperti dulu,” pintanya merengek pada cahaya tersebut.
Namun cahaya itu bergeming. Perlahan tangan yang memegang cemeti terangkat, siap unutk menghujam dalam.
“Ampuuuuunn,” jerit Bang Dani lagi.
"Lantas, jika kau bisa kembali lagi. Apa yang akan engkau lakuin?"
Bang Dani tersentak.
"Ten--tentu saja aku akan beribadah dengan sebaik-baiknya."
Sinar itu terbahak.
"Itu juga yang dulu diucapkan Fir'aun."
Bang Dani mengkeret.
"Tolonglah!' pintanya. Namun cahaya itu tidak menggubris dan malah mengangkat tangannya yang memegang cemeti, siap meluluh-lantakkan tubuh Bang Dani sekali lagi.
Sedikit lagi cemeti menghantam punggung, tiba-tiba tangan kekar itu terhenti. Dari kejauhan terdengar suara.
“Kamu beruntung, Dani Firmansyah. Tuhan masih memberi kamu satu kali lagi kesempatan untuk menjalani hidup. Kali ini jangan kau sia-siakan. Penuhi dengan amal ibadah, dan berusaha sebaik mungkin agar dapat berguna untuk orang banyak,” kata suara itu terdengar dari kejauhan, tapi sangat keras menggema di telinga Bang Dani.
“I-iya. Aku berjanji, dengan segenap hatiku,” ucap Bang Dani tulus penuh rasa haru.
“Baik. Aku pegang janjimu, Dani Firmansyah. Andai kau kembali lagi ke tempat ini, dengan kondisi yang masih sama seperti sekarang ini. Maka, jangan harap kau akan mendapat ampunan kembali. Tubuhmu, akan segera kulemparkan jadi bahan bakarnya neraka.” Kali ini sosok sinar terang itu yang berbicara, membuat nyali Bang Dani ciut.
Akan tetapi, dia sangat bersyukur, masih diberi pengampunan untuk saat ini.
Belum sempat mengucapkan terima kasih, tubuh (mungkin roh) Bang Dani seperti melesat dihempaskan kembali dari ketinggian.
Dari gelap menuju cahaya, kini dia bahkan tak sanggup untuk membuka mata karena silaunya.
“Terima kasih,” lirih kata itu ia ucapkan, sebelum akhirnya dia bisa membuka mata, dan dapat melihat di sekeliling, ruangan serba putih, di mana beberapa orang tetangganya tampak menunggu dengan cemas.
Sore itu sehabis salat Ashar, Bang Dani tampak marah bukan main. Mulutnya komat-kamit seperti tengah MELAFALKAN sesuatu, entah itu sumpah serapah, atau kah dzikir. Ternyata dia tengah beristighfar, mencoba meredam emosi yang ada dalam dada. Kenapa dia bisa sampai semarah itu?
Ternyata dia melihat anak-anak yang biasa meminta sumbangan menggunakan kotak infaq mengatas namakan masjid tertentu tengah mabuk kecil-kecilan, bersandar di dinding masjid yang terletak di pojok, hingga tidak terlihat oleh orang banyak.
Mabuk kelas rendahan dengan menggunakan lem berukuran kecil yang dengan mudah bisa dibeli di warung. Sebagian lain menggunakan obat batuk cair yang bisa di dapat di apotik terdekat. ‘Ngelem’ istilah yang mereka sematkan untuk kegiatan yang tengah mereka kerjakan. Namun, tetap saja mabok.
Debut perdana Bang Dani pun di mulai. Dulu, dia adalah mantan preman, pengedar sekaligus pemakai. Jadi, tau betul bagaimana barang haram tersebut merusak badan. Namun, kini secercah sinar hidayah akhirnya datang menghampiri kehidupannya yang kelam, dan buram. Dulu, dia yang nyaris over dosis dan terpaksa dibawa ke rumah sakit serta penjara atau hotel prodeo istilahnya masih sangat beruntung mendapat kesempatan sekali lagi oleh Yang Maha Kuasa untuk hidup, dan untuk bisa memperbaiki diri.
Oleh karena itu, melihat hal seperti ini terjadi di depan mata, membuat dia geram. Dia tidak ingin ada lagi orang-orang bodoh di luar sana yang sama dangkal otak dan pemikirannya dengannya dulu.
Segera ditariknya kerah baju dari salah satu anak yang terlihat tengah asyik ngefly.
“Loh, loh … perasaan tadi aku pakai dikit nih barang, kok tubuh ikutan keangkat, ya? Hebat bener efeknya nih barang, bagus.” Bocah usia belasan tahun yang tengah ditarik kerahnya oleh Bang Dani tampak ngeracau tak karuan.
Melihat temannya diangkat, rekan-rekan sesama anak jalanan tadi bukannya menolong malahan lari tunggang langgang. Menyangka Bang Dani adalah salah satu petugas Satpol PP atau malah intel polisi. Namun, sebagian lagi tau siapa yang tengah mengangkat temannya, dari pada cari ribut mendingan kabur saja.
Si anak yang masih dalam posisi tegak sedikit melayang melihat temannya pergi tampak bingung.”Ei, pada mau kemane? Tungguin gua, dong,” katanya mencoba memanggil teman-temannya yang kabur tadi.
Celingak-celinguk, menatap kakinya yang melayang. Baru tersadar olehnya, bahwa saat ini tubuhnya diangkat oleh seseorang.
“Bang—Bang Dani!” serunya. Ternyata, anak tersebut salah satu kenalan dari Bang Dani.
Perlahan diturunkannya anak tersebut hingga kembali menjejak tanah. “Ngapain lo, Tong? Lagi ngapain?” selidik Bang Dani dengan muka penuh tanda tanya.
“Biasa, Bang.” Toni atau yang biasa anak tongkrongan panggil dengan nama si Otong tampak cengar cengir gak enak.
“Masih saja kalian main seperti ini, cari mati kalian, hah!” hardik Bang Dani, si Otong tampak mengkeret. Nyalinya ciut, dia tau tengah berhadapan dengan siapa. Bang Dani mantan preman yang dulu hamper mati dan bikin geger orang sekampung, dan kini sepertinya setelah diberi kesempatan hidup kedua, perlahan-lahan berubah menjadi orang baik.
“Am—ampun, Bang. Aye jangan di apa-apain,” pinta si Otong takut. Sepertinya perlahan sudah kembali sadar dari maboknya.
“Gua kesel, ya … sama kalian orang. Pakai bawa kotak infaq. Minta-minta kepada orang, hasilnya buat beginian. Berdosa, tau!” Tambah mendelik mata Bang Dani tambah mengkeret tubuh si Otong.
“I—iya, Bang. Aye ngaku salah.”
“Ngaku salah saja terus, besok-besok pasti masih di ulangi lagi. Kayak anggota dewan aje lu. Buat janji melulu.”
Otong tampak tertunduk, semakin takut. “Bukan, Bang. Aye cuma tukang minta.” Kilahnya.
“Nah, apalagi … cuma tukang minta, tapi kelakuan minus. Masih muda, harusnya kalian gunakan waktu yang ada dengan belajar yang giat, kerja yang bener, gapai cita-cita dan buat orang tua bangga.” Bang Dani memulai ceramah, Otong mendengarkan sambil menunduk.
“Elu tau kan , Tong? Gua hampir mati saat itu. Beruntung Allah masih kasih waktu buat gua untuk memperbaiki diri. Karena itu, gua ingin mengajak orang sebanyak-banyaknya buat tobat. Jangan beginian lagi,” ujar Bang Dani sambil membuang sisa kaleng lem yang tadi di pegang pemuda di hadapannya.
“Sudah hidup susah, mati nanti masuk neraka. Emang lu mau, Tong?”
“Eng—enggak mau, Bang. Iye, Bang. Ane tobat!”
“Apa ya, hukuman yang bisa buat kalian jera?” Bang Dani menatap Otong dengan seksama, sambil tangannya membentuk tinju. Melihat hal itu pucat pias lah muka si Otong.
“Am—ampun, Bang. Gak lagi-lagi. Beneran, sumpah!” Otong mengangkat jari telunjuk dan tengahnya menandakan dia tengah bersungguh-sungguh.
“Gak, gak main beginian sama gua,” kata Bang Dani sambil menepis tangan Otong. “Gua arak lu keliling kampung, mau?” tambah Bang Dani lagi.
“Jangan, Bang. Emangnye ane ondel-ondel pakai diarak?”
“Biar jadi contoh untuk yang lain, supaya teman-teman lu yang lain bisa kapok.”
“Bang, jangan dong, Bang. Malu ane kalo dilihat same keluarge nanti.”
“Masih punya malu rupanya?” Bang Dani tampak kesal.
“Jangan, Bang. Ane mau dah ngelakuin apa saya buat abang.”
“Bener?” Bang Dani mencoba mencari keseriusan di muka lawan bicaranya.
“Beneran, Bang. Asal jangan ntu tadi, pake diarak keliling kampung.” Otong memohon sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, matanya pun berkedip-kedip dibuat seimut mungkin. Namun, sayang … giginya yang ompong buat kesan imut menjadi amit.
“Ehm, oke. Bentar … kalo begini mau gak, lu? Gua mau liat elu tiap jam salat ada di masjid ini. Terus sebelum salat elu bantu bersih-bersih ni masjid terlebih dahulu?”
Hening sejenak, Otong tampak berpikir keras.
“Kalo lu gak mau, sekarang juga gua arak lu keliling kampung. Cepat buka semua pakaian lu!”ancam Bang Dani.
“I—iya, Bang. Ane mau.” Cepat si Otong memotong kata-kata pria berusia tiga puluhan di hadapannya itu. “Gak sabaran amat, Bang,” gerutunya. Bang Dani hanya tersenyum simpul.
“Nah, oke tuh. Gua pegang janji lu ya. Mulai nanti Maghrib elu mulai dah tuh penuhin kewajiban yang sudah jadi kesepakatan di antara kite berdue.”
“Yah, Bang. Kok, cepet bener.”
“Emangnye, elu tau kapan ajal datang menjemput?”
Si Otong kembali terdiam. “Oke deh, Bang,” sahutnya lemah.
“Gua balik sekarang. Tar maghrib gua tunggu elu di masjid ini. Kalo gak ada, gua gari lu, meski sampai ke liang kubur.”
“I—iya, Bang. Ta—tapi, Bang,” cegah Otong melihat Bang Dani sudah mulai akan membalikkan badan.
“Apa lagi?” tanya Bang Dani heran.”Masih kurang hukuman, lu?” selidiknya.
“Ini, Bang. Anu …. Eng, itu.” Otong tampak kebingungan mau mengutarakannya.
“Apaan, cepet!” perintah Bang Dani.
“Ini … lem sama kopi tadi, eng … belum dibayar. Minta tolong Abang buat bayarin dulu, ane gak pegang uang.” Otong cengengesan gak sedap dipandang.
“Alamaaak.” Bang Dani hanya bisa tepuk jidat. []
Pagi masih dingin di kampung Madani, bahkan jika kita bernapas masih akan tampak uap mengepul putih, tanda udara saat itu memang sangat dingin. Bahkan hewan lain pengisi cerahnya pagi, seperti ayam dan burung seakan enggan untuk bersuara dan meramaikan dunia.
Akan tetapi, cuaca sedingin itu tidak menyurutkan Bang Dani untuk merepet (bercakap yang bukan-bukan (hingga menjemukan); mericau—KBBI) mulutnya sehabis membaca berita dari sebuah koran lokal, entah apa yang kini tengah di risaukannya. Kecepatan mulutnya menggerutu bahkan mengalahkan kecepatan cahaya (katanya).
Kong Ma’in--tetangga Bang Dani—yang sedari usai salat Shubuh telah bertandang ke rumahnya, berharap mendapat kopi atau juga sarapan pagi, tampak ikutan sibuk memperhatikannya sedari tadi.
Dengan pelan lelaki setengah baya itu menghampiri Bang Dani yang masih duduk sambil membaca Koran yang dibukanya lebar-lebar sehingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.
“Oi, Dan, kenapa sedari dari tadi, kelihatannya elu kesal sekali?”
Bang Dani terkejut karena tiba-tiba disapa sementara dia tengah konsentrasi pada korannya. “Eh … Kong, masih di sini ternyata?”
“Lah, sedari tadi gua ikutan elu. Biasa mau numpang ngopi. Pantang pulang sebelum ngopi.” Kong Ma’in cengengesan.
“Oh, mau ngopi, Kong?” Bang Dani malah balik bertanya.
“Ah elah ni, bocah. Ya iya lah … masa cuma mau liat bibir lu yang merepet memble sedari tadi.” Giliran Kong Ma’in yang jadi kesel.
“Asyiap, Kong. Bentar, ye. Aye buatin dulu.” Gegas Bang Dani masuk dan segera masak aer sampai mateng, cakep. Eh, bukan. Maksudnya masak air untuk buat kopi untuknya dan teman ngobrolnya pagi ini.
Tak lama kemudian dia telah kembali dengan dua gelas kopi di tangan. Aroma pekat minuman berwarna hitam yang berasal dari biji kopi pilihan itu menguar memenuhi teras rumah yang ala kadarnya.Hidung jambu Kong Ma’in kembang kempis menghidu aroma yang ditimbulkan.
“Mantap,” katanya saat Bang Dani meletakkan dua gelas kopi itu di atas meja teras.
“Dan ….”
“Apelagi, Kong?” tanya Bang Dani heran.
“Kok kopinya kaya elu?”
“Maksudnya, Kong?” Mang Dani tampak tak mengerti.
“Jomlo!” Kong Ma’in terkekeh memamerkan giginya yang sudah tak utuh, habis dimakan usia. “Sendirian, gak berteman, Dan.”
Bang Dani tampak sedikit memerah mukanya mendengar becandaan Kong Ma’in. “Bisa aja, Kong. Iye, makanannye sedang habis.”
“Oh, ya sudah, gakpapa. Sudah ada ini juga bersyukur. Alhamdulillah.” Cepat Kong Ma’in menyambar gelas di atas meja, dan menyesap kopi panas itu pelan, terlihat sangat nikmat.
“Terus?” sambung Kong Ma’in,”kenapa sampai sekarang elu belum menikah?”
Bang Dani sampai tersedak mendengar pertanyaan tiba-tba dari Kong Ma’in.
“Pan enak, tuh. Kalo dah nikah. Mo ngopi ada yang bikini, mau bobo ada yang ngelonin.” Kong Ma’in menambah kata-kata mutiaranya.
“Ah elah, Kong. Di kira nikah mudah apa. Tinggal cap cip cus langsung bungkus?” Kedua sahabat beda usia itu sama terkekeh.
“Nah, lanjut masuk ke topik. Takutnye ngelantur kemane-mane kite dibuat oleh author somplak yang tengah mengetik jalan hidup kite ni. Apa yang membuat engkau risau sepagi ini? burung di twitter aja kalah sama elu bawelnye?”
“Wah, tau pula Kong soal twitter?” Bang Dani menatap pada lelaki tua yang duduk di sampingnya saat ini.
“Oh, jelas.Kong Ma’in,” kata Kong Ma’in, sambil menepuk dadanya. “Umur boleh tua, jiwa tetap gaul.”
Bang Dani tidak menanggapi celoteh dari Kong Ma’in, dia malah sibuk mengawali cerita. “Aye itu … tengah ngerenung sebenarnye, Kong.” Bang Dani membuka percakapan.
“Merenung? Bukannya dari tadi elu ni merepet?” Bingung Kong Ma’in menanggapi Bang Dani.
Yang ditanya malah cengengesan. “Tadi merepet, Kong. Sekarang tinggal bingungnya. Susah hidup sekarang jadi lelaki.”
“Emang ape susahnye?” Kong Ma’in penasaran, meletakkan kopi di atas meja dan menyorongkan badan lebih maju ke hadapan.
“Susah nahan nafsu, Kong. Gara-gara cewek zaman sekarang ini, kalau berpakaian seenaknya sendiri.Apalagi artis atau pun public figure yang seharusnya menjadi contoh dan model-model di zaman sekarang, bukannya mengajarkan sesuatu yang bagus malah tambah perang umbar kemaksiatan, semakin menyesatkan saja….”
“Ooooo, terus?” tanya Kong Ma’in sambil manggut-manggut, entah mengerti apa mengantuk.
“Iya, kita sebagai lelaki ini, apalagi kami yang masih muda dan belum menikah ini jadinya susah untuk menjaga ataupun menahan pandangan.”
“Kenapa?” Kong Ma’in bertanya sambil mengupil.
“Iya, susah menahan pandangan, serba salah, Kong. Mau lihat bawah, di kira cari uang receh jatuh, dan juga masih bisa lihat paha. Agak sedikit naik, lihat puser. Pilih lihat tengah, dapat belahan dada. Eh, pas lihat atas, bisa-bisa nabrak tiang listrik. Mana tiang listrik sekarang ini bisa jadi kambing hitam pula, diseruduk, bahkan yang terbaru bisa di ajak curhat oleh author cerbung sebelah, idola saya, Mbak Bintang Pelangi.”
Kembali Kong Ma’in hanya bisa manggut-manggut pasrah, seperti mainan hewan yang ada di dashboard mobil.
“Ehmm… jadi itu yang buat engkau risau.Gegana, gelisah gundah gulanaJika begitu, memang susyah, tu. Untung, author kasih aye peran jadi aki-aki.”
“Satu lagi, Kong. Yang tambah buat pikiran galau. Hal seperti itu, tu. Gak dilihat bagaimana, dilihat kok rasanya asyik juga. Itulah salah satu perangkap setan.”
Kong Ma’in melongo, sama sekali belum menangkap arti dan maksud kata-kata Bang Dani..
“Astaghfirullah ….” Bang Dani dan Kong Ma’in sama-sama mengucap istighfar saat seorang gadis berjalan melintasi mereka dengan busana yang sangat ‘sederhana’ terkesan minim dan seksi. Memakai pakaian yang terlihat kurang bahan, atau bisa jadi pakaian adiknya yang dipakai. Sehingga mampu memperlihatkan semuanya.
Nonjol gitu lho, maksudnya.Press of body.
Bang Dani memalingkan wajah jengah, semantara Kong Ma’in tetap pada posisinya, tak berkedip.
“Ehm!” Bang Dani berdehem kencang.
“Nanti, Dan Engkong lagi sibuk meeting ini,” seru Kong Ma’in sambil melambaikan tangan pada Bang Dani tanda tak mau di ganggu.
“Kong,yang begini ini yang barusan kita bahas.”
Dua sahabat itu kembali mengucap istighfar pelan saat kembali wanita berpakaian ala kadarnya lewat melintasi depan teras rumah Bang Dani.
“Hah, yang bagaimana?” Kong Ma’in berbalik dan kini kembali menghadap ke arah Bang Dani. Namun, ekor matanya masih tetap fokus memperhatikan gerakan wanita di seberang sana.
“Iya, cewek yang pakaiannye kayak gitu tadi, yang barusan kita bahas. Tadi, ho-oh, setuju. Sekarang kok, malah menikmati?”
“Alhamdulillah, Dan … rezeki lewat, mubazir jika gak diliat” Kong Ma’in tetap melotot sambil mengelap sisa air liur di sudut bibir.
Sekarang ganti Bang Dani yang melongo.
“Masya Allah ….” []
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga ********. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!