NovelToon NovelToon

Mawar Tak Di Cinta

Mawar dan Erik

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

"Rik, ayo kita pacaran saja." Ucapku dengan wajah frustasi dan tak lama sesudah itu ku telusupkan wajahku ke meja dari besi di tengah hiruk pikuk caffe yang sedang rame ramenya di malam minggu ini.

"Ha..ha.ha." Erik tertawa terbahak bahak mendengar ucapan ku. "Segitu tidak lakunya, Loe. Ck ck ck, kasihan bener." Lanjut Erik.

"Muka Loe yang pas pasan saja enggak mau sama Gua, apa lagi Bang Daffa mahluk paling sexy dan sempurna dalam hati Gua." Jawabku masih mempertahankan posisi ku.

"Semua juga bakal mikir, War. Kalau mau macarin Loe. Pasti yang lihat orang jalan sama Loe, di kira selang ketemu selang." Erik kembali tertawa lepas setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Sialan Loe. Kalau Gua bener laki, Gua jamin Loe bakal jadi jomblo ngenes di deket Gua." Jawab ku dengan sudah melemparnya dangan kentang goreng yang berada di depanku.

"Loe lihat semua cewek yang berada di dalam disini." Ucap Erik pelan. Akupun mengikuti arah pandang Erik yang sedang menyisir ke setiap sudut dari ruangan Caffe ini. "Nyadar enggak Loe.?" Lanjut Erik setelah kembali matanya bertemu pandang dengan ku.

Aku menggeleng pelan acuh tak acuh, dan memang aku tidak tau apa yang menjadi alasan Erik menyuruhku memperhatikan orang orang di sekitar kami. "Busyet dah, Warning War." Kata Erik lagi dengan menoyor kepalaku pelan. "Lihat cewek yang duduk di samping jendela itu." Lanjut Erik dengan menunjuk menggunakan dagunya ke arah gadis cantik yang tengah duduk dengan seorang pemuda di dekat jendela.

"Kenapa.?" Tanyaku masa bodoh, dan aku lagi lagi tidak tau apa maksud dari Erik.

"Ya Tuhan, beri kesabaran kepadaku, dan semoga saja umurku akan panjang karena terus berteman dengan gadis bodoh seperti dia." Ucap Erik tanpa memerdulikan delikan mataku kepadanya. "Loe, lihat gadis itu baik baik. Loe pikir apa yang beda sama penampilan Loe.?"

Aku mengikuti kata Erik dan untuk seperkian menit memeperhatikan gadis yang tengah menggunakan kaos ketat warna pink soft di padu dengan hot pan warna hitam. "Pahanya kemana mana." Ujar ku pelan, lantas meraih gelas yang berisi Jus Avocado kesukaanku.

"Satu benar. Loe perhatiin tatanan rambutnya enggak.?" Kata Erik lagi, kembali aku menoleh ke arah gadis itu, hingga gadis itu tersadar aku dan Erik sedang memperhatikannya. Sehingga membuatku melempar senyum kikuk ke arah gadis itu, dan di balas senyum centil oleh gadis itu.

"Uhuk, uhuk, uhuk." Aku tersedak oleh jus yang belum sepenuhnya aku telan, karena senyum centil yang di tujukan kepadaku hingga membuat Erik kembali tertawa ngakak melihat expresi ku.

"Seperti itu harusnya cewek, bukan kayak Loe. Cewek itu harusnya lembut, rambutnya panjang, duduknya juga enggak kayak preman pasar kayak Loe sekarang." Ucap Erik dan seketika membuatku menurunkan kaki ku yang sedari tadi aku angkat sebelah ke atas kursi. "Kalau penampilan Loe terus kayak gini, Gua jamin yang naksir Loe bukan Cowok, melainkan cewek cewek cantik juga centil kayak mereka mereka itu." Lanjut Erik.

Aku menghela nafas dalam dalam sembari memegang Hoodie yang melekat di tubuhku kemudian menjelajahkan pandanganku ke arah Jean's selutut yang aku kenakan, juga tanganku meraba rambut cepak ku yang aku tata persis seperti artis artis papan atas. Dan andai saja aku sedikit brewokan sudah barang tentu semua mengira aku adalah Laki-Laki. Kayak gini saja sudah sering di panggil Mas.

Aku memiliki nama yang cukup feminin, Mawar Ayudia Gayatri, dan andai kedua orang tuaku masih hidup pasti mereka akan menyesal memberikan nama itu untuk ku. Saat ini usiaku baru menginjak 17 tahun dan ini kali pertama aku merasakan jatuh cinta. Yang lebih parahnya lagi jatuh cinta pada pandangan pertama dengan teman se kostan ku yang usianya jauh di atas ku dan itu terjadi sejak setahun lalu, pada awal aku datang ke tempat ini.

Daffa Renda Bakti, seorang Mahasiswa S2 tingkat ahir yang telah berhasil membuat jantungku bersalto ria hanya dengan mendengar suaranya saja. Bang Daffa begitulah aku memanggilnya, aku tidak terlalu akrab dengannya, karena Bang Daffa memang sosok orang yang dingin, cuek dan tentu saja tampan.

Dan semakin terlihat menawan saat rambut gondrong berombak sebahunya di biarkan terurai. Pehh, pemandangan seperti itu bukan hanya aku seorang saja yang di buatnya termehek mehek tidak karuan, bahkan seisi penghuni kost juga akan terpana di buatnya.

"Mikir apaan Loe." Tangan besar Erik meraup wajahku dan membuatku tersadar sepenuhnya atas pikiran mengenai Bang Daffa.

Dan dia yang sekarang sedang berada di depanku adalah Erik Nugraha, teman baik ku semenjak aku di adopsi oleh keluarga Pak Agung. Erik tiga tahun lebih tua dari ku, namun aku sama sekali tidak pernah merasa sungkan terhadapnya karena sedari 9 tahun yang lalu aku sudah terbiasa dengan Erik.

Bisa juga di bilang, aku tumbuh besar bareng bersama Erik. Erik adalah teman sekelas Kak Melati, yang merupakan anak Bungsu Pak Agung. Namun justru Erik lebih dekat dengan ku daripada dengan Kak Melati.

"Woy sadar, kesambet setan Loe." Kembali tangan besar Erik meraup wajahku, lantaran aku yang masih tidak menjawab tanyanya.

"Apaan sih, Loe. Rese' bener." Ujar ku sembari memindahkan tangan besar Erik dari hadapanku.

"Udah tau sekarang kenapa cowok cowok enggak pada mau deket sama Loe." Ujar Erik lagi.

"Kalau suka kenapa mesti milih milih. Bukannya cinta itu suka suka dia." Ucap ku.

"Bener suka suka dia saja.Tapi, menurut survey seratus dari Laki Laki hanya 5 yang menyukai gadis Tomboy sepertimu." Jawab Erik santuy. "Dan aku rasa Bang Daffa mu itu enggak dalam salah satunya."

"Maksud Loe,.!" Ucapku dengan nada penegasan.

"Ya selera Bang Daffa bukan cewek kayak Loe." Jelas Erik dan membuat bahuku merosot kembali.

"Aku menyukai penampilanku seperti ini, dan aku rasa tidak merugikan orang lain."

"Kita tidak sedang membahas untung dan rugi, War. Kita sedang membahas perasaan Loe ke Bang Daffa. Dan usaha apa yang harus Loe lakukan untuk mendapatkannya. Mengingat ini sudah setahun Loe diem diem suka sama dia." Aku terus manggut manggut seolah olah faham dengan apa yang di sampaikan Erik.

"Cabut yuk, udah malam." Lanjut Erik sembari berdiri. Akupun ikut berdiri dan menutup kepalaku dengan tutup Hoodie ku lantas melenggang di samping Erik.

Seperti yang sudah sudah, aku dan Erik selalunya akan kembali ke Kostan tepat pukul sepuluh, dan sudah menjadi kebiasaan kami juga yang tidur suka suka. Jika bukan aku yang tidur di kamar Erik, maka Erik lah yang tidur di kamarku. Dan seisi kostan tau semua, bahwa aku dan Erik sohib paling kentel bahkan lebih kentel dari tepung tapioka yang di sedu dengan air panas, juga ada yang beranggapan bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Setahun seatap dengan seseoarang yang aku sukai, benar benar membuatku hanya bisa salah tingkah setiap kali melihatnya, ataupun berpapasan dengannya. Dan rasanya aku ingin langsung jungkir balik atau kayang sambil Push Up saat Bang Daffa menyapaku, ralat bukan menyapaku saja, tapi menyapa aku dan Erik, sambil melempar senyum coolnya.

Seperti yang terjadi malam ini. Ahh, cara dia menyapaku dan Erik membuat mataku enggan meninggalkan wajah tampannya. Andai Erik tidak segera menarik ku untuk naik ke Kamar ku yang berada di lantai dua. Jelas aku akan pura pura ikut nongkrong bersama Bang Daffa dan teman teman yang lainnya, sembari menikmati suara merdu Bang Daffa yang di iringu petikan gitar.

"Apa apaan sih, Loe. Gua kan mau mulai pendekatan sama Bang Daffa." Ucapku begitu Erik berhenti mendorong bahuku.

"Buka pintunya."

"Pintu enggak di kunci, buka saja sendiri." Jawabku ketus.

Kembali Erik mendorong bahu ku memasuki kamar kemudian menutup pintu di belakang kami, lantas menguncinya. "Loe bener bener suka sama Bang Daffa.?" Tanya Erik dengan serius.

"Memang ada suka main main." Jawabku masih dengan muka jutek.

"Kalau Gua bilang, Loe harus merubah penampilan Loe, apa Loe akan setuju.?" Kata Erik lagi, kali ini dengan menghempaskan tubuhnya di kasur busa ku.

Aku tidak langsung menjawab. "Cinta tidak memerlukan perubahan, cinta itu murni." Kataku sok sokan puitis.

Erik langsung bangun dari kasur dan berjalan dengan cepat ke arahku dan sejurus kemudian sudah memiting leherku. Baku hantam ala kamipun tidak bisa di hindari hingga kami benar benar merasa capek dengan adu jotos main main yang kami lakukan.

"Tidak ada jalan lain, jika Loe ingin Bang Daffa melirik Loe. Loe harus melakukan sedikit perubahan. Dan satu lagi, kata kata yang Loe gunakan untuk Loe salah. Bukan cinta tidak membutuhkan perubahan. Cinta itu perlu perjuangan dan pengorbanan." Kata Erik dengan sudah berjalan ke arah pintu.

"Mau kemana Loe.?" Tanya ku begitu Erik sudah menarik knop pintu.

"Gua mau tidur di kamar Gua, besok Gua ada janji sama temen mau ke Gereja bareng ." Jawab Erik dengan cuek.

"Halah, kayak Loe bisa bangun pagi tanpa Gua bangunin aja." Jawab ku lantas ikut berjalan mengintili Erik.

"Ngapain Loe ngikutin Gua." Kata Erik begitu aku ikut keluar dari kamar.

"Ya, Gua mau tidur di kamar Loe lah."

"Enggak ada hari ini kita pisah."

"Loe mutusin Gua." Drama yang ku buat, lantas seketika berhenti begitu saja saat ku lihat Bang Daffa yang sedang berjalan mendekat ke arah kamarnya yang letaknya bersebrangan dengan kamar ku.

"Inginnya Gua terlepas dari dosa kayak Loe, makanya besok Gua mau ke Gereja, mensucikan pikiran Gua." Jawab Erik dan kubiarkan langkah Erik semakin menjauh meninggalkan kamarku, sementara aku masih terpaku di tempatku hingga Bang Daffa sampai di depan kamarnya.

"Lagi berantem sama, Erik.?" Tanya Bang Daffa dan dengan cepat langsung ku jawab dengan menggelengkan kepalaku dengan kuat.

"Bang Daffa mau tidur.?" Tanyaku bodoh ketika tangan Bang Daffa sudah meraih gagang pintu.

"Iya sudah ngantuk, besok ada acara pagi pagi. Selamat malam, Mawar." Ucap Bang Daffa, lantas segera masuk ke dalam kamarnya begitu aku menjawab ucapan pamitnya.

Aku terus berguling guling di kasur ku, sembari membayangkan wajah Bang Daffa saat melempar senyum ke arahku. Dan dengan cepat sudah hanyut dalam mimpi indah merajut rasa bersama Bang Daffa.

Bersambung...

####

☺️: Ini ceritanya kok beda Mak.?

😀: Hu'uh biar beda, Emak mau keluar dari zona nyaman. Biar di kata Propesional.

☺️: Jangan mangkrak kayak Bu Fafa lho Mak.

😀: Kalau itu enggak bisa janji, yang penting saat ini di nikmati saja...

Ya sudah segitu saja basa basinya. Selamat menikmati ceritanya, jangan lupa sambil tekan Like, boleh juga Coment dan apa lagi Votenya. Di tunggu.

Love Love Love...

💖💖💖💖💖💖

By: Ariz kopi

@maydina862

Rencana.

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Aku terus saja mondar mandir di depan kamar Erik, dan tidak sabar menunggu kedatangan Erik yang telah pergi sedari pagi ke Gereja. Entah apa yang merasuki anak itu, hingga mendadak berubah sadar dengan Tuhannya, karena setahuku sedari aku mengenalnya beberapa tahun silam, Erik sosok yang tidak terlalu fanatik terhadap Agama yang di anutnya, walaupun di dalam keluarga besar Erik rata rata adalah Pendeta.

Aku seketika terkesiap saat aku berbalik dan menabrak tubuh tegap Bang Daffa yang juga sedang tidak fokus pada jalannya, karena fokus Bang Daffa sedang tertuju pada kemera yang berada di tangannya.

Bang Daffa, memang penggila fotografi meski itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dalam jurusan kuliah yang di ambil oleh Bang Daffa. Ilmu Hukum, jurusan itulah yang di ambil oleh Bang Daffa, dan menurutnya fotografi hanya kegemarannya saja. Jangan tanya aku tau darimana soal itu, jelas saja itu aku tahu tidak langsung dari Bang Daffa. Anggap saja aku adalah netizent kepo para Oppa Oppa korea.

Bang Daffa memang menggilai fotografi, tapi ada yang jauh lebih gila lagi, yakni aku. Karena jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah mau memandang wanita lebih. Dan selama setahun tinggal seatap bersama Bang Daffa, aku juga tidak pernah melihat Bang Daffa membawa cewek ke kostan, ataupun membahas cewek dengan teman temannya.

Bang Daffa, sosok sempurna bagiku, meski dia cuek bebek dan juga cool. Dan mungkin karena itulah aku penasaran kepadanya hingga sangat menggebu gebu ingin mengenalnya lebih. Bang Daffa memang terlihat baik terhadap kami semua kaum wanita yang terpesona dengan gayanya yang dingin dengan tatapan mata tajam menghanyutkan, seperti sebuah samudra yang tidak pernah tau sedalam apa dasarnya, dan ada rahasia apa di dalamnya. Tapi, Bang Daffa juga bukan orang yang terbuka terhadap kami, bahkan cendrung tertutup.

"Hati hati." Ucap Bang Daffa pelan sembari menegakkan tubuhku yang hampir saja limbung di dada bidangnya yang sandaran-able.

Senyum keki aku tujukan ke arah Bang Daffa, mencoba menyembunyikan dadaku yang tengah menabuh genderang di dalam sana. Dan ahhh, mata ini benar benar membuatku terhanyut juga meleleh sepeti keju Mozarella yang di panaskan.

"War." Kata Bang Daffa lagi dengan memetik jarinya di depan wajahku yang aku rasa sedang merona, karena aku rasakan panas di wajahku hingga ke telingaku.

"Iya, Bang Gan, ehh, Bang Daffa." Jawabku dengan gagap dan hampir saja aku keceplosan memanggilnya dengan panggilan rahasiaku. Abang Gantengku.

"Ngelamun jangan di depan pintu." Ucap Bang Daffa lagi, dan baru kali inilah Bang Daffa berbicara cukup panjang kepadaku.

Aku nyengir kuda, dan menutupi kegugupan ku dengan menyentuh ujung rambut cepak ku dengan tidak beraturan. Lantas tanpa berkata apa apa lagi Bang Daffa berlalu dari hadapanku dan menyisakan aroma farfum khasnya yang memenuhi indra penciumanku yang membuat hatiku langsung jingkrak jingkrak kegirangan.

Dan dengan masih di liputi hati yang gembira, akupun berjalan ke kamarku dengan ponsel butut yang sesekali aku sentuh keypatnya untuk mengirim pesan kepada seseorang, guna berbagi hal bahagia yang sedang aku rasakan.

Sejam sudah berlalu, dan aku masih asik dengan beberapa angka angka untuk menghitung mesin. Aku memang perempuan, tapi tidak ada undang undang yang mengatur perempuan tidak boleh memiliki cita cita untuk jadi Montir, ataupun bercita cita memiliki bengkel. Kecuali satu orang Kak Melati.

Dari awal, Kak Melati tidak menyetujui saat aku masuk SMK dan memilih jurusan Tehnik Otomotif, katanya wanita itu harus anggun dan lemah lembut. Bukan yang seperti aku, bar bar, dan suka ikut main Sepak Bola di lapangan komplek, sehingga kulitku menghitam dan bau keringat karena seringnya berada di bawah matahari.

Aku dan Kak Melati, jika di ibaratkan seperti Langit dan Bumi, Bulan dan Matahari, Siang dan Malam, pokoknya sesuatu yang sangat berbeda. Karena Kak Melati sosok yang ramah, sopan, lembut tingkahnya juga hatinya, dan juga cerdas. Sedangkan aku, bisa di bayangkan sendiri bagaimana tingkahku dengan dandanan ku yang seperti laki laki.

Aku mendengar pintu kamarku terbuka, namun aku masih asik dengan Al-Qur'an di tanganku, dan mungkin inilah salah satu nilai plus ku. Karena seperti apapun tingkah dan pakaianku, tidak pernah sekalipun aku meninggalkan shalatku dan berusaha sangat keras untuk tetap bisa istiqomah membaca Al-Qur'an setiap habis shalat, meski itu hanya satu ayat saja.

Aku dapat menebak siapa yang masuk ke kamarku, siapa lagi kalau bukan si Kucrit Erik. Karena hanya Erik seorang yang berani masuk ke kamarku tanpa mengetuknya lebih dulu. Setelah beberapa saat aku menyudahi bacaan ku yang masih banyak belopotan itu, dan melihat wajah berbinar Erik setiap kali habis mendengarkan ku mengaji.

"Di Gereja tidur apa ngapain Loe. Jam segini baru pulang." Kataku tanpa menolehnya.

Aku berjalan pelan, menyimpan mukena juga Al-Qur'anku dan kemudian sudah berlari menuju ke ranjang dan ikut berbaring menatap flafon. Tanganku tidak hanya diam saja, karena perang tangan, kaki, juga mulut kami berdua sudah langsung aktif begitu kami berdua bertemu.

"Suka, suka Gua, mau tidur di Gereja, mau jajan di Geraja, atau mau ngapain aja disana. Bukan urusan Loe." Tangan Erik sudah berhenti di kepalaku dan berhasil menjitaknya pelan.

"Loe yah, beraninya. Gua tau alasan kenapa Gua bodoh, karena keseringan Loe jitak." Jawabku sembari duduk menyilakan kakiku lantas merapikan rambut cepak ku.

"Emang, dasarnya bodoh, dungu, bego." Jawab Erik masa bodoh, dan itu sudah biasa aku dengar. Bagiku ucapan Erik itu sudah seperti kicauan burung yang indah di telingaku. Karena sangking dekatnya kita berdua, makanya setiap ucapan kami berdua selalu seperti candaan bagi kami, dan tidak menjadikan kami marah antara satu sama lain.

"Serah, bego bego gini. Loe butuh Gua buat benerin motor sport Loe. Dan yang lebih bego lagi Loe, karena mau punya teman kayak Gua." Jawab ku sembari meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas.

"Bener juga kata Loe. Kayaknya Gua mesti ke Geraja lagi besok minggu biar dapat do'a banyak dan terbebas dari dosa macam Loe."

"Sialan, Loe. Demi tuhan Gua, sumpah Loe bakal nangis nangis saat Gua pergi tanpa pamitan sama Loe." Ucap ku spontan.

"Enggak bakal, malah Gua bakal bersyukur karena enggak akan ada yang nebeng di motor Gua. Di kira gua gay kemana mana sama Loe."

"Terserah Loe, suka suka Loe. Asal Loe demen." Ucapku acuh.

"Heran, HP butut aja masih Loe rawat. Kalau Gua mah udah buat tatakan pintu." Dengan cepat HP bututku sudah berada di genggaman Erik. "Miskin bener dah, padahal tinggal bilang aja sama Pak Agung, juga bakal di beliin yang terbaru." Lanjut Erik.

Ku layangkan tatapan mengejek kepada Erik, dan Erik cukup tau soal itu, bagaimana aku yang berusaha sangat keras agar tidak begitu banyak meminta kepada keluarga Pak Agung. Kerja paruh waktu di bengkel, dan sesekali masih ngurir jika memungkinkan. Bahkan mengasuh anak Balita juga pernah aku lakoni, dan itu semau demi agar aku tidak meminta terlalu banyak kepada keluarga Pak Agung.

Dengan mereka membawaku bersama mereka sembilan tahun lalu, memberiku tempat tinggal yang layak, memberiku kesempatan untuk belajar, dan yang terlebih lagi memberiku cinta. Bagiku itu sudah lebih dari cukup, maka sisanya aku bisa mencarinya sendiri, meski harus berkorban waktu.

"Sudah, jangan tatap Gua seperti itu. Gua takut hatimu akan berpaling kepadaku, bukan lagi sama Bang Daffa loe itu." Ucap Erik sambil meraup wajahku. "Gua takut Loe bakal patah hati, karena banyak wanita yang ngejar ngejar cinta Gua."

"Pefff.." Tawaku ingin meledak mendengar ucapan Erik, dan dengan cepat sudah menutup mulutku agar tawaku tidak benar benar pecah. Karena kau tau apa yang di katakan oleh Erik, adalah fitnah belaka. Selama kurun waktu yang begitu lama dengan Erik, tidak sekalipun aku tau ada Cewek yang naksir Erik, ataupun Erik pernah naksir sama Cewek.

"Puas puasin aja ketawa, Gua sumpahin bisulan."

"Sadis bener, Pak, kutukannya." Jawab ku dengan masih menahan tawa. "Ehh, tapi ngomong ngomong, soal Bang Daffa. Gua ada cara..?" Lanjut ku dengan wajah serius.

"Apa." Jawab Erik masih sedikit Acuh.

"Gini cara Gua." Kataku sambil menarik kepala Erik agar sedikit mendekat hendak membisikinya.

"Apaan sih Loe, risih tau." Kata Erik menjauhkan kepalanya dari ku.

"Gua mau bisikin Loe." Jawabku.

"Woy. Bego loe makin maksimal kayaknya. Ini kamar Loe. Enggak ada orang kenapa mesti bisik bisik.."

"Dinding punya telinga, Bro." Jawab ku.

"Drama Loe. Kayak mau ngelakuin misi rahasia saja." Toyoran ringan mendarat di kepalaku.

"Lha ini memang misi rahasia. Sini Gua bisikin."

"Enggak, kalau mau ngomong ngomong saja. Gua enggak mau Loe curi curi kesempatan nyium Gua."

Ku gelengkan kepalaku heran dengan tingkah konyol Erik hari ini, padahal biasanya kami tidak ada sekat sama sekali. "Dihh, GeEr bener." Ucapku lantas bergerak turun dari tempat tidurku dan bergerak di meja belajarku. Ku berikan buku tulis di tanganku kepada Erik agar di bacanya. Tampak jelas di mataku, raut heran Erik mambaca tulisan yang aku buat.

"Ngopi dari siapa nih." Tanya Erik begitu sudah selesai membaca tulisan yang aku buat.

"Sembarangan, itu hasil otak Gua." Jawab ku dan senyum meremehkan tidak percaya terbit di bibir Erik, dan dengan cepat sudah ku cemot bibir sembarangan itu dengan jari jariku, hingga membuat si empunya merah padam, entah karena apa aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku puas bisa mencemol bibir Erik hingga terlihat sedikit manyun dan memerah.

"Terus maksud loe dari tulisan ini apa.?" Tanya Erik setelah mengusap bibirnya.

"Nah, harusnya itu pertanyaan loe." Jawabku, dan sejurus kemudian sudah kembali ke kursi ku dengan membalikkannya. "Aku mau buat surat rahasia buat Bang Daffa. Surat kaleng gitulah." Lanjutku dengan mengangkat kedua alisku secara bergantian.

Erik memukul jidatnya dengan buku di tangannya. "Terus hanya dengan itu kamu puas."

"Cinta tak harus memiliki, Bro. yang terpenting gua sudah menyatakan perasaan gua ke Bang Daffa, tanpa Bang Daffa tau bahwa itu gua." Jawab ku dengan gaya seorang wanita yang tengah malu malu singa, hingga membuat Erik geleng geleng kepala.

"Loe yakin enggak bakal nyesek. Pikir lagi deh, War." Jawab Erik, dan terlihat jelas sekali jika dia keberatan dengan gelengan kepalaku yang mantap. "Terserah loe, yang penting gua udah ngasih tau sama loe. Jangan sampai Bang Daffa kalau tuh surat kaleng datengnya dari loe." Ucap Erik dengan beranjak dari tempatnya dan keluar dari kamarku dengan aura yang tidak senang.

"Herman, ada apa sih tuh anak dari kemarin kayaknya kurang tepat sajennya." Gumamku pelan, dan sejurus kemudian sudah abai dangan tingkah Erik, lantas berfokus ke arah buku tulis dengan senyum sumringah menghias bibirku, karena dalam benak ku saat ini penuh terisi oleh bayangan senyum Bang Daffa.

.

.

.

.

.

Bersambung...

###

Erik adapakah dirimu.?, dirimu sedang kwatir soal Mawar, atau kwatir tentang hatimu..🤭🤭🤭🤭

Love Love Love...

💖💖💖💖💖💖

By: Ariz kopi

@maydina862

Rasa Yang Tidak Tepat.

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Dua minggu sudah berlalu, dan selama itu pula Erik masih saja mengabaikanku. Duniaku benar benar sepi tanpa dirinya, tapi tidak benar benar sepi juga. Itu terjadi karena hadirnya ponakan dari Ibu Kost. Rendi Deswa Pradana.

Anak bau kencur yang setiap hari terus saja mengintili ku, dan mengira bahwa aku seumuran dengannya. Itu wajar saja, karena di usianya yang baru mau 14 tahun, tingginya sudah melebihiku, selain itu juga Rendi terlihat manly dengan kulit sawo matangnya dan otot yang sudah berisi. Posturnya lebih persis seperti anak SMA, daripada anak SMP. Satu lagi, kejahilannya juga sikapnya yang humble membuatnya cepat sekali beradaptasi dengan kami semua, terutama dengan ku.

Sudah seminggu ini pula, aku tidak melihat Bang Daffa, padahal surat surat yang aku ketik dengan meminjam komputer sekolahan sudah aku masukan lewat kolong pintu kamarnya, dan semua itu aku lakukan gara gara Erik yang tidak mau membantuku menulisnya. Dan sekarang malah marah kepadaku, cuma soal aku yang menulis surat kaleng kepada Bang Daffa.

"Lagi mikirin gua yah." Tetiba Rendi sudah duduk di sampingku, dengan es krim di tangannya. "Nih, biar adem." Di sodorkannya secup es krim rasa coklat kepadaku.

"Males gua." Jawabku sembari menepis cup es krim di depanku.

"Ini enak." Ucap Rendi dengan sudah menyuapkan es krim ke mulutku yang tengah sedikit terbuka karena bengong.

"Apa apaan sih loe." Ucapku dengan mengusap bibirku yang belepotan karena ulah Rendi.

"Enak kan." Ucap Rendi seenaknya saja sembari menyuapkan sendok bekas ku ke mulutnya.

"Jorok." Desisku, dan sudah melupakan keberadan Rendi, karena aku yang tengah sibuk memikirkan nasib surat cintaku yang telah menumpuk di balik pintu yang tertutup rapat seminggu ini. Ini sebenarnya karena sangking tertutupnya Bang Daffa atau karena akunya saja yang kurang tau perkembangan pergosipan di kostan, sehingga aku tidak tau kemana perginya Abang Ganteng ku kali ini.

"Jika boleh ku umpamakan, dirimu bagaikan Kijang emas, yang sedang berlarian di semak belukar yang behgitu sulitnya aku taklukan." Karena sangking asiknya melamun, tanpa sadar buku berisi pernyataan cinta yang ku buat untuk Bang Daffa sudah berada di tangan Rendi, dan Rendi sengaja membacanya dengan keras.

"Dasar bocah, siniin bukunya." Kataku dengan cepat hendak merebut buku di tangan Rendi, karena aku tidak ingin seorangpun tau jika aku cukup mellow soal urusan hati. Namun, dasar bocah jahil, Rendi malah langsung berdiri dan mengacungkan tinggi tinggi tangannya hingga aku kesulitan untuk menjangkaunya.

"Ternyata Mawar romantis juga yah, lain sama penampilannya." Kata Rendi sambil tertawa ngakak.

"Sumpah bakal tak cincang jempol kaki loe bocah." Teriak ku sambil mengejar Rendi yang langsung berlari begitu menyelesaikan ucapannya. "Jangan sampai loe kena yah." Cecarku masih dengan mengejar Rendi yang larinya cukup kencang.

"Coba saja kalau bisa." Timpal Rendi. Dan kejar kejaran ini terus saja terjadi hingga aku di buat ngos ngosan tentunya. Jelas saja Rendi larinya kencang, secara Rendi adalah Kapten tim Sepak Bola di sekolahannya, selain itu juga kaki Rendi cukup panjang di banding dengan kakiku.

"Segitu doang." Ejek Rendi, begitu melihatku yang berhenti dengan memegangi lututku. "Aku tidak tahu apa apa lagi, hanya yang aku tahu aku mencintaimu, sangat mencintaimu." Lagi lagi, kata yang keluar dari bibir tebal Rendi membuatku geram setengah mati, dan tanpa aba aba aku langsung menggeram kesal lantas dengan gerakan cepat sudah menyerang rendi yang tengah berfokus dengan buku di tangannya.

Rendi jatuh terjengkang dengan aku berada di atas tubuhnya, sementara buku yang tadi di pegangnya meluncur jatuh tidak jauh dari tubuh kami berdua, tepat di bawah sepasang kaki beralaskan sepatu olah raga. Berlahan ku angkat kepalaku untuk memandang pemilik kaki tersebut. Dan deg, deg, deg, tabuhan genderang di dadaku segera membahana begitu mataku tertarik pada netra tajam milik Bang Daffa.

Degupan indah di hatiku berubah menjadi kepanikan, tatkala Bang Daffa mulai berjongkok dan tangannya terulur untuk meraih buku yang berada tepat di samping kakinya. Tanpa perduli dengan Rendi yang berada di bawahku, aku bergegas merangkak meraih buku rahasiaku, dan aku berhasil meraihnya tepat tangan Bang Daffa menyentuhnya.

"Terima kasih, Bang." Kataku dengan mengangkat kepalaku dan ahh, pemandangan apa ini ya Allah. Wajah bersih Bang Daffa yang berhias senyum berada tepat di atas wajahku. Please ya Allah, buatlah ini seperti kisah di Film romantis. Tapi, sayangnya setan keburu datang di tengah tengah kami, yakni Rendi yang tiba tiba sudah meraih tanganku untuk berdiri.

Bang Daffa hanya menggelng pelan menyaksikan tingkah konyol ku, lantas berlalu pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata kepadaku. Dan mata nakalku justru tidak bisa membiarkan sosok gondrong sangar juga manis yang berlalu pergi meninggalkan kami berdua.

"Air liur netes tuh." Ucap randi sambil meremas daguku, pura pura meraih sesuatu di sana. "Gila, segenggam liur loe." Lanjutnya, tak ku pedulikan ucapannya dan justru aku langsung berbalik arah meninggalkan Rendi yang terbengong melihat sikapku yang berubah drastis karena kehadiran Bang Daffa.

Aku tidak menghiraukan teriakan Rendi, yang terus memanggilku dan terus saja melangkah menyusul langkah lebar Bang Daffa, yang aku yakin saat ini sudah sampai di kamarnya. Dan benar saja saat aku sampai di ujung tangga, dapat ku lihat dengan jelas raut bingung Bang Daffa melihat beberapa lembar amplop warna warni yang sudah berada di tangannya.

Aku pura pura tidak tau menahu dan berlagak cuek hendak masuk di kamar ku. Namun, langkahku terhenti segera, saat ku dengar tawa Bang Daffa yang menggelegar. Ku tatap lurus Bang Daffa yang tengah membaca satu persatu ungkapan hatiku dengan tawa yang tidak pernah putus dari bibirnya.

Apa yang lucu dengan tulisan itu. Pikirku. Sembari mengangkat kedua bahuku akupun terus asik bertanya tanya di dalam hati dengan raksi Bang Daffa, dan itu jauh dari prediksi Erik. Kata Erik Bang Daffa, mungkin akan marah mengingat Bang Daffa bukan orang yang sering bercanda. Tapi jika di lihat, sepertinya Bang Daffa cukup bahagia dengan kehadiran surat suratku.

"War sini." Panggil Bang Daffa membuyarkan spekulasiku seorang diri.

Akupun berjalan ke arah kamar Bang Daffa, yang memang bersebrangan dengan kamar ku. "Iya Bang."

"Ini buat kamu." Ucap Bang Daffa masih dengan senyum di bibirnya, dan sumpah ini keren banget.

"Ehh, kok buat Mawar." Kataku dengan tergagap, tergagap antara gugub begitu dekat dengan Bang Daffa hingga aku bisa mencium aroma khas seorang laki laki yang baru saja dari panasan, juga karena takut ketahuan jika sesungguhnya surat surat yang berada di tanganku ini datangnya dariku.

"Baca saja, ini menggelikan sekali. Dan ini hanya pekerjaan seorang pecundang yang ingin mengerjai saja." Ucap Bang Daffa.

Aku menautkan kedua alisku tidak faham dengan maksud Bang Daffa mengerjai saja. Padahal waktu buat tulisan di kertas ini, aku memeras seluruh otak ku agar dapat mencurahkan perasaan mendalamku pada tulisan yang ku buat.

Bang Daffa meraih satu amplop yang di penuhi gambar Bunga Mawar merah lantas membukanya dengan cepat. "Aku tidak butuh dunia ini, cukup kamu yang menjadi dunia ku. Bukan kah kalimat ini bodoh sekali." Lanjut Bang Daffa. Dan seketika tatapanku tertuju pada Bang Daffa yang tengah tertawa lebar.

"Kamu simpan saja semua kertas tidak masuk akal ini, dan jangan pernah percaya dengan rayuan bodoh seperti ini, jika suatu saat kamu bertemu dengan orang yang suka tebar omongan gombal busuk." Ucap Bang Daffa.

Aku masih tidak bisa berkata kata, dan pandanganku terus tertuju pada kertas kertas yang berada di tanganku. Dan terus saja setiap kata yang di ucapkan oleh Bang Daffa seperti sebuah belati yang mengores hatiku secara pelan pelan.

"Memang Bang Daffa tidak percaya sama seseorang yang mencintai dengan seluruh segenap hatinya." Ucapku lirih tanpa berani melihat ke arah Bang Daffa.

"Percaya saja, tapi ini terlalu drama, War."

"Memang Bang Daffa punya rasa seperti itu.?" Tanyaku lagi lebih berani, dan kali ini pandangan Bang Daffa jatuh kepadaku dengan intens, hingga membuat jantungku bertalu talu serasa ingin loncat keluar dari tempatnya.

Bang Daffa membenarkan rambutnya yang maju ke depan dengan satu tangannya, sementara tangan yang satunya di selipkan di saku celananya. "Rasa cinta itu tidak perlu dengan kata kata bodoh seperti itu, bagi laki laki perlakuan itu jauh lebih baik. Apa lagi laki laki seusiaku." Kata Bang Daffa dengan serius.

"Kamu mana tau soal kayak gini, belum pantas susiamu untuk ke tahap soal hati. Belajar saja yang rajin." Ucap Bang Daffa lagi kali ini dengan menaruh satu tangannya di atas kepalaku. Ini persis seperti yang di lakukan Bang Nusa terhadapku.

Senyum Bang Daffa tampak terukir tulus saat menasehatiku, dan seketika membangkitkan semangatku untuk lebih semangat lagi untuk belajar dan mengejar cita citaku, guna membuktikan bahwa aku juga bisa meski aku berbeda.

"Jangan terlalu banyak pacaran. Itu tadi pac." Ucap Bang Daffa lagi, namun segera aku potong.

"Pacaran enggaklah Bang, aku belum pernah pacaran." Bang Daffa memandangku dengan kedua alis yang menaut, bertanda tidak percaya dengan ucapanku.

"Erik, bukannya baru kemarin baru putus dari Erik. Dan itu tadi yang di depan.."

"Kiakkk. Erik.? Mana ada sama Erik pacaran." Bang Daffa makin menatapku tidak percaya sembari menggelengkan kepalanya.

"Jangan jangan Bang Daffa yang pacaran mulu." Ucapku.

Bang Daffa memandangku dengan tatapan jenaka, lantas senyum lebar langsung tersunging di bibirnya. "Do'akan saja dia yang terbaik untuk ku, yang jelas aku tidak akan pacaran lama lama serta mengobral janji dan omongan manis."

Seketika senyum menghilang dari bibirku, mendengar ucapan Bang Daffa. Ucapan Bang Daffa mengisyaratkan bahwa sudah ada seseorang yang telah singgah di hatinya dan mengisi ruangan sempit itu dengan cinta. Itu bisa aku lihat dari sorot mata yang berbinar serta senyum samar misterius yang terukir di bibirnya. Apa ini artinya cintaku hanya berahir sampai disini saja. Apa aku harus berhenti mencintainya.

Lalu apa yang di maksud dengan Erik, jangan sampai Bang Daffa tau soal surat ini datang ku.?

.

.

.

.

Bersambung...

Bang Daffa karakter pean jangan kayak Mr.W tho ya.

Like Koment dan Votenya selalu di tunggu....

Love Love Love...

💖💖💖💖💖💖

By: Ariz kopi

@maydina862

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!