Pertemanan tulus dari geng dangdut memang pantas diacungi jempol sepuluh. Pasalnya mereka senang hati menyetujui keberangkatan ke Negeri Paman Sam demi bertemu bos mereka yang sangat dirindukan.
Sampai akan keberangkatannya, mereka belum mengetahui alasan sungguhnya mereka di boyong ke Amerika.
Nata sangat malas untuk menjelaskan, karna ke empat kawannya tidak merespon dengan baik.
Bukan hanya ke empat kawannya saja yang ikut ke Amerika, ada 2anak jalanan yang juga ikut dengan mereka.
Satu hari penuh Nata dan kawan-kawannya harus membujuk orang tua anak-anak itu. Sangat sulit mendapat izin karna pemikiran negatif dari ibu-ibu mereka.
Wajar saja jika mereka berpikiran negatif, jaman sekarang banyak kejahatan dengan berbagai modus.
Pemikiran mereka begitu ngeri dan takut jika anak-anak mereka akan dijual di negara orang, atau anak-anak mereka akan di operasi lalu diambil jantung, hati dan anggota tubuh lainnya.
Beruntung Saka dan Rengga berhasil meyakinkan mereka, sehingga anak-anak jalanan itu mendapatkan izin untuk ikut ke Amerika.
Awalnya Saka dan Rengga benar-benar terkejut mendengar cerita Nata tentang anak-anak jalanan yang dekat dengan Taka dan Nata.
Mereka tidak pernah mengira si mulut limis yang cuek dan miss baper itu bisa kenal dengan anak-anak kumuh pinggir jalanan.
Tapi Nata memohon dengan sangat pada kakaknya agar membantu dan memberi izin anak-anak jalanan untuk ikut.
Sekian lama persiapan keberangkatan. Kini rombongan seperti pendemo itu telah mengantri di lobby Bandara khusus.
Dudung masih sesenggukan dan berada disandaran Ali Baba, dengan tangan Ali Baba yang mengelus punggung Dudung.
"Sabar Dung, kita itu mau jalan-jalan bukan mau minggat jauh. Kita di Amerika cuma satu minggu setelah itu kita pulang lagi. Kamu nggak usah cengeng gitu, malu diliatin orang." Ali Baba menenangkan.
"Iya Ba, tapi aku sedih-sedih senang. Sedihnya, selama satu minggu nggak bisa liat si mbek, nggak bisa naikin si cecep." jawab Dudung sambil menyusut ingus.
"Senangnya karna impianku bisa terwujud yaitu numpak motor mabur (naik pesawat terbang)." imbuhnya.
Nata ikut duduk di samping kakaknya, jadi tidak bergabung dengan teman-teman yang lain. Ia tengah memangku baby Saf-Saf yang begitu nyaman berada di dekapannya.
Setiap Nata ingin mengajak bergabung dengan teman-temannya baby Saf-Saf selalu menolak. Baby Saf-Saf takut dengan orang yang belum dikenalnya.
Dari itu Nata memisahkan diri dari rombongan seperti pendemo itu.
Ketiga anak jalanan berjalan mondar mandir melihat pesawat yang berjajar dihalaman luas. Mereka terkagum-kagum menyaksikannya. Bahkan sebentar lagi mereka akan menaiki pesawat itu.
Mengingat perjalanan kali ini adalah perjalanan pertama bagi mereka, Rengga yang sudah sangat berpengalaman tentu sudah berpikir dengan matang tentang kebutuhan mereka selama menumpang di pesawat, yaitu makanan ringan yang sangat banyak untuk stok mereka.
Bahkan Rengga sudah menyiapkan satu dokter untuk mengawasi keadaan mereka.
Mengingat perjalan yang membutuhkan waktu lama, takutnya salah satu dari mereka ada yang mabuk udara. Jika terjadi seperti itu, Rengga sudah menyiapkan dokter untuk merawat mereka selama diperjalanan.
Pihak penerbangan sudah memberitahu jadwal keberangkatan. Kini semuanya berjalan menuju pesawat dan sudah ada yang menyambut mereka.
Geng dangdut dan dua anak jalanan tak henti nya mengagumi desain pesawat yang mereka naiki. Begitu mewah seperti berada dalam hotel bintang lima.
"Kalau gini sih aku nggak bakalan mabuk, Ba. Aku malah nggak mau turun. Ini sih bukan seperti motor mabur, tapi seperti hotel bintang sepuluh." ucap Dudung dengan meneliti setiap detail sudut awak pesawat.
Sebenarnya bukan hanya Dudung yang terkagum-kagum, yang lain pun begitu terpesona. Hanya saja tidak bersikap kampungan.
Pesawat telah terbang ke udara, Saka, Seika dan Nata duduk di kursi depan. Berbincang-bincang ringan dengan bercanda dengan baby Saf-Saf.
Di kursi tengah terdengar riuh candaan khas ala geng dangdut bersama dua anak jalanan yang sangat antusias melihat keluar jendela.
Pramugari sudah berdiri didepan mereka dengan membawa makanan dan minuman yang disajikan diatas meja.
"Wah... kita benar-benar seperti raja ya Ba," Dudung berbisik ditelinga Ali Baba.
Ali Baba pun mengangguk. "Beh... jadi horang kaya memang enak ya Dung, semua sudah siap sedia." kata Ali Baba.
Setelah baby Saf-Saf tidur, Nata baru bisa bergabung dengan teman-temannya.
"Ta, gila ya... enak banget naik pesawat Ayahmu, keren." baru saja mendudukan diri bergabung bersama mereka, Dudung sudah memberi pujian.
Nata menanggapi dengan senyuman. "Walau pun Ayah punya pesawat tapi aku juga baru pertama ini naik pesawat milik Ayah." jawab Nata.
"Lah kok gitu? Wah... kamu nggak nikmatin banget jadi horang kaya. Kalau aku pasti tiap bulan kalau perlu tiap minggu pulang kampung naik pesawat." ucap Dudung.
Teman yang lain menjadi pendengar dan tengah asik mengunyah makanan.
"Kalian jangan seneng dulu ya, perjalanan kita itu jauh banget loh... 25 jam, ditengah perjalanan nanti harus berhenti dulu di bandara xxx. Setelah itu kita lanjut perjalanan hampir satu harian." Nata kembali menerangkan, teman-temannya tidak pernah naik pesawat, untuk pertama kali naik pesawat harus menempuh perjalanan yang sangat jauh. Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja.
"Pantes si Bos pulangnya setahun sekali, pasti males pulang karna perjalanan yang jauh ya," sahut Ali Baba.
"Eh.. eh... di Amerika nanti Negaranya seperti apa ya? apa seperti yang sering kita lihat di buku sama di TV?!" kini Mujirah yang ikut bersuara.
"Ta, kamu bisa bantuin aku nggak?!" Ali Baba menatap serius.
"Bantuin apa?" tanya Nata. Meski Ali Baba memiliki perasaan padanya, tapi Nata bersikap biasa. Tidak terganggu dengan gombalan atau pun candaan teman-teman nya yang menjodohkan dia dengan Ali Baba.
Saat ini cinta dan kesetiaan nya hanya milik Martin, tidak ada lelaki yang mampu memikat hatinya.
"Nanti bantuin Aku bertemu sama Presiden Donal Trump,"
"Huhuu... dasar oge'!!!!" yang lain menyoraki Ali Baba.
"Eh, kenapa gitu kalian nyorakin aku? kita jadi keren kalau bisa berfoto sama Bapak Presiden itu." Ali Baba mencebikan.
"Elah, banyak kali kau pemintaan. Eh, udah syukur kita digratisin jalan-jalan... kamu malah minta bantuan yang aneh-aneh." Mujiren mencibir.
"Sudah sudah... kita ini bukan mau jalan-jalan loh, kita ke sana mau jenguk Kak Taka yang lagi sakit." suara Nata menghentikan perdebatan keduanya.
"Eh, si Bos sakit?!" Dudung terkejut. Badannya sampai terhuyung ke depan.
"Hist... dari kemarin aku mau jelasin tapi kalian becanda mulu'." Nata menangapi dengan kekesalan.
"Ya maap, kami nggak tau." Dudung memasang wajah melas.
"Si Bos sakit apa?!" Ali Baba berganti bertanya.
"Sakit... Kanker otak." jawab Nata.
"Sakit... Kanker otak." jawab Nata dengan lirih. Setiap menyebut penyakit itu mampu membuat matanya berkaca-kaca.
"Apa...!!!" satu geng dangdut serentak berteriak. Begitu terkejut mendengar pernyataan dari Nata.
Beberapa detik mereka mematung. Menetralkan rasa keterkejutan mendengar karna kabar duka itu.
Hanya kedua anak jalanan yang memandang mereka kebingungan, tidak tau apa-apa.
"Astagfirullahaladzim," Mujiren.
"Ya Allah," Mujirah.
"Inalillahi," Ali Baba.
"Bos..." Dudung.
Keempatnya berucap sendiri-sendiri. Dudung yang dari tadi berbicara langsung terdiam. Di meja itu langsung sunyi senyap dengan bayangan mereka masing-masing.
Membayangkan Bos mereka yang terkena penyakit berbahaya.
Airmata Nata sudah berjatuhan. Rasanya ia lelah menangis, tapi setiap menyebut penyakit yang diderita kakaknya airmata itu lolos dengan sendirinya.
Mujirah lebih mendekati Nata, keduanya saling meluapkan kesedihan. Airmata Mujirah ikut membanjir, pangeran yang selama ini diidam-idamkan ternyata sedang mendapat ujian berat.
"Kakak, ayo makan lagi. Kenapa Kakak-Kakak jadi diam saja?" Andre bertanya dengan kebingungan. Dimas juga memperhatikan mereka sama-sama kebingungan.
"Makanannya udah nggak enak, rasanya berubah menjadi pahit," ucap Dudung tanpa menjiwai. Bahkan pandangannya pun lurus menatap apapun yang ada didepannya.
Dimas mencoba makanan yang diambil Dudung dan memakannya. "Ini enak banget Kak, aku belum pernah makan makanan seenak ini." ujar Dimas.
"Ya udah, makanlah." jawab Dudung, kali ini memandang kearah Dimas.
Kedua bocah itu melanjutkan acara makan, sedangkan geng dangdut masih terhenyak dengan kabar duka yang mampu meluluh lantakan kesenangan mereka.
"Sejak kapan Bos terkena penyakit itu?" Mujiren bertanya.
"Kenapa si Bos nggak ngasih tau kita?" imbuhnya.
"Iya," sahut Ali Baba.
"Pantes, akhir-akhir ini sikap Bos berubah. Ya Allah Bos, selama ini aku udah su'udzon ngatain Bos jahat, nggak perduli lagi sama kita. Tapi ternyata ada sesuatu yang Bos sembunyikan?" Dudung menyandarkan tubuhnya dibahu Ali Baba. Ia larut dalam kesedihan, berekspresi mellow seperti Nata.
Keceriaan dan kesenangan mereka beberapa waktu lalu seolah sirna begitu saja.
Setelah tadi tawa gembira dengan sikap konyol mereka yang terus terdengar. Kini semuanya terlihat melemas. Wajah mereka serentak menjadi muram.
"Aku yang tinggal bareng sama Kakak, bahkan saudara kembar aja nggak dikasih tau. Kakak sengaja nyembunyiin penyakitnya."
"Ayah dan Bunda baru tau setelah sampai di Amerika, dan melihat langsung kondisi Kakak."
"Ayah juga nggak mau Vidio call atau fotoin keadaan Kakak. Jadi, Aku, Kak Saka dan Kak Seika juga belum tau kondisi Kak Taka seperti apa." Nata menjeda kalimat untuk mengambil napas yang kian sesak.
"Kami tau penyakit Kakak dari Paman Rengga yang tadi nganterin kita. Aku dan Kak Saka benar-benar shok. Nggak nyangka kepergian Kakak ke Amerika ternyata buat berobat, dan bukan untuk kuliah."
"Aku menyesal udah marah-marah, udah bentak-bentak Kakak, ngatain jahat. Aku pikir selama ini Kak Taka ingin sukses sendiri tanpa repot-repot jagain Aku. Tapi..." Nata semakin terisak, mulutnya sudah tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya yang semakin membuatnya menyesal dan sesak.
Mujirah terus mengusap bahu Nata yang bergetar karna menangis. Geng dangdut itu semakin terhenyak mendengar penuturan Nata.
Meski banyak pemikiran dibenak mereka tapi tidak ingin membuat suasana gaduh, atau pun mengganggu Saka, Seika dan baby Saf-Saf yang mungkin sedang beristirahat.
Tapi dikursi depan Saka dan Seika bisa mendengar pembicaraan mereka. Bahkan suara tangis Nata dan Mujirah sangat kontras terdengar dibanding suara lainnya.
Saka tidak menegur atau melarang, seperti pesan Paman Rengga. 'Puaskan kesedihan kalian disini, tapi kalau sudah sampai di Amerika, saat berhadapan dengan Taka. Sebisa mungkin jangan ada drama tangisan. Karna kondisi Taka bisa drop kapanpun. Ayah kalian bercerita kalau Taka tidak mau orang lain melihatnya terpuruk dan tidak mau membuat orang-orang terdekatnya bersedih.'
Seika mendongak menatap wajah Saka dengan mata yang berkaca-kaca. Saka beralih menggenggam telapak tangan Seika dengan menganggukkan kepala, memberi isyarat agar Seika tidak menahan kesedihan.
Dia yang memiliki pembawaan tenang dan kalem bukan berati tidak sedih, yang dirasakan Saka sama dengan mereka, hancur sehancur-hancurnya mengetahui kondisi Taka.
Mengingat Taka yang selalu konyol dan ceria, tanpa pamrih menyayangi putri kecilnya.
Ia rindu saat Taka merayu untuk meminta uang, karna tidak tega Saka selalu memberi. Saat itu adik keduanya itu akan berlonjak kegirangan dengan mengucapkan terimakasih dan memeluknya.
Saka menahan rindu saat-saat seperti itu, semenjak akhir-akhir ini Taka jarang meminta uang. Ia lebih menghindar saat biasa berkumpul ia mengatakan sedang sibuk mengurus keberangkatannya ke Amerika.
Tapi ada fakta yang baru diketahui beberapa hari lalu. Saat Paman Rengga memberi kabar buruk, malam hari Saka masuk ke kamar Taka karna merindukan sosok adik tengilnya.
Saat duduk di tepi ranjang tak sengaja sebelah kaki menendang kotak sampah yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Karna penasaran, Saka menunduk dan meraih kotak sampah itu dan begitu terkejut saat melihat banyaknya tissu dengan noda darah.
Saat mengorek kotak sampah ada beberapa botol obat yang tergeletak dibawah tumpukan tissu. Saat itu pandangan mata Saka semakin nanar. Tak cukup disitu, karna masih penasaran tentang kebenaran penyakit Taka, Saka mulai menggeledah kamar adiknya.
Didalam laci paling bawah ada amplop putih berlogo nama rumah sakit, tangan Saka langsung mengambil amplop itu dan segera membukanya.
Deg...
Meski ia sudah mengetahui penyakit Taka tapi pada saat membaca langsung hasil riwayat itu hatinya berdesir. Jantungnya berdebar kuat tapi tubuhnya mendadak lemas.
Bukan hanya tentang penyakitnya saja, namun lebih meneliti tanggal hasil riwayat itu keluar. Saka langsung tau jika sudah hampir 2bulanan penyakit itu terdeteksi.
Hanya saja mereka tidak ada yang tau. 'Ya Allah, Dek... sekuat itu hatimu menyembunyikan hal besar dari keluargamu sendiri' batin Saka.
"Abi," panggilan dari Seika membuyarkan lamunannya. Ia segera menoleh istrinya.
"Abi kenapa melamun?" tanya Seika lagi.
"Nggak pa-pa Umi, Aku lagi mengingat tentang Taka. Sebentar lagi kita sampai disana, apa kita sanggup berpura-pura baik-baik saja." hati Saka mendadak sedih, sudut matanya sudah tergenang air.
Dia yang selalu tenang tapi ketika mengingat lamunannya tadi mendadak prihatin. Entah, kini bayangannya terlampau jauh. Mengingat stadium penyakit yang diderita Taka sudah parah.
Semoga harapan mereka masih bisa terkabul. Berharap Tuhan berbaik hati memberi kesembuhan pada adiknya. Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha dan berikhtiar pada-Nya.
"Meski sulit tapi kita harus bisa, demi Taka. Selama satu bulan akhir ini Taka berjuang sendiri dan ia bisa, kenapa kita yang hanya menahan tangis tidak bisa."
"Menangis adalah hal wajar, hanya saja kita tidak boleh menunjukan dengan reaksi berlebihan. Mungkin begitu maksut Ayah." kata Seika dengan lembut. Saka mengangguk menyetujui perkataan istrinya.
Pesawat yang ditumpangi kini telah mendarat dengan sempurna. Alhamdulillah semuanya selamat sampai tujuan.
Ketika turun dari pesawat, teman-teman Nata dan dua anak jalanan itu terkagum-kagum melihat bangunan Bandara yang tentu berbeda dengan yang ada di Jakarta.
"Walah, tulisannya bahasa Inggris semua ya, rumit." ucap Dudung, kedua bola mata yang tak henti bergerak kesana kemari meneliti bangunan itu.
"La, ya pasti pakai bahasa inggris kan bahasa sehari-hari mereka. Sama halnya di Indonesia, kita menggunakan bahasa Indonesia, yang mudah dipahami." balas Mujiren.
Mereka melanjutkan langkah menuju loby hotel untuk menunggu jemputan. Namun tidak perlu menunggu karna Ayah Arsel, pak Arman dan dua orang supir lainnya sudah menunggu mereka di loby utama.
"Ayah...!" Nata berteriak memanggil ayahnya. Setengah berlari menghampiri dan memeluk ayah Arsel. Walau baru satu minggu tidak bertemu tapi ia sangat merindukan kedua orang tuanya.
Ayah Arsel menyambut pelukan Nata, "Alhamdulillah, kalian sampai dengan selamat. Ayah merindukanmu." ucap ayah Arsel.
"Aku lebih merindukan Ayah dan Bunda... Dan... Kak Taka." keriangan Nata berangsur berubah menjadi nada sedih.
"Baru sampai, jangan sedih begitu." ayah Arsel melepas pelukannya.
Mata Nata sudah berair bahkan sebentar lagi sudah menetes.
"Assalamualaikum, Ayah." Saka dan Seika bersamaan mengucap salam. Keduanya bergantian mencium punggung tangan ayah Arsel.
"Walaikum salam. Kalian sehat?" tanya Arsel.
"Badan kami sehat Yah, tapi hati kami yang rapuh." jawab Saka dengan sendu. Ia melihat wajah ayahnya.
"Kalian baru sampai, jangan membicarakan hal yang berat. Kalian butuh istirahat." ayah Arsel mencegah obrolan yang serius. Waktunya belum tepat untuk membicarakan tentang Taka.
Rombongan geng dangdut perlahan mendekat, dengan dua anak jalanan yang bersembunyi dibelakang mereka.
Keduanya takut melihat ayah Arsel. Sebagai anak jalanan sudah sering mendapat bentakan dari orang-orang berpenampilan rapi.
Mereka tidak mengenal siapapun, kecuali geng dangdut dan juga Nata. Mereka mau ikut karna mendengar malaikat tak bersayapnya sedang sakit. Maka dari itu mereka mau diajak untuk menjenguk.
Manik mata ayah Arsel beralih melihat teman-teman Taka yang berjajar membentuk barisan yang sangat rapi.
"Om," mereka menyapa dan menundukkan kepala sebentar untuk tanda menghormati.
Ayah Arsel tersenyum. "Terima kasih ya, kalian mau ikut kesini." ayah Arsel mengucap terima kasih pada mereka.
"Kami yang harusnya mengatakan terima kasih, karna kebaikan hati Om, kami bisa sampai disini. Dan kami ingin sekali menemui Bos, eh... maksut kami Taka." Mujiren berbicara untuk mewakili yang lainnya.
"Iya, nanti kalian akan bertemu dengan Taka. Pasti Nata sudah bercerita pada kalian."
"Iya Om,"
Ayah Arsel menganggukkan kepala. Tapi mata ayah Arsel menangkap pemandangan berbeda. Yaitu anak kecil yang mengintip dibalik sela-sela tubuh Mujiren dan Dudung.
"Siapa anak kecil itu?!" tanya ayah Arsel penasaran. Sontak membuat semua mata tertuju pada Dimas dan Andre.
"Sini," Mujiren menyuruh Dimas dan Andre untuk maju didepan mereka. Tapi Dimas dan Andre terlihat ragu. Mereka memperhatikan kearah ayah Arsel.
Ayah Arsel juga memperhatikan kearah Dimas dan Andre dengan kening mengkerut.
"Ya sudah tidak pa-pa kalau tidak mau. Nanti kalian saja yang menjelaskan. Tapi keduanya rombongan kalian kan?!" ayah Arsel memastikan.
"Iya, Yah. Dimas dan Andre rombongan kita." Nata yang menjawab.
"Ayo kita ke Apartemen dulu." ayah Arsel mengajak semuanya untuk lebih dulu beristirahat di Apartemen yang disewakan untuk Taka, tapi sampai saat ini Taka belum sekali pun masuk kesana.
Semua beriringan menuju ke mobil, pak Arman dan dua supir lainnya meminta tas dan barang bawaan lainnya untuk disimpan dibagasi.
Setelah semua beres, satu persatu mobil itu meninggalkan halaman Bandara.
"Yah, kenapa harus ke Apartemen dulu, kenapa nggak langsung aja ke rumah sakit?!" tanya Nata.
"Ada yang mau Ayah sampaikan,"
"Tentang sikap kita didepan Kak Taka?!" Nata menebak.
Ayah Arsel mengangguk.
"Kita udah tau Yah,"
"Kalian memang sudah tau hal itu, tapi kalian belum tau kondisi Taka. Kalian baru sampai, Ayah rasa perlu beristirahat." ucap ayah Arsel.
"Nanti siang kita baru ke rumah sakit."
"Baiklah,"
Hampir satu jam lebih mobil membelah jalanan. Kini mobil itu telah sampai di depan Apartemen bertingkat. Setelah semua turun, pak Arman dan dua supir lainnya memindahkan mobil ke tempat parkir yang semestinya.
Geng dangdut yang takjub dengan bangunan bergaya modern itu hanya bisa memandang tanpa bisa menyanjung dengan kalimat-kalimat seperti biasanya. Tentu saja keberadaan ayah Arsel membuat mereka segan.
Untuk Dimas dan Andre hanya mengamati tempat-tempat mewah yang dikunjungi. Mereka masih belum paham dengan kejelasan semuanya.
Ayah Arsel menyuruh semuanya untuk istirahat, saat ia hendak menuju ke kamar Taka. Saka telah lebih dulu memanggil dan meminta waktu untuk bicara.
Akhirnya semua malah duduk diruang depan.
"Kalian semua tau kenapa jauh-jauh saya undang kalian kesini?" tanya ayah Arsel.
"Tau Om, karna Taka sedang sakit. Kami sangat senang bisa menjenguknya langsung." Mujiren yang paling berani berbicara untuk mewakili teman-temannya.
"Iya, Taka sedang mendapat musibah, terkena penyakit kanker otak. Tanpa Om jelaskan kalian pasti tau tentang penyakit itu."
Mereka semua mengangguk, tentu dengan raut kesedihan.
"Taka tidak tau kalau kalian kesini. Dua hari ini kondisinya sedang drop karna mendengar Bundanya menangisi keadaanya. Dan sebab itu juga Om membawa kalian kesini supaya untuk memberitahu kalian."
"Om minta pada kalian, jangan terlalu menunjukan kesedihan. Tujuan Om membawa kalian untuk menghibur Taka dan memberi kata penyemangat."
"Iya Om, kami mengerti." jawab Mujiren.
"Saat disini kalian belum tau keadaanya seperti apa. Tapi kalau sudah melihatnya langsung, kalian pasti shok. Om harap kalian jangan histeris, jika tidak tega kalian bisa menjauh dulu."
Deg...
Perkataan ayah Arsel mampu membuat semuanya terhenyak, dan melihat langsung kearah pria paruh baya dengan ujung mata berkaca-kaca. Menunjukan betapa kalut dalam kesedihan.
Nata tak bisa membendung tangisan, ia terisak disamping Saka. "Memang keadaan Kakak seperti apa Yah?" tanya Nata disela tangisan.
"Sangat jauh dari Taka yang kita kenal dan sering kita lihat dulu."
"Penderita kanker biasanya mengalami kerusakan sel rambut ya Om? maaf, mungkin rambutnya Taka mengalami kerontokan hebat dan kepalanya tidak memiliki rambut." Ucap Dudung.
"Memang Kakak malaikat tak bersayap sakit apa Kak Dung? kenapa tidak memiliki rambut?" tanya Dimas penasaran.
Lagi-lagi ayah Arsel dibuat penasaran dengan keberadaan Dimas dan Andre. Apalagi saat mendengar bocah itu memanggil Taka dengan sebutan malaikat tak bersayap. Ayah Arsel benar-benar tidak mengerti hubungan Taka dengan dua anak kecil itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!