Pagi itu, Tari sedang menyiapkan sarapan untuk ketiga adiknya. Farhan, Bilal, dan Adnan. Mereka duduk manis menunggu kakaknya dimeja makan.
"Abang, atu yapel! (Abang, aku laper!)" keluh Adnan, adik Tari yang paling kecil. Ia baru berusia 3 setengah tahun.
"Sebentar lagi ya Dek. Kakak lagi siapin sarapan buat Adek." Farhan, adik pertama Tari. Usianya baru 11 tahun, tapi sudah mengerti dengan keadaan keluarganya saat ini.
Sepulang sekolah, Farhan selalu membantu Tari untuk menjaga adik-adiknya.
Sedangkan Bilal, adik kedua Tari. Baru kelas 2 SD. Bilal adalah anak yang pendiam, ia juga sering membantu menjaga Adnan. Tapi, ia lebih sering berada dalam kamar untuk belajar ketika Farhan ada di rumah.
"Ini dia ... menu sarapan kita sudah matang." Rona bahagia terpancar jelas di wajah gadis itu.
Tari menata beberapa makanan di atas meja. Lalu mengambil nasi beserta embel-embelnya di atas piring untuk adik kecilnya Adnan.
"Aciiik ... Tatak cuapi! (Asyiiik ... Kakak suapi!)" rengek Adnan.
"Baiklah Sayang, kakak suapi tapi harus habis ya!" Tari duduk di samping Adnan lalu mulai menyuapinya.
Farhan dan Bilal juga segera sarapan. Usai sarapan, mereka segera berangkat ke sekolah. Tari nampak sedang mengunci rumahnya dengan menggendong adik kecilnya.
Setelah memastikan pintu terkunci rapat, Tari dan kedua adiknya segera membawa Adnan ke rumah sebelah. Rumah milik tetangganya, Bu Mae.
Tok ... tok ... tok ...
"Assalamu'alaikum, Bu Mae!"
Pintu dengan segera dibuka oleh si pemilik rumah. Bu Mae, tetangga yang ramah dan baik hati. Semenjak kedua orang tua Tari meninggal, Bu Mae sering membantu mereka. Di awal-awal kesedihan Tari dan adik-adiknya, Bu Mae selalu ada untuk mereka. Memberi makan, membelikan susu untuk Adnan dan masih banyak lagi kebaikan Bu Mae yang tidak bisa teruraikan.
"Bu, Tari titip Adnan ya Bu," ucap Tari sembari memindahkan gendongan Adnan pada wanita itu.
"Iya Nduk." Bu Mae tersenyum.
"Ya sudah kami berangkat dulu ya." Tari, Farhan dan Bilal berpamitan dan menyalami Bu Mae.
Bagi mereka, Bu Mae adalah ibu pengganti. Mereka sangat menyayangi Bu Mae. Bu Mae pun juga sudah menganggap mereka adalah anaknya. Bu Mae seorang janda tidak memiliki anak. Dan ia secara sukarela menolong Tari dan adik-adiknya.
"Iya Nduk, hati-hati ya kalian. Belajar yang rajin biar bisa sukses."
"Aamiin, " sahut ketiganya bersamaan.
"Dadah Adnan, nggak boleh nakal ya!" Tari mencium kedua pipi adiknya.
"Atu nggak natan, Tatak uyang bawa jajan ya! (Aku ngga nakal, Kakak pulang bawa jajan ya!)"
"Pasti Sayang, Kakak berangkat dulu ya."
Tari, Farhan dan Bilal berangkat dengan menaiki angkutan umum. Saat sudah sampai di depan Sekolah Dasar xxx, angkutan diberhentikan oleh Farhan. Farhan dan Bilal berpamitan pada kakaknya dan turun di sana.
Angkutan melaju kembali, membawa Tari ketempat tujuannya. SMA swasta di kotanya. Setelah membayar ongkos, Tari segera melangkahkan kakinya memasuki sekolah.
Di sepanjang koridor sekolah, Tari selalu menunduk. Tidak ada tegur sapa kepada sesama teman seperti sekolah pada umumnya.
Bugh ....
Tiba-tiba Tari terjatuh. Ia tidak sengaja menabrak seseorang. Tatapan tajam Tari dapatkan dari seorang yang ia tabrak.
"Eh cupu! Sengaja Lo ya nabrak gue?" Amarah terlihat jelas dari siswi itu. Sarah, namanya Sarah. Teman sekelas Tari yang sangat membenci dirinya. Siswi tercantik dan terpopuler di sekolah itu.
Tari segera berdiri, tubuhnya bergetar karena takut. "Ma-maaf!" ucapnya dengan menunduk.
"Maaf maaf, Lo udah bikin seragam gue kusut tahu nggak?" bentak Sarah.
"Maafin aku Sar, aku nggak sengaja," jawab Tari dengan lirih.
"Kali ini gue maafin Lo. Lain kali gue habisin Lo! Pergi sana Lo, gue enek liat muka Lo yang buruk itu." Sarah mendorong Tari hingga terjatuh lagi. Kemudian ia pergi meninggalkan Tari yang masih terduduk dilantai.
Tari kemudian segera berdiri. Ia melanjutkan kembali berjalan memasuki kelasnya.
Seperti biasa, para siswa dan siswi lain berpura-pura tidak pernah melihat kejadian barusan.
Tari, ia hanyalah sebuah bayangan di sekolahnya. Dikenal sebagai gadis cupu, berpenampilan buruk layaknya 'Si itik buruk rupa' dalam cerita anak-anak. Mana ada yang mau berteman dengan gadis buruk rupa seperti dia?
Bagaimana tidak buruk? Berpakaian seperti si cupu kebanyakan, rambut dikepang dua, berkacamata dan beberapa jerawat yang setia menjadi hiasan diwajahnya selama ini.
Tari duduk di bangku paling belakang, di mana tidak akan ada satu murid pun melihatnya. Ia lebih suka menyembunyikan diri, tidak mau menanggung resiko jika ia menampakkan dirinya. Pernah beberapa kali ia mencoba berbaur, tapi yang terjadi malah ia mendapat bullyan dari teman-temannya.
Saat jam istirahat pun ia lebih memilih berada di dalam kelas, menghindari tatapan kebencian dari seluruh siswa. Entahlah apa yang membuat mereka membencinya. Mungkin karena fisiknya yang jauh dari kata sempurna yang mereka lihat.
***
"Tak Ahan, atu mau itu! (Kak Farhan, aku mau itu!)" Adnan menunjuk sebuah makanan ringan yang tergantung di warung.
Siang itu Farhan sedang mengajak adiknya ke warung. Seperti biasa, Adnan selalu meminta jajan ketika para kakaknya pulang sekolah.
"Iya, kakak belikan. Tapi habis ini bobok ya!" Adnan mengangguk kegirangan.
"Mbak, bungkusin mie instannya sepuluh sama jajannya Adnan dua ya!" pinta Farhan kepada si pemilik warung.
Pukul tiga sore, Tari baru saja sampai di rumah. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi ruang tamu. Wajahnya tampak lelah sekali. Ia melepas kacamatanya dan juga kuncir kepangnya. Tari mengambil beberapa lembar tisu basah di meja dan juga kaca kecil di sebelahnya.
Terlihat Tari tengah mengelap wajahnya dengan tisu basah. Di depan kaca kecil itu, ia mengusap sedikit demi sedikit make up di wajahnya. Satu persatu jerawat merah itu menghilang, wajah kusam pun tak terlihat lagi setelah dirinya berhasil menghapus make up itu.
Kenapa Tari menggunakan make up? Lalu, apa semua jerawat itu hanya sebuah lukisan yang ia buat? Apa alasannya ia menutupi wajah aslinya selama ini?
Tari, Kirana Dwi Lestari. Wajah aslinya bisa dibilang sangat manis. Bukan cantik, tapi manis. Tubuhnya juga sebenarnya tidak buruk-buruk amat, tubuhnya cukup berisi. Namun ia lebih suka menutup nya dengan seragam yang lebih besar dari tubuhnya.
"Assalamu'alaikum," Farhan memasuki rumah dengan menggendong Adnan.
"Waalaikumsallam, dari mana, Dek?" Tari meletakkan kaca di meja.
"Dari warung Kak, Farhan mau bikin mie instan." Adnan segera turun dari gendongan dan berhambur ke pelukan kakak perempuannya.
"Bilal di mana?" tanya Tari yang tengah memangku Adnan.
"Ada di kamar, katanya ada PR yang harus dikerjakan."
"Aih, kakak jadi minder. Selain kamu dan Bilal, hanya kakak lah yang IQ nya di bawah rata-rata."
"Yang penting sehat," celetuk Farhan lalu pergi ke dapur untuk membuat mie instan.
"Tatak butain! (Kakak bukain!)" Adnan menyodorkan snack yang ia beli di warung tadi. Tari menerimanya dan segera membuka jajan kesukaan adiknya itu.
"Habis ini Adnan bobok ya!" Pria kecil itu mengangguk sembari menikmati jajanannya.
To Be Continue ....
Seorang gadis tengah merias wajahnya di depan cermin. Tari, gadis itu sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Cukup dengan sedikit polesan. Tari sudah terlihat cantik. Selesai berkutat di depan cermin, Tari memasukkan pakaian yang akan ia kenakan di tempat kerja nanti. Setelah siap ia segera berangkat.
"Dek, Kakak berangkat dulu ya!" Pamit Tari pada Farhan yang masih menonton televisi.
Farhan hanya mengangguk tanpa menoleh pada kakaknya itu. Pukul sembilan, Bilal dan juga Adnan sudah tertidur pulas di kamar. Saat malam tiba, Farhan yang menjaga adik-adiknya karena Tari bekerja. Terkadang juga Bu Mae yang menjaga mereka.
Tari berjalan menemui tukang ojek langganan namanya bang Rudi, yang setiap malam selalu mengantarkannya ke tempat kerja.
Di depan sebuah klub malam, tukang ojek itu menurunkan Tari di sana. Bang Rudi pergi dan Tari melangkah memasuki klub malam itu.
Tari berjalan menuju sebuah ruangan di mana para pemandu karaoke berkumpul. Ya, inilah pekerjaan Tari yang digeluti selama dua tahun ini. Menjadi pemandu karaoke di sebuah klub malam di kotanya.
"Sayang, kenapa baru datang? Kamu nggak lupa kan malam ini Papi mu itu datang?" Seorang wanita setengah tua datang dan memeluk Tari.
"Ingat Mami. Ana ngga akan mengecewakan Mami dan Papi," ucapnya dengan tersenyum.
Ada yang bingung kenapa Tari jadi Ana?
Ehm, dua tahun yang lalu. Kedua orang tua Tari meninggal dunia karena kecelakaan kerja di sebuah pabrik tempat mereka bekerja.
Mereka meninggalkan empat orang anak yang masih kecil. Apalagi umur Adnan saat itu baru satu setengah tahun. Tari begitu terpukul, ia tidak tahu lagi harus melanjutkan hidupnya seperti apa.
Selama beberapa bulan, keempatnya mampu bertahan hidup dengan uang kompensasi dari pabrik, tapi uang tetaplah uang, akan habis jika terus digunakan. Apalagi rumah yang dikontrak kedua orangtuanya sudah jatuh tempo pembayaran.
Bu Mae, malaikat penolong bagi anak-anak yatim piatu itu. Ia menawarkan mereka untuk ikut tinggal bersamanya. Bu Mae sendiri adalah seorang janda ditinggal mati dan tidak memiliki keturunan. Karena paksaan dari Bu Mae, akhirnya Tari menyetujui usulan tetangganya itu. Bu Mae banyak membantu mereka. Bahkan ia membiayai sekolah kedua adik Tari.
Karena merasa tidak enak hati, Tari yang saat itu sudah lulus sekolah menengah pertama berusaha mencari pekerjaan.
Siang itu, Tari keluar masuk beberapa toko untuk menanyakan pekerjaan. Belasan toko ia masuki, belasan kali pula ia keluar toko dengan wajah yang ditekuk karena tidak ada yang mau menerimanya.
Tari tengah duduk di bawah pohon yang rindang, semilir angin dan air mineral yang ia teguk sedikit menghilangkan dahaganya. Panas siang itu sangat terik sekali, ia harus berjalan mencari pekerjaan.
"Jambreeet ...." Tari mendengar suara teriakan dari balik pohon, ia menengok ke belakang. Seorang wanita dewasa sedang berteriak minta tolong. Tari melihat seorang bocah berlari melewatinya dengan membawa tas jinjing yang sudah pasti milik wanita itu.
"Tolong Jambreeet ...." Wanita itu masih berteriak. Dengan gesit Tari segera mengejar bocah itu.
Tak butuh waktu lama, karena bocah itu lebih kecil dari Tari, langkahnya pun juga lebih kecil membuat Tari segera menangkapnya.
"Berhenti!" bentak Tari setelah tangan bocah itu ia tangkap. Bocah itu terlihat ketakutan. Beberapa orang juga terlihat menghampiri.
"Sini tasnya!" Tari mengambil tas itu. Bocah itu semakin ketakutan. Sungguh miris, usianya mungkin baru delapan tahunan. Tapi ia sudah berani mencuri. Apapun alasannya, tindakan ini tidak dibenarkan.
"Cepat lari sana," Tari melepaskan genggamannya.
"Tapi Kak?" Bocah itu malah terbengong. Kenapa malah dilepaskan?
"Kamu mau ditangkap terus dibawa ke Polisi?" Bocah itu menggeleng, "Ini, aku punya sedikit uang. Buat beli makan." Bocah itu menerimanya.
"Jangan mencuri lagi! Itu nggak baik. Sudah sana pergi! Sebelum mereka datang." Si bocah mengangguk. Kemudian, dengan secepat kilat bocah itu berlari dengan wajah yang bahagia.
Beberapa orang dan juga wanita si pemilik tas sudah berada di tempat Tari berdiri.
"Kenapa dilepaskan Dek?" tanya seorang bapak-bapak. Ia terlihat kesal karena pencuri itu terlepas.
"Maaf Pak. Lagian tasnya nggak jadi dia ambil kok," jawab Tari dengan tersenyum.
"Kalau nggak dikasih hukuman, pasti dia akan mencuri lagi."
"Dia masih kecil Pak. Tadi saya juga sudah bilang untuk tidak mencuri lagi."
Tanpa berkata lagi, beberapa orang itu pergi dan kembali ke kegiatan mereka semula.
"Ini Bu, tasnya." Tari memberikan tas itu pada pemiliknya.
"Terimakasih ya Nak, kamu sangat baik sekali. Oh iya, " Wanita itu membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Ini buat kamu, sebagai ucapan terimakasih karena telah menolongku."
"Nggak Bu, terimakasih saya ikhlas kok." Tari menolak. Apa yang ia lakukan murni karena ingin menolong.
"Sudah terima saja. Gunakan untuk kebutuhanmu." Wanita itu memaksa Tari untuk menerimanya.
"Nggak Bu, beneran aku ikhlas menolong Ibu."
"Kamu nggak mau uang? Lalu apa yang kamu mau sebagai imbalan?"
"Bu, saya menolong Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun." Tari tampak kesal karena dituduh menolong ada maunya.
Wanita itu menghela napas.
"Kalau begitu saya permisi pamit dulu Bu, sudah hampir sore. Saya harus segera mendapatkan pekerjaan." Saat hendak melangkah tangan Tari dicekal.
"Tunggu!" Wanita itu menahannya, "Apa kamu sedang mencari pekerjaan?"
Tari mengangguk.
"Kalau begitu ikutilah denganku! Sepertinya aku ada pekerjaan untukmu." Seketika wajah Tari menjadi berbinar.
"Benarkah Bu?" Wanita itu mengangguk. Kemudian Tari mengikuti kemana langkah kaki wanita itu pergi.
"Mira Kurnia, itu nama ku." ucap wanita itu.
"Saya Tari, Bu."
Mereka kini tengah berada di dalam rumah makan. Bu Mira memaksa Tari untuk mau ikut makan dengannya. Karena memang Tari belum makan siang, dan perutnya terasa melilit jadi ia menyetujui ajakan Bu Mira.
"Bu Mira tadi bilang ada pekerjaan buatku. Pekerjaan apa Bu?" tanya Tari disela-sela makannya.
"Habiskan dulu makananmu. Nanti aku ajak ke rumahku."
Tari hanya mengangguk dan segera menghabiskan makanannya.
***
"Kamu beneran kan butuh pekerjaan secepatnya?"
"Iya Bu." Tari kini sudah berada di rumah bu Mira. Mereka sedang berbincang diruang tamu.
"Aku ada, tapi apa kamu benar-benar mau bekerja denganku? Apa kamu sudah memiliki KTP?"
Tari menggeleng, "Belum, saya masih berumur 15 tahun Bu."
"Aduh, terus gimana dong? Syarat bekerja denganku adalah memiliki KTP. Apalagi kamu masih di bawah umur. Aku tidak mau dibilang mempekerjakan anak di bawah umur." Bu Mira menghela napas kecewa. Pasalnya, ia berpikir gadis itu sangat manis. Cocok sekali bila bekerja dengannya.
"Tolong Bu, saya nggak tahu lagi mau cari pekerjaan di mana. Saya butuh uang untuk membiayai ketiga Adik saya." Tari memelas. Ia menggenggam erat jemari bu Mira agar mau menolongnya.
"Haeh," Bu Mira menghela napas.
Ia menelisik tubuh Tari dengan seksama, memperhatikan dari atas hingga bawah.
Menarik, wajah nya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Gumam bu Mira dalam hati.
"Baiklah, aku akan membantumu. Aku akan memalsukan identitas mu. Besok kamu datang lagi ke sini ya!"
Wajah Tari langsung berbinar mendengar ucapan Bu Mira. Ia sangat bahagia kini sudah memiliki pekerjaan.
"Terimakasih Bu, terimakasih banyak." Tari langsung memeluk Bu Mira sesaat, kemudian melepaskannya.
"Emb, tapi kalau boleh tau pekerjaan saya nanti apa Bu?"
"Kamu akan bekerja denganku sebagai pelayan di klub malam. Kerjamu hanya mengantarkan pesanan untuk para pengunjung."
Tanpa pikir panjang, Tari langsung menyetujuinya. Hanya jadi pelayan, apa susahnya? Mengantar pesanan dan membersihkan meja. Mudah bukan? Itulah yang dipikirkan Tari saat ini.
To Be Continue ....
Yeeeee, novel ketiga. Semoga lebih baik dari tulisan-tulisan yang sebelumnya. 🤧🤧
Bantu like, koment and subret ya🤗🤗 eh vote maksudnya hadiah juga jangan lupa ... Hehe, terimakasih yang setia jadi pembacaku. Lop yu pull all🤗🤗😘😘😘😘
Sehari kemudian, Tari sudah berada di rumah Bu Mira. Sesuai dengan waktu yang telah disepakati kemarin.
Malam itu, Tari menitipkan ketiga adiknya pada Bu Mae. Ia berpamitan untuk berangkat bekerja sebagai seorang pelayan. Awalnya Bu Mae tidak menyetujui jika Tari bekerja. Namun, gadis kecil tetap kekeuh untuk bekerja. Ia beralasan, butuh biaya lebih untuk sekolah adik-adiknya. Juga tidak mau bergantung lagi pada Bu Mae.
"Kamu semangat sekali mau kerja," ucap Bu Mira. Ia merasa bangga dengan semangat dari seorang gadis kecil seperti Tari.
"Hari pertama kerja, nggak boleh bikin kesalahan kan Bu." jawab Tari dengan tersenyum.
"Ya sudah ayo berangkat. Sudah pukul delapan lewat, pasti beberapa tamu sudah ada yang datang." Tari mengangguk.
Kemudian mereka pergi ke sebuah klub malam dengan menaiki mobil Bu Mira. Sesampainya di sana, Tari segera diberi satu style seragam kerja untuk pelayan.
"Pakai ini Sayang!"
Segera Tari menerimanya dan berganti baju di kamar mandi.
"Ayo aku antar kamu bertemu dengan teman-temanmu."
Tari segera diajak menemui teman-teman sekerjanya.
"Kalian semua, sini ngumpul dulu!" ucap bu Mira sedikit berteriak. Kemudian mereka semua berhambur mendekat. Mungkin ada sekitar empat puluhan karyawan di sana.
"Perkenalkan, ini Tari. Dia baru disini." Bu Mira memperkenalkan Tari, "Tari, kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan minta bantuan mereka ya!" imbuhnya sembari menoleh ke Tari. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.
Kemudian Bu Mira meninggalkan Tari bersama teman-teman barunya. Ada beberapa yang langsung akrab dengannya. Setelah acara perkenalan itu, mereka segera bekerja melayani para pelanggan yang datang.
***
Tak terasa, satu bulan sudah Tari bekerja di klub itu, hari ini adalah hari pertamanya menerima gaji. Betapa senangnya dia, ia bisa membelikannya beberapa buku baru dan seragam untuk adik-adiknya nanti. Juga pakaian baru untuk Adnan.
Malam ini Tari sangat bersemangat sekali. Ia akan menerima gaji pertamanya.
"Silahkan Tuan!" Tari meletakkan beberapa minuman dan juga gelas di atas meja milik seorang tamu.
Tamu yang sudah menjadi langganan di sini. Seorang pria berusia hampir kepala empat kira-kira. Tampan, tinggi dan terlihat gagah dengan stelan jas yang melekat ditubuhnya. Bahkan wajah dan tubuhnya sama sekali tak terlihat jika dirinya sudah menuju tua. Itu lah pandangan Tari tentang pria itu.
Pria itu selalu memperhatikan Tari beberapa hari ini. Wajah polosnya membuat ia semakin penasaran pada diri Tari. Terkadang pria itu juga sering meminta Tari duduk dengannya untuk sekedar menuangkan minuman.
Namun, itu semua tak membuatnya bisa lebih akrab dengan gadis kecil itu, Tari jauh lebih tertutup dari yang ia kira. Gadis itu hanya menjawab pertanyaan yang sekiranya pantas untuk dijawab olehnya. Membuat pria dewasa itu semakin ingin mengetahui lebih dalam tentang gadis kecil itu.
"Tunggu!" Pria itu menahan langkah Tari.
Gadis itu menoleh, "Iya Tuan? Ada yang dibutuhkan lagi?" tanya Tari dengan senyuman yang manis.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Ia terpaku pada senyuman gadis kecil yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Pria itu menyuruh Tari untuk duduk menemaninya. Namun, tak seperti biasanya, gadis itu menolak dengan alasan ia masih bekerja dan tidak enak hati dengan teman-temannya.
Pria itu tergelak, ia mengatakan bahwa ini juga bagian dari kerja. Menemani tamu adalah salah satu pekerjaan para pekerja di sini.
"Tapi saya hanya seorang pelayan," kilah Tari. Kepalanya menunduk karena takut.
Ketakutan gadis itu membuat pria yang memandangnya sedari tadi semakin gemas. Ingin sekali ia menariknya kedalam pangkuan dan menghujani wajahnya dengan kecupan.
Namun, sedetik kemudian pria itu melepasnya, tak mau memaksanya lagi. Setelah Tari pergi, pria itu mengangkat tangan kanannya dan memberi kode untuk bawahannya.
Seorang laki-laki memakai jas dan kacamata hitam mendekat lalu menunduk memberi hormat.
"Iya, Tuan Anton?"
"Cari tahu tentang gadis itu secepatnya!" titah tuan Anton.
Laki-laki itu mengangguk tanda mengerti, kemudian ia pergi melaksanakan tugas yang baru saja diberikan.
Antonio Widodo, salah satu pengusaha sukses di bidang pertambangan batu bara. Tercatat sebagai deretan lima belas pengusaha kaya di Indonesia. Seorang duda keren beranak satu. Pemilik wajah tampan dan bertubuh atletis ini lebih mirip seperti seorang dokter bedah yang bernama Dr. Iman Taheri M.D. Perlu dicatat, ia juga pemilik klub malam tempat Tari bekerja saat ini.
Astaga, ternyata dia adalah tamu bukan sembarang tamu. Boleh ngga posisi Tari diganti sama author?🤣
Jam waktu bekerja usai, dan Tari pun sudah menerima gajinya. Pukul empat pagi, Tari baru saja sampai di rumah. Ia masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamar adik-adiknya tertidur.
Tari membuka pintu kamar dan mendapati ketiga adiknya masih terlarut dalam mimpi yang sempurna, lebih indah dari kenyataan hidup yang mereka jalani saat ini. Tari tersenyum, kemudian ia mendekati mereka dan mencium kening ketiganya satu persatu.
Setelah itu, ia membersihkan diri dan segera ke pasar untuk belanja kebutuhan masak yang sudah habis. Selama berada di rumah bu Mae, Tari lah yang selalu memasak untuk sarapan pagi. Ia tidak enak hati pada bu Mae jika tidak melakukan hal apapun.
***
Matahari sudah bangun dari tidurnya. Menyebarkan sinar hangat untuk memberi semangat. Bu Mae, Farhan dan juga Bilal sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Bukan menu spesial, hanya sayur sop, ayam bumbu kecap dan juga tempe goreng. Oh, tidak lupa dengan sambal terasi kesukaan bu Mae.
Mereka bertiga sedang menunggu Tari yang tengah memakaikan baju Adnan setelah mandi. Setelah dirasa adik kecilnya itu sudah tampan dan harum, segera ia membawa Adnan untuk bergabung di meja makan.
Kemudian mereka makan bersama-sama. Namun tidak untuk Adnan dan Tari. Kali ini, ada sedikit perdebatan antara keduanya.
"Tatak, atu mau yayam! (Kakak, aku mau ayam!)" pinta pria kecil itu pada kakaknya.
"Mamam cendili. (Makan sendiri.)" imbuhnya lagi.
"Kakak suapi ya, Adek kan sudah mandi. Nanti kotor lagi." Tari mengambil nasi dan lauknya untuk Adnan.
Adnan menggeleng, ia tetap mau makan sendiri.
"Tatak Ahan cama Tatak Iyay mam cendili. (Kakak Farhan sama Kakak Bilal makan sendiri.)" Mulai merajuk.
"Kan mereka sudah besar Sayang, Adek masih kecil jadi harus disuapi biar nggak kotor lagi."
Tari mencoba memberi pengertian, tapi anak kecil itu susah sekali diberi pengertian. Adnan tetap merajuk, bahkan ia turun dari pangkuan sang kakak.
"Atu nggak mau mamam. (Aku nggak mau makan.)" ucapnya sembari memasang wajah kesal. Lalu ia berlari kedalam kamar dan menutupnya dengan keras.
Braak ....
Tari menghela napas panjang, harus ekstra sabar untuk menghadapi jagoan kecil itu.
Bu Mae hanya bisa menggeleng kepalanya dan tersenyum. Adnan memang anak yang pintar. Diusianya yang baru satu setengah tahun itu ia sudah bisa berbicara meski belum jelas. Apalagi jika sedang marah, lagatnya sudah seperti anak yang lebih tua darinya. Bertambah lagi satu anak pintar di keluarga tari.
Tari menghampiri adiknya yang sedang merajuk itu. Ia masuk kamar setelah mengetuk pintu. Ia melihat adiknya sedang asyik bermain robot Ultraman kesukaannya.
"Adek makan ya! Boleh deh Adek makan sendiri. Nanti kalau kotor kan bisa cuci tangan." Akhirnya Tari yang mengalah. Adnan menoleh dan tersenyum. Ia mengangguk tanda setuju.
Ah, mudahnya merayu bocah. 🤣
To Be Continue ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!