NovelToon NovelToon

Merapah Asa, Menjemput Hidayah

1. Gunung yang sulit ditaklukkan.

Jika orang-orang yang tahu namaku, mengiraku gemar mendaki, itu salah. Karena aku sama sekali tidak menyukai segala hal yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Apalagi yang membuat lelah dan berbau tantangan.

Rinjani Jenar Adhitama. Itulah namanku. Diambil dari nama gunung yang terletak di Lombok, Nusa tenggara barat. Salah satu gunung dengan medan yang berat dan sulit ditaklukkan. Banyak pendaki yang tersesat, bahkan tidak kembali lagi pada saat mendaki gunung Rinjani.

Teman-teman dan keluarga memanggilku Jenar, artinya pejuang gigih tak kenal menyerah. Penuh semangat, energik dan punya motivasi yang tinggi untuk meraih apapun yang diinginkan. Tapi sepertinya nama Jenar tidak pantas kusandang, karena aku bukan tipe orang yang energik dan penuh motivasi.

Bukan tanpa alasan, ayah memberiku nama Rinjani. Menurut cerita, ayah dan bunda menikah dalam keadaan yang tidak biasa. Setelah ayah pulang dari mendaki gunung Rinjani, baru ayah bisa menyentuh bunda. Lalu aku lahir, sebagai anak kedua ayah dan bunda.

Kalian pasti bingung, kan? Kok, bisa aku anak kedua, padahal orang tuaku baru bersentuhan setelah lama menikah. Itu karena bunda sudah memiliki anak sebelum menikah dengan ayah. Kakakku, yang sangat disayangi oleh ayah dan bunda. Kakakku yang juga sangat menyayangiku dan kusayangi

Ayahku dulu memang seorang pendaki. Tak terhitung gunung yang sudah ditaklukkan oleh ayahku waktu beliau masih muda. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Oleh karena itulah, aku dan adikku diberi nama yang diambil dari nama gunung yang telah berhasil ayah taklukkan.

Tapi sebelum aku lahir, ayah sudah pensiun mendaki. Sebuah kecelakaan memaksa ayah berhenti melakukan aktivitas fisik yang berat seperti mendaki. Padahal mendaki dan fotografi adalah jiwa ayah, apa boleh buat ayah harus kehilangan separuh jiwa demi kesehatannya.

Diantara ketiga anak ayah, hanya aku yang tidak suka mendaki. Padahal ayah sering bercerita tentang indahnya pemandangan puncak gunung dan asyiknya menyusuri jalan setapak untuk sampai ke puncak. Aku pun tidak tahu, mengapa aku tidak suka segala macam aktivitas fisik. Nilai olahragaku selalu mepet dari standart kelas. Sebab aku memang tidak menyukai pelajaran yang melelahkan itu.

Beda dengan kakak dan adikku yang penuh semangat dan energik, aku dilahirkan sebagai anak tengah yang plegmatis. Nyaris tidak punya motivasi hidup, motoku adalah jalani saja apa yang ada. Untuk apa menggapai yang belum tentu bisa digapai. Pikirkan saja yang ada di depan mata!

Ironis, disaat semua orang berlomba menggapai tujuan hidup, aku masih santai menjalani apa yang ada. Buat apa buru-buru, toh, tidak ada yang mengejar. Ya, itulah aku. Gadis plegmatis yang ingin menikmati hidup tanpa tuntutan. Hampir tidak punya tujuan hidup saja. Padahal di sekolah, aku termasuk salah satu siswa berprestasi.

Dulu, waktu kecil, jika ditanya cita-citaku apa, aku hanya menggeleng dan berkata, “aku tidak ingin menjadi apa-apa.”

Padahal kakak dan adikku sudah menyusun peta hidup sejak mereka masih remaja. Ah, rasanya hidupku memang datar saja, tidak seasyik kehidupan kakakku. Kehidupan kakakku cukup rumit, seperti sinetron yang tidak akan habis jumlah episodenya.

Walau demikian, aku punya satu keinginan yang tidak pernah kuucapkan. Sebagai seorang gadis yang pernah menjadi santri, mondok di pesantren selama tiga tahun waktu duduk di bangku tsanawiyah (setara SMP). Tentu aku punya keinginan klasik yaitu menikah dengan laki-laki soleh yang bisa membimbingku ke surgaNya.

Sebab jodoh, menurutku adalah cermin diri kita sendiri. Jika kita baik, maka kita pun akan dipertemukan dengan jodoh yang baik, begitu pula sebaliknya. Jadi jika aku ingin mendapat jodoh yang baik, aku harus memantaskan diri dulu menjadi baik.

Tapi bagaimana jika suatu hari, aku justeru jatuh cinta pada seseorang yang diluar nalarku. Seseorang yang tidak sejalan dan sepemikiran denganku, bahkan keyakinan kami pun berbeda. Haruskah aku menyerah? Atau terus memperjuangkan cinta kami, meski taruhannya adalah ridlo dari ayahku sendiri.

***

Flashback

Udara terasa panas, meskipun pagi hari baru saja menjelang. Peluh menetes dari dahi, membasahi jilbab yang membingkai wajahku. Kudorong motor dengan perasaan kalut dan khawatir.

“Pasti telat sampai sekolah,” rutukku dalam hati.

Entah mimpi apa aku semalam, hingga kesialan menghampiriku pagi ini. Ban motorku bocor, padahal jarak sekolahku masih jauh. Dan aku juga tidak tahu letak tambal ban terdekat. Motor tetap kudorong, entah sampai dimana, dalam hati aku berdo’a semoga ada teman atau siapa saja yang menolongku.

“Ah! Harusnya aku tadi telepon Pak Salim. Mengapa tidak terpikir dari tadi.” rutukku dalam hati lagi.

Aku berhenti mendorong motor, menyetandarkannya, lalu merogoh ponsel dari dalam tas. Hendak mendial nomor sopir keluargaku. Tapi rupanya pagi ini keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Sebab nomor pak Salim tidak bisa dihubungi. Lalu siapa yang akan kumintai tolong? Bunda? Ayah? Pada jam seperti ini mereka pasti sedang sibuk, tidak akan sempat memegang ponsel.

Ah! Aku mulai frustasi. Kulirik jam pada ponsel. 15 menit lagi, aku harus sampai di sekolah, kalau tidak mau dihukum lari keliling lapangan 10 kali. Bisa saja aku order taxi online tapi masa iya motor mau kutinggal begitu saja di pinggir jalan seperti ini? Aduh bagaimana ini?

Aku merutuki diriku sendiri, atas nasib sial yang menghampiri. Berkali-kali membuang napas asal, menendang udara kesal. Lalu lalang kendaraan tak kupedulikan, perasaanku sudah sangat gusar. Membayangkan akan dihukum lari keliling lapangan, membuatku makin kesal.

Aku tak tahu ada sebuah mobil MPV hitam yang menepi lalu berhenti tepat di depan motorku. Aku pun tidak tahu kalau pengemudi mobil tersebut keluar dan menghampiriku.

Seorang pria, mungkin usianya beberapa tahun diatas kakakku. Tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku sembari pandangannya menelisik, “motormu kenapa? Apa kamu tidak tahu? Bahaya seorang gadis sendirian di pinggir jalan ramai seperti ini?”

Aku mendongak, menatap pria yang tidak kukenal, tapi sudah berani menceramahiku. Memangnya siapa dia? Ayah bukan, kakak bukan, saudara bukan bahkan sekedar teman pun bukan. Berani-beraninya baru ketemu sudah ceramah.

“Hei! Kau bisu, ya? Atau telingamu tidak bisa dengar, karena tertutup jilbab?”

Sepertinya aku telah melakukan sebuah dosa, sehingga pagi ini kesialan datang bertubi-tubi. Kuberanikan diri menatap tepat di matanya. Dengan nada ketus kujawab, “anda siapa, ya? Apa anda mengenal saya?”

“Ban motormu bocor?” Kulihat pria itu membungkuk, meneliti ban belakang motorku yang kempes.

“Sekolah dimana?” Tanyanya.

Belum sempat kujawab, dia sudah menarik lengan kemeja putihku bagian kanan atas. Membaca badge nama sekolahku. Lalu dia menghempaskannya begitu saja. Benar-benar pria dewasa yang kurang ajar menurutku.

Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, lalu melirikku sembari berkata, “Dari sini sampai sekolahmu cukup 10 menit, bisa ngejar kalau ngebut. Tapi kalau jalan kaki mungkin bisa sampai setengah jam. Ayo kuantar!”

Dia melenggang begitu saja, tanpa menunggu jawaban dariku. Aku bergeming. Bukan tipeku percaya begitu saja pada orang asing, apalagi seorang pria.

Bagiku, seorang pria asing adalah seseorang yang perlu diwaspadai dan dicurigai. Seperti kata bunda, seorang pria pasti punya sejuta tipu muslihat dan kepiawaian merayu mangsa. Jangan pernah lengah! Karena bisa saja kamu terjatuh dan dimangsa oleh buaya darat.

“Apa yang kau tunggu? Atau kau mau ditangkap satpol pp karena disangka bolos sekolah?”

Kalimat yang diucapkan oleh pria berambut mandarin itu membuatku tergagap. Dia benar, sekarang satpol pp sering merazia siswa yang berkeliaran di jalan pada jam masuk sekolah. Tentu saja aku tidak mau ditangkap dan membuat bunda sedih.

Aku masih berpikir, ketika pria itu berjalan kembali ke arahku dan dengan sembarangan menarik tanganku. Aku berusaha menepis tangan besarnya, tapi genggamannya begitu kuat. Tidak dipungkiri ada rasa takut dalam hati, aku berpikir pria itu bermaksud jahat padaku.

“Masuklah! Jangan khawatir, nanti kupanggil tukang tambal ban. Walaupun aku tidak terlalu kenal daerah sini, tapi aku tahu tidak ada tukang tambal ban sepanjang jalan ini.” Ucapnya sembari membuka pintu mobil bagian kiri.

Aku menarik tanganku yang masih berada dalam genggamannya. Merasa tidak nyaman karena memang aku sangat menghindari bersentuhan dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki, kecuali keluargaku.

“Eh! Bisa tidak bapak lepaskan tangan bapak?” Kuberanikan berucap meski terdengar lirih karena aku menahan rasa takut, “maaf! Tapi saya gadis muslim yang tidak terbiasa bersentuhan dengan laki-laki bukan mahrom.”

Ia melepas genggaman tanganku, seketika tanganku luruh kembali kesamping tubuhku. Kuperhatikan ia mengusap tengkuk, salah tingkah. Aneh! Mengapa dia salah tingkah? Apa dia tidak sadar menarik tanganku tadi? Apa dia juga tipe orang yang tidak terbiasa bersentuhan dengan lawan jenis? Entahlah.

Sejenak aku berpikir untuk menerima tawarannya, walau kekhawatiran belum sepenuhnya sirna. Aku harus waspada, harus berjaga-jaga. Ingat kata bunda, semua laki-laki bisa menjadi apa saja, jika berhadapan dengan perempuan.

“Ayo masuk!” Sentaknya dengan nada ketus dan ekspresi wajah yang datar. Kalimat yang diucapkan selanjutnya membuatku sedikit percaya, “aku ingin membantumu, hanya karena ingin berbuat baik saja. Jadi jangan ge er. Aku tidak bermaksud jahat padamu.”

Aku tersenyum kecut. Pria dewasa ini ternyata bisa membaca isi pikiranku. “Saya tidak ge er, hanya ingin waspada saja. Siapa yang tahu kalau bapak tidak punya niat buruk terhadap saya?”

“Ck!” pria itu mencebik. Lalu membanting pintu mobil dengan kasar, “ya sudah kalau tidak mau dibantu.” lalu ia berjalan mengitari mobil.

Aku langsung panik, segera kucegah dia yang sudah membuka pintu bagian kemudi, “tunggu, Pak!”

Kulihat dia menatapku, segera kutundukkan pandangan seperti yang diajarkan waktu aku belajar di pesantren dulu. Pandangan pertama adalah nikmat, pandangan selanjutnya bisa jadi sebuah musibah.

“Bolehkah saya ikut anda, tapi saya duduk di kursi belakang?”

Kulirik pria itu mengernyit, ekspresi wajahnya tetap datar. Entah terbuat dari apa kulit wajahnya itu. Sehingga ia tidak punya ekspresi lain selain datar dan ketus.

“Masuklah! Kita tidak punya banyak waktu.”

Hanya itu yang dia ucapkan, lalu masuk ke dalam mobil. Aku pun membuka pintu belakang, dan masuk. Ia memperingatkanku untuk memakai sabuk pengaman, sebab ia akan mengebut agar aku tidak terlambat sampai di sekolah.

Ya Alloh! Mimpi apa aku semalam? Sehingga bisa semobil dengan pria asing yang tidak punya ekspresi wajah ini.

Sepanjang perjalanan kami lewati dalam diam. Aku terus menunduk, sesekali mengecek penunjuk waktu pada ponsel. Sebab aku tidak terbiasa memakai jam tangan. Pria itu juga diam, konsentrasi menyetir dengan kecepatan penuh.

Aku sampai di sekolah, tepat sebelum pak satpam hendak menutup pintu gerbang. Aku segera keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada pria berekspresi wajah datar. Kudengar dia berteriak, dengan setengah badan keluar dari jendela mobil, “hei, gadis! Siapa namamu?”

Tanpa berpikir panjang, kuteriakan nama panggilan guru-guruku di sekolah, “Rinjani!” lalu aku berlari masuk bersama puluhan siswa lain, mengabaikan wajah keruh pak satpam.

“Jenar!” Suara bariton itu membuatku menoleh tanpa menghentikan langkah. Pemilik suara berlari mengejarku, seperti biasa ia sok akrab dan sok perhatian. Sepertinya kesialan belum juga hilang dari diriku. Masih setia datang dalam bentuk yang lain.

“Tumben telat?” sapa pria jangkung yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku.

“Ban motorku bocor, tadi. Untung ada orang baik nolongin” Jawabku singkat dan ketus. Hanya karena tidak ingin membuatnya marah yang akan berdampak pada semua temanku nantinya.

“Oh! Kenapa tadi tidak telpon? Kan, bisa kujemput.”

“Nggak perlu repot, Kak. Jenar bisa berangkat sendiri, kok.”

“Lain kali kalau kamu butuh bantuan, panggil aku saja, ya! Aku akan selalu ada untukmu!” pria itu mengusap jilbab pada ujung kepalaku sekilas. Lalu berlari, berbelok ke kanan saat kami sampai di persimpangan koridor. Letak kelas kami memang berbeda koridor.

Sejenak aku berhenti, diam menatap punggung jangkung yang kian menjauh itu. Menghembuskan napas berat sembari menggelengkan kepala. Beberapa hari ini aku merasakan perhatian lebih dari kakak kelas itu.

Namanya Varen Danudirja. Dia adalah ketua OSIS sekaligus putra pemilik yayasan sekolah ini. Teman-temanku bilang dia ganteng, idaman semua gadis. Memang benar, Kak Varen punya pesona tersendiri. Tapi tingkahnya yang sering menyentuhku sembarangan membuatku tidak respect. Aku kesal setiap kali ia menyentuhku tanpa ijin, walau hanya sekedar merangkul atau mengusap jilbab. Bagiku, tubuhku sangat berharga untuk sembarangan disentuh orang lain, kecuali keluarga.

Dan sekeren apapun kak Varen, sekaya dan seganteng apapun dia, tetap saja dia bukan tipe pria impianku. Sebab pria yang kuimpikan untuk menjadi suamiku adalah pria soleh yang tidak sembarangan menyentuh perempuan. Bagaimanapun teman-teman satu sekolah mengaguminya, tetap saja hatiku tidak bergetar tiap kali ia mendekatiku. Karena aku adalah Rinjani, gunung yang sulit ditaklukkan. Sekeras itulah hatiku pada laki-laki yang mendekatiku. Memasang pagar tinggi sebagai tameng, agar tak sembarangan pria bisa merayuku.

Aku mengembalikan kesadaran, segera berlari menyusuri koridor, menuju ke kelasku. Aku tidak ingin keduluan masuk ke dalam kelas oleh guru, sehingga nanti aku akan dihukum menyanyi di depan kelas.

Urusan motor biar kupikirkan nanti. Lagi pula, pria yang tidak kutahu namanya itu berjanji akan mengantarkan motorku ke sekolah. Tapi bagaimana kalau dia berbohong? Bagaimana kalau ternyata dia sindikat pencurian motor? Ah! Masa bodoh! Yang penting aku tidak terlambat masuk ke kelas.

Peristiwa pagi itu sudah kulupakan sejak lama. Urusanku dengan pria dewasa berambut mandarin itu, kukira sudah selesai waktu pak satpam memberiku kunci motor, pertanda pria itu menepati janjinya. Mana ku tahu, ternyata berganti tahun, justru aku sering bertemu dengan pria berwajah datar itu. Dalam situasi dan kondisi yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Situasi rumit yang membuatku berpikir tentang tujuan hidup dan cita-cita.

2. Sang Raja yang mengabdi sebagai pelayan

Immanuel Kagendra Hara.

Nama yang disematkan oleh papa waktu aku lahir. Papa dan mama pasti ingin aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan, karena memberiku nama demikian. Seperti yang diyakini sebagian banyak orang, nama adalah do’a.

Aku dibaptis dengan nama Immanuel saat umurku baru 7 bulan. Sampai saat inilah, aku meyakini agama yang dianut oleh papa dan diturunkan kepadaku. Agama keturunan, bukankah seperti itu? Sebagian besar dari kita memeluk kepercayaan dan keyakinan yang diturunkan oleh orang tua kita.

Aku dilahirkan di keluarga heterogen. Mama dan papaku memeluk keyakinan yang berbeda, dan aku lebih condong mengikuti papa. Walau hidup dengan keyakinan yang berbeda, papa dan mamaku selalu rukun sampai akhir hayat mereka.

Yatim piatu sejak umur 13 tahun, sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa mama dan papaku. Sehingga aku kehilangan dua orang yang sangat kusayangi dalam waktu bersamaan. Aku hidup sebatang kara, sebab satu-satunya keluarga dari pihak papa, yaitu tanteku tidak mau mengurusku. Dengan alasan keberatan masalah ekonomi. It’s ok, sebab aku sudah cukup umur untuk hidup sendiri,

Aku sempat tinggal sementara di panti asuhan, sebelum atasan papa, Pak Reza Mahardika mengambilku dan mengasuhku. Papa adalah karyawan kepercayaan pak Reza. Saat mengetahui papa dan mama meninggal, pak Reza yang masih berada di Singapura segera pulang, untuk mengantar jenazah kedua orang tuaku yang ke tempat peristirahatan yang terakhir. Walau papa dan mama dikuburkan di tempat berbeda. Keluarga mama mengambil jenazah mama untuk dimakamkan di kampung halaman mama. Sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota Jogjakarta.

Setelah tahu bahwa tidak ada yang mengasuhku, beliau segera mengambilku dari panti asuhan sekaligus memintaku tinggal di rumahnya. Namun aku terlalu sungkan untuk menerima tawaran pak Reza, sebab setahuku beliau lebih sering tinggal di luar negeri. Saat itu aku tidak terlalu akrab dengan beliau, aku takut jika tinggal di rumah beliau akan merepotkan dan menjadi beban.

Ditinggal orang tua di usia remaja memang membuatku rapuh, namun aku tidak ingin memanfaatkan rasa iba orang lain terhadapku. Untunglah papa mengajarkanku agar menjadi laki-laki kuat, tidak cengeng dan tidak mudah jatuh.

Pak Reza membiarkanku tinggal sendiri di rumah peninggalan papa. Beliau membiayai seluruh keperluan hidupku, termasuk membayar seorang asisten rumah tangga dan seorang sopir yang akan mengurusku. Sebagai imbalannya, aku harus mau berteman dengan putra angkatnya, Reyfan.

Meski agak sulit, karena putra angkatnya lebih tua dua tahun dariku. Anaknya bandel, sombong, angkuh, terkesan tidak bersahabat. Tapi aku tetap berusaha berteman dengannya. Sebagai imbalan atas kebaikan hati pak Reza dan bu Zulfa. Ia baru saja kembali dari luar negeri waktu itu, dan hendak melanjutkan pendidikan SMA nya disini.

Hari berganti hari, kami lambat laun bisa berteman baik. Juga dengan Hamzah, putra Pak Adnan, asisten pak Reza. Kami mulai sering menghabiskan waktu bersama, karena ternyata hobi kami hampir sama. Membaca, bermain musik dan voli. Hanya satu hobi yang berbeda dari kami, yaitu kegemaran Reyfan menyambangi tempat hiburan malam.

Mungkin kebiasaan waktu di luar negeri, terbawa sampai ia pulang ke Indonesia. Bagiku yang masih remaja, tentu saja hal itu tidak lazim. Jangankan masuk tempat hiburan malam, melihat tempat itu dari dekat saja aku belum pernah.

Tapi pengaruh Reyfan terhadapku dan Hamzah sangat bersar. Lambat laun, kami pun mengikuti kebiasaannya. Dengan kuasanya, ia mengubah kartu pelajarku, mengelabui petugas kelab malam, agar aku yang masih di bawah umur, bisa masuk ke tempat gelap dengan lampu kelap-kelip dan musik yang keras menghentak itu.

Saat itulah aku mulai terbiasa dengan wine, vodka, coktail, dan sederet minuman dengan kadar alkohol ringan sampai tinggi. Juga gaya hidup malam yang gemerlap.

Biasanya kami akan pulang dini hari dalam keadaan mabuk dan kami bertiga akan bermalam di rumahku yang sepi. Paginya Mbok Jum akan membuatkan kami air jahe dan sup penghilang hang over. Lalu mang Saeb akan mengantar kami ke sekolah masing-masing.

Bukannya pak Reza atau Pak Adnan mengabaikan kami begitu saja, membiarkan kami berlaku seenak kami sendiri, bergaul tanpa batas. Mereka berulang kali menasehati, bahkan sampai menghajar kami. Tapi jiwa muda yang bergelora tidak memberi kesempatan untuk menurut pada nasihat-nasihat mereka. Hanya masuk dari telinga kiri, lalu keluar dari telinga kanan.

Begitu seterusnya, saking tidak punya jalan lagi untuk menyadarkan kami dan membuat kami kembali ke jalan yang benar. Pak Reza memutuskan kami bertiga harus dipisah, tidak diijinkan saling bertemu satu sama lain dalam jangka waktu yang lama. Pak Adnan membawa Hamzah kuliah di Jogja, Reyfan dibawa ke luar negeri lagi, sedangkan aku dibawa ke sebuah sekolah asrama di Magelang.

Tiga tahun aku berrsekolah di sekolah asrama kristen tersebut. Sebuah sekolah unggulan yang muridnya berasal dari Sabang sampai Merauke. Disinilah aku menimba ilmu, sebagai seorang kristiani.

Sejak papa dan mama meninggal sampai aku beranjak dewasa, tidak ada satupun saudara dari keluarga papa yang pernah mendatangiku. Tante Lidya, satu-satunya adik papa pun tak pernah sekedar menjengukku, atau bertanya kabar apakah aku masih hidup atau tidak.

Justeru keluarga mama, yang tahu aku bersekolah di Magelang, sering menjengukku. Mungkin karena jarak yang dekat, antara Jogja dan Magelang, jadi mereka sering menjengukku, dengan membawa banyak makanan.

Padahal setiap kali keluarga mama datang berkunjung, mereka pasti menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Kehadiran laki-laki bersarung dan berpeci dengan seorang nenek berjilbab serta dua orang wanita muda berpakaian syar’i di asrama kristen. Pasti sangat mencolok, bukan?

Aku memang dilahirkan dari keluarga heterogen. Papaku beragama kristen sejak lahir, menikah dengan mamaku yang beragama islam sejak lahir pula. Keduanya memeluk agama turunan dari leluhur. Entah bagaimana keduanya bisa menikah dulu, sebab setahuku, di negara ini belum bisa menikahkan pasangan beda agama.

Yang kutahu, aku dibesarkan tanpa tuntutan harus mengikuti agama papa atau mama. Namun, dominasi papa dalam keluarga, tentu saja menuntunku untuk mengikuti agamanya. Dan sampai sekarang, aku memeluk agama yang sama dengan agama yang papa anut. Sampai sebuah peristiwa membuatku ragu, akan apa yang sudah kuyakini bertahun-tahun.

***

Aku baru saja datang ke kota pahlawan ini. Kota dengan gedung-gedung tinggi, dan udara pekat karena berselimut kabut polusi. Hampir sama seperti Jakarta. Pantas saja kalau kota ini disebut sebagai kota metropolitan kedua setelah jakarta. Surabaya, panas dan gerah.

Kulajukan mobil dalam kecepatan sedang, sebab hari masih pagi. Menyusuri jalan protokol kota Surabaya yang ramai. Baru kemarin Noura mengajakku berkeliling kota ini, sekarang aku sudah sedikit hafal tempat-tempat penting yang akan menjadi persinggahanku. Selama beberapa bulan kedepan, aku akan berada di kota ini. Mengisi kekosongan posisi direktur, sebelum Reyfan menyelesaikan studinya lalu pulang ke negri ini.

Mobil kuhentikan, tepat didepan garis batas, sebab lampu rambu lalu lintas berwarna merah. Kutoleh kanan-kiri, jalanan dipenuhi oleh pengendara motor dan mobil. Sama sepertiku, mungkin mereka hendak berangkat kerja, atau berangkat ke sekolah. Sebab ada beberapa pengendara motor yang memakai celana abu-abu.

Kulemparkan pandangan ke depan, menatap kendaraan yang lalu-lalang dari persimpangan jalan. Tak jauh dari tempatku, di pinggir jalan, kulihat seorang gadis yang sedang menendang ban motornya dengan ekspresi kesal. Kuperkirakan dia adalah seorang siswi sekolah menengah atas, kalau dilihat dari rok warna abu yang ia kenakan.

kuinjak pedal gas perlahan, ketika lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Kulirik gadis itu sedang melepas helm, dan duduk di trotoar, samping motornya. Aku bisa saja hanya melewatinya, tanpa peduli. Toh, aku tidak kenal dengan gadis itu, bukan?

Tapi entah dorongan dari mana, kakiku menginjak pedal rem dan laju mobil berhenti tepat di depan motor gadis itu. Aku melihatnya dari kaca spion, ia sedang sibuk menekuri layar ponsel. Entah sedang berusaha menghubungi siapa atau sedang menunggu balasan chat dari siapa.

Kutanggalkan kacamata hitam yang bertengger di hidung, meletakkannya di dashboard. Lalu aku keluar dari mobil, menghampiri gadis berjilbab putih itu. Aku bertanya dengan tanpa ekspresi apapun, “motormu kenapa?” padahal aku sudah tahu kalau ban motor itu kempes.

Gadis itu mendongak menatapku, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin ia sedang memindai, siapa aku tiba-tiba datang dan bertanya padanya? Aku tidak peduli dia menjawab atau tidak, malah kuceramahi dia.

“Apa kau tidak tahu? Bahaya seorang gadis sendirian di pinggir jalan ramai begini.”

Tapi ia malah menatapku dengan pandangan mata tajam. Membuatku mengatakan kalimat yang mungkin menyakiti hatinya, “hei! Kau bisu, ya? Atau kau tidak bisa dengar karena telingamu tertutup jilbab?”

Ia bergeming, hingga aku meneliti ban motornya yang kempes. Lalu samar-samar kulihat benda kecil mengkilap menancap di ban belakang motor gadis itu. Pasti itu penyebab ban motor itu kehabisan angin.

Aku menarik lengannya, membaca tulisan dalam badge yang menunjukkan nama sekolahnya. Sekilas kubaca dan kebetulan kemarin Noura mengajakku lewat sekolah itu. Sebuah SMA swasta yang terletak di pinggir jalan, searah dengan jalan menuju ke kantorku.

Kutawarkan gadis itu tumpangan. Tak segera ia terima, sampai aku menakutinya dengan mengatakan kalau satpol PP biasanya melakukan razia pada jam-jam seperti ini. Padahal aku tidak tahu itu benar atau salah.

Gadis itu masih saja berpikir, padahal waktu terus berjalan. Kuhampiri dia, kutarik asal tangannya, lalu kubuka pintu mobil agar ia masuk. Tapi diluar dugaan, gadis itu memberontak sembari berucap ketus, “eh! Bisa tidak bapak lepaskan tangan saya? Saya ini gadis muslim, Pak. Tidak sembarang bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahrom!”

Seketika kulepas genggaman tanganku pada pergelangan tangannya, mengusap tengkuk dengan kikuk. Bagaimana aku bisa melupakan batas itu? Padahal sejak kecil mama sudah mewanti-wanti kepadaku. Bahwa ada batas bersentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam islam.

Ah! Tapi bukankah sekarang jaman sudah berubah? Banyak yang abai pada aturan tersebut. Orang muslim saling bersalaman antara laki-laki dan perempuan sudah biasa. Bahkan ada yang tidak malu berangkulan di depan umum, padahal mengenakan jilbab.

Tapi gadis ini sepertinya beda. Dia pasti berasal dari keluarga yang masih kolot. Terbukti, aku hanya memegang pergelangan tangannya saja dia sudah terlihat marah sekali.

Dia akhirnya mau kuantar sampai sekolah, tapi hanya duduk diam di kursi belakang. Aku semacam sopirnya saja, kubiarkan. Sebab wajah dan seragamnya mengingatkanku pada dua orang gadis kembar yang kutemui saat aku masih kecil. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu dengan mereka.

Masih kuingat dengan jelas, waktu mama mengajakku berkunjung ke Jogjakarta. Saat itu aku sedang berlibur usai ujian akhir sekolah dasar. Papa memberiku hadiah tamasya ke Jogjakarta, tapi beliau tidak bisa ikut karena pekerjaan tidak bisa ditinggal.

Aku pergi hanya dengan mama. Disela berlibur, mama mengajakku ke suatu tempat. Aku sudah lupa nama desa maupun daerah itu. Yang kuingat hanya sebuah rumah kecil, tanpa halaman. Dan seorang pria seumuran mama, memakai sarung, kemeja dan peci, menemui kami di ruang tamu yang kecil. Lesehan, tanpa ada kursi, hanya karpet tipis yang di gelar sebagai alas kami duduk. Lalu dua orang gadis berseragam putih-abu pulang dari sekolah, menatap mama dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Saat itu, mama mengenalkan kami, “Hara! Mereka ini kakakmu. Mereka adalah keluargamu, bahkan jika kelak mama sudah tidak ada.”

Aku belum sepenuhnya mengerti keadaan mama waktu itu. Setelah aku dewasa dan gadis kembar itu sering mengunjungiku di asrama, baru aku tahu. Kalau ternyata pria bersarung itu adalah mantan suami mama, lalu kedua gadis kembar itu anak-anak mama dengan mantan suaminya. Mama meninggalkan mereka dan memilih menikah dengan papa.

Walau aku tidak pernah tahu, apa alasan mama lebih memilih papa, padahal pria bersarung itu kelihatannya orang baik. Dan juga gadis kembar itu, teganya mama meninggalkan mereka padahal usia mereka masih kecil waktu itu Tapi aku ini hanya seorang anak, yang tidak tahu kemelut yang terjadi pada para orang tua. Cerita apa dibalik mama, papa dan mantan suami mama itu, aku tidak pernah tahu. Dan tidak pernah ingin tahu.

Setelah aku lulus dari sekolah asrama, dan Pak Reza mengirimku keluar negeri untuk belajar sekaligus menemani Reyfan, aku sudah kehilangan kontak dengan keluarga mama. Dalam bayanganku, kedua gadis kembar itu masih mengenakan seragam SMA, padahal mereka pasti sekarang sudah menikah dan punya anak.

Itulah alasan mengapa aku tergerak untuk menolong gadis itu. Gadis yang penampilannya seperti kedua kakak kembarku. Kakak kembar yang kini tidak kuketahui dimana keberadaannya, dan bagaimana kabarnya.

Tepat saat satpam akan menutup pintu gerbang, aku menghentikan mobil di depan sekolah gadis itu. Sempat aku menanyakan namanya, sebelum dia berlari mengejar waktu.

“Rinjani!” Teriaknya. Menjawab pertanyaanku. Tapi sejurus kudengar seorang pria berseragam sama dengan gadis itu memanggilnya dengan nama yang lain, “Jenar!”

OH! Rupanya gadis itu mau mengelabuhiku. Awas saja kalau dia menyebutkan nama yang salah, motornya tak akan kukembalikan. Biar gadis itu tahu rasa, sudah berani mempermainkan orang dewasa sepertiku.

Kutelpon Noura agar mencarikan tukang tambal ban, setelah kuberikan lokasi motor. Kusebutkan nama sekolah gadis yang menyebutkan namanya Rinjani itu, agar tukang tambal ban nanti mengantar motor itu kesana.

Noura lebih dulu tinggal di kota ini, sudah tentu ia lebih hafal tempat-tempat disini. Dibandingkan aku yang baru beradaptasi. Pak Reza memintaku pulang ke Indonesia karena kantor cabang Surabaya bermasalah. Yang disebabkan oleh kakak kandung Noura. Sedangkan Reyfan baru menyelesaikan tesisnya. Jadi aku yang diminta pak Reza untuk menyelesaikan masalah di kantor cabang ini.

Pagi itu kupikir urusan dengan Rinjani sudah selesai. Aku tidak pernah tahu, bahwa Rinjani ternyata orang terdekat dengan majikanku. Bertahun kemudian, kami jadi sering bertemu. Tapi kurasa dia lupa tentang peristiwa pagi itu. Dia yang telah beranjak dewasa, dengan tubuh ranum dan penampilan yang berbeda. Rinjani yang memang dipanggil dengan nama Jenar oleh keluarganya, ternyata adalah adik dari anak kandung pak Reza.

Dia yang berubah menjadi lebih santun dalam balutan gamis syar’i dan jilbab lebar menutup dada sampai perut, juga punggung sampai bawah pantat. Rinjani Jenar Adhitama, yang kutahu pasti banyak mata pria lapar yang terpesona oleh kecantikkannya dan keanggunannya.

Gadis yang kini sedang duduk di bangku belakang mobilku, setelah aku menjemputnya dari stasiun tadi. Dia duduk diam, sama seperti bertahun-tahun yang lalu saat kami pertama kali bertemu. Entah apa yang sedang ia lakukan, karena mulutnya seperti sedang komat-kamit, kulihat jemarinya juga bergerak menyentuh ruas-ruas jarinya.

“Pak Hara!”

Suara itu menyadarkanku dari lamunan dan fokus ke jalan raya yang sedikit lengang. Hari ini hari minggu, lalu lintas kota metropolitan tetap padat, meski tidak sepadat biasanya. Kendaraan bergerak pelan memecah kemacetan, membelah jalanan yang luas namun tetap tidak sanggup menampung banyaknya kendaraan yang melaju.

“Didekat rumah Kak Neesha ada toko buku tidak?”

Kulihat kaca spion dalam, Jenar tidak bertanya tanpa melihat ke arahku. Dia lebih tertarik pada deretan gedung bertingkat di kanan dan kiri jalan yang kami lalui. Kujawab pertanyaannya dengan singkat, “tidak ada.”

Dia diam, tidak bertanya lagi. Kulihat lagi pantulan wajahnya dari kaca spion dalam. Mulutnya kembali komat-kamit dan ibu jarinya kembali menyentuh ruas-ruas jari, seperti sedang merapalkan mantra saja.

“Kalau mau ke toko buku, agak jauh dari rumah Aneesha. Kalau yang kau maksud toko buku Gramedia, nanti bisa kau minta Aneesha mengantarmu kesana.” Kataku dengan nada suara datar.

“Sebenarnya aku penasaran dengan toko buku yang diceritakan oleh bang Tereliye di novelnya yang berjudul Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.”

Kukira tadi dia serius ingin membeli buku, ternyata dia hanya penasaran dengan setting tempat cerita dalam novel. Dasar gadis unik.

“Jadi kau penggemar Tereliye?”

“Suka dengan karya-karyanya, suka dengan gaya menulisnya, juga-”

“Juga suka dengan kalimat-kalimat sarkasnya mengkritik pemerintah? Suka dengan kalimat provokasinya?”

“Eh! Jangan salah, Pak! Tereliye tidak pernah memprovokasi, loh. Kalau mengkritik pemerintah … bukankah memang itu perlu? Indonesia, kan, negara demokrasi, Pak. Jadi sah, dong. Siapa saja boleh mengkritik pemerintah. Lagian yang ditulis bang Tere itu semua kenyataan, kok.”

“Tahu apa kamu soal politik, heem?”

Entah mengapa kami yang tadinya saling diam, begitu ketemu topik pembicaraan yang nyambung malah jadi berdebat. Sebenarnya, aku ini follower fanspagenya Tereliye. Selalu mengikuti setiap postingannya, baik yang sedang mengkritik pemerintah, keadaan negara atau isu sosial yang sedang merebak. Aku hanya ingin menguji gadis ini, sejauh mana dia bisa menilai sesuatu yang sensitif.

“Saya memang tidak banyak tahu tentang politik, Pak. Tapi saya mengikuti perkembangan berita terbaru, loh. Termasuk perombakan kabinet yang baru-baru ini terjadi. Siapa saja yang menduduki jabatan mentri baru, saya tahu, loh.” Kilah Jenar.

“Baguslah, jadi otakmu berkembang. Bukan hanya halu karena baca novel saja.”

Kudengar Jenar mencebik, tapi pandangannya tetap kearah samping. Menatap gedung pencakar langit yang bergerak semu seperti slide film yang berputar. Dia diam, aku pun diam. Kami saling diam sepanjang sisa perjalanan menuju ke rumah Aneesha.

Entah apa yang kupikirkan saat dia menelpon tadi, bagaimana bisa aku menjemputnya sendiri ke stasiun. Padahal aku bisa saja memberitahu Reyfan untuk menjemput sendiri adik iparnya. Toh, ini bukan waktu ku bekerja, ini hari minggu, waktuku libur. Dan biasanya waktu libur, aku pergunakan waktu untuk bersantai. Tapi ini malah aku mau menjemput gadis remaja ini, sungguh ini diluar kebiasaanku.

.

.

.

Bersambung....

Hai semuanya ....

*Terima kasih yang sudah bersedia mampir di karya baru ini. *

Maaf, karena tidak bisa up sering dan cepat. Jauh dari ekpectasi memang, yang pasti cerita ini sudah melalui pertimbangan dan diskusi panjang dengan beberapa narasumber. Tetap seperti biasa, ya. terbuka untuk saran dan kritik. hehe.

Terima kasih untuk yang sudah vote, kasih gift, komen dan rate bintang lima. Jangan sungkan untuk memberikan saran dan kritik, ya.

selamat membaca.

Desi desma/La lu na

3. Sebuah Rahasia.

...Bagaimana aku bisa mendo'akanmu, sedangkan Tuhan yang kita sembah berbeda?...

Hara.

Aku bukan seorang pria romantis yang biasa memberikan rayuan dengan berbagai puisi manis kepada para wanita. Aku bahkan tidak punya pengalaman menaklukkan hati wanita. Aku juga belum pernah memperjuangkan seorang wanita, sebab banyak wanita datang dengan suka rela padaku, sebelum aku memintanya.

Aku bukan pria romantis yang terbiasa memberi hadiah atau bucket bunga kepada wanita. Sebaliknya, aku adalah pria yang terkesan dingin dan cuek terhadap wanita. Dibanding Hamzah dan Reyfan, hanya aku yang tidak pernah punya cerita dengan makhluk berjenis kelamin wanita.

Tapi melihat binar bahagia Reyfan saat tahu istrinya hamil, jelas membuatku iri. Reyfan begitu bahagia, rona wajahnya terpancar melebihi saat dia berhasil memenangkan sebuah tender besar. Tak bisa kubayangkan jika nanti anak mereka lahir, Reyfan pasti sangat bahagia lebih dari ini.

Sebahagia itukah menikah dan punya anak? Bukankah menikah hanya akan menjadi beban? Seperti Reyfan dan Hamzah yang sekarang jarang bisa keluar clubing atau sekedar pergi ke tempat karaoke seperti yang biasa mereka lakukan dulu.

Karena pernikahan, mereka jadi berubah. Jangankan untuk pergi ke tempat hiburan malam, hanya untuk merokok saja mereka harus hati-hati. Praktis, hidup mereka menjadi terbatas setelah menikah. Karena itulah, aku jadi tidak punya pikiran untuk menikah, hanya akan menambah rumit kehidupan saja. Berjuang dan berkorban demi orang lain, seperti sebuah omong kosong bukan?

Membuat pikiranku melayang jauh, mengingat mama dan papa yang telah tiada. Aku memandangi langit-langit kamar, membayangkan wajah mama dan papa yang tersenyum padaku. Apa kabar mereka? Bahagiakan mereka di surga sana? Apakah dulu mereka juga saling berjuang dan berkorban agar bisa hidup bersama.

Aku teringat beberapa bulan yang lalu, saat mengantar Reyfan ke Magelang untuk menemui keluarga Aneesha. Reyfan memintaku ke kota, karena sinyal di rumah Mbah Uti jelek. Sedangkan aku harus mengirim beberapa email penting terkait pekerjaan.

Aku sangat hafal jalan di daerah tempat tinggal mbah uti, karena dekat dengan asrama tempatku sekolah dulu. Saat itu, aku sempat mampir ke asrama, menemui pastor dan berbincang sebentar. Sebelum aku melaju ke kota hanya untuk mendapatkan sinyal.

Aku memilih sebuah rumah makan untuk singgah, untuk mengurus pekerjaanku juga sekalian mengisi perut. Tak disangka di rumah makan itu, aku melihat seseorang yang seperti ku kenal. Meski sekilas, tapi membuat rasa keingintahuanku muncul tidak bisa ditahan.

Aku mengemasi barang-barang, dan segera membayar makananku. Entah kekuatan apa yang membuatku mengikuti mobil pickup yang baru saja mengantar sayuran ke rumah makan tempatku singgah tadi. Aku mengikutinya, sampai mobil itu melewati perbatasan kota Magelang-Jogja. Lalu berbelok ke gang kecil, melewati sebuah sekolah dasar negeri dan masjid yang besar yang terletak di dalam komplek sebuah pondok pesantren. Lalu berhenti setelah berbelok ke gang yang hanya muat untuk lewat satu mobil saja.

Mobil kuhentikan tepat di belakang mobil itu, menunggu sampai pengemudi mobil turun. Kuamati dengan seksama, siapa di dalam mobil tersebut. Dan ternyata penglihtanku tidak salah.

Seorang pria dan wanita keluar dari mobil. Dengan tatapan penuh selidik keduanya melihat ke arah mobilku. Aku masih bergeming, memandang sekeliling. Pandanganku berhenti pada sebuah rumah yang terletak di samping mobil. Rumah itu masih kecil, hanya sekarang papan kayu sudah berganti dinding dan ada taman kecil di depannya.

Setelah menimbang beberapa saat, aku keluar dari mobil. Sepasang pria dan wanita itu menatapku tajam, lalu saling berpandangan penasaran. Mungkin sedang saling bertanya melalui kode pandangan.

Aku tersenyum seraya mendekat. Kuulurkan tangan kepada si wanita berpakaian syar’i dengan jilbab panjang sampai ke lututnya, “Mbak Nabila? Apa kabar, Mbak? Lama sekali kita tidak bertemu.”

Wanita itu mengernyit, ragu untuk menyambut uluran tanganku. Lalu kuperkenalkan diriku, mungkin dia lupa karena sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.

“Mbak pasti tidak mengenali saya. Saya Hara, Mbak.”

Dahi mbak nabila mengernyit dalam, seperti sedang memastikan sesuatu. “Hara?” ucapnya memastikan. Aku mengangguk. Lalu mbak nabila segera menerima uluran tanganku dengan senyum mengembang.

“Ya Alloh, Hara! Kamu kemana saja? Tidak ada kabar, tidak ada berita. Tahu-tahu kamu sudah sekeren ini.”

Mbak nabila memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuatku tersenyum kikuk sebab dasi masih tersemat di krah kemeja putihku. Sedangkan pria disebelah mbak nabila menatapku tajam, ada ketidak sukaan yang kutangkap dari pancaran matanya.

“Maafkan saya tidak sempat berpamitan sejak lulus asrama dulu.” Ucapku hati-hati dam menyiratkan sesal. Sebab sejak lulus asrama aku memang tidak pernah mengunjungi mereka. Padahal dulu keluarga ini sangat intens mengunjungiku selama aku di asrama.

Aku hendak menyalami pria di sebelah mbak Nabila, tapi urung karena dia terlihat tidak bersahabat. Aku tidak tahu siapa pria itu, hingga mbak Nabila memperkenalkan kami.

“Mas!” Mbak Nabila menarik lengan pria disebelahnya. Kemudian melanjutkan bicara, “ini Hara, yng pernah bapak ceritakan. Dia … adikku.”

Aku tersenyum mendengar cara mbak nabila memperkenalkan kami. Kuulurkan tangan walau ragu, wajah pria itu berangsur mencair dan tersenyum padaku.

“Hara! Ini Mas Akmal, suami mbak.”

Aku tersenyum membalas senyum mas Akmal, “apa kabar, Mas?”

Mbak Nabila mengajakku masuk ke dalam rumah. Seperti bertahun-tahun yang lalu, aku duduk di ruang tamu rumah tersebut dalam diam. Hanya bedanya, kini sudah ada satu set meja dan kursi di ruang tamu kecil tersebut. Sebuah aquarium yang berisi ikan guppy, juga televisi layar datar yang menempel pada dinding. Secara keseluruhan rumah ini tidak banyak berubah, hanya penataan ruangan yang lebih rapi terkesan indah dan terawat.

“Silakan diminum tehnya!” Mbak Nabila mengangsurkan secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas untukku. Juga untuk dua pria yang duduk bersamaku.

“Jadi sekarang kamu tinggal dimana, Hara?” Pria paruh baya yang tak lain adalah bapak dari mbak Nabila bertanya padaku.

“Saya tinggal di Jakarta, di rumah peninggalan papa, Pak.” Jawabku menerangkan.

“Ehm … saya tidak melihat mbak Nadia, kemana dia?” Tanyaku karena penasaran dengan saudara kembar mbak Nabila.

“Jadi begini, Hara. Nadia tinggal bersama suaminya di Jepara. Aku tetap disini untuk merawat bapak.” Jelas mbak Nabila.

Sepanjang hari itu kuhabiskan dengan berbincang berbagai hal bersama keluarga mbak Nabila. Seperti bertahun-tahun yang lalu saat aku datang ke tempat itu bersama mama, sambutan mereka sangat hangat. Padahal bisa dibilang aku ini adalah perebut mama dari mereka. Tapi mereka sama sekali tidak mempermasalahkan dan tidak menyimpan dendam. Tetap mau menganggapku sebagai saudara mereka.

Siang itu aku bertanya tentang keberadaan makam mama pada mbak Nabila. Makam yang sama sekali belum pernah kulihat, belum pernah kukunjungi. Padahal hampir setiap minggu, aku berziarah ke makam papa.

“Maafkan kami, Hara. Kami terpaksa memisahkan makam ibu dengan papamu.” Ucap mbak Nabila dengan nada penuh penyesalan.

“Kami tidak ingin ibu dikuburkan tidak sesuai syari’at. Karena ibu adalah seorang muslim, meskipun ibu pernah melakukan kesalahan pada kami, tapi ibu tetap ibu kami dan kami sangat menyayanginya. Bapak, nenek dan semua keluarga ibu tidak pernah berubah kasih sayang terhadap ibu, meskipun ibu telah meninggalkan kami.”

Mendengar penuturan mbak Nabila, justru aku yang merasa sungkan. Mama meninggalkan keluarga kecil itu karena tergoda cinta papa. Dan mereka masih bersikap baik terhadapku meskipun aku ini adalah perebut ibu mereka. Indah sekali akhlak mereka, bukan?

Kami pergi berziarah ke makam mama. Sebuah tempat pemakaman umum yang terletak di ujung desa. Tempat pemakaman yang biasa, hanya gundukan tanah yang bagian pinggirnya diberi plesir. (batu alam yang dibentuk sedemikian rupa untuk melindungi tanah makam agar tidak longsor.)

Aku mengikuti Bapak, mbak Nabila dan suaminya, berjongkok di depan makam. Kubaca tulisan pada nisan, terukir nama mama, tanggal lahir dan tanggal wafat mama. Kuedarkan pandangan ke seluruh makam. Hampir sama, semua makam hanya berupa gundukan tanah tanpa kijing (batu nisan yang biasanya diletakkan diatas makam). sebagian diberi plesir, sebagian dibiarkan saja sebagai gundukkan tanah, hanya diberi bambu dan nisan kayu sebagai penanda.

Kulihat bapak memimpin do’a, sedangkan mbak Nabila dan mas Akmal menengadahkan kedua tangan, mengamini. Mereka terpekur dalam do’a, sedangkan aku hanya diam memerhatikan gundukan tanah makam bertabur bunga. Ragu untuk ikut merapalkan do’a, sebab keyakinan yang kuanut berbeda dengan mama.

Lama kami berada di makam mama. Membersihkan makam dari guguran daun randu dan rumput liar yang tumbuh di sekitar makam.

Ini pertama kalinya sejak mama meninggal, aku berziarah ke makam mama. Tapi yang membuatku masygul adalah, bagaimana aku bisa mendo’akan mama, sedangkan Tuhan yang kami sembah berbeda. Apakah akan sampai jika aku mendo’akan mama dengan keyakinan yang kuanut? Apakah disana, mama juga bisa mendo’akanku?

Sepulang dari makam mama waktu itu, aku menjadi ragu dengan keyakinanku sendiri. Keyakinan yang sudah kuanut sejak kecil, agama yang kuyakini sejak kecil.

Aku masih memandangi langit-langit kamar, sampai tak sadar kantuk menghampiri. Aku tidak ingat kapan aku terlelap. Aku bangun karena merasa ada sosok yang berdiri disamping ranjangku. Membuatku terperanjat, hampir melompat dari tempat tidur.

“Mama?” sosok itu tersenyum, tanpa mengatakan apapun. Kulihat wajah pucat mama, namun sejurus kemudian aku tertegun. Sebab mama mengenakan pakaian yang sangat bagus, bersih dan rapi. Persis ketika mama masih hidup.

Mama masih tersenyum padaku, pandangan mata mama nanar menatapku. Entah apa yang ingin dikatakan mama padaku, isyarat apa yang diberikan mama padaku, aku tidak tahu.

Kupanggil nama mama berulang-ulang, namun mama bergeming. Bayangan itu perlahan menjauh, hingga sayup-sayup kudengar suara lain yang menggema memanggil namaku.

Aku berteriak memanggil mama, tidak rela dia meninggalkanku lagi tanpa berkata apapun. Namun bayangan mama malah makin menjauh, hilang, bahkan tanganku tak kuasa menjangkaunya.

“MAMA!” Aku berteriak. Kurasakan sebuah tangan mengguncang bahuku hingga ragaku seperti tertarik dan aku pun terbangun dari lelap.

Kudapati mbok Jum menatapku dengan panik sambil mengguncang bahuku, “Mas Hara mimpi buruk, ya?” tanya mbok Jum kepadaku. Dia adalah asisten rumah tangga yang telah mengurusku sejak kecil sampai kini. Kasih sayang seorang ibu yang tidak kudapatkan sejak mama meninggal, kurasakan dari mbok Jum.

“Mbok, kan, sudah bilang jangan tidur sore-sore! Bikin pusing pas bangunnya. Ini malah mimpi buruk segala, kan?” beginilah mbok Jum, bisa menceramahiku seperti ibuku saja.

“Bangun, Mas Hara! Mandi, sana! Tuh, sudah ditunggu sama non Cecilia didepan!”

Ah! Ucapan mbok Jum membuatku malas bangun saja. Cecilia selalu mengganggu akhir pekanku yang damai. Membuatku malas menemui sepupuku itu. Sekarang saja dia dan mamanya mendekatiku, dulu saja tante Lidya tidak mau mengurusku yang yatim piatu. Sepertinya setelah ini aku harus tegas terhadap cecilia dan mamanya agar mereka berhenti menggangguku.

“Mas Hara!” Mbok Jum kembali mengguncang bahuku. Membuatku menoleh kearahnya dengan tatapan datar.

“Kalau tidak segera mandi, non Cecilia bisa menghancurkan rumah ini dengan suaranya, loh.”

Peringatan mbok Jum membuatku sadar. Mbok Jum benar, Cecilia dan mamanya selalu punya cara untuk membuatku menuruti semua keinginan mereka. Sepertinya aku ditakdirkan untuk menjadi pelayan yang melayani semua orang.

Tidak hanya pak Reza dan Reyfan saja, ternyata aku juga tidak bisa menolak setiap keinginan tanteku dan putrinya itu. Padahal kalau aku mau, aku bisa saja bersikap acuh pada mereka. Toh, tante Lidya juga acuh padaku waktu kecil dulu.

Tapi naluriku tidak bisa berbuat demikian. Sebab tante Lidya tetap saja adik papa, satu-satunya keluarga dari pihak papa yang kupunya. Aku tidak kuasa menolak keinginannya karena kurasa itu akan menyakiti papa juga.

Kupaksakan diri untuk bangun, walau malas. Sempat aku berkata kepada mbok Jum, sebelum kusambar handuk dan masuk ke kamar mandi.

“Mbok, jangan katakan pada tante Lidya atau Cecilia, kalau aku sudah berhasil bertemu dengan keluarga mama di Jogja. Jangan sampai mereka tahu, ya!”

“Beres!” Mbok Jum mengangkat dua ibu jari sambil tersenyum.

Bisa kudengar teriakan Cecilila dari luar kamar, “Kak Hara! Cepetan keburu malam, nih!”

Kulihat mbok Jum menghembuskan napas berat sambil menggelengkan kepala. Mbok Jum adalah orang yang paling tahu tentangku. Hubunganku dengan tante Lidya dan Cecilia pun hanya mbok Jum yang tahu. Kedua temanku, Hamzah dan Reyfan tidak ada yang tahu. Juga tentang pertemuanku dengan mbak Nabila, hanya mbok Jum yang tahu.

Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun dari kedua sahabatku, hanya mereka kini sudah punya keluarga sendiri. Sangat tidak bijak jika mengganggu mereka dengan persoalanku sendiri. Biarlah aku mengurus masalahku sendiri, tanpa mereka tahu.

.

.

.

Bersambung....

Hai! Apa kabar kalian? semoga selalu dalam lindungan Alloh, ya. Aku mau ngucapin terima kasih untuk yang sudah merelakan vote nya untuk Jenar hehe. Terima kasih juga untuk yang tidak bosan-bosannya promoin karyaku ini, semoga kebaikan dibalas oleh kebaikan juga. Saya minta maaf jika cerita ini masih belum bisa up rutin, masih random dan tidak sesuai ekspectasi. Semua karena keterbatasan saya, hehe.

Salam sayang,

Desi Desma (La Lu Na)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!