PART 1
Di hutan Moam, yakni sebuah hutan sihir yang hidup, aku dan seluruh kaumku selalu bersatu dan berbahagia.
Tidak ada yang namanya perselisihan atau kebencian. Tidak ada pengkhianatan, rasa sakit, atau murka.
Semuanya indah. Daun-daun yang hijau, serta kelopak bunga yang berwarna-warni selalu menghibur kami.
Kami sering bernyanyi dengan harmonis. Bagaikan orkestra, suara semua mahkluk atau benda di hutan ini saling melengkapi.
"Violet, tunggu!" seru Blue, kakak laki-lakiku.
Aku pun spontan menjawab ; "Ayo cepat, kak!"
"Tunggu, dasar peri yang satu ini!" gerutu kakak.
Seperti biasa, aku dan kakakku akan bermain petak umpet atau kejar-kejaran ketika para peri dewasa sedang bekerja.
Di tempat itu, tugas para peri dewasa adalah membuat bibit bunga baru, ada yang memangkas benalu, ada yang mengambil madu, dan lain sebagainya.
Intinya, hutan Moam dipelihara oleh peri-peri seperti kami. Selain itu, kami juga berteman dan dapat berinteraksi dengan hewan-hewan liar.
"Kakak terlalu lama berputar-putar di sekitar situ. Ayo cepat!" sahutku nyaring.
"Ahaha.. Astaga, anak ini. Baiklah. Kakak akan menyusulmu. Bermain-mainlah, tapi jangan terlalu jauh!" seru kakak yang terbang pada jarak beberapa meter di belakangku.
Dengan bandel, aku menyahut lagi ; "Apa? Aku tidak dengar!"
Karena keasikan, akhirnya terbangku agak lepas kendali. Sayapku mengepak terlalu kencang mengikuti angin dan..
BATTSS
Tiba-tiba.. aku seperti terlempar keluar dari hutan..
"Aduh.." rintihku.
Segera aku berdiri dan hendak kembali, namun..
GRAK GRAK GRAK
Tiba-tiba, terdengar suara bergemuruh dari dasar tanah.
"I-ini.. Uwaaa!"
Tubuhku pun terlempar lagi, bahkan lebih jauh.
Rupanya, akar-akar pohon hutan itu menjalar tinggi menutupi jalan masuk, serta menjadi amat besar dan kokoh.
"Celaka.."
DEG DEG DEG
Rasa takut mulai menguasaiku. Mendadak, aku teringat akan pesan kakakku.
Seorang peri tidak boleh keluar dari perbatasan.
"Bagaimana ini..?" aku pun mulai menangis.
Aku harus segera masuk!
Kupaksa tubuhku menembus jalan masuk, namun tubuhku terus terpental..
Akhirnya, berulang kali kuteriakan nama kakakku dengan menangis frustrasi.
"Kakakkk!!" tangisku pilu.
Karena belum pernah sekalipun mengalami hal seperti ini, rasanya aku telah terhempas ke neraka.. Dimana aku tidak akan pernah dapat bertemu dengan kakakku lagi..
Tidak! Kak Blue adalah satu-satunya keluargaku... Dia pasti akan menolongku, pasti.. Aku akan selalu menunggunya.
Kita pasti dapat bertemu lagi!
- - - - - PART 2
Setelah suatu kejadian memisahkan aku dengan kakakku, mendadak aku terbangun di suatu tempat asing..
"Ng.. Ini dimana?" ucapku lirih.
"Oh, kau sudah sadar?"
DEG
Tiba-tiba, suara seseorang mengejutkanku.
Rupanya seorang nenek.
Perlahan, kuperhatikan tubuhku yang kini terbaring di atas kasur lantai dengan wujud dan pakaian yang sedikit berbeda. Aku tidak dapat menemukan sayapku, namun rasanya sayapku masih menempel di punggungku. Kuputuskan untuk tidak panik dan melihat situasi yang sebenarnya terlebih dahulu, seperti yang selalu diajarkan oleh kakakku..
"Kamu pingsan di dekat hutan cukup lama. Kakek menemukan dan membawamu kemari sebelum ia keluar lagi. Kamu pasti kedinginan. Jika sudah siuman, minumlah teh ini agar tubuhmu hangat."
Siapa nenek ini? Seorang.. manusia?
"Te-terima kasih."
Tanpa berlarut-larut dalam pikiran, aku pun memutuskan untuk meminum teh itu.
Benar. Cuaca di luar tiba-tiba menjadi sangat dingin. Salju mulai turun dan mengingatkan aku pada sesuatu.
Sebelumnya, aku sering sekali melihat salju bersama dengan Kak Blue. Kami akan bermain bola salju atau membuat manusia salju dengan sihir peri.
Seketika, aku dapat merasakan air mata yang telah mengering di pipiku.. Rupanya.. semua ini bukanlah mimpi.
"Oh, mengapa kamu terlihat begitu murung? Padahal kamu anak yang manis."
Nenek itu berkata lembut kepadaku, seolah ia telah mengenalku.
"Anda siapa?" kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibirku, karena mulai penasaran.
"Aku? Aku hanyalah seorang nenek yang tinggal di tempat terpencil ini. Bahkan, kami dilarang memasuki desa."
Jawaban nenek itu terdengar baru dan unik, sehingga semakin membuatku penasaran. Namun, alih-alih bertanya mengenai diriku yang dibawa ke rumah kayu itu, aku malah bertanya lebih lanjut mengenai kisah nenek tersebut.
"Begitu ya.." ucapku pelan sebagai tanda menyimak.
"Benar! Mereka adalah orang-orang yang seenaknya. Andai Sang Pangeran mengetahuinya, pasti dia akan membantu rakyat miskin yang diasingkan secara tidak adil seperti kami." kata nenek itu, semakin bersemangat menyampaikan ceritanya.
"Pangeran?"
"Iya, pangeran. Memangnya kamu tidak tahu? Bukankah wilayah ini semuanya adalah milik Raja Michael Burgundy? Dan Pangeran Jasper adalah putra tunggal yang akan mewarisinya."
Aku pun berhenti bertanya dan terus menyimak. Nenek itu nampaknya sadar bahwa aku sangat berminat pada kisahnya, sehingga ia mulai menceritakan semuanya secara bertahap.
"Jadi, wilayah Raja Michael sebenarnya terbagi menjadi 10 wilayah yang sangat luas. Di antaranya adalah dataran dan bukit(1) ; gunung Forte dan tempat perkemahan(2) ; kuil dan danau penyucian(3) ; pelabuhan dan perkapalan(4) ; pantai di semenanjung laut Ford(5) ; istana utama dan 3 tempat persinggahan yang tersebar di bagian barat, utara, selatan, dan timur(6) ; lahan luas untuk tempat tinggal para kerabat atau penasihat Raja(7) ; seluruh lahan di desa Kleopas(8) ; gurun dan sungai yang menjalar hingga perbatasan dengan negeri seberang(9) ; serta seluruh hutan Moam yang sakral(10)."
Aku sedikit terpana oleh penjelasan tersebut. Namun, hal yang paling mengusikku tentunya adalah hutan Moam..
"Saat ini, Pangeran Jasper telah genap berusia 20 tahun. Di usia tersebut, seorang anggota keluarga kerajaan telah dianggap dewasa dan mulai diberi pendidikan militer dan pemerintahan, serta kepercayaan untuk mengelola salah satu atau beberapa dari wilayah-wilayah yang kusebutkan tadi."
Aku menganggukkan kepala pelan dengan sorot mata antusias.
"Pangeran Jasper adalah anak yang tampan dan baik hati. Selain itu, dia juga cerdas dan berwibawa seperti Paduka Raja."
Nenek masih terus kelihatan menikmati panggung ceritanya, seketika kakek telah tiba di depan pintu.
KRIEK
Pintu dibuka dan kakek masuk.
"Oh, kamu sudah sadar? Nenek, kelihatannya kalian sudah akrab ya?" kata kakek itu.
"Ah ya, benar. Nona manis ini sedari tadi mendengarkan ceritaku. Benar juga, sekarang aku harus menyiapkan makan malam, hahaha!" jawab nenek ceria.
Kakek hanya menggeleng, lalu berkata; "Kamu ini memang dari muda selalu begitu. Maafkan istriku, Nona kecil. Nampaknya, dia sudah berbicara panjang lebar kepadamu. Dia memang seorang nenek yang kesepian." goda kakek.
"Kakek! Siapa yang kesepian? Bukankah kita selalu hidup bersama dan.. Bukankah sekarang kita hidup bertiga?" seru nenek tidak terima.
"Bertiga?" tanyaku spontan.
"Ah.. eh, itu.. Jika kamu tidak memiliki tempat tinggal, untuk sementara kamu boleh tinggal di sini, anak manis." kata nenek dengan senyuman lembut.
Entah mengapa, hatiku terasa hangat. Bisa saja karena perapian yang menyala atau karena keramahan kakek dan nenek yang masih belum kukenal ini.. Semuanya begitu menenangkan.
Belum pernah aku keluar dari hutan dan bertemu dengan manusia.
Apakah kakek dan nenek ini memang sebaik kelihatannya? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk mempercayai mereka.
"Baiklah.. Jika berkenan, mohon izinkan saya tinggal di tempat ini untuk sementara." kataku, memberanikan diri.
Kedua orang tua itu tersenyum, lalu mengiyakan permohonanku. Begitulah, mulai sekarang aku akan memulai kisah hidup yang baru. Namun, aku pasti akan kembali ke hutan Moam karena terlampau rindu dengan kakakku. Walau ingin menangis, kurasa tidak akan ada gunanya untuk saat ini.
Aku harus menguatkan diri dan tidak cengeng.. Lagi-lagi itu adalah nasihat yang sering diberikan oleh kakakku. Kak Blue yang terbaik, paling kuhormati dan kucintai di seluruh jagat raya ini..
Aku akan terus bersabar, hingga menemukan cara untuk kembali.
- bersambung -
PART 1
Sementara itu, di hutan Moam..
"Tidak bisa. Pokoknya, kamu dilarang keluar mencari Violet! Kamu adalah satu-satunya harapan kaum peri di hutan ini. Jika kamu pergi, tidak akan ada orang yang memimpin seluruh kegiatan peri dan mampu menjinakkan hewan buas dengan kemampuan sihir setingkatmu!" ucap Elton, seorang tetua dan Penasihat Agung bangsa peri.
"Tapi, Elton.." ucap Blue khawatir.
"Tolong dengarkan Elton, Nak. Dialah yang paling mengkhawatirkanmu.. Semenjak kedua orang tuamu dan Violet meninggal dunia karena tragedi itu, Elton dan aku sudah bersumpah untuk mengurus kalian dengan baik." kata Maya, istri Elton.
Meski mendengar ucapan lembut Maya, kekhawatiran Blue tidak kunjung mereda. Ia terbang kesana-kemari dengan gelisah.
"Kami tahu kamu sangat mengkhawatirkan adikmu. Saat kedua orang tua kalian meninggal, Violet masih bayi.. Kami tahu kamu sangat menyayanginya. Bersabarlah, Nak." bujuk Maya lagi.
Akhirnya, ketegangan Blue mulai mencair dan perlahan pemuda itu terlihat bersemangat seperti biasanya.
Sambil menghela nafas, ia meyakinkan Elton dan Maya agar tidak terlalu khawatir. Sementara, dalam benaknya ia masih memikirkan cara untuk menolongku. Blue memang dikenal ahli menyamarkan kepanikan dan pemikiran tertentu yang dapat tersirat pada ekspresi wajahnya.
Kamu dimana Violet? Kuatkan dirimu.. Kakak pasti akan menolongmu.
Entah apakah suara Kak Blue masih mampu menjangkau hatiku, ataukah kini aku semakin ketakutan?
- - - - - PART 2
Beberapa hari kemudian..
"Siapa di situ?" tanyaku waspada, sambil bersembunyi di belakang punggung nenek.
"Hm? Siapa anak ini?" ucap seorang lelaki asing yang kini berdiri di depan pintu rumah.
"Haha. Anak ini.. untuk sementara dia tinggal di sini. Namanya Violet. Dia manis, bukan? Kamu juga harus memperkenalkan dirimu, hai pemuda pemburu!" goda nenek.
"Ah, begitu. Perkenalkan, namaku Hazel."
Pemuda bertubuh tinggi dan kekar itu melirik ke arahku yang masih berdiri di balik punggung nenek, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"N-namaku Violet.." balasku, sambil menerima uluran tangan itu.
"Hmm.. Sejak kapan kalian memiliki seorang cucu? Tapi, kalian benar. Dia memang manis." kata Hazel ramah.
"Eh.. tidak. Aku tidak manis." kataku canggung, dengan pipi yang sedikit merona.
"Ahaha, berapa usiamu, Nona Violet?" tanya pemuda itu.
"... Enam belas tahun." jawabku pelan.
"Oh. Kamu lebih muda 5 tahun dariku. Andai aku memiliki seorang adik yang semanis dirimu."
"Eh.."
Ucapan-ucapan Hazel memang terdengar ramah. Namun, sangat kentara bahwa aku menjadi murung karenanya, sehingga pemuda itu berhenti berbicara dan beralih kepada kakek dan nenek. Sejak awal, aku memang selalu memikirkan kakakku, Blue.
"Silahkan masuk. Kami sudah menyiapkan banyak makanan sebagai ucapan terima kasih, karena kamu telah membantu kami waktu itu." kata nenek, sambil menuntun Hazel ke ruang makan.
"Bicara apa kamu, Nek? Bukankah Hazel sudah sering membantu kita?" goda kakek.
"Diamlah. Aku juga tahu itu!" bentak nenek.
Kami pun mulai makan. Ketiga orang itu makan sambil bertukar sapa dan berbagi cerita dengan serunya, sementara aku masih tenggelam dalam pikiranku.
Melihatku seperti itu, Hazel mendekatkan diri kepada kakek sambil bertanya-tanya.
"Nampaknya dia anak yang murung ya?" bisik Hazel.
"Hmm? Maksudmu Violet? Tidak juga. Kemarin dia sempat tertawa-tawa bersama nenek." jawab kakek, sambil sesekali melihat ke arah nenek yang mulai mengajakku berbicara.
"Begitu ya? Umm, menurutku sih, itu karena nenek memang sangat ramah. Orang seperti nenek akan mudah akrab dengan siapapun. Benar bukan, kakek?"
Kakek hanya tersenyum, alih-alih menjawab. Namun, Hazel langsung mampu mengartikannya.
"Entahlah, kami masih belum melihat seluruh sifat atau mendengar kisahnya. Namun, kami yakin dia adalah anak yang baik. Setiap hari, dia menawarkan diri untuk membantu kami. Sebagai contoh; membantu nenek mencuci dan menjemur pakaian, atau bekerja membersihkan salju di ladang bersamaku." jelas kakek.
Hazel mengangguk. Nampaknya, ia cukup tertarik untuk mengenalku lebih dalam.
"Violet, mengapa sedari tadi kamu diam saja? Berbicaralah apa saja dengan Hazel. Jarang sekali ada anak muda di tempat seperti ini. Siapa tahu, kalian akan cepat akrab." kata kakek, langsung memecahkan lamunan kecilku.
"Umm.. itu.." aku pun mulai berbicara.
"Ya? Ada yang ingin kau tanyakan, Violet?" Hazel merespon dengan cepat.
"Kamu.. sebenarnya.. apa tugasmu sebagai seorang pemburu?" tanyaku, akhirnya mampu menyusun kata-kata.
"Oh, pertanyaan menarik. Begini, aku sebenarnya hanya membantu ayahku. Kami tinggal berdua jauh di bukit seberang sana. Di situ ada banyak sekali hewan liar dan bahkan mahkluk buas." Hazel mulai membuka pembicaraan mengenai dirinya, sambil merentangkan salah satu tangan ke arah timur.
"Lalu, apakah ayahmu akan baik-baik saja?"
"Ah, tentu saja! Jangan khawatir, dia adalah seorang lelaki yang kuat dan berpengalaman. Bahkan, aku saja masih belum dapat mengimbangi kekuatannya." kata Hazel.
"Eh? Apakah ayahmu sekuat itu?" tanyaku spontan, karena sedikit terkejut.
Hazel tersenyum, lalu menjawab dengan kedipan salah satu matanya.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan ayahku, Nona manis."
DEG
Aku sedikit gugup mendapat respon seperti itu darinya. Belum pernah aku berbicara, apalagi menjadi akrab dengan seorang anak lelaki, selain kakakku sendiri.
"Jika kamu penasaran, bagaimana jika kamu ikut ke rumahku?"
Usulan tiba-tiba dari Hazel membuat kedua mataku membesar. Entah apakah karena terkejut, gelisah, atau penasaran.
Sambil menimbang-nimbang, kualihkan pandanganku kepada kakek dan nenek. Yang membuatku bingung adalah ekspresi senang pada wajah mereka.
"Kamu ikut saja, Violet. Lagipula, hari masih siang dan Hazel pasti akan melindungimu sepanjang perjalanan." kata nenek, diikuti oleh anggukan kepala kakek yang sependapat dengan nenek.
Aku melihat ke arah Hazel yang nampak berharap.. Namun, aku gagal menyembunyikan kecurigaan pada ekspresi wajahku.
Apakah tatapanku terlalu menusuk? Mengapa dia malah tertawa? Entahlah.. Aku tidak peduli.
Apakah aku akan menerima ajakan itu? Kurasa hal itu terlalu berani dan gegabah. Lagipula, aku sama sekali belum mengenal pemuda bernama Hazel ini.
Walaupun kakek dan nenek nampaknya dekat dan sangat mempercayainya, kini keselamatanku adalah hal yang terpenting. Bukan hanya demi diriku, melainkan juga demi Kak Blue yang bersedia menungguku jauh di luar sana. Aku tidak boleh egois dengan mengikuti rasa penasaranku terhadap dunia dan interaksi antar manusia ini.
Sejauh yang kudengar dan dapat kulihat secara langsung saat ini, manusia memang tak jauh berbeda dengan peri dalam berbagai aspek. Namun, karena dunia manusia berbeda dengan dunia peri yang dipenuhi keharmonisan dan ketulusan, aku harus menolak tawaran Hazel kali ini.
Akhirnya, dengan sedikit kecewa, Hazel berpamitan kepada kami. Setelah itu, ia hampir tidak pernah berkunjung lagi untuk sekian lama. Mungkin dia juga telah mengabaikanku. Aku terus meyakinkan diri dalam hati, bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat.
- bersambung -
PART 1
Hari ini, setelah memohon kepada kakek, aku ikut ke desa untuk menjual kayu bakar, makanan ringan, serta membeli beberapa barang keperluan.
Namun, kakek nampaknya ragu untuk membawaku.
"Hmm.. Sudah kubilang, ini bukan jalan-jalan. Kunjungan ini tidak akan menyenangkan. Lebih baik kamu tadi tinggal di rumah bersama nenek." keluh kakek.
Biasanya, kakek jarang mengeluh. Aku pun merasa sungkan. Namun, kali ini aku tidak dapat menahan rasa penasaranku.
Melihatku yang tidak bergeming dan teguh pada keputusanku, kakek pun mendesah dan terpaksa menyuruh nenek membantu mempersiapkan barang bawaanku agar tidak terlambat.
Untuk pertama kalinya, aku dapat mengamati wilayah yang membentang luas seolah tak berujung itu, serta menikmati udara segar setelah beberapa hari tinggal di rumah.
"Ya sudahlah. Yang penting kamu menikmati udara bersih dan pemandangan di sekelilingmu." ujar kakek, seolah memahami diriku yang terlihat bersemangat.
Aku hanya tersenyum kepada kakek. Kami pun terus berjalan hingga memasuki desa. Aku cukup terkagum dan tertarik dengan apa yang ditawarkan para pedagang dan bau harum makanan yang khas di desa itu.
Langkah kami terhenti saat kakek berdiri di depan sebuah bangunan yang nampak besar dan berbeda dari rumah-rumah penduduk ataupun pertokoan.
Seorang lelaki keluar dari pintu masuk dan langsung menghampiri kami.
"Oh, kakek sudah datang rupanya. Silahkan masuk, Ibu Lucia sedang menunggu di dalam." kata orang itu.
Hingga saat itu, aku belum bertanya. Kami pun hanya menurut dan masuk.
"Selamat pagi, Nyonya Lucia. Saya datang membawa kudapan kesukaan Anda." kata kakek kepada wanita yang sedang duduk menghadap dinding sambil memunggungi kami.
Dalam sekejap, kursi wanita itu berputar dan ia mulai berbicara kepada kakek.
"Oh, kau sudah datang! Keluarkanlah sekarang juga, kakek tua. Aku sudah menanti kue beras khas buatan istrimu yang terkenal itu!"
Alih-alih menyapa dengan sopan, wanita itu sepertinya menganggap kami orang-orang dari kelas berbeda dan sesekali terasa seperti merendahkan.
Aku sangat tidak menyukai sikap dan caranya memanggil kakek!
"Oh, siapa gadis muda ini?"
Tiba-tiba saja, perhatian mereka tertuju padaku.
"Oh, anak ini. Dia adalah cucuku. Perkenalkan dirimu, Violet." jawab kakek asal.
"Cucu? Hmm.. Mengapa kau tidak pernah bilang bahwa cucumu ternyata sangat cantik?" kata wanita asing bernama Lucia itu.
"Perkenalkan, nama saya Violet." kataku, sambil membungkuk hormat.
"Hmm.. Sungguh sangat disayangkan. Andai anak ini adalah anak dari seorang bangsawan atau orang kelas atas, sudah pasti akan ada banyak pemuda berkualitas yang tertarik untuk meminangnya." celoteh Lucia.
Entah mengapa, telingaku panas mendengarnya.
"Dengan wajah dan penampilan seperti itu, seharusnya mudah untuk mendandaninya menjadi mirip seorang putri bangsawan."
Wanita itu terus berkata-kata, sementara aku mulai merasa muak.
"Kakek, apakah urusan kita sudah selesai?"
Akhirnya, pertanyaan itu keluar dari bibirku, setelah menahan diri selama beberapa saat.
Kakek mengangguk, lalu hendak berpamitan dengan Lucia.
"Tunggu."
Tiba-tiba, Lucia menyela.
"Kalian tidak bersungguh-sungguh ingin pergi sekarang, bukan? Aku baru saja hendak menjamu kalian." ucap wanita itu secara tidak terduga.
"Oh, tawaran yang sangat--"
"Kami harus pergi sekarang."
Sebelum kakek sempat menjawab, aku nekat menyanggahnya. Entah bagaimana reaksi Lucia selanjutnya.. Aku hanya mengikuti instingku sebagai seorang peri bunga. Biasanya, instingku tidak pernah salah. Dan instingku mengatakan bahwa Lucia mungkin saja seorang yang berbahaya.
- - - - - PART 2
Sesaat, dapat kulihat perubahan ekspresi pada wajah Lucia. Namun, berikutnya ekspresi wajahnya kembali ceria dan ia mulai membujuk kami..
"Ayolah. Apa salahnya jika aku ingin berterima kasih kepada kakek dan nenekmu? Mereka sudah repot-repot menjual kayu bakar dan makanan ringan. Nampaknya, kakek dan nenek tidak pernah memberitahumu bahwa aku adalah pelanggan tetap mereka?"
Dalam beberapa detik, aku menyesali perkataanku. Namun, setelah menelaah sindiran wanita itu sekali lagi, keberanian memenuhi diriku.
"Maafkan kami, Nyonya Lucia. Namun, kurasa kami tidak seharusnya mengganggu Anda. Silahkan menikmati santapan pagi Anda." kataku tegas.
"Hmm, begitu." respon wanita itu, tanpa terpengaruh.
Tiba-tiba, para lelaki misterius yang sedari tadi berdiri di setiap sisi ruangan mulai bergerak maju.
"I-ini.. Ada apa dengan orang-orang ini?" kataku, dengan nada suara yang menyalak.
"Fufufu. Rupanya, kau anak yang bandel. Namun, kau tidak bodoh." tawa Lucia sinis.
"Nyonya?" ucap kakek kebingungan.
"Dasar kakek dan cucu! Kalian sama saja, benar-benar bodoh dan kampungan. Aku baru saja mendapat ide untuk membeli cucumu, lalu menjualnya sebagai gundik atau budak jika ia tidak berguna. Sayangnya, kebaikanku dibalas dengan ucapan liar gadis kecil ini."
Ucapan Lucia saat itu bagaikan tamparan keras bagi kakek.
"A-apa maksud Nyonya? Mengapa Anda dapat berpikiran seperti itu?!" kata kakek marah.
"Oh, kini sang kakek juga menyalak seperti anjing. Penjaga, cepat tangkap mereka!" seru Lucia menghina.
Dengan cepat, kakek menarikku ke balik punggungnya dan berkata kepadaku agar terus mengikuti pergerakannya.
"Kakek.." ucapku khawatir.
"Violet, maafkan kakek. Kamu harus kabur setelah kakek memberimu aba-aba." kata kakek memelas.
"Tidak.. Tidak mau! Kita harus keluar bersama!" balasku sambil menangis.
"Stt, jangan sampai mereka mendengar rencana kita. Violet.. Sedari tadi kamu tidak mau menuruti kakek. Kali ini, menurutlah dan beritahu nenek ketika kamu telah berhasil kabur. Jangan khawatir, kakek akan baik-baik saja." bujuk kakek.
DEG DEG DEG
"Kakek.."
Seketika, aku berjalan mundur dan melihat ke sekelilingku. Mungkinkah ada sesuatu yang dapat kugunakan untuk mengalihkan perhatian mereka?
Namun..
"Beraninya kalian melawan kepada Ibu Lucia. Sekarang, terimalah hukuman kalian!!" sentak salah seorang lelaki yang tadinya bersikap ramah kepada kami.
Orang itu dengan cepat mengayunkan sebuah kapak yang telah tersedia di sudut ruangan ke arah kakek dan..
"TIDAAKK!!" teriakku histeris.
SRIIINGGG
Tiba-tiba, sebuah cahaya terang berpendar dari tubuhku dan membuat lelaki penyerang itu terpukul mundur. Mereka semua nyaris tidak dapat membuka mata karena terang yang luar biasa itu..
"S-siapa anak ini?! Penyihir! Dia seorang penyihir! Kita harus melaporkannya kepada Raja!" seru Lucia kalang kabut.
"Bukan." jawabku ringan, seketika cahaya itu mulai memudar dan keadaan kembali normal.
"Bukan? Apa maksudmu?! Sudah jelas kau bukan orang biasa! Dasar siluman!" sentak Lucia.
"Kau tidak perlu tahu. Namun, kau perlu tahu satu hal." kataku dingin.
"Satu hal? Fufufu. Apakah saat ini kau berusaha terlihat kuat? A-aku tidak takut!" tantang Lucia.
SRATTT
Dalam sekejap, aku mengangkat tubuh Lucia pada jarak beberapa meter di atas tanah tanpa menyentuhnya, lalu..
BRUUKK
Aku menghempaskannya ke atas kursi yang tadi diduduki olehnya.
"Orang sepertimu seharusnya duduk dan makan saja. Beraninya kau menyerang kakekku. Rupanya kau ingin diberi pelajaran." aku balik mengancam Lucia.
"Hiii.. Siluman! Dia anak siluman!"
Orang-orang jahat itu pun berhamburan keluar dan berlari entah kemana.
Sementara itu..
"Kakek..?" ucapku pelan, karena tahu bahwa kakek pasti sangat terkejut.
Kucoba menatap wajahnya, lalu berjalan mendekat secara perlahan. Untungnya, kakek tidak terlihat ketakutan atau langsung kabur.
"Violet.. Kamu sebenarnya.. siapa?"
Akhirnya, tiba saatnya bagiku untuk memberitahu tentang jati diriku kepada kakek dan nenek. Sebenarnya, aku ingin menyembunyikannya selama mungkin, karena keberadaanku pastinya akan sulit dipercayai oleh para manusia.
Aku menarik nafas panjang dan mulai mempersiapkan mental atas segala sesuatu yang mungkin terjadi setelah ini.
"Kakek.. Sebenarnya aku.." kataku sambil menutup mata.
DEG DEG DEG
"Tidak apa-apa, Violet."
"Eh..?"
Sesaat, aku terdiam dengan mata terbuka. Kemudian, sebelum membuka mulut untuk berbicara, kakek mendekatiku.
"Siapapun atau apapun kamu, pandangan kakek dan nenek tidak berubah. Kamu sudah seperti seorang cucu bagi kami. Jadi, jangan khawatir. Kamu tidak perlu memberitahu kami, bila hal itu memberatkanmu."
Aku begitu terpana mendengar ucapan kakek. Baru kali ini seorang manusia mau menerima dan mempercayaiku dengan tulus.
"Kakek..!"
Aku pun berlari ke dalam pelukan kakek. Dengan lembut, kakek membelai rambutku yang panjang serta mengusap air mataku.
Beberapa saat kemudian, aku dan kakek melanjutkan keperluan kunjungan kami. Lalu, sebelum pulang, kakek membelikan beberapa jajanan manis untukku dan nenek.
Kami pun bersama-sama berjalan pulang dengan hati bahagia.
- bersambung -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!