Pengenalan tokoh
Willy Allan Wiryanata
Seorang Dokter ahli kandungan berusia 32 tahun. Terkenal playboy dan bersikap hangat kepada setiap wanita. Ia adalah pakar cinta bagi teman-teman lainnya. Namun, walaupun dijuluki dokter pakar cinta, hingga kini ia masih melajang. Masa lalu dimana dirinya sering bergonta-ganti pasangan membuatnya mendapat pandangan miring dari orang-orang sekitar, sehingga julukan dokter playboy pun melekat dalam dirinya.
Elsa Brianna Azkara
Seorang gadis manis berusia 23 tahun. Ceria, sederhana, tapi agak galak. Bungsu dari empat bersaudara. Memiliki tiga kakak laki-laki yang teramat posesif dan cemburuan. Trio Azkara, begitu sebutan orang-orang bagi tiga kakak laki-laki Elsa.
Sama-sama memiliki cinta masa lalu yang tak dapat dilupakan, membuat keduanya sepakat untuk menjalin hubungan, dengan harapan adanya hubungan baru membuat mereka dapat melupakan mas lalu masing-masing. Akankah cinta tumbuh di hati keduanya, saat cinta untuk yang lain telah habis untuk masa lalu?
Segalanya bermula dari pertemuan tak disengaja antara Willy dan Elsa.
Ini dia kisahnya ....
❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Kenangan membawa selaksa kerinduan yang merasuki sukma, menggoreskan luka yang semakin dalam. Jika waktu dipercaya sebagai penyembuh, akankah ia mampu mengangkat nestapa yang bersarang di jiwa.
Di sebuah tempat hiburan malam, seorang pria tampan sedang larut dalam patah hatinya. Jika di hadapan semua orang, pria yang berprofesi sebagai dokter itu mungkin seseorang yang sempurna. Namun, dalam kesendirian, ia hanyalah sarang dari luka yang sangat dalam.
Kehilangan seseorang yang teramat dicintai membuatnya jatuh ke jurang kesedihan yang tak berujung. Dokter Willy, tidak pernah membayangkan sebelumnya akan mengalami patah hati yang membuatnya seakan telah mati.
"Tolong tuang lagi!" ucapnya pada seorang wanita cantik yang duduk di sisinya. Dengan senyum menggoda, wanita itu menuangkan minuman lagi. "terima kasih, sekarang pergilah!" Ia menyodorkan beberapa lembar uang pada wanita itu, lalu kembali menikmati kesendiriannya.
Puas melampiaskan kesedihannya, ia beranjak keluar dari tempat itu, menuju sebuah mobil yang terparkir di depan sana.
"Malam ini aku milikmu, Shan! Biarkan aku menghabiskannya dengan kenangan tentangmu," ucapnya menatap sebuah foto. Ia melajukan mobil menuju sebuah tempat yang menjadi saksi kenangannya bersama wanita yang pernah hadir dalam hidupnya. Hingga ia berhenti di sebuah danau.
Willy turun dari mobil, menuju ke tepi danau dan duduk di sana. Menikmati semilir angin segar yang berhembus. Di tempat itulah dulu Willy dan Shanum banyak menghabiskan waktu bersama.
Tak lama berselang, terdengarlah suara isak tangis yang berasal dari arah sebuah jembatan. Terdengar begitu memilukan, memecah kesunyian malam itu.
Sejenak Willy menoleh pada sumber suara. Di sana ada seorang gadis berambut panjang yang sedang berdiri di sisi pembatas jembatan itu.
"Cih, jangan bilang gadis bodoh itu mau bunuh diri!" gumam Willy sambil memperhatikan gadis itu.
Dan, benar. Sepertinya gadis itu memang hendak bunuh diri. Ia memanjat ke pembatas jembatan itu diiringi suara isakannya yang menggema.
"Hey jangan!" teriak Willy!
Terkejut, gadis itu menoleh pada sumber suara. Pegangan tangannya pun terlepas. Sontak ia berteriak.
"Aaaaa...!"
BLUP!
Terdengarlah suara seperti benda terjatuh ke air, membuat Willy terlonjak kaget. Gadis tadi benar-benar sedang melakukan percobaan bunuh diri. Sebagai seorang dokter, ia tidak bisa membiarkan kejadian itu begitu saja.
Secepat kilat, Willy berlari menuju jembatan. Melihat si gadis yang sepertinya tak dapat berenang, Willy pun melompat kebawah sana. Ia berenang, hingga menggapai tubuh gadis itu dan membawanya ke tepi danau.
Layaknya seorang pahlawan, Willy mencoba menyelamatkan gadis yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri itu dengan memberinya napas buatan. Hingga beberapa saat kemudian ...
Uhuk uhuk
Gadis itu terbatuk-batuk, sambil mengusap dadanya yang terasa sakit. Willy pun menepuk punggung gadis itu pelan-pelan. Hingga beberapa saat kemudian, sang gadis mulai dapat mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik pria yang baru saja menolongnya dengan tatapan menggeram.
"Heh, kau pikir siapa dirimu? Menciumku seenaknya? Kau sudah bosan hidup ya?" Ia menggerutu dengan kesalnya.
Willy begitu terkejut, bukannya berterima kasih, gadis itu malah marah-marah tidak jelas. "Eh, gadis bodoh tidak punya otak, bukannya berterima kasih. Kalau kau mau mati, masih banyak cara lain. Tidak usah dengan cara bodoh seperti ini!"
"Memang apa pedulimu? Aku mau hidup atau mati bukan urusanmu! Lagi pula siapa yang mau bunuh diri?"
"Cih, dasar tidak punya otak! Sudahlah, aku mau pergi! Silakan kau ulangi kebodohanmu yang tadi." Willy segera berdiri. "Jembatannya masih ada, dan air di danau juga masih banyak. Kau masih punya banyak kesempatan bunuh diri sampai kau benar-benar mati."
Gadis itu menganga tak percaya mendengar mulut tak berperasaan milik pria di depannya.
Willy hendak meninggalkan gadis itu. Namun saat akan melangkah, ia berbalik lagi, meneliti gadis yang sedang kedinginan itu.
"Sok mau bunuh diri, tapi dengan air dingin saja tidak tahan. Dasar!"
Laki-laki itu segera berlari kecil menuju mobil dan mengambil jas nya berada di kursi penumpang. Lalu setelahnya menghampiri gadis yang baginya sangat bodoh.
"Pakai ini! Setidaknya kau tidak terlalu kedinginan," ucapnya sambil menyerahkan jasnya.
Gadis itu meraih jas milik Willy dengan kesal, lalu melingkarkan ke tubuhnya untuk meminimalisir rasa dinginnya.
Beberapa saat kemudian, Willy meneliti wajah gadis itu yang baginya tak asing. Merasa pernah melihatnya, namun entah dimana.
"Kau!" Willy terbelalak saat menyadari siapa gadis itu, "Kau Elsa Azkara kan? Bungsu di keluarga Azkara?"
Gadis itu tampak sangat terkejut. Ia gelagapan bangkit dari posisi duduknya. "Bagaimana kau tahu namaku?"
"Huh, aku benar-benar tidak menyangka kesayangan Trio Azkara sedang berusaha melakukan percobaan bunuh diri! Biar aku tebak!" Willy berjalan mengelilingi gadis itu. "Kau pasti habis ditinggal kekasihmu sehingga kau mau bunuh diri kan? Coba bayangkan akan seperti apa kesedihan ketiga kakakmu kalau adik bungsu mereka mati bunuh diri di jembatan?"
Mendengar ucapan itu, Elsa semakin kesal. "Heh, dasar sok tahu! Siapa yang mau bunuh diri? Kalau kau tidak mengagetkanku dengan teriakanmu yang jelek itu, aku tidak akan sampai jatuh ke danau!"
Seketika Willy terdiam. Ia mencoba menyimpulkan apa maksud gadis itu.
"Maksudmu?"
"Aku mau mengambil kalung peninggalan ibuku yang terjatuh di pinggiran jembatan itu, dan kau berteriak sehingga aku terkejut dan jatuh! Bukan hanya itu, kau mengambil ciuman pertamaku!" Teriak gadis itu dengan kesalnya sambil memukul-mukul dada Willy.
"Benarkah?" Seketika wajah Willy merona malu, untung saja malam hari dan pencahayaan remang- remang. Sehingga menyamarkan raut wajah malunya.
*****
...Like ...
...komen yang banyak🤭...
"Lagi pula kau sedang apa di tempat seperti ini merenung sendiri? Apa jangan-jangan sebenarnya kaulah yang ditinggal kekasihmu sampai menghabiskan waktumu dengan menyedihkan di tempat ini," Elsa membalas Willy dengan ledekan yang sama.
Seketika Willy terdiam. Memang benar, dirinya menghabiskan waktu untuk mengenang Shanum di danau itu.
"Haha, kau langsung diam! Artinya aku benar," tuduh Elsa sambil tertawa sumbang.
"Anak kecil sepertimu mengerti apa? Eh dengar! Lebih baik kau pulang sekarang. Kau tidak takut, malam-malam berdua dengan seorang pria di tempat se-sunyi ini?"
Willy menyeringai menakutkan membuat Elsa mundur beberapa langkah. Namun, semakin Elsa mundur kebelakang, semakin Willy melangkah maju mendekat padanya.
"Mau apa kau?Berhenti! Atau a-a-aku akan teriak!" ancam Elsa terbata-bata. Bahkan kini ia terlihat cukup ketakutan.
"Aku bisa saja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kau sedang basah kuyup." Willy meneliti tubuh Elsa dari atas hingga ke bawah, lalu sedikit berbisik. "Apa kau tahu, bentuk tubuhmu jadi terlihat sangat jelas."
mendengar bisikan menakutkan itu, wajah Elsa pun memucat. Rasa dingin yang seakan menusuk ke tulang tiba-tiba lenyap. Ia membenarkan jas milik Willy yang sedang dipakainya untuk menutupi bentuk tubuhnya yang terlihat.
"Berhenti menatapku seperti itu atau aku..."
"Apa? Kau mau apa? Teriak? Ayo teriak! Tidak akan ada yang mendengarmu!" ujar Willy sambil terus melangkah maju, hingga Elsa sudah berada di tepi danau.
"Kalau kau maju selangkah lagi, maka aku akan..." Elsa melirik ke sana kemari seperti mencari ide untuk menakuti pria di depannya.
"Akan apa anak kecil?"
"Aku benar-benar akan bunuh diri! Aku akan menenggelamkan diriku di danau ini dan kau akan dipenjara!"
"Hahaha, penjara ..." Gelak tawa Willy menggema di tempat itu. "Lihat tempat ini. Gelap, sunyi, tidak ada siapapun. Kalau aku melakukan sesuatu padamu lalu pergi, tidak akan ada yang menolongmu."
Elsa pun semakin ketakutan. Ingin menangis saja, namun ia tidak ingin makhluk menyebalkan di depannya tahu jika ia sedang ketakutan saat ini.
Kehadiran Elsa membuat Willy merasa sangat terhibur, sebab menakuti seorang gadis muda seperti Elsa rupanya sangat menyenangkan. Ia terlihat cukup galak, walaupun jelas ketakutan. Sangat berbeda dengan gadis-gadis dewasa yang selama ini didekati olehnya dengan mudah. Malah, kadang mereka lah yang menawarkan diri pada sosok dokter tampan itu.
"Kak Fahri, Kak Zian, Evan, Rafli, tolong aku!" Elsa bergumam-gumam kecil, memanggil nama semua kakaknya. Namun gumaman kecil itu dapat di dengar dengan jelas oleh Willy.
"Kau sedang baca mantra kutukan ya?"
"Kau jangan macam-macam denganku!" Seru Elsa menahan rasa takutnya.
"Memang apa yang ku lakukan? Aku belum melakukan apa-apa. Sekarang lebih baik kau segera pergi dari tempat ini sebelum aku benar-benar macam-macam!"
Mendengar ucapan Willy yang bernada ancaman, Elsa segera mengambil langkah seribu, berlari menuju sebuah mobil yang terparkir di sana. Melihat Elsa berlari dengan terburu-buru membuat Willy tertawa dalam hati, melihat betapa takutnya gadis itu padanya.
Elsa menarik gagang pintu mobilnya. Namun saat hendak naik, beberapa orang pria menghampiri dan menahan tangannya. Elsa pun gemetaran, sebab salah seorang diantaranya menodongkan belati ke hadapannya.
"Serahkan benda berharga mu atau kau mati di sini!" ancam pria berpakaian hitam itu.
Sontak Elsa berteriak meminta tolong.
"Aaaa! Tolong aku!"
Suara teriakan Elsa terdengar, membuat Willy sangat terkejut. Dengan cepat ia segera berlari menuju sumber suara. Menyadari gadis itu sedang dalam bahaya, Willy pun segera mendekat.
"Lepaskan dia!" ucap Willy pada beberapa orang di depannya.
"Siapa kau? Jangan ikut campur!"
Willy terkekeh mendengar ucapan sok jagoan pria di depannya. "Kalian tidak malu mengganggu seorang wanita?"
Salah seorang dari mereka tampak tidak terima dengan nada bicara Willy yang seolah merendahkan mereka. Dan, tanpa banyak bicara lagi, mereka menyerang Willy. Elsa pun terlihat cukup panik saat menyadari pria yang menyelamatkannya bukanlah seseorang yang pandai berkelahi. Ia tampak sangat kesulitan menghadapi tiga pria sekaligus.
Seorang pria kemudian mengarahkan belati ke arah perut Willy. Sontak darah segar mengucur deras. Willy jatuh tersungkur. Panik, Elsa berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan. Berharap ada yang menolong mereka malam itu.
Menyadari situasi berbahaya, tiga pria itu akhirnya memilih pergi dengan membawa pergi mobil milik Elsa.
Willy yang telah terbaring di jalan mengerang kesakitan, membuat Elsa segera mendekat padanya.
"Aku harus bagaimana sekarang?"
"Mintalah bantuan. Di mobilku ada ponsel, tolong kau hubungi seseorang," ucap Willy menahan rasa sakitnya.
Elsa segera berlari menuju mobil milik Willy, dan mengambil sebuah ponsel. Willy pun meminta Elsa menghubungi salah seorang temannya untuk membantu mereka.
****
_
_
_
_
_
Elsa duduk di depan sebuah ruangan berpintu kaca. Para dokter di dalam sana sedang menangani Willy. Di sisinya ada seorang pria yang merupakan teman Willy, seorang dokter bernama Dokter Marchel. Ia melirik Elsa yang terlihat sangat gelisah.
"Tenanglah! Jangan terus menyalahkan dirimu!" ucap Marchel pada gadis yang duduk di sebelahnya.
"Tapi dia begini karena menolongku."
"Lebih baik kau berdoa. Itu akan lebih baik."
Tidak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan itu. Menghampiri dua orang yang sedang duduk di kursi. Elsa pun segera berdiri.
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanyanya sambil menangis.
"Lukanya cukup dalam. Beruntung tidak mengenai organ vital. Setelah ini dia akan segera dipindahkan ke ruang perawatan. Silakan urus administrasinya dulu," ucap Dokter itu.
"Baik, Dokter! Terima kasih."
Marchel menatap gadis berambut panjang yang masih menangis itu. "Hubungi keluargamu dan minta mereka menjemputmu. Ini sudah larut malam. Pulanglah!"
"Aku akan menunggu di sini, Kak! Lagi pula rumah sakit ini milik kakakku. Aku bisa minta tolong seseorang untuk diantar pulang."
"Apa? Kau adik pemilik rumah sakit ini?" tanya Marchel penasaran. "Berarti kau adiknya Dokter Fahri? Adik Dokter Fahri adalah pemilik rumah sakit ini, Tuan Zildjian Azkara, kan?"
Elsa mengangguk pelan. "Iya. Aku adiknya Kak Fahri."
"Tapi, bagaimana kau dan Willy bisa ada di sana?"
"Itu ... Aku sedang ..." Elsa menggaruk kepala pertanda bingung.
"Em, sudahlah! Bahasnya nanti saja. Aku akan mengurus administrasinya dulu. Kalau kau lelah pulang saja. Aku yang akan menemaninya di sini."
"Tidak, Kak. Aku akan tetap di sini menunggunya."
****
_
_
_
_
_
Mentari sudah mulai menampakkan sinarnya ketika Willy terbangun. Rasa pusing akibat pengaruh obat bius masih dirasakannya. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut ruangan itu. Di sisinya ada seorang gadis berambut panjang yang sedang tertidur dengan posisi duduk menelungkup.
Willy tersenyum tipis, mengingat betapa menggemaskan seorang gadis polos tapi lumayan pemarah yang semalam diselamatkannya.
"Heh bangun!" bisik Willy pada gadis itu.
"Jangan sentuh aku, atau aku akan bunuh diri!" teriak Elsa dengan spontan akibat terkejut mendengar bisikan Willy.
Cih dasar bodoh. Siapa juga yang mau menyentuhmu
*****
******
...Like...
...komen...
...Ig otor 👉 Kolom Langit...
terima kasih
lope lope sekebon
"Maaf, maaf ... Aku terkejut. Aku baru saja bermimpi," ucap Elsa sembari mengusap wajahnya.
"Baguslah kalau kau sudah sadar. Sepertinya kau memang kebanyakan bermimpi." Ucapan Willy yang bermuatan ledekan itu membuat Elsa kesal.
Jika saja bukan Willy yang menyelamatkannya semalam, ia pasti sudah memaki habis lelaki di depan nya. Namun sebisa mungkin Elsa menahan agar tidak sampai terpancing.
"Kalau kau sudah baikan, aku akan pulang."
"Memang siapa yang melarangmu pulang?" ujar Willy. "Oh, ya ... Jangan menyusahkan orang lagi dengan kebodohanmu. Mati bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah."
Elsa menganga tak percaya mendengar ucapan tak berperasaan pria yang sedang terbaring itu. Dalam keadaan sakit pun ia masih sangat menyebalkan. "Memang siapa yang mau bunuh diri? Lagi pula aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau sendiri yang sok pahlawan."
"Cih, selain pemarah, kau juga tidak tahu diri rupanya. Bukannya berterima kasih, kau malah memaki seenaknya," gerutu Willy. Ia membenarkan posisi berbaring nya, sehingga kini duduk bersandar di ranjang pasien.
"Kau pantas mendapatkannya. Lagi pula kau sudah mengambil ciuman pertamaku dengan tidak sopan. Dan kau pikir itu bukan masalah?"
Mendengar ucapan polos Elsa, Willy terkekeh pelan, ia memegangi perutnya yang masih terasa sakit saat tertawa.
"Jadi kau belum pernah berciuman sebelumnya?" ledeknya membuat wajah Elsa merona merah.
Seketika Elsa terdiam. Ia bagai terjebak oleh ucapannya sendiri. Memang benar, ia baru saja mengakui bahwa dirinya belum pernah berciuman dengan pria manapun. "Itu ... aku ..."
"Sudahlah, aku sangat kasihan padamu. Kau belum pernah punya pacar, makanya kau belum pernah merasakan perhatian dari seorang pria. Tapi bukan berarti kau harus bunuh diri, kan? Lihat akibat kecerobohan mu," ujarnya sembari menatap perutnya yang kini terbalut perban.
Kesal, Elsa pun kembali menatap Willy dengan tatapan tajam. "Aku kan sudah bilang, aku ke sana bukan untuk bunuh diri. Kau yang bodoh karena menyelamatkanku tanpa kuminta."
Willy berdecak, tingkah Elsa yang menggemaskan membuatnya tidak tahan untuk kembali menggoda gadis itu.
"Baiklah, kalau begitu, aku harus mendapatkan imbalan karena sudah menolongmu, kan?"
"Apa?" tanya Elsa heran. "Imbalan?"
Willy mengangguk pelan. Menatap Elsa yang kini berdiri di hadapannya. "Aku kan sudah menyelamatkan nyawamu."
"Baiklah, supaya kita impas. Jadi kita tidak perlu lagi bertemu setelah ini. Cepat katakan kau mau imbalan apa? Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan!"
Willy menyeringai misterius, seraya menatap Elsa dari ujung kepala ke ujung kaki. "Yakin?" tanya Willy diiringi anggukan kepala oleh Elsa.
Sesuatu yang mengejutkan pun terjadi. Tanpa sepatah kata pun, Willy menarik lengan Elsa, sehingga tubuhnya sedikit membungkuk. Lalu menarik tengkuknya. Kedua bola mata Elsa pun membulat, ketika merasakan benda kenyal menempel di bibirnya. Irama jantung yang tadinya normal mulai tak beraturan, bahkan Elsa telah lupa untuk bernapas karena terkejut nya. Sedangkan si playboy Willy tak memberi Elsa ruang untuk melepaskan diri.
Tersadar, Elsa akhirnya mendorong dada Willy, sehingga ciuman mendadak itu terhenti. Gadis itu nampak sangat kesal, namun lebih besar rasa malunya.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Elsa dengan kesal.
Dengan santainya, Willy mengusap bibirnya sambil menyeringai. "Aku baru saja merebut ciuman keduamu. Bagaimana rasanya?"
Mendapat pertanyaan itu, wajah Elsa semakin merona merah. Tak dapat dipungkiri bahwa ia merasakan sensasi yang lain saat bibir Willy mendarat mulus pada
tempat yang tidak seharusnya. Antara kesal bercampur malu, namun di balik semua perasaan itu ada sesuatu yang membuatnya berdebar.
"Sepertinya kau menikmatinya," ujar Willy dengan santainya.
Elsa mencoba mengatur napasnya yang memburu. "Kau benar-benar keterlaluan. Dasar dokter mesum!" Kemudian dengan kesal ia menyerang Willy dengan memukul-mukul dadanya. "Mati saja kau! Rasakan ini!"
Mendapat serangan itu, Willy hanya tertawa kecil. Ia mencoba menahan tangan Elsa yang terus menyerangnya membabi buta. Satu hal yang disadari Willy, Elsa tidak benar-benar memukulnya.
Merasa puas memukul Willy, Elsa membenarkan rambutnya yang berantakan, lalu menatap tajam Willy. "Kau sudah mengambil sesuatu yang bukan hakmu. Kau akan berhutang padaku seumur hidup."
"Aku rela membayarnya seumur hidupku." Willy kembali menggoda.
"Aku mau pulang!" seru Elsa. "Ingat, urusan kita sudah selesai. Aku tidak mau lagi bertemu dengan dokter mesum sepertimu."
"Bukankah kau baru saja berkata aku berhutang padamu seumur hidupku?"
"Aku tidak mau tahu!" teriaknya menggelegar, membuat Willy menutup telinga dengan kedua tangannya. "Pergi saja kau dari dunia ini."
Tanpa banyak bicara lagi, Elsa melangkah keluar dari ruangan itu dengan kesal. Bahkan suara hentakan kakinya terdengar sangat jelas.
Tinggallah Willy seorang diri di kamar itu. Ia kembali bersandar di pembaringan, lalu menyibak pakaian yang dikenakannya, hendak memastikan bekas jahitan di perutnya tidak mengeluarkan darah akibat diserang Elsa.
"Dasar gadis pemarah. Tapi menyenangkan juga bermain dengan gadis sepertinya," gumam Willy.
Ia melirik meja nakas di sebelahnya untuk mengambil air putih, namun tatapannya tertuju pada sebuah tas jinjing berwarna cokelat yang tertinggal di sana.
"Apa ini milik gadis tadi?"
Penasaran, Willy akhirnya meraih tas kecil itu, lalu memeriksa isinya. Benar, tas tersebut adalah kepunyaan Elsa yang tertinggal. Willy masih ingat, semalam Elsa sempat berebut tas dengan beberapa pria yang merampok mereka.
Hingga ia menemukan sebuah amplop berwarna putih yang berada di dalam tas tersebut. Penasaran, Willy akhirnya membuka amplop dan mengeluarkan sepucuk surat dari sana. Ia membaca kata demi kata yang tertulis dalam surat itu.
Teruntuk gadis manis ku yang sederhana, Mia.
Mia Sayang, seandainya takdir berbaik hati padaku dan memberiku satu kesempatan saja untuk bisa selalu dekat denganmu sebagai manusia yang lebih layak, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan itu. Akan ku nikmati detik demi detik kebersamaanku denganmu.
Tapi lihatlah kenyataan ini. Aku sangat tidak layak untuk bisa berada di tempat yang sama denganmu. Siapalah aku yang hanya seorang pria yang tidak memiliki apapun yang bisa untuk aku banggakan. Aku, hanya dapat memandangimu dari jauh saja.
Tanpa berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.
Apa kau tahu? Demi dirimu, aku telah mengubur Dimas yang lama, dan membentuk Dimas yang baru.
Aku selalu berusaha menghapus noda hitam yang selalu membayangi hidupku. Bayang-bayang masa laluku yang kelam.
Tapi, bagaimana pun aku berusaha, aku tetap merasa tidak layak berada di sisimu.
Sehingga aku hanya dapat menyimpan perasaan ini jauh di lubuk hatiku.
Kau tahu, setiap hari aku selalu berusaha untuk bisa dan layak berada di sisimu. Dengan harapan, suatu hari nanti aku bisa berdiri di hadapanmu dengan perasaan bangga.
Dan, mungkin saat itu akan ku katakan seluruh isi hatiku.
Lihatlah aku!
Aku hanyalah manusia yang sudah terjebak oleh indahnya perasaan memiliki seseorang di dalam hati, dan sakitnya perasaan itu saat menyadari ketidak layakanku untukmu.
Hanya satu yang aku harapkan. Agar kau selalu bahagia dalam hidupmu. Aku, akan selalu mencintaimu,
Dimas.
"Mia? Dimas?" gumam Willy dengan alis mengerut setelah membaca isi surat itu. "Siapa Mia? Dan siapa Dimas?" Ia membuka kembali amplop itu dan mengeluarkan selembar foto dari sana. "Apa laki-laki ini yang bernama Dimas?"
"Apa yang kau lakukan?" Terdengar suara Elsa yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
***
Terima kasih yang udah ngasih hadiah Bungan dan kopi lope lope sekebon.
...Like banyakin,...
...Komen banyakin...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!