Gadis kecil berusia lima tahun berlari dengan kaki telanjang, tak merasakan sakit, dan perihnya luka, dia berlari terus berlari seolah hanya itu yang bisa ia lakukan.
Tubuh kecilnya ia lemparkan kedalam semak belukar, menenggelamkan tubuhnya agar tak terlihat siapapun.
Nafasnya terengah-engah. Di peluknya sebuah kantong plastik hitam berisi makanan. Sesekali matanya yang bulat bening melihat ke arah jalanan, memastikan semua aman.
Laras duduk bertumpu pada ke dua kakinya sedang menunggu kakaknya yang berlari ke arah berlawanan.
Laras selalu teringat akan pesan kakaknya untuk selalu diam jangan bersuara.
Sesekali gadis kecil itu mengintip ke luar, tempat yang jauh. Melihat-lihat, memastikan, keadaan yang aman. Matanya yang bulat bening mencari-cari kakaknya yang tak kunjung datang menjemputnya.
Terlihat tak jauh dari ia bersembunyi, seseorang dengan membawa sebuah parang mencari-cari menyibakkan dedaunan. Orang itu begitu menakuti Laras, berdiri tak jauh membuat Laras menutupi mulutnya dengan kencang, rasa takut memenuhi hatinya.
Tak ada yang bisa di pikirkan olehnya kecuali diam dan duduk menunggu. Berselang beberapa jam kemudian sebuah suara memanggil namanya, suara yang ia kenal, itu suara kakaknya.
"Ras, Laras" Bejo kakaknya memanggil pelan
Dengan berlahan Laras menjawab suara itu dan berlari menghampirinya.
Dua potong rebung ( Nama sayuran dari bambu yang masih muda ). Terikat rapih berada di punggung bejo.
Dengan berlahan kakak beradik berjalan beriring menyusuri jalan setapak di pinggir hutan.
Bejo selalu mengajak adiknya kemanapun, bahkan kadang laras mengikutinya ke sekolah, dan tempat Bejo mengaji. Menunggu kakaknya dengan sabar belajar di tepi dinding kelas.
Laras selalu menemani kakaknya berburu makanan untuk mereka, tempat yang ia tuju sebenarnya pinggiran hutan liar di mana di sana Bejo akan menemui beberapa makanan ada Rebung, Jambu air, Mangga hutan, Pisang hutan masih banyak lagi makanan hutan.
Tapi ada beberapa orang yang sudah mengklaim itu milik mereka, seperti yang terjadi saat ini, ketika Bejo mengambil rebung tiba-tiba seorang dengan membawa parang memarahinya dan mengancam hendak membunuhnya, membuatnya lari tunggang langgang.
Bejo yang selalu mengajari adik kecilnya itu untuk diam saja, saat melihat kejadian apapun, terekam di ingatan Laras.
Saat orang datang tiba-tiba Bejo mendorong tubuh Laras menyuruhnya berlari sedangkan dia melarikan diri menuju tempat yang berlawanan, cara Bejo untuk melindungi adik kesayangannya itu.
******
Dengan telanjang kaki, sesekali Bejo berhenti mengusap peluh di dahinya juga mengusap wajah adiknya yang belepotan. Di gandengnya tangan Laras dengan erat, matanya masih melihat-lihat takut seolah-olah merasa terancam.
"Mas aku lapar ? "
"Sabar Yo dek, Nanti kita makan di sana, kalo kita makan di sini nanti ketauan lagi,"
Jawab Bejo menenangkan Laras pelan, laras mengangguk angguk mengerti, di pegang tangan kakaknya, dan melangkah beriring.
Di lihatnya plastik hitam berisi bekal masih di gendong Laras dengan utuh. Berhenti di tepi perkebunan Bejo duduk, di tariknya sang adik untuk duduk juga.
Membuka bekal nasi putih dengan lauk sambal jamur, mereka makan dengan lahap dan bahagia. Bejo melihat Laras makan dengan lahapnya, membuat dia menghentikan suapan di mulutnya, memperhatikan adiknya yang makan dengan lahap, membuat Bejo merasa kenyang seketika.
"Mas nggak makan to, dah habis"
Suara lugu Laras membuat Bejo terharu dan tersenyum, ada sedih di hatinya. Selesai makan Lalu mereka melangkah lagi menuju rumah.
Sambil jalan pulang, tak lupa Bejo mengumpulkan ranting-ranting kayu Kopi yang berserak untuk ibu memasak di rumah
"Mas aku nggak bawa kayu to, aku mo bawa juga " Bejo tersenyum
Di ikatnya sekumpulan kayu kopi yang mereka kumpulkan dalam ukuran kecil untuk di bawa Laras pulang, sedangkan ikatan yang berukuran besar di bawa oleh bejo sendiri.
Kedua bocah kakak beradik Melanjutkan perjalanan pulang
"Mas kok tadi kita di kejar-kejar kenapa ?" tanya Laras polos
"Ssssssssst"
Bejo menutup mulut adiknya dengan telunjuknya, jangan bilang ibu ya, kasihan nanti ibu nangis. Laras hanya mengangguk diam.
"Ini rahasia kita ingat-ingat jangan lupa"
Kembali Laras mengangguk, memahami apa yang di katakan Bejo.
Bejo adalah seorang anak laki laki berusia dua belas tahun duduk di bangku sekolah dasar, selain dia anak yang baik, Bejo termasuk anak yang pandai di sekolah bahkan di tempat ia mengaji, itu kelebihan yang selalu di jadikan masalah oleh teman-temannya.
Keadaan dan kemiskinan membuat Bejo tidak seperti anak-anak yang lain, bermain dan bersenang-senang selayaknya anak seusianya.
Sepulang sekolah Bejo akan membantu ibunya, juga rasa sayang pada adiknya membuatnya lebih sering menghabiskan waktu berdua,
Bejo menyadari adiknya yang selalu diam tanpa ekspresi ini selalu memperhatikan banyak hal.bejo tau sebenarnya adik kesayangannya itu menginginkan teman untuk bermain.
Laras berbeda dengan anak-anak yang lain, dia tidak bisa mengekspresikan banyak hal yang ia temui, dia dengan lugunya akan mendatangi kakaknya dan bertanya apa yang ia alami
Pernah sebuah kejadian menimpanya, meski dia di pukul oleh teman-temannya, dia akan berlari menanyakan itu pada kakaknya dengan polos
"Mas aku tadi di pukuli"
Dan seperti biasanya Bejo akan menempelkan jarinya ke mulut Laras
"Sssssssuuttttt"
Laras diam, menuruti. itu tanda yang selalu di berikan pada kakaknya bahwa ia tidak boleh bicara itu rahasia.
******
Tak lama sampailah mereka di sebuah gubuk yang terletak di ujung kampung Serdang. Bejo menurunkan rebung yang ia dapatkan dan kayu bakar pada ibunya.
"Makanya jadi orang kerjanya jangan nganak terus"
Sebuah suara tinggi membuat Laras menoleh, di lihatnya ibunya duduk memungut beberapa sayur yang berserak di tanah.
"Ngapa Mak ?"
Bejo dan Laras berlari menghambur menghampiri ibunya, ibu hanya diam sambil mengendong adiknya, perutnya membuncit karena hamil.
Ibu Laras seorang wanita yang cantik berasal dari orang yang berada, menikah dengan ayahnya Paiman, merantau ke Lampung dari pulau Jawa tanpa membawa apapun kecuali dua orang anaknya karas dan bejo
Kala itu ibunya hamil anak ke tiga yang sekarang berusia dua setengah tahun, masih memiliki anak bayi, ibunya sudah hamil lagi. Ibu rela hidup dalam kemiskinan meski ia adalah anak orang yang lumayan kaya.
Laras berdiri melihat, matanya tak berkedip ke arah orang yang barusan mendorong ibunya Hinga jatuh, ia hanya diam tak memberi ekspresi apapun
Setiap hari Bejo membantu ibunya. meskipun usianya baru dua belas tahun ia mampu melakukan banyak hal. Bapaknya Paiman sering merantau, tidak terlalu jauh, satu hari perjalanan pulang dan pergi. terkadang seminggu baru pulang, terkadang satu bulan baru pulang, bahkan kadang lebih. itupun paiman hanya pulang untuk memberi uang belanja saja. keesokan harinya diapun berangkat merantau kembali
Keluarga Paiman tinggal di sebuah perkampungan yang masih terisolir menumpang rumah yang sudah terbengkalai lama.
Sudah selama tiga tahun mereka menempati rumah itu, dinding dari anyaman bambu dan atap dari bambu. Rumah itu yang melindungi keluarga kecil mereka dari panas matahari dan hujan. Melindungi mereka dari dinginnya udara malam
Paiman yang sering merantau, dia tidak pernah tau nasip apa yang terjadi dengan anak istrinya. Paiman merasa semua baik-baik saja.
Hari itu terik matahari panas membakar ubun-ubun, ibu mencuci di sungai, rambutnya tergerai. sungguh ibuku cantik sekali kulitnya putih, badan yang sintal, rambut tergerai ikal panjang selutut.
Dengan Lenggok tubuhnya membuat banyak mata melihat dengan iri dan ingin mengganggu, tak jarang ada orang yang dengan terang terangan melamar ibuku.
Seperti malam itu, seseorang sengaja mengetuk dinding tempat kami tidur, ibu mencubit paha mas Bejo sampai mas Bejo menjerit kesakitan, lalu ibu berpura-pura. "Ada apa le...?"
"Opo le ?" kata ibu mencari-cari sesuatu. Itu semua membuat kami riuh ikut terbangun. Mas Bejo yang langsung maksud dengan yang terjadi, langsung terbangun seolah hendak membuang air besar
"Aku ikut mas," aku terus merengek
Pernah terjadi pemilik rumah yang kami tempati, berbisik-bisik memanggil ibu di balik dinding tempat ibu memasak, ibu dengan pura-pura tak mendengar menyiramkan air ke arah suara itu. Dan, terdengar suara orang pergi tergesa-gesa dengan memaki.
Ibuku seorang istri yang jujur dan setia dengan keadaan kami yang sangat buruk ibu memilih kelaparan bersama kami dari pada menerima ajakan orang untuk meninggalkan bapak atau sekedar menerima bantuan dari orang yang menyukainya.
Ibu selalu berkata "Kebaikan apa yang sudah kamu dapatkan itu tidak ada yang gratis di dunia ini semua harus ada bayarannya. Semakin baik orang pada kita maka kita harus semakin hati-hati jangan kalian menumpuk kebaikan orang-orang, itu akan menjadi hutang yang akan kalian bayar suatu hari nanti." Nasehat ibu pada kami. Mas Bejo diam menyimak, sedangkan untuk otak kecil Laras, hal itu hanya akan tersimpan dalam memorinya.
Menurut orang Laras tak normal karena Laras tak pernah berbicara kecuali bersama Bejo, dia hanya diam menerima perlakuan orang tanpa melawan, bagi Laras yang lugu, Bejo adalah satu-satunya dunia yang dia miliki. Laras dalam diamnya, dia anak yang cerdas dan dia merekam semuanya di dalam kepalanya, dia dengan baik dan nurut saja atas apa yang terjadi seperti pesan Bejo kakaknya "seeeets." Bejo selalu menempelkan jarinya ke bibir Laras.
"Menjadi orang yang jujur itu wajib," nasehat ibu selalu melekat pada kami, anak-anaknya.
Bapakku yang selalu pergi merantau jarang bersama kami, biasanya ia datang sore hari dan berangkat pada pagi hari dan akan menginap berhari-hari bahkan berminggu-minggu. tapi kami anak-anak akan melindungi ibu kami.
*******
Bejo berlari sepulang sekolah menyusul ibunya membantu mencuci baju di sungai, ibu tersenyum melihat itu, Laras sendiri langsung terus-menerus bermain air tak henti-hentinya.
Sambil terus bermain air Laras mencari kerang sungai dan seikat tumbuhan air, dengan bangga Laras berputar-putar senang
"Hari ini kita makan keong!"
Sesekali sang ibu menghentikan aktivitas nya dan tersenyum melihat putri kecilnya yang lusuh dan hitam kulit nya yang terbakar matahari
Siang semakin terik, matahari bersinar. Siang dan malam waktu yang terus berjalan menjadi saksi semua perjalanan insan di muka bumi tanpa komentar, tanpa perlawanan seolah itu adalah tugas mereka yang tidak bisa di ganggu lagi
Hari itu sepulang dari sungai. ibu langsung kaget beberapa orang dengan tak sopan membongkar rumah tempat tinggal kami tanpa permisi.
Ibu mencoba berbicara menjelaskan beberapa hal dengan pemilik rumah, tapi mereka tak mau tau, pembongkaran terus di lakukan.
Mereka tidak perduli dengan ibuku yang perutnya membuncit yang memiliki balita dan kami berdua, terlebih lagi bapak tidak ada di rumah.
Ibu hanya duduk memeluk kami bertiga tak berdaya, kenyataan memang itu rumah milik mereka.
Tanpa rasa kasian mereka terus melakukan aktivitasnya membongkar rumah dan mengeluarkan semua pakaian dan milik kami terkadang mereka melemparkan barang-barang dengan kasar,
"Memang, kami sadar hanya menumpang di rumah itu, memang kami tak punya hak, tapi setidaknya beri Kabar biar kami pindah, mencari tempat lain" Ibu berbicara lemah pada mereka,
Tapi mereka tetap tidak perduli, seolah tak punya hati mereka terus membongkar, sesekali terlihat, senyum jahat mereka tertuju pada kami, menunjukkan kuasanya.
Kami hanya diam, mas Bejo ambil alih, memegang tangan ibu yang terduduk lemas, tapi Laras berdiri memandang mereka satu per satu seolah mengingat siapa saja mereka.
Laras terdiam dengan lugunya ia berdiri mematung melihat keramaian orang membongkar rumah tempat yang kami tinggali,
"Kok di bongkar mak? " tanya Laras polos "Kita tidur di mana Mak?" kembali Laras dengan lugunya bertanya,
Matanya terus melihat teringat sesuatu
" Mak itu yang manggil emak malem itu Kan ?"
Bejo bergegas membungkam mulut Laras, dengan sigap.
Benar malam itu seorang lelaki mengetuk pintu rumah mencoba merayu ibu, tapi ibu menolak dengan tegas, merasa tak terima dengan penolakan ibu dan mereka mengusir kami.
Ibu diam melihat yang mereka lakukan, kesetiaan ibu sama bapak harus di bayar dengan penderitaan, malam itu kami tinggal di sebuah teras rumah orang, adikku sudar menggigil demam, mas Bejo tertidur memelukku, tapi aku tidak tidur, aku terjaga semalaman melihat ibu menangis diam-diam, masih teringat kata mas bejo
"Sssssssuuttttt diem"
Setiap kali melihat apapun mas Bejo selalu bilang begitu, Hingga Laras terbiasa diam saat melihat apapun.
********
Pagi pagi sekali ibu menangis diam-diam menggendong sudar menuju arah yang agak jauh meninggalkan kami yang masih tertidur.
Tapi Laras yang tidak tidur mengikuti ibunya, berjalan pelan menuju rumah pak Hasan hansip kampung.
Sebenarnya di kampung itu ada seorang teman lama yang mengenal kami, tapi ibu tak ingin membebani orang, jadi kami memilih tinggal di sebuah teras
Hansip baik hati itu langsung menghampiri ibu menyambut adik, di sana mereka membawa masuk adik ke rumah kecilnya. Tak lama kemudian pak Hasan bersama ibu berjalan kembali menghampiri di mana kami tidur
"Laras sudah bangun?" kata ibu memeluk Laras dengan kasih sayang
Laras mengangguk pelan, pak Hasan membopong mas Bejo membawa kami pulang ke rumahnya
Tak lama beberapa orang membawa adik ke suatu tempat untuk di makamkan
"Adikku sudar meninggal."
Laras masih diam melihat itu, untuk anak seusia Laras, ia belum mengerti akan hal itu.
Tapi, mereka salah menilai seorang Laras, Sebenarnya Laras anak yang periang, polos, dia merekam semua kejadian dengan hanya diam, momen air mata ibunya ia simpan jauh di hatinya seperti yang mas Bejo katakan
"Sssssuutttt" sambil menempelkan telunjuk jarinya
Kata-kata kakaknya Bejo, selalu melekat di hati dan pikiran Laras.
Hari itu hari bersejarah dan hari yang menyakitkan buat kami, adik kami telah pergi, Sudar yang masih berusia dua setengah tahun tak kuat menahan dinginnya malam. Malam dimana kami terusir dari rumah menjadi saksi adik kecil kami meninggal dunia, meski adik kecil kami berbadan besar hampir menyamai tubuh Laras namun fisiknya tak sekuat Laras, demam tinggi yang tak kunjung mendapat pertolongan pengobatan membuat dia kehilangan nyawa. Sesungguhnya ibu Sudah berjuang mencari uang ke beberapa tetangga bahkan kepada saudara satu-satunya bapak bude Tirta, dengan jaminan ayam ternak milik ibu, tapi mereka menolak membantu dengan alasan tidak memiliki uang.
Sungguh adik kecilku yang malang, ibuku menangis sejadi-jadinya, melihat itu, mas Bejo Selalu setia di samping ibu dan memegang erat tangan ibu. Tak pernah sedikitpun mas Bejo meninggalkan ibu, Bejo menjadi anak pertama begitu tangguh, dengan sekuat tenaga dia menjaga ibu dan adik-adiknya disaat ayahnya tidak di rumah.
Semingu sudah dari kejadian itu, ibu banyak menghabiskan waktu sendiri, sambil menunggu kepulangan bapak kami tinggal di rumah pak Hasan, hansip kampung kami yang lumayan baik.
Laras hanya diam tangannya bermain tanah hatinya tidak bisa mencerna air mata ibunya yang mengalir. Saat ini ibu hamil ke empat bulan, mas Bejo selalu menemani ibu.
Hari yang kami tunggu datang bapak pulang, dengan terkejut melihat rumah yang sudah rata dengan tanah, berlari bertanya, mencari kami, hingga bapak tau kami tinggal di rumah pak Hasan.
Ibu menyambut bapak dengan senyum, di ambilnya air minum untuk bapak, menunggu bapak istirahat baru bercerita. Bapak hanya diam mendengar ibu bercerita, kemudian berdiri menghampiri Kami, memeluk kami dengan sayang. Lalu bapak pergi mencari jalan keluar
"Bapak aku ikut pak " suara Laras polos. Mas Bejo langsung membawaku pergi meninggalkan mereka untuk berbincang-bincang. Mas Bejo membawaku bermain ke tempat biasa, tempat Main kami tentu tempat yang bisa membuat kami pulang membawa hasil, ke sungai atau ke sawah
"Mas Bejo aku mau pulang"
"Tunggu ras"
"Aku dapat keong mas, buat di goreng ibu" Laras berlari meninggalkan Bejo yang masih di tengah sawah
"Tunggu ras!" teriak Bejo lagi
Laras berhenti, ia mengendong kerang-kerangnya dengan senang, Bejo menghampiri " Jangan ninggalin mas, mas nggak mau sendiri"
Saat itu mas Bejo duduk di bangku sekolah SD kelas enam dan Laras berusia enam tahun, usia Laras mendekati masuk SD.
Dengan senang dia pulang menghampiri ibunya
"Sssssuuuttttt" Laras diam saja
Melihat ibu bapaknya bersiap pergi dari rumah pak hansip itu. Menghampiri kami berdua untuk pindah ke kampung yang lumayan jauh.
Rumah yang kami tumpangi sebelumnya berada di pinggiran kampung, dekat dengan perkebunan warga tak jauh dari hutan lindung. sedangkan rumah pak Hasan berada jauh masuk ke dalam perkebunan hanya di huni satu dua orang saja. Untuk sampai ke kampung kami harus melewati beberapa kebun menuruni bukit kecil dan sawah-sawah.
Seorang teman ayah yang memiliki rumah cukup besar di kampung mau menampung kami.
Kami sekeluarga menghampiri sebuah rumah yang lumayan bagus tertata rapi, ibu seperti engan memasuki tempat yang bersih
"Pak nggak salah? anakmu Lo kotor begitu."
"Gimana lagi mak, sementara waktu saja ya? sabar." bapak mencoba menenangkan ibu
Hari itu kami tinggal di rumah pakde Tirta, bapak tidak tau jika ibu sempat meminta pertolongan pada bude saat Sudarso adik kami sakit, dan dengan sombongnya mereka malah mengejek ibu, mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang, tapi mereka pergi ke pasar membeli banyak perlengkapan dapurnya. Laras berlari-lari bahagia, tapi seperti biasa mas Bejo slalu menempelkan jari telunjuknya di bibir Laras
"Sssssuuuttttt" dan dengan seketika Laras diam,
Teguran Bejo yang seperti itu sudah mendarah daging untuk Laras seolah seperti sebuah alarm yang bisa menghentikan semua aktifitasnya seketika.
Esok harinya bapak pergi lagi merantau. Meninggalkan kami di rumah pakde bude Tirta, pakde Tirta termasuk orang yang baik Perhatian juga nggak mesum, tapi bude istrinya kurang setuju dengan kehadiran kami, ibu diperlakukan seperti pembantu di rumah itu, kadang makanan di simpan mereka di kamar.
Laras masih kecil suka nangis jika minta sesuatu, satu satunya alarm buat Laras adalah mas Bejo.
Anak bude si pemilik rumah sering mengganggu mas Bejo. Laras hanya diam melihat di perlakukan jahat oleh anak pemilik rumah.
Ada suatu waktu Laras sangat marah, Yanto anak budenya Mendorong Bejo Hingga terjungkal, Laras tanpa aba-aba menerjang Yanto, badan mungilnya menindih tubuh Yanto yang jatuh, berkali-kali tinjunya mendarat di wajah Yanto.
Melihat hal itu Bejo langsung mengendong Laras pergi menjauh. Bejo marah Laras tak patuh, dalam gendongan Bejo mata tajam laras memperhatikan Yanto yang menangis sangat keras, membuat orang-orang berkumpul mendatanginya. Ibu datang menghampiri Laras, melihat apa yang terjadi, Bude dengan ganas mengusir ibuku, mencaci maki,
"Dasar tak tau diri, sudah numpang anaknya liar nggak punya aturan " kata bude marah
"Iyo anak kok kayak gitu " seorang lagi menimpali
Ibu memukul betis Laras dengan marah, dicubitnya paha mungil itu berkali kali, di tariknya telinga Laras, menuju kamar mandi dengan menarik tangan Laras, gayung demi gayung di guyurkan air ke tubuh mungil Laras hingga kuyup
Sambil menangis ibu terus memukul Laras. Bejo melihat itu diam tak bergerak, mematung.
Ibu diam terduduk di lantai, Bejo membantu untuk duduk di kursi dan mengambilkan air minum, agar ibunya tenang.
Lalu Bejo menghampiri Laras yang duduk di kamar mandi ia duduk memeluk kedua kakinya kedinginan
"Mas kan udah bilang, sssssuuuuttttt,"
kembali tangan Bejo di tempelkan di bibir Laras,
Di elus nya paha adiknya yang berbekas biru, akibat pukulan dan cubitan ibu.
Hebatnya lagi laras tak menangis mendapat pukulan itu. Laras tak merasa sedih dengan perlakuan ibunya, cintanya terhadap kakaknya, tak membuat dia merasa sakit, dengan lugu Laras bertanya pada kakaknya
"Mama's sakit?"
Laras bertanya pada Bejo, masih teringat melihat Yanto yang memukul masnya dengan kayu dan mendorong badan Bejo Hingga terjungkal.
"Nggak ...nggak kok dek" Bejo menjawab pertanyaan Laras pelan,
Bejo menangis dan memeluk Laras, "betapa konyol nya adik kecilku satu ini, dengan luka dan basah kuyup yang di terima, masih sempat menghawatirkan aku."
Ibu terduduk, penyesalannya membuat seluruh tubuhnya lemas, kepalanya begitu sakit berputar-putar, tak terasa tubuhnya limbung dan ibu pingsan.
Bejo merapikan Laras memandikan, mengantikan bajunya. Membawa Laras keluar kamar mandi, Laras berjalan dengan polos nya dengan kaki pincang mengikuti langkah Bejo, tak lupa jari telunjuk Bejo menempel di bibirnya
"Sssssuuuuttttt diam". Laras mengangguk mengerti.
Melihat ibunya terkulai, Bejo bingung, menghambur menghampiri ibunya
"Ras ambil air minum!"
Perintah Bejo, Laras berlari dengan pincang-pincang mengambil air minum, berdua beradik memeluk ibunya bersama
"Mas ibu berdarah" Laras menunjuk selah kaki ibunya yang mengalir darah
Bejo yang melihat sontak kaget, bingung, takut
"Ras panggil pak hansip ya!"
Bejo mengingat pak Hasan hansip desa yang selalu menolong mereka, tanpa pikir panjang Laras, pergi berlari dengan kakinya yang masih pincang-pincang. Dengan tubuh kecil, kucel Laras berlari tanpa memikirkan apapun, hanya perintah Bejo yang Laras ingat. Laras terus berlari mencari pak hasan, cukup jauh untuk seorang anak umur enam tahun menempuh perjalanan menyusuri pinggiran hutan liar menuju tempat yang agak tinggi.
Tapi kebiasaan Laras yang tak pernah membantah kakaknya tak membuatnya takut, dia terus berlari, yang dia ingat hanya perintah Bejo.
Tak lama sampai di rumah sederhana ala rumah kampung, dengan terengah-engah Laras langsung berteriak
"Bapak ibu berdarah,..bapak ibu berdarah.." Laras terus berteriak berputar-putar di rumah itu iya memutari rumah kecil itu tak henti hentinya
Hingga istri pak Hasan mendengar, mereka tergopoh-gopoh menghampiri Laras " ada apa ndok?" katanya " ibu berdarah," mereka tidak bertanya pada Laras dan langsung pergi untuk melihat keadaannya ibu Laras.
Pak Hasan mengendong Laras bergegas. Sesampainya di rumah bude, ibu sudah sadar, mas Bejo diam memeluk ibunya, pak Hasan dan istrinya ibu Marni memeriksa ibu.
"Oalah Ndok kamu keguguran to " bude Marni membelai ibuku "Ada apa kok bisa begitu" tanya pak Hasan,
Ibu lemas tak menjawab, pak Hasan memapah ibu untuk duduk di ranjang tapi ibu menolak memilih duduk di lantai, beralaskan tikar usang
Laras mengikuti mas Bejo membereskan darah ibu yang tercecer, takut kalo bude minah istri pak Tirta tau. Bude Tirta orangnya sangat rapih, rajin, tak suka kotor-kotor
Takut jika melihat darah ibu bude minah akan murka jadi mas Bejo mengajak Laras adiknya membereskan.
"Ibu kenapa mas?" Bejo berdiri sejenak melihat Laras yang menggerjab-ngerjapkan mata imutnya dengan polos.
Di peluknya Laras dengan sayang
"Mas sudah bilang sssssuuuttttt diem, Laras malah marah tadi, lihat ibu, kasian nggak ?"
Bejo menjelaskan pelan, Laras mengangguk mengerti
"Laras besok besok denger kata mas ya, Laras sayang kan sama mas"
Jelas Bejo, yang di sambut dengan anggukan Laras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!