NovelToon NovelToon

Perpindahan 2 Dunia

Dimensi lain

Keyboard bersuara keras disebuah ruangan pojok, terus bergetar bersuara tak henti-henti, tepat tengah malam, pukul 01.00 pagi komputer masih menyala terang, dengan berkeringat ia masih fokus didepan komputer, beberapa kardus mie tergeletak tak rapi di samping komputer dan beberapa botol kaleng minuman yang sudah kosong berjatuhan dilantai, benar-benar kamar yang berantakan.

"Ayolahh cepat!!!" suara itu muncul juga.

Tangan yang masih bergerak dimeja, matanya fokus kedepan, matanya yang sudah sayu tetapi masih dipaksanya untuk terus terbuka lebar.

"Sialan!!!!" umpatnya, permainan game pun berakhir.

Seseorang datang dan mengetuk pintu kamarnya, dengan suara keras seseorang itu memanggilnya.

"Gil!!" ucap seseorang itu seraya mengetuk pintu dengan keras.

Rasa malas menyelimuti pria yang masih duduk didepan komputer, ia memutar bola matanya, dan berjalan dengan rasa malas membuka pintu, sebenarnya sudah beberapa kali hal seperti ini terjadi.

"Hm?" pria itu membuka pintu.

"Dasar bodoh, pukul berapa ini?" seseorang itu menyelonong masuk kedalam kamar.

"Kau sudah hafal kan"

"Kamar yang benar-benar bau bokong kuda" ucap seseorang itu seraya menjelajah kamar.

"Fa refa cepat keluar, aku ingin tidur!"

"Benar ya, ayah lebih suka aku" seseorang yang bernama refa itu beranjak mendekat ke arah pria yang bernama agil itu.

"Anak yang cerdas tapi tidak digunakan dengan baik, aku pikir ayah akan lebih membanggakan mu, tapi dunia sepertinya terbalik"

Pria itu, agil hanya diam.

"Mungkin ayah sudah malas mengeluarkan kata-kata yang selalu kau hiraukan, aku harap ayah bisa memikirkan kembali kata-katanya dan membuatmu bisa kuliah"

"Tidak" jawab agil singkat.

"Sebagai adikmu aku selalu memikirkan tentang masa depan, dan kau selalu menjawab 'tidak' apakah sesulit itu untuk saling terbuka?"

"Kau kesini hanya untuk ini? aku tidak butuh penjelasan darimu" agil mendorong refa keluar tapi ditahan olehnya.

Refa melanjutkan.

"Entahlah seperti apa ibu melihatmu diatas sana, kalau ternyata anak pertamanya tidak bisa membanggakan ayahnya dan adiknya"

Agil terdiam sejenak.

"Sudah beberapa kali ayah diam lhoh gil, menahan semua amarahnya ketika ia ingin marah, selalu aku tahan tapi hari ini, aku tidak bisa menahan semua, tidak bisakah kau berpikir, selalu saja egois, tidak seperti ini caranya, ibu tidak ada dan kau seperti menghancurkan dirimu sendiri!!!!"

Agil meneteskan air matanya.

"Lihat pecundang seperti mu ini!!!! hanya pecundang yang tidak pernah memikirkan orang lain!!! ibu menangis setiap saat diatas sana!!!"

"Diam!!!!!!!!" teriak agil setengah terisak.

"Keluar dari kamarku bodoh!!!!" ucap agil.

Refa masih terdiam seraya menatap kosong agil.

"Semoga setelah ini kau bisa berpikir dengan baik" refa lalu beranjak pergi.

Agil masih terdiam, wajahnya memerah, air matanya yang siap berjatuhan, ia menutup pintu, dan menjatuhkan diri kekasurnya, menatap kosong atap kamarnya, sempat terlintas seegois apa dirinya?

Matahari muncul dengan cahaya khasnya, angin pagi yang berhembus, agil masih terdiam dikasurnya, benar ia tidak tidur sampai ia bisa melihat jelas kantung matanya semakin hitam, ia malas beranjak, apalagi keluar untuk mengambil sarimi didapurnya, perutnya bunyi tak henti-henti.

Tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya dijendela kamarnya, agil beranjak mendekat, dan melihat kebawah.

"Gil!!" ucap randi dan gilang, teman dekat agil.

"Diam bodoh" jawab agil.

"Ayok ah ke tempat biasa" ucap randi.

Tanpa basa basi, agil membuka jendela dan menyelusuri beberapa pondasi rumahnya untuk turun kebawah.

"Kau kenapa?" tanya gilang penasaran.

Agil hanya menyampingkan kepala tanda kebingungan.

"Ah.. sudahlah kita tahu sendiri kan?" ucap randi menggandeng kedua tangan agil dan gilang, lalu beranjak pergi.

Sebuah bar yang tidak terlalu populer ditepi jalan adalah tempat biasa yang selalu membuat mereka bertiga bisa tenang, seperti malaikat tak bersayap randi dan gilang seperti tau agil sedang banyak pikiran, mereka selalu mengajak agil pergi ketika agil sedang dilanda masalah.

"Aku biasa om" ucap randi dengan suara lantangnya.

Seseorang yang bekerja dibar itu mendekat, om risu, karena mereka sudah saling mengenal.

"Gil kenapa kau?" tanya om risu.

"Biasa om, lagi T*I banget rasanya" agil tersenyum tipis.

"Lain kali nyicip wiski rasa lemon biar plong T*I nya"

Randi dan gilang kebingungan.

"Apaan si om" dijawab gilang.

"Lhoh kalau rasa lemon itu enak kalau udah sampe mulut, plong...."

"Ya, ya deh, buatin pesenanku too" ucap randi

"Jujur deh gil, game yang waktu itu kau download, bener-bener bikin aku gabisa berhenti dari hp" ucap gilang

"Lang kau kuliah loh, jangan ngada-ngada to" randi menimpali.

"Tugas masih numpuk tapi game tetep prioritas"

"Sudah gila kau" ucap randi mempalingkan wajah.

"Kau? Hari ini ga kuliah lang?" ucap agil.

"Tau ni anak" randi menyela.

"Bolos kan kuliah masih daring ngapain ikut, paling ya zoom, males lah aku pengen kerja malah disuruh kuliah"

"Dasar blo'on, aku pengennya kuliah ke jurusan hukum malah disuruh kerja kebengkel, gilak kali" jawab randi.

"Kan dirimu disuruh meneruskan usaha bapak kao bodoh"

Disaat randi dan gilang berdebat, agil hanya melamun dan masih terbayang dengan omongan adiknya, sudah beberapa kali refa adiknya itu menasihatinya ayahnya pun ikut serta, namun selalu, agil selalu egois dan lebih diam, setelah kematian ibunya, ia tak banyak berharap dengan semua, rasannya sudah seperti mati rasa.

"Makasi lho om, jan jos rek" ucap randi menirukan bahasa yang biasa om risu ucapkan.

"Halah koyo sok ngerti wae koen" jawab om risu.

"Gilak kali kau, udah pesen 4 bir masih nambah 1 lagi" ucap gilang seraya menepuk dagi rendi yang sudah setengah mabuk.

"Kayak ga tahu dia aja lang, dia sok kuat sih" agil menimpali.

"Dia ini tipe-tipe sok kuat memang, sangking sok kuatnya jadi cepet linglung" ucap om risu.

"Bener banget om" jawab agil seraya tertawa berbahak-bahak.

"Lhoh kao masih diam dirumah to?" tanya om risu.

"Diam main game" agil tersenyum.

"Ni bocah kurang gawean to" ucap om risu mendekat.

"Kurang gawean?" tanya gilang.

"Kurang kerjaan bodoh" tiba-tiba randi bersuara dengan nada khas orang mabuk.

Sudah beberapa jam mereka asyik nongkrong dibar milik risu, sampai tidak terasa sudah 5 jam mereka mengobrol tidak penting, sekadar bercanda, membahas wanita tentunya.

Matahari sudah beranjak naik, mereka bertiga adalah anak yang selalu menyampingkan waktu, banyak pekerjaan, banyak kegiatan, namun mereka memilih berkumpul dan diam tidak tahu tujuan, anak-anak yang selalu putus asa.

Ditaman kota mereka asik melihat beberapa anak bermain skateboard, bermain dengan licahnya kesana-kemari, mereka bertiga melongo melihat kelincahan itu.

"Pengen bisa" ucap gilang disela-sela keheningan.

"Coba aja" jawab agil.

"Susah lah gil, pasti lagi naik skate aja udah ngguling"

"Kita itu anak-anak kurang kerjaan, pengen ini, pengen itu tapi terasa malas, masih nongkrong kayak anak kecil, padahal pekerjaan banyak kan?" ucap randi berdiri setelah duduk terlalu lama.

"Coba lihat kalian?" randi menatap melas agil dan gilang.

"Kayak anak punk" randi buang muka.

"Kalian banyak pekerjaan, lhoh" ucap agil.

"Banyak kerjaan gil emang, tapi ku takut lah kau bunuh diri" ucap gilang tanpa rasa bersalah.

"Gilak kali kau" randi menampar pipi gilang.

Mereka bertiga tertawa berbahak-bahak.

"Lakukanlah dengan lapang dada!!!" ucap randi

"Badan aja yang besar, otak masih kecil, pasti pada pengangguran" seorang ibuk membawa anaknya berkata seraya melewati mereka bertiga lalu pergi begitu saja.

"Orang tu ya tidak tahu dalamnya sudah mengejek aja" ucap gilang.

"Gil apa yang sekarang akan kau lakukan?" randi menyela.

"Mengejar zombi" ucap agil.

"Ha" gilang dan randi kaget, menatap kaget agil.

"Ohhhh zombie, kalau kau mengejar zombie, aku lebih diam biar dimangsa aja sih" ucap gilang seraya menyengol lengan randi, randi yang masih bingung lalu berkata.

"Hais gilak kali kau"

"Bercanda woi, ngapain ngejar zombie" agil menjawab.

"Kenapa tidak kuliah gil, kau kan pintar, cerdas, multitalent" tanya randi.

"Kalian tau lah, malas kali bahas begini"

"Disaat agil seperti itu, jujur aku juga sangat putus asa, dipaksa kuliah, tapi otak yang tidak mencukupi, dipaksa habis-habisan untuk terus belajar, sampai tidur pun tidak cukup" ucap gilang.

"Sama, Dipaksa kerja dibengkel, padahal pengen kuliah dijurusan hukum, sudah belajar mati-matian, tapi ternyata hanya disuruh kerja di bengkel apakah masuk akal? sungguh memprihatinkan, kenapa bengkel gitu lhoh sungguh tidak lurus kehidupan ini"

"Refa pengen kalau aku kuliah, ayah pengen aku kerja, tapi setelah kematian ibu rasanya seperti aku kehilangan semuanya, aku anak kesayangan ibu, refa anak kesayangan ayah, dan ibu tiada rasanya seperti aku kehilangan segalanya"

Tiga pemuda pemalas itu sepertinya saling membagi nasib prihatin mereka, sudah menjadi kebiasaan ketika mereka saling beradu nasib dan saling menceritakan kejelekan mereka masing-masing, bagaimana tidak? mereka sudah sejak dulu berteman.

Agil membuka pintu rumah dengan malas, segera mengunci pintu dan siap kembali ke atas, ke kamar idamannya, saat berjalan dengan pelan, ayahnya duduk di meja ruang tengah seraya membawakan sebuah teh hangat untuk agil.

Sebenarnya agil merasa sangat malas untuk sekadar duduk sebentar berbincang-bincang, bahkan untuk menatap wajahnya saja malas sekali, agil masih terdiam mematung menunduk, agil sudah mengira ayahnya itu akan menuju ke arah agil.

"Kemana saja gil? jam 10 malam baru pulang ke rumah?" ucap ayahnya seraya membawa nampan dengan isi cangkir teh.

"Biasa" ucap malas agil.

"Ambil"

Agil mengambil cangkir teh itu dengan cepat dan langsung berjalan melewati ayahnya itu.

"Harus berapa kali ya ayah bisa membuat kamu tidak benci dengan ayah" masih dengan posisi awal, ayahnya berbicara lembut.

Agil yang tiba-tiba berhenti, dan menatap ayahnya, ayahnya berbalik dan mendekat.

"Sudah beberapa kali ayah berusaha membuat kamu tidak benci, dan sudah beberapa kali ayah minta maaf dengan tulus, tapi kenapa? seolah semua sia-sia" ucap ayahnya dengan nada bicara yang lirih.

Seperti ada sesuatu yang menutupi mulutnya, bahkan untuk berbicara saja ia tidak mempunyai energi yang besar, kenapa tidak bisa membuka mulutnya.

"Baiklah kalau memang seperti ini setiap harinya, yang terpenting kau tidak lupa akan kembali ke rumah" ucap ayahnya beranjak.

Masih dengan mulut yang bisu, agil masih menatap ayahnya itu, kenapa hari ini harus hari ini dia merasakannya lagi? kenapa matanya mengeluarkan air mata?

Refa keluar dari kamarnya, dan menatap bingung kedua manusia yang merasakan canggung dirumah ini.

"Yah dia akan menerima maaf mu, kalau istrimu bisa hidup lagi"

Entah seperti di sambar petir, perasaan yang tulus tiba-tiba menjadi sangat emosional, mendengar kata-kata refa yang tidak sesuai kenyataan, ia maju kedepan tepat di wajah refa, ia menggenggam jari tangannya dan menghantam wajah refa, hingga refa tersungkur dilantai.

"Oh itu kekuataan mu selama ini?"

Masih dengan nafas yang terengah-engah, agil ingin mencoba menghantam lagi mulut busuk refa, namun ayahnya dengan cepat menghentikan mereka.

"Bukan ini caranya agil!!!!!!!" teriak ayahnya.

"ha?" suaranya terdengar sesak, seharusnya ayah mendukung siapa? apakah pertayaan dari refa benar?

"Kalau mau itu caramu!!!!! pergi dari sini!!!!!!!!" ucap ayahnya seraya membawa tubuh refa yang sudah dihiasi darah di bagian wajahnya karena hantaman agil.

"Kau yang lebih dewasa seharusnya kau yang mengerti!!"

Dipikiran agil apakah agil yang salah diposisi ini? dan refa benar? apakah pertanyaan seperti itu sopan di lontarkan? ibuku bukan untuk bahan bercandaan dan ini ayah mendukung refa? refa duduk di sofa, dan ayahnya mengompres dengan air hangat luka memar itu, masih dengan posisi berdiri agil bahkan masih kuat untuk menghantam wajah itu lagi.

"Sudahkan? kau tahu siapa yang kalah dan siapa yang menang?" ucap refa.

"Agil, pergi ke kamar sekarang, aku tidak ingin kau melukai refa lagi, kendalikan emosimu, sudah aku bilang mengurung diri tidak akan bisa membuka hatimu" ucap ayahnya.

Dengan cepat, agil beranjak pergi tanpa menatap wajah kedua orang di dekatnya itu, sesampai di kamar, dia duduk di kursi game nya, menatap kosong laptob didepannya, kamar yang berantakan, dan lampu yang tidak dinyalakan, sepertinya ini hawa yang cocok untuknya.

"Memang benar, refa anakmu, dan aku anak ibuku"

Seperti biasa, agil menunggu disebuah gang rumahnya, ia beberapa kali mengecek handphone nya, menunggu dua sahabat nya menghampirinya, mereka memutuskan untuk menongkrong biasa di bar, dan menghilangkan stress mereka, dan benar mereka selalu siap siaga.

Mereka datang, tanpa basa-basi mereka langsung menuju ke tempat bar milik risu, ditengah perjalanan mereka, mereka sudah merasakan hawa dingin, dan langit yang sudah mendung gelap total, mereka hiraukan karena yang penting ketika hujan tiba mereka sudah sampai di bar, tapi mereka salah bahkan di tengah perjalanan hujan turun juga, bahkan langsung lebat begitu saja tanpa ada permulaan gerimis.

Air hujan berjatuhan ketanah, orang-orang berlarian mencari tempat berlindung, petir yang menggelegar, dan hujan semakin deras saja, membuat mereka masuk menepi kedalam sebuah parkiran mall, tapi anehnya mall itu sangat lah sepi, tidak ada sama sekali mobil terparkir, hanya ada mereka bertiga.

"Sudah lah paling mall nya tutup" ucap randi masih positif.

"Masih ga bisa positif thingking kalau gini ran" mata gilang menjelajah tempat parkir itu.

Agil berjalan menuju pintu mall.

"Gil gimana?" gilang dan randi mengikuti.

"Terkunci?" tanya randi, agil mengangguk.

Tiba-tiba petir mengglegar hebat, membuat mereka bertiga kaget terjatuh.

"Pergi aja ayoo lahhh" ucap gilang kawatir.

"Lihat itu hujan deres banget lang, sampe jalanan aja ga kelihatan" randi menimpali seraya menepuk pundak gilang.

"Sebentar" agil berjalan kearah jalan keluar, diikuti randi dan gilang.

Betapa kagetnya mereka ketika berhenti didepan hujan yang lebat, rasanya seperti air terjun, yang hanya menghujani dibawahnya saja, agil mencoba melewati air itu.

"Gil jangan coba coba deh gil" ucap gilang.

"Takut banget si kau lang, ayok ikut" ucap randi menyakinkan.

"Aku takut ran"

"Ayok!" randi menggandeng tangan gilang.

DEG.

Mereka berhenti ketika sudah melewati air itu, mereka ditempat yang sangat asing, aneh, dan seperti tidak nyata.

"Tidak! tidak masuk akal!!" gilang mencoba kembali tetapi ketika ia berlari kearah air terjun tubuhnya terlembar.

"Kenapa!! kenapa ini kenapa ga bisa masuk ke tempat parkiran tadi!! Gil, Ran!!!!!" gilang berteriak.

Agil dan randi masih tidak bisa bergerak, melihat apa yang ada didepannya, benar-benar tempat yang tidak masuk akal, agil mencoba melihat sekeliling, dan mereka ada diatas awan, diatas mereka, ada beberapa air terjun yang entah dari mana asalnya, terjun begitu saja sampai kebawah, agil mencoba melihat ke arah bawah tapi hanya kabut saja yang terlihat, semuanya aneh, air terjun yang mengambang, awan yang bisa diinjak, entah dari mana asal arus air terjun itu, tapi terdapat banyak air terjun, disisi kanan kiri, atas bawah, depan belakang mereka.

"Aku mimpi kan gil" randi mencoba mencupit pipinya, "Aduh!!!"

Gilang masih terduduk lemas, menangis. Agil masih mengelilingi tempat itu, mereka diatas awan benar-benar diatas awan yang empuk.

"Berarti kita datang dari air terjun ini? tapi kenapa tidak bisa kembali, bahkan gilang terpental" randi menyelusuri air terjun itu.

"Gil kenapa diam saja!!!!" gilang berteriak.

"Lihatlah gil, ini tidak masuk akal, air terjun yang terjun dari awan, jatuh kebawah bahkan entah dibawah itu seperti apa, bahkan kita diatas awan gil, kembali mencoba melintasi air terjun, gilang terpental!!!" randi mendekat ke arah agil yang masih terdiam.

Lalu agil menjawab.

"Kita tersesat di dimensi lain"

Perasaan campur aduk menyelimuti mereka bertiga, mereka beberapa kali berusaha untuk tetap tenang, dan mereke berpikir bahwa ini adalah mimpi, namun semua hal sia-sia ini terlihat sangat nyata, coba bayangkan mereka masuk di dunia yang dimana semua ini seperti imajinasi semata?

Pahit

Masih terdiam kaku, terpatung, tanpa sedikit pun bergerak, agil mencoba untuk tetap sadar, bahwa ini nyata beberapa kali ia mencoba menarik nafas dengan tenang tapi tetap saja ia masih berada diatas awan ini, dan ini nyata adanya, randi dan gilang yang masih syok terduduk menahan tangis.

"Ayo kita pulang" ucap gilang dengan suara seraknya.

"Caranya?" jawab agil mendekat.

"Kita dimana gil, apakah kita sudah mati?" randi menyela.

"Aku berharap kita masih hidup, kita hanya tersesat"

Mereka mencoba menenangkan diri, walaupun masih syok dan takut, mereka benar-benar tersesat didunia yang aneh, suasana yang terasa mengerikan, bahkan burung-burung pun tidak ada sedikitpun yang melewati langit ini, hanya suara gemuruh air terjun disamping kanan kiri mereka.

Mereka duduk melingkar, berdoa agar diberikan keselamatan, agar bisa kembali kealam mereka. Waktu pun berjalan, matahari yang sedikit demi sedikit tenggelam, dam bulan yang mulai merangkak naik, suasana menjadi semakin petang, mereka hanya duduk diatas awan dan merasakan hawa dingin yang luar biasa.

"Kita cukup disini saja, sampai keajaiban datang" suara gemetar agil terdengar.

"Aku bahkan sangat lapar dan kita kedinginan disini" ucap randi.

"Kita bisa mati kedinginan atau mati kelaparan?" ucap gilang.

Agil berdiri dengan tubuh yang gemetar ia mencoba berjalan kearah depan.

"Kau mau kemana gil, jangan bilang mau loncat" tanya randi.

"HUAAAA!!!!" Agil berteriak.

"Buset dah" ucap gilang kaget.

Suara agil yang bergema seperti melampaui langit-langit, benar-benar terasa sepi hanya ada suara agil yang berteriak dan air terjun yang terus bergemuruh.

"Sama sekali tidak ada orang" agil kembali duduk.

"Apakah hanya kita yang tersesat disini?" agil melanjutkan.

"Gil aku minta maaf, semua kesalahan yang pernah aku buat, dan ran aku juga minta maaf sering ngajaki main bareng waktu kau lagi kerja" ucap gilang meneteskan air mata.

"Bukan waktunya bercanda o'on" gerutu randi seraya menampar pipi gilang.

"Kau ngapain minta maaf, kita masih bisa selamat kalau ada usaha" jawab agil.

"Usaha bagaimana gil, coba kau teriak lagi apakah ada orang yang menjawab?"

Lalu randi dengan tenaga yang cukup kuat, berteriak dengan kencang.

"HALLO!!!!!! uhukkk... uhuk.." suara randi yang sudah semakin serak karena kedinginan.

"Kita ga bisa kayak gini terus gil, kita kedinginan disini" kedua tangan gilang terus digesek tanpa henti.

"Kalau dipikir, kita masuk ke parkiran lalu keluar, dan kita ada disini apakah masuk akal?" randi bertanya.

"Apakah kita mati?" tanya agil.

"Gil kalau kau sudah seperti itu, tidak bisa la aku positif thingking" gilang merengek.

"Tidak tidak, kita bisa selamat" agil mencoba menguatkan.

"Hari semakin petang, apa kabar dengan kita?" ucap randi.

"Awan ini seperti kapas coba dicabut, lumayan tidak?" agil mencoba mencabut.

Gilang kelagepan mencabut, dengan tubuh yang gemeteran gilang mencoba menempelkan ke tubuhnya, sekiranya apakah bisa menghangatkan tubuh walaupun hanya sedikit.

"Gil masih dingin" gerutu gilang.

"Tidak apa-apa deh lang, timbang sama sekali tidak, kau bisa mati" jawab randi seraya mencabuti awan dibawah mereka.

"Ini benar-benar seperti kapas, apakah awan dialam kita seperti ini?" tanya gilang.

"Kau sekolah tidak?" tanya randi.

"Ya karena bodoh makanya disekolahkan" ucap gilang santai.

Randi menggeleng dan menampar pipi gilang.

"Aku berharap setelah matahari naik, kita sudah ditempat kita, ayo cobalah tidur karena tubuh kita harus butuh tenaga exstra" ucap agil.

Suasana semakin petang, hanya suara air terjun yang terdengar seperti bernyanyi seperti sengaja membuat mereka tertidur dengan tenang, tapi tidak dengan gilang, ia masih merasa takut sesekali ia menutup, dan membuka mata beberapa kali dan berharap ketika membuka mata keajaiban datang, kembali ketempat asalnya, ketika mencoba menutup kembali matanya, terdengar suara elang yang mengglegar, gilang terbangun kaget, mengamati keadaan sekitar tapi seperti biasa terlihat sepi dan menjijikan, batin gilang.

"Ah mimpi kalik ya?" ucap gilang lalu ia melanjutkan menutup matanya.

"Kyaa!!!!" suara elang itu terdengar lagi.

Gilang terbangun dan sesegera mencari keberadaan elang itu.

"Ditempat yang sepi begini ada elang?" gilang mencoba bangkit dan melihat sekitarnya, mencoba diam dan mendengarkan, tapi masih sama saja terdengar gemuruh air terjun saja.

"Dasar sialan" gilang membalikan tubuhnya dan mencoba tidur kembali.

"Kya!!!!" Elang itu menampakan wujudnya didepan gilang.

Gilang melongo kaget, dan tubuhnya bergemetar tak aturan, Elang besar dengan sayap emas, dan memiliki kuping yang runcing, mata biru dengan pupil yang berkilau.

"HAAAAA!!!!!" Gilang terjatuh pingsan.

Agil dan randi terbangun dengan kaget, dan Deg.

"Apa-apaan ini sialan!!!" gerutu randi masih kaku terdiam menatap elang yang masih melayang didepan mereka.

Agil dan randi melongo kaget dengan apa yang dilihatnya didepan, benar-benar elang yang sangat besar.

"Apakah aku mimpi gil tolong tampar bokongku!" randi masih melongo.

Agil hanya diam kaget dan seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, mata agil menjelajah ke tubuh elang itu, tubuh besar, dan seperti monster, elang itu terus bersuara.

Tiba-tiba elang itu mendarat ke awan, seseorang turun dari punggung elang, dan meloncat kearah mereka.

"Apaan-apaan itu gil, siapa dia gil!!!" randi berteriak mundur karena seseorang itu terus maju mendekat.

"Tersesat?" tanya seseorang itu yang sudah berdiri didepan agil, agil masih melongo kaget.

Seseorang yang mengendarai elang adalah si wanita cantik, bermata biru mengkilap, berpakaian kain putih sutra yang seperti kehabisan bahan, dan terlihat transparan, kupingnya panjang runcing, dan gigi kiri kanannya panjang seperti vampire.

Ketika melihat apa yang ada didepannya agil mencoba mundur selangkah, tapi wanita itu terus mengikuti langkah agil dengan kebingungan.

"Aku bertanya apakah kalian tersesat?" wanita itu bersuara.

Suara itu terdengar biasa saja, dan bahkan bisa berbahasa seperti kita, siapakah dia? batin agil.

"Siapa kau!!! kenapa omonganmu seperti kita" ucap randi dengan gemetar.

"Tenang tenang jangan kaget, duduk duduk" wanita itu mempersilahkan duduk.

"Tidak, jelaskan dulu siapa kau" agil mencoba menyela pembicaraan dengan rasa takut.

"Ya sudahlah, aku malucia" wanita itu menyodorkan tanganya.

Agil dan randi masih terdiam mematung.

"Aku hidup didunia ini, dan aku yakin kalian pasti tersesat, akan aku bantu" wanita itu menurunkan tanganya.

"Kya!!!!" elang itu terus bersuara dengan keras.

"Sialan!!!" randi kaget.

Malucia lalu mencoba menenangkan elangnya itu, seraya menjelaskan.

"Selamat datang di kota majestic, disini adalah awan liodra tempat istirahat pangeran aleris" wanita itu terus menjelaskan seraya mengelus kepala elangnya.

"Apa maksutmu?" tanya agil.

"Ditempat ini adalah portal antara duniamu dan duniaku, dulu sekali sebelum semua menjadi indah, tempat ini pernah disinggahi oleh pangeran yang bernama pangeran aleris"

Agil dan randi terdiam semakin penasaran.

"Ya, yang mungkin kalian akan tanyakan adalah bagaimana kalian bisa ada disini bukan?" wanita itu berjalan mendekat.

Malucia lalu melanjutkan, agil dan randi masih syok dengan apa yang ada didepan mereka seperti tidak nyata, tapi seperti biasa ini adalah nyata adanya.

"Sepertinya didunia kalian ada beberapa portal yang bisa sampai di beberapa awan ini dan kalian tidak sengaja melewati tempat itu"

"Berarti tidak hanya kami yang diawan ini?" tanya randi penasaran.

"Mungkin, tetapi diwaktu yang berbeda bisa jadi"

"Aku masih bingung kenapa kami bisa sampai disini" agil bertanya.

"Aku tidak tahu pasti, karena aku bukan orang penting" malucia menundukan kepala.

"Apa maksutmu?" ucap agil.

"Aku tidak percaya dengan omonganmu" tiba-tiba gilang sudah terbangun dibelakang mereka.

"Jelaskan siapa dirimu" gilang melanjutkan.

"Aku malucia, aku adalah seseorang seperti kalian tapi berbeda, orang yang diberi kelebihan lebih dari manusia yang hidup, disini tempat kami yang bisa kami andalkan dengan beberapa teman baik seperti elangku ini, dan bisa diandalkan kemana-mana" malucia itu menjawab.

"Jadi ada banyak orang-orang sepertimu disana?" randi bertanya.

"Ya tentu ada banyak sekali orang-orang sepertiku disana, istana juga perdesaan juga" malucia menjelaskan.

Agil masih merasa janggal dengan apa yang malucia jelaskan, sedangkan randi sepertinya ia benar-benar merasa bingung sama-sama kebingungan.

"Akan aku bantu kalian" ucap malucia.

"Tunggu, katamu mungkin ada orang-orang seperti kita yang datang kemari diwaktu yang berbeda mungkin berarti banyak orang-orang seperti kita disana?" randi seperti tau apa yang dipikirkan agil.

Malucia menunduk.

"Tidak tahan lama mereka mengakhiri hidup mereka disini"

"Jelas!!! bagaimana tidak kita sedang asik menepi didunia kita tiba-tiba langsung terbawa kesini apakah lucu?" gerutu gilang.

"Jaga omongan mu lang" ucap agil.

Agil melanjutkan.

"Kita akan ikut denganmu"

"Jangan gila kau gil" teriak gilang.

"Kau tidak mempercayai dia?" agil beranjak diikuti randi.

"Ha ran?" gilang kebingungan.

"Mau cari tau gak kenapa kita bisa sampai disini?" randi menaiki elang itu.

"Ayo" agil mengadeng tangan gilang dan membantu gilang naik ke punggung elang.

Mau tidak mau mereka akhirnya mengikuti wanita itu, walaupun sudah beberapa menit berdebat, tapi percuma berbedat pun dengan wanita itu tidak akan paham, karena wanita itu sepertinya juga tidak mengerti kenapa agil, randi, gilang, dan orang-orang bisa terjebak ke dunia seperti ini.

Seperti difilm mereka terjebak dan masuk didunia yang sangat aneh, dan seperti imajinasi yang dibuat-buat, beberapa kali mereka masih menganggap bahwa ini adalah mimpi tapi, ketika menyadarkan diri sendiri ino benar adanya.

Setelah berdebat sangat lama, gilang menyetujuinya, sempat randi dan gilang menolak karena bisa saja wanita itu monster dan akan membawa mereka ke sarang dan menjadi lalapan wanita itu, tapi agil berusaha meyakinkan mereka berdua bahkan wanita ini sepertinya memang baik, mereka selalu percaya agil karena seperti yang diketahui ia cerdas.

Mereka pun terbang menaiki elang besar itu, terbang ke punjuru langit, langit yang diisi dengan beberapa air terjun, indah bagaikan surga, mereka sesekali merasa bergemetar ketika menaiki punggung elang itu karena terbang terlalu tinggi dan cepat, bahkan setiap detik elang itu tidak henti-hentinya nengeluarkan suaranya yang membuat telinga sakit.

Mereka berjajar menaiki punggung elang itu melewati beberapa awan yang dihiasai air terjun itu.

"Dimana asal air terjun itu?" tanya gilang setengah berteriak.

"Ha???" ucap agil didepan tidak mendengar perkataan gilang, karena angin yang kencang diatas.

"Dari mana asal air terjun itu!!!!!!" gilang berteriak.

"Ahhh, heh kau dari mana asal air terjun itu?" tanya agil kepada malucia yang fokus mengendarai elang.

"Dari awan" teriak malucia, suara mereka terdengar kecil terbawa angin.

"Dari awan lang!!" agil berteriak diteruskan ke randi.

"Dari awan bodoh kau lihat sendiri" ucap randi.

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena takut, coba kau lihat kebawah ran, benar-benar tempat yang brengsek" gerutu gilang.

"Ogah, aku aja takut ketinggiaannnnnn" tiba-tiba elang itu melaju dengan cepat.

Mereka bertiga berteriak.

"HUAA!!!"

Malucia tersenyum menghadap kebelakang, menatap tiga pria penakut itu.

"Hei hei lihat kedepan mu wanita bodoh bisa-bisa elang ini melaju tanpa tujuan" ucap randi berteriak.

"Santai saja, elangku ini sudah hafal jalannya" malucia masih terseyum tipis.

"Didunia kalian apakah ada yang seperti ini?" tanya malucia.

Mereka bertiga saling tatap.

"Ada tapi lebih enakan dikit" jawab agil sedikit ragu.

Setelah menempuh perjalanan jauh mereka akhirnya melewati perbatasan antara awan liodra menuju hutan gugur.

"What the hell?" gerutu randi menatap kosong didepannya.

"Sangat sangat indah" ucap gilang.

"Ada apa dibawah? apakah tanah? atau?" tanya agil

"Lautan" jawab malucia.

"Hah pohon bisa tumbuh di lautan? batangnya tinggi banget" ucap gilang penasaran.

"Ya seperti inilah pohon pahit" jawab malucia.

Sesekali mereka melihat kearah bawah, benar-benar seperti jurang sangat curam dan terlihat gelap.

Hutan gugur yang tinggi menjulang kelangit, dedaunan yang tampak kekuningan berjatuhan ke bibir awan, burung-burung yang terbang melayang mencari udara yang sejuk, matahari pun muncul, dengan sinar yang mencolok menyinari pepohonan gugur ini, cobalah lihat ini benar-benar indah bukan.

"Wau benar-benar mengaggumkan"

"Ini adalah pohon pahit, pohon raksasa coba lihat batangnya kita bisa berhenti disana untuk beristirahat" ucap malucia

"Kok bisa pahit, emang pohonnya pahit?" tanya gilang penasaran.

"Ini adalah dimensi lain dari kerajaan majapahit kalian tahu kan? dulu sekali ini" ucap malucia menjelaskan.

"Wau berarti bisa dikatakan ini tempat kerajaan majapahit ya kalau di dimensi dunia kita bertiga?" tanya randi.

"Benar"

Mereka masih mendengarkan penjelasan dari malucia, seraya ia mengendarai elangnya itu, kanan kiri mereka pepohonan raksasan yang besar menjulang tinggi batang pohon yang besar daun-daun berguguran indah, beberapa awan putih yang menemani perjalanan mereka.

"Kenapa kau berbicara bahasa seperti kita, apakah memang dikota ini berbicara bahasa yang sama seperti kita?" tanya agil.

"Tidak juga, dikota ini banyak sekali suku di perdesaan, yang bisa berbahasa seperti ini hanyalah dikota tertentu saja"

Agil, randi, dan gilang mengangguk mengerti.

"Kau kenapa ke awan liodra?" tanya agil penasaran.

"Aku selalu diberi tugas seperti ini, saat itu aku sedang istirahat berjalan-jalan kemana pun berada mencari makanan, saat sedang dihutan pahit aku mendengar teriakan seseorang, dan karena aku hafal beberapa orang yang dulunya sudah terjebak di awan liodra jadi aku menyusul suara itu, aku bersyukur kalian malah sedang asik tertidur"

Mereka tersipu malu.

"Berapa banyak orang-orang seperti mu disana" tanya gilang.

"Banyak lah, seperti ditempat kalian, tapi bedanya mereka bermacam-macam bentuk"

"Hah gilak kalik, aku ga bisa kesana takut duluan" gerutu gilang.

"Tidak apa-apa mereka baik kok, asal sopan saja" jawab malucia.

Malucia

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan, menelusuri hutan pahit yang jauh, mata mereka bertiga sudah terlihat memerah kantuk mulai berdatangan, apalagi perut mereka masih kosong tetapi mereka harus terus waspada kepada elang raksasa ini, selain terbang yang terlalu cepat, malucia mengendarai elang juga sangat mengerikan.

"Kalian terlihat lapar dan lelah" ucap malucia.

"Ya tentu lah bagaimana tidak?" jawab gilang.

"Dari tadi kita terbang didaerah hutan ini-ini saja" ucap randi matanya menelusuri sekitar hutan.

"Iya, kita hampir sampai kok ditempat istirahat" jawab malucia.

Tanpa basa-basi mereka terbang menuju tempat istirahat yang dikatakan malucia.

Mereka sampai disebuah tempat dimana tempat itu dipenuhi dengan tumbuhan jamur yang bercahaya seperti lampu, kanan-kiri mereka terlihat mengkilap, jamur itu dipenuhi dengan cahaya yang terang, tempat itu menjadi terang, beberapa jamur yang besar dan kecil, ada sebagian jamur yang besar dijadikan rumah beberapa orang-orang seperti malucia untuk istirahat disaat mencari makanan.

"Disini tempatnya untuk mencari berbagai macam makanan" kata malucia seraya berjalan beriringan bersama agil, randi, dan gilang dibelakangnya yang sibuk menatap aneh tempat itu.

"Banyak makanan?" tanya agil penasaraan.

"Ya banyak disini" jawab malucia.

"Apakah tidak ada yang beracun?" tanya gilang.

"Ada yang beracun ada yang tidak"

Malucia lalu berhenti mengambil sebuah jamur yang bercahaya seperti lampu berwarna kuning.

"Ini bisa dimakan" malucia menunjukan kepada mereka bertiga.

"Dimasak dulu kan?" raut wajah gilang sedikit takut.

"Langsung dimakan juga tidak masalah, coba aja" malucia menyodorkan jamur itu kepada agil.

Agil lalu menerimanya dan mencoba memakan.

"Gil kalau kau hilang ingatan, coba lah tatap aku terima kasih selama ini sudah menjadi teman brengsek ku, terima kasih uang bulananya buat top up game" Ucap konyol gilang.

Randi menampar pipi gilang dan berkata.

"Lang kau gausah kuliah langsung jadi actor aja" randi menimpali.

"Sialan" gerutu gilang.

Agil lalu memakan jamur itu, seraya wajahnya yang kurang meyakinkan.

"Gimana gil?" tanya randi.

"Ga seburuk yang dibayangkan" ucap agil terseyum.

Malucia tersenyum menunduk, karena mereka sibuk dengan tumbuhan jamur itu mereka tanpa sadar bahwa elang milik malucia sudah terbang dan menghilang entah kemana.

"kemana perginya?" tanya agil.

"Santai saja dia akan kembali" ucap malucia.

"Ayo jalan lagi tempat istirahat kita masih lumayan jauh" malucia beranjak.

"Aneh gak si?" tanya gilang pertanyaan seperti mengarah keanehan wanita itu.

"Kita ikuti saja, kita cari tahu sendiri kalau dia tidak mau kasih tau detailnya" agil menjelaskan.

"Aku benar-benar merasa aneh, ini tempat yang lumayan indah, taman jamur lah kalau bisa disebutkan, banyak jamur yang bercahaya pula, kita seperti disebuah surga yang bercahaya" ucap gilang.

"Tentu indah sekali, seperti banyak hewan-hewan disana juga, kalau difoto bagus juga ya tempat ini, kebiasaan kita kalau keluar ga pakai hp, sekarang nyesel" gerutu randi.

"Coba lihat lah tempat ini, jamur-jamur yang berkelip-kelip, bayanganku banyak orang kerdil" ucap agi menakuti.

"Hah!!!!" ucap randi dan gilang bebarengan.

"Gilak kali gil, setengah pikiran ku juga tadi berpikiran itu, tapi ku tangkis" jawab gilang.

Malucia yang sudahh didepan meneriaki mereka yang masih berdebat di belakang.

"Hai ayo!!!!"

Tempat yang indah, langit yang biru seperti lautan, langit gelap namun dihiasi bintang dan bulan menemani mereka, tumbuhan jamur yang seiras dengan cahaya bulan redup, benar-benar seperti taman jamur di surga, ada beberapa rumah yang terbuat dari jamur, dihiasi jendela dan pintu diluarnya, taman jamur itu seperti cumi-cumi yang memiliki cahaya ditubuhnya, benar-benar tempat yang mengaggumkan.

"Hei kenapa hanya ada kita berempat saja ditempat ini?" tanya agil.

Malucia lalu menengok kebelakang setelah ia memimpin perjalanan.

"Nikmati saja tempat ini" malucia lalu melanjutkan berjalan.

"Dimana elangmu? apakah tidak apa-apa di tinggal disana?" ucap randi.

Gilang menampar pipi randi, randi kebingungan ada apa dengannya sampai harus ditampar?

"Tadi agil sudah tanya kok!!" ucap gilang, randi hanya memalingkan muka.

"Tidak apa-apa kok, nanti juga tahu harus pergi kemana" jawab malucia seraya berjalan.

Akhirnya mereka sampai disebuah rumah jamur yang lumayan besar, rumah itu dikelilingi jamur kecil yang merambat di beberapa pinggiran rumah jamur itu, didepannya ada beberapa tumbuhan jamur yang berbentuk seperti mangkok, berwarna ungu kebiruan yang berjajar rapi, jalanan menuju rumah itu dibentuk dengan batu-batu yang tertata rapi.

"Disini kah rumahmu?" tanya agil.

"Bukan, disini seperti ditempat kalian namanya apa ya sa..? saaa waa?"

"Ahhh sawah?" ucap gilang spontan.

"Ah iya itu" malucia tersenyum.

"Jadi ini gubukmu ya?" mata randi menelusuri rumah itu.

Malucia hanya mengangguk, lalu mengajak mereka masuk kedalam, mempersilahkan mereka duduk disebuah kayu, malucia lalu membuatkan sebuah minuman dari jamur berwarna biru.

"Hah apa ini?" tanya gilang kaget.

"Enak kok minum aja" ucap malucia.

"Warna biru gini? ini dari jamur tadi kau petik didepan rumahmu itu?" tanya randi.

"Iya enak kok manis, sudah aku masak juga jadi tidak akan terlihat buruk" malucia tertawa.

Lalu mereka meminum minuman itu dengan raut wajah yang tidak menyakinkan, lumayan juga batin mereka, lalu malucia kembali kedapur, menyiapkan masakan, ia memetik jamur yang merambat dirumahnya untuk dimasak.

"Silahkan, makanan sudah siap" ucap malucia seraya membawa mangkok berisi jamur itu untuk mereka bertiga.

"Ini kau tidak meracuni kita kan?" tanya randi

"Tidak" ucap malucia seraya mencicipi jamur yang ada di mangkok.

"Baiklah kita coba" ucap agil.

Lalu mereka memakannya.

"Sudah yakin aku kau hebat dalam hal memasak, enak ini lho" agil berkata seraya masih menikmati masakan malucia.

Malucia tersipu malu, entah dari awal ketika mata malucia bertemu dengan laki-laki bernama agil itu, setelahnya ia tidak bisa berpaling dari wajahnya yang tampan, sempat terlintas di pikiran malucia bahwa malucia terpesona, tapi ia tangkis ia tidak pantas mencintai laki-laki yang sempurna.

"Terima kasih" mata malucia masih menatap ke arah agil yang masih melahap makanannya, randi dan gilang menatap aneh ke arah malucia.

"Baru kali ini lihat kau merasa tersipu malu" ucap randi dengan raut wajah aneh.

Lalu agil menghentikan makananya dan menatap malucia, seketika malucia spontan menjauh dari mereka bertiga.

"Ah iya karena baru kali ini ada yang bilang masakanku enak"

Seketika keheningan pun terjadi dirumah jamur itu, hanya suara mangkok yang berbunyi, karena suara agil, randi, dan gilang yang sibuk makan dengan lahap, rasa canggung malucia semakin menjadi-jadi, ia menjadi salah tingkah.

"Ada apa denganmu?" tanya gilang.

"Ah tidak aku hanya sedang melihat-lihat dijendela" salah tingkah malucia semakin menjadi-jadi.

Disela-sela kecanggungan malucia ia masih sempat melirik agil yang masih sibuk makan, mata randi dan gilang tidak bisa jauh-jauh dari malucia mereka masih menatap aneh malucia itu.

"Ada apa dengan agil?" tanya gilang berbisik.

"Tatapan dia ke agil seperti menelaah seperti jatuh dan cinta" randi berbisik.

"Kau pikir monster seperti dia mencintai agil yang orangnya terlalu cuek, entah apa jadinya dia" ucap gilang.

"Hais aneh-aneh saja kau, habiskan makananmu" gerutu randi.

"Tunggu ran, kalau dilihat-lihat dari matanya kalau dia emang bawa perasaan ke agil? hanya karena agil memuji masakanya? apa monster-monster disini baper-baper ya orangnya?"

"Entahlah lang, udah makan aja ah sialan" ucap randi memalingkan wajahnya ke makananya.

Malam pun tiba, mereka bertiga beristirahat diruangan yang lumayan sempit karena gubuk jamur yang dibuat tidak begitu luas, ada beberapa kain yang tidak ada hangat-hangatnya, kain transparan berwarna putih untuk bawahan tidur mereka, beberapa kali mereka terbangun karena nyamuk yang menyantap tubuh mereka, randi dan gilang terlelap walaupun sempat beberapa kali terbangun kesal karena tempat yang tidak nyaman atau nyamuk yang hingap diwajah mereka, sedangkan agil merasa kesal tempat agil di penuhi dengan tubuh mereka yang tidak aturan, agil lalu memutuskan untuk keluar, dan mencari malucia, yang katanya memutuskan untuk tidur di meja tempat makan tadi.

Agil berjalan dan melihat melucia yang tertidur terlelap dimeja seperti tidak nyaman, agil menelusuri wajah dan tubuh wanita itu, apakah seperti monster? tetapi cantik batin agil, dia duduk dan menatap wajah malucia dengan heran.

"Apakah ada wanita cantik yang terlahir ditempat yang aneh ini" mata agil masih menatap malucia yang sedang tidur.

"Apakah aku bisa menyebutkan dirimu monster? tetapi terlalu buruk untuk berkata seperti itu karena kau cantik"

"Apakah aku akan percaya denganmu untuk mencari jalan kembali dari tempat mengerikan ini? apakah kau dapat dipercaya? jika kau menghianati kami, aku tidak segan-segan membunuhmu"

Seperti tahu apa yang dikatakan agil, malucia lalu terbangun kaget, spontan menatap kedua mata agil yang sedang duduk menatapnya.

"Ah maaf" agil lalu berdiri tersipu malu.

Begitu pun dengan malucia yang langsung duduk, dan tersipu malu beberapa kali ia merapikan rambut karena salah tingkah, ini adalah hal yang tidak disukai malucia sebenarnya, laki-laki yang membuat jantungnya berdebar karena sekali tatapan itu, mungkin ini terlihat gila karena belum apa-apa malucia sudah merasakan getaran jantung ketika pertama kali agil menatap malucia.

"Aku hanya penasaran denganmu" ucap agil.

Malucia lalu berdiri.

"Maaf aku juga spontan kaget"

"Tidak masalah"

Lalu mereka memutuskan untuk saling bercerita karena pertanyaan yang dilontarkan agil terlalu banyak, mereka duduk didepan rumah jamur seraya melihat langit yang dihiasi bintang dengan suasan dingin menyelimuti tubuh mereka.

"Kau bisa menyebutkan kalau aku monster, memang kata seperti itu cocok untukku" ucap malucia seraya menatap langit.

Agil hanya diam.

"Ini lah wujudku, wujud kami yang berada ditempat ini, beda dengan kalian"

"Sudah sempurna dimataku, karena semua manusia itu terlahir tidak sempurna namun bagiku semua sempurna" ucap agil menatap indahnya langit dimalam hari, malucia lalu menatap agil.

"Karena di dimensi berbeda-beda, kita juga berbeda, tapi jika kita berbeda namun sama?" lanjut agil, sebenarnya malucia tidak paham, dari dulu baru kali ini ia bisa merasakan perasaan yang aneh.

Sesegera malucia memalingkan wajahnya karena malu.

"Aku memiliki banyak teman, tetapi karena kami sama entah mereka menghilang"

"Semua itu tergantung kepada diri kita, percaya diri nomor satu, ku harap kau tahu apa itu percaya diri" agil menutup matanya.

"Dimana tempatmu tinggal?" agil bertanya.

"Tidak mungkin kan disini?" agil melanjutkan.

"Iya dikota, nanti juga kalian akan tahu" ucap malucia.

"Apakah mereka disini sama seperti diduniaku? sama saling jatuh cinta?" agil menatap malucia.

Malucia gugup, jantungnya berdebar tak beraturan, seperti tahu pikiran malucia agil menanyakan itu, entahlah yang malucia tahu hanyalah cinta pada pandangan pertama karena ini pertama kalinya malucia bisa terpesona sampai ia tidak berkedip dan susah untuk berpaling.

"Sa...maa, sama, jatuh cinta, bedanya tidak ada tradisi disini, mereka jatuh cinta lalu menjalani hubungan yang begitu indah, dan melahirkan anak mereka"

"Menjalani hubungan yang begitu indah apakah itu?" raut wajah agil berubah.

Malucia spontan kaget.

"Ahhh tidak, maksudku menjalin hubungan sebagai pasangan hidup" senyum terpaksa malucia.

Agil tertawa.

"Kau lucu juga, pipimu memerah" seperti buaya pada umunya, agil mengoda.

Malucia segera menyentuh pipinya seraya tersipu malu.

"Kau pernah memiliki pasangan?" agil bertanya.

"Belum pernah, aku belum pernah merasakan bagaimana jatuh cinta, selama hidup aku hanya seperti ini"

Agil berdiri dan menatap malucia dibawahnya, lalu wajahnya mendekat ke wajah malucia.

"Kau akan merasakan rasanya jatuh cinta, cia." ucap agil lalu beranjak untuk masuk kedalam namun ditahan oleh malucia, ia memeggang tangan agil, entahlah ini akan aneh atau tidak tapi sepertinya agil tahu jika tangan malucia gemetar.

"Tunggu akan ku tunjukan sesuatu untukmu?" agil lalu kembali duduk disamping malucia.

Malucia lalu menutup kedua matanya, keningnya memunculkan sesuatu yang aneh, seperti cahaya biru, kedua tangan malucia mengangkat kedepan, suara angin berdatangan, membuat beberapa daun jamur berterbangan, agil spontan kaget melotot menatap apa yang ditunjukan oleh malucia, ia sampai tak berkedip, malucia lalu membentuk sebuah hati dari kepingan jamur, yang ia buat dari angin itu, malucia lalu membuka matanya, matanya berubah sedikit lebih cerah dan bercahaya, menatap agil.

"Wow luar biasa, apakah kau baik-baik saja?" ucap agil seraya matanya tak henti-henti menatap jamur yang berbentuk hati itu.

"Cantik bukan?" malucia masih membentuk jamur itu dengan kedua tanganya, keningnya masih menyala.

"Kau?? woww luar biasaaa" agil menganggumi, seraya beranjak mendekat ke arah hati itu.

"Kau memiliki kekuatan kah? atau aku hanya mimpi?" agil masih tiidak percaya.

"Ini nyata didepanmu" lalu seketika malucia menurunkan kedua tanganya, membuat jamur yang berbentuk hati itu berjatuhan, keningnya yang sudah kembali seperti semula, matanya pun kembali biru tak bercahaya.

Agil kaget.

"Kenapa berhenti??? lagi asik-asik nya juga"

Malucia mendekat ke aarah agil yang masih terdiam, kali ini setelah mengeluarkan sedikit energi rasanya sudah tidak gemetar seperti tadi.

"Salah satu kelebihan kami adalah memiliki kekuatan, dan aku memiliki kekuatan angin" malucia memandang wajah agil yang masih terdiam.

"Semua mon... eh orang-orang disini memliki kekuatan?" tanya agil.

"Iya" malucia menunduk.

"Wow kau luar biasa bisa membentuk hati dari serpihan jamur, kerennn kerenn" agil berteriak dan mengacungkan jempol.

"Terima kasih" ucap malucia tersipu malu.

"Bisa ding aku diajari pengen punya kekuatan kayak avatar" agil bercanda.

Mereka pun tertawa, apakah aneh? ketika pertama kali melihat sudah jatuh cinta? bukan jatuh cinta ya? lebih ke terpesona? yang dilakukan oleh malucia wajar saja, karena ia terpesona dengan pandangan pertama, ia bersyukur akhirnya bisa dekat dengan agil dan bisa bercerita dan menunjukan asal-usul dirinya, malam itu banyak cerita yang dilontarkan agil dan malucia, bahkan sampai malucia yang merasa canggung menjadi biasa-biasa saja karena perkataan agil yang selalu terlihat menghangatkan.

Malucia wanita polos yang butuh ceramah soal percintaan, dan soal perasaan, beberapa kali agil mengajarinya dan mepraktikan gaya andalan agil ketika didunianya, mempraktikan gaya buaya mengoda ke wanita yang diincar agil, bagaimana hati malucia bisa tenang? agil benar-benar pandai menghangatkan hati malucia, sampai malucia lupa kalau ia monster dan tidak bisa jatuh cinta dengan manusia seperti agil tapi hatinya tidak bisa bohong, bahkan pandangan pertama itu yang membuat pikiran malucia sedikit gila, entahlah kenapa malucia bisa sampai gila karena tatapan tak sengaja itu di awan liodra?

Pagi pun tiba, sinar mentari menerobos masuk kesela-sela jendela, burung-burung menyaut tanda waktunya bangun, suara angin yang berhembus sejuk, cahaya itu menyinari wajah randi yang tampan, dia teranggu oleh cahaya mentari, dan terbangun dengan kesal, sedangkan gilang, yang masih ngorok dengan perut yang berlihat.

"Dasar kebo" gerutu randi.

"Sialan, tidur tidak nyaman, udah pagi aja" randi beranjak.

"Lhoh agil dimana?" randi membuka pintu dan mencari keberadaan agil.

Mata randi melotot kaget dengan apa yang dilihat nya di depannya, agil tertidur dimeja dengan wanita monster itu, bahkan tangan wanita itu melingkar di tubuh agil?

"Apa yang terjadi tadi malam sialan? apa-apan kau gil, monster aja kau embat?" gerutu randi.

"Baru kenal udah main-main aja ya? gimana udah kenal dari dulu?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!