NovelToon NovelToon

Retak

MENYULUT KEBENCIAN

Seorang pria memakai seragam RakTV berlari mengejar bintang utama acara. Wajahnya kelihatan panik.

“Mas Jagat! Mas!” Dia berhasil meraih lengan sang bintang utama. “Duh, jangan gini, dong, Mas! Kita lagi shooting, loh.”

Jagat Pamungkas Tjahyadi menatap tajam. Rahangnya mengeras. Tangannya menyentak keras hingga cengkeraman di lengannya terlepas.

“Enggak ada shooting lagi!” tolaknya penuh penekanan. “Soal kerugian, tenang, semuanya bakal gue ganti.”

Kru itu meraup wajahnya frustrasi. Dia melaporkan kekeraskepalaan sang bintang utama kepada produser.

Di lokasi berbeda, seorang wanita yang mengenakan seragam sama langsung mendecakkan lidah. Laporan anak buahnya dari handy talkie membuatnya mengacak rambut. Gusar.

Di sebelah si wanita, seorang pria yang juga mengenakan seragam serupa terlihat menatap tragis.

“Gue, ‘kan, udah bilang, Cit. Harusnya sebelum mulai shooting kita kasih tau dulu ke Jagat soal profile asli peserta. Dia berhak tau siapa kandidat calon istrinya. Lo lihat sendiri, ‘kan, akibatnya sekarang? Dia walk out! Kalau udah gini, mau kita bujuk kayak apa pun dia enggak akan bergeming.”

Alih-alih menanggapi cicitan PA-nya(Production Assistant), Citra—produser Mawar Sang Bachelor—berlari keluar MCR(Master Control Room). Dia meliuk lincah ke kanan dan kiri untuk menghindari tabrakan dengan kru yang berpapasan dengannya. Dengan penuh perjuangan akhirnya dia berhasil mengejar sang bachelor yang hampir dibawa elevator.

“Let’s talk!” ajaknya tersengal sambil menahan pintu elevator yang hendak menutup. Dia tidak peduli dengan keberadaan karyawan lain di elevator itu.

“No! Our cooperation is ... over.” Jagat menolak tegas. “Please find another bachelor. Gue enggak sudi balik ke stage tadi.”

Tersirat nada jijik saat Jagat mengucapkan dua kata terakhir. Bahkan ekspresinya pun menunjukkan demikian.

Bagi Jagat, shooting hari ini adalah mimpi buruk. Kembali ke stage seolah tidak terjadi apa-apa adalah hal yang mustahil. Dia bukan ahli lakon yang suka berakting di kamera. Dia tidak akan bisa menyembunyikan kebenciannya kepada salah satu pengisi acara yang membuatnya walk out seperti ini.

“Okay, whatever—yang penting we talk dulu.”

Tanpa memedulikan protes Jagat, Citra menyeretnya meninggalkan elevator. Perbicangan mereka yang alot hanya akan membuat penumpang elevator lain meradang. Sebelum itu terjadi, Citra—dengan segala rasa hormatnya—terpaksa menyeret pewaris RakTV itu ke MCR yang sudah dikosongkan. Dia mendudukkan Jagat di salah satu kursi yang membelakangi beberapa monitor. Dia mengambil kursi lain dan duduk di hadapan Jagat.

Jagat tak berniat kabur seperti pecundang. Dia duduk menyilangkan kaki dan menyatukan kedua tangan di bawah dada. Dia menunggu Citra bicara.

“Okay, pertama-tama gue minta maaf terkait peserta yang enggak lo harapkan. Tapi, gue mau ngingetin kalau peserta yang hadir sekarang adalah murni pilihan lo sendiri.”

“Iya. Pilihan gue memang, tapi berdasarkan kecurangan kalian.”

“We don’t cheat, Gat!”

“Enggak! Kalian main curang! Kalian sengaja menjebak gue!”

“No! Everything is not what you think!”

“Terus apa? Lo udah tau, ‘kan, siapa peserta itu? Lo enggak mungkin buta sama kehidupan pribadi gue. Lo tau ini salah, tapi tetap lo lanjutin tanpa sepengetahuan gue. Lo biarin gue memilih kandidat yang salah. Sadar enggak, sih, kalau sebenarnya yang bikin kacau sekarang adalah lo?”

Citra membuang napas dan menunduk. Dia memejamkan mata. Mencoba mengontrol emosi, sekaligus mendinginkan kepala yang terasa mendidih. Kepalanya menggeleng. Tidak. Dia tidak boleh menyerah. Apa pun caranya, sang bachelor terpilih ini harus kembali ke stage dan melanjutkan shooting. Ini pertaruhan karirnya.

“Okay, sekarang mau lo apa?”

“Get her out!”

“I can’t!”

“You can!”

“Enggak bisa, Gat. Dia pilihan lo.”

“Iya. Tapi pilihan apa yang bisa dipilih hanya berdasarkan hobi, latar belakang pendidikan, dan motivasi mengikuti acara ini?”

“Intinya, lo yang milih dia. Dari awal gue udah menegaskan kalau siapa pun yang lo pilih enggak bisa dimundurkan seenaknya di tengah acara.”

Jagat mengembuskan napas. “Lo tau, ‘kan, kenapa gue setuju ikut program ini? The one and only hanya untuk move on. Sekarang gimana caranya gue bisa move kalau orang yang bikin hidup gue berantakan justru kandidat terpilih? This is crazy, right?”

Tiga bulan yang lalu, Citra memberikan proposal program Mawar Sang Bachelor kepada pemilik RakTV, Dewa Langit Tjahyadi. Dia adalah ayah kandung Jagat.

Alasan Citra menjadikan putra bos besar RakTV sebagai target karena kisah cintanya yang sempat viral dua tahun yang lalu. Waktu itu, Jagat melamar kekasihnya secara live di channel  pribadi. Sayangnya, lamaran Jagat ditolak mentah-mentah. Bahkan buket mawar yang diberikan Jagat dibuang ke laut oleh sang kekasih. Lokasi lamaran saat itu berada di tengah laut—tepatnya di atas kapal pesiar.

Status Jagat sebagai anak konglomerat dan pelukis terkenal membuat tragedi nahas itu tak dapat diredam. Menyebar dengan cepat dan luas bagaikan virus yang tak dapat dikendalikan.

Dua tahun berlalu, kisah itu tak lantas terhapus dari memori. Hingga saat ini, Jagat tak pernah dekat dengan perempuan lain. Sampai satu ketika—tepatnya tiga bulan yang lalu—IG live Jagat kembali membuat heboh warga maya. Dalam live story itu, Jagat yang sedang melukis diganggu oleh sang mama.

“Ngelukis pemandangan mulu. Ngelukis pasangannya kapan? Move on, dong!”

Akibat celetukan sang mama, banyak followers-nya yang berasumsi kalau Jagat belum move on dari mantan kekasih dua tahun yang lalu. Tidak adanya klarifikasi dari Jagat membuat asumsi itu menjadi-jadi.

Momen viral inilah yang diincar Citra. Produser yang selalu lapar akan rating ini rela menggilas mukanya di hadapan bos besar RakTV. Dia bahkan mengemis, memohon agar bosnya mau membujuk Jagat untuk menjadi bintang acara program barunya.

“Okay, gimana kalau gini. Kita tetap lanjut shooting dan karantina 7 hari. Tapi, soal bagaimana harus bersikap, semuanya gue serahin ke lo. Kru dan gue enggak akan ikut campur.”

Kening Jagat berkerut. “Bersikap yang lo maksud ini konteksnya gimana?”

Citra menggedikkan bahu. “Ya, gimana aja. Pokoknya, apa pun yang mau lo lakuin ke ex lo itu, kita enggak akan ikut campur.”

Jagat tidak langsung menanggapi. Dia merenung sambil menggosok-gosok dagu.

“Gue tau ini berat buat lo. Satu frame sama ex itu adalah hal terhoror di dunia. Tapi, di sini, ‘kan, kandidatnya enggak cuma dia. Ada satu lagi, Gat. Dia potensial. Kalau pada normalnya sulit memilih satu di antara dua pilihan, sekarang lo justru dipermudah. Kenapa? Karena satu kandidat sudah masuk black list lo. Yang perlu lo lakuin sekarang cuma pendekatan ke satu kandidat yang potensial ini. Anggap aja ini ajang balas dendam atas prilaku yang lo terima dua tahun yang lalu. Buktiin ke ex lo itu kalau lo juga bisa menyakiti dia sesakit yang lo rasain dulu.”

Kejam memang. Sebagai wanita, Citra paham kalau tidak seharusnya dia berkata seperti ini. Namun, Citra tidak punya pilihan. Demi meregenerasikan mood Jagat yang hancur berantakan, Citra terpaksa menyulut kebencian.

 

MENTAL

“Tenang, ya. Mbak Citra pasti berhasil bujuk dia.”

Seorang kru wanita berkacamata frame hitam memeluk pundak Alin. Wanita berambut Cleopatra yang dipeluknya duduk lemas di samping tangga stage. Tatapannya kosong seperti tak ada gairah melanjutkan hidup.

“Lin!” Kru itu mengguncang tubuh Alin. Namun, bagaikan mayat yang masih membuka mata, Alin bergeming. “Woy! Jangan kayak gini, dong! Lin! Hey! Mending lo nangis aja, deh, daripada kayak gini. Alinea!”

Alin menuli. Panggilan, pekikan, dan permintaan kru itu tak membuatnya beranjak dari kubangan keterpurukan.

“Dia udah balik, Lin! Lin!”

Mata sayu Alin berpindah ke salah satu pintu di balik stage. Jagat muncul bersama Citra dan seorang kru pria. Alin berdiri, bermaksud menyambangi Jagat. Namun, langkahnya dicekal oleh kru yang tadi memeluknya.

“Jangan dulu, Lin! Tahan!” bisik kru itu.

Alin patuh. Dia menunggu Jagat yang tidak meliriknya sedikit pun. Wajah dingin itu melibas tanpa menyapa. Naik ke stage dan berdiri di sudut.

Citra menepuk lengan Alin yang terpaku menatap Jagat. “Udah beres. Lo bisa balik ke stage.”

Alin mengangguk. Meski kelihatan ragu, Alin tetap menapaki tangga. Dia berdiri di sebelah wanita lain yang tingginya menjulang. Di sebelah wanita itu, Alin terlihat seperti anak SMP, padahal sudah mengenakan heels 7 senti. Posisi mereka berseberangan dengan Jagat.

Setelah dua kandidat dan bintang utama berkumpul di satu stage, seorang host ternama—Andika Pranoto—membuka kata di depan kamera. Dia meminta Jagat berpindah ke tengah stage. Setelah itu, dia juga menyuruh Alin dan Irena berdiri di kanan dan kiri Jagat.

Sepanjang kamera menyorot mereka bertiga, Dika terus mengoceh. Dia membacakan *profile* Alin dan Irena secara bergantian.

“Irena, apa motivasi kamu mengikuti Mawar Sang Bachelor ini?” tanya Dika kepada wanita berambut ikal panjang sepunggung.

“Saya mau membungkam mulut orang tua,” jawabnya sambil tertawa anggun. Tangan kanannya diletakkan di depan mulut, tapi tidak sampai menempel ke bibir.

“Membungkam? Maksudnya gimana, tuh?” kejar Dika.

“Yaaa, biasa, lah. Orang tua udah mulai bawel nanyain, “Kapan nikah?”.”

Dika mengangguk-angguk. “Terus, kenapa memilih ikutan acara ini? Kamu, ‘kan, cantik, punya karir bagus, berpendidikan tinggi—apa selama ini belum ada cowok yang deketin kamu?”

“Yang deketin, sih, banyak. Tapi, yang berani ngehalalin enggak ada. Kalau di acara ini, ‘kan, jelas. Di awal, Jagat udah bilang kalau targetnya adalah menikah di tahun ini. Aku juga sama, jadi ... why not? I have to try and do my best.”

“Wow! Apa itu artinya kamu sudah siap bersaing dengan Alin?”

“Yes.”

“Alin.” Dika mulai beralih ke kandidat ke dua. “Pertanyaan yang sama—apa motivasi kamu ikut acara ini?”

Jagat membuang muka. Bahkan rasanya ingin menutup telinga. Dia begitu enggan mendengar suara kandidat yang satu ini.

Sebulan yang lalu, Jagat disodorkan 100 lembar kertas berisi informasi calon kandidat. Normalnya, berkas data diri akan disertakan nama, tempat-tanggal lahir, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan. Kenyataannya, Jagat hanya menerima lembaran kertas berisi nomor pendaftaran, karakter, hobi, dan kebiasaan.

Ketika ditanya kenapa tidak ada nama dan keterangan umum lainnya, Citra menjawab, “Biar lebih fair. Kriteria future wife yang lo cari, ‘kan, berdasarkan karakternya. Bukan siapa orangnya.”

Berdasarkan alasan ini, Jagat tak bisa melanjutkan aksi protes. Dia seperti termakan pahitnya ucapan sendiri.

Berangkat dari 100 lembar kertas, Jagat menemukan 2 nomor yang menggugah hatinya, yakni 27 dan 93.

Jagat memilih nomor 27—yang ternyata milik Irena—berdasarkan hobi dan kebiasaan. Irena memiliki hobi memancing dan balap motor. Sebuah hobi yang sama dengan Jagat. Selain itu, Jagat terkesan dengan kebiasaan Irena yang suka minum kopi sebelum tidur. Lagi-lagi kebiasaan itu sama dengannya.

Sementara itu, nomor 93 dipilih Jagat berdasarkan motivasi mengikuti program Mawar Sang Bachelor. Nomor 93 mengatakan kalau dia ingin membuat mantan pacar yang telah dia putuskan menyadari alasan kenapa dia memilih putus.

Jagat tertawa saat membaca motivasi itu. Jelas motivasi yang dituliskan berbeda dengan 99 peserta lain yang rata-rata ingin segera menikah.

Berangkat dari motivasi anti-mainstream inilah Alin muncul di hadapan sang mantan. Jagat akhirnya menyadari siapa mantan yang dimaksud dalam berkas 93.

Berbeda dengan tulisan di berkas, Alin yang sekarang justru menjawab pertanyaan host dengan jawaban yang cukup mencengangkan. “Saya mau balikan.”

Jagat marah mendengar jawaban itu. Dia tak segan menunjukkan reaksi frontal di depan kamera. “Are you crazy?”

“Yes. And my shame has been crushed.”

Jagat mendengkus sambil membuang muka. Host segera bertindak sebelum kandidat dan bintang utama bertengkar.

“Okay, terlepas dari apa pun motivasi kalian, saya ucapkan selamat karena kalian sudah berhasil menjadi kandidat future wife Jagat Pamungkas Tjahyadi. Tidak mudah mengalahkan 98 calon kandidat hanya berdasarkan hobi, kebiasaan, dan motivasi mengikuti program ini. Saya yakin, apa pun yang tersaji di panggung sekarang adalah skenario Tuhan. Sekarang kita hanya tinggal melihat, seberapa jauh para kandidat bisa berjuang untuk mewujudkan keinginan mereka.”

Dalam hati, Jagat mencibir pernyataan Dika. Skenario Tuhan dengkul lo!

Menurut Jagat, apa yang terjadi dengannya bukanlah skenario Tuhan. Ini murni jebakan. Entah siapa yang menjebaknya, Jagat bersumpah akan menghukum orang itu kalau ketahuan.

“Baiklah. Setelah ini kita akan berpindah ke Vila Kebun Bunga. Di sana, kedua kandidat dan bintang utama akan menjalani karantina selama 7 hari. Selama seminggu ke depan, kedua kandidat ditantang untuk meluluhkan hati the bachelor dengan menyelesaikan misi yang disusun sendiri oleh Jagat Pamungkas Tjahyadi. Bisakah kedua kandidat menyelesaikan semua misi dan mengumpulkan mawar putih dari sang bachelor? Tonton terus Mawar Sang Bachelor setiap Sabtu dan Minggu, jam 7 malam, exclusively only on RakTV.”

Setelah kamera dimatikan, Jagat turun lebih dulu, diikuti Irena dan Alin. Host turun belakangan setelah melepaskan clip on.

Seorang kru laki-laki langsung menyambangi Jagat. “Mas naik mobil RakTV aja, ya.”

“No.” Jagat menolak tegas tanpa menoleh atau pun menghentikan langkah.

Kru itu mengalihkan pandangan ke produser yang berdiri di kejauhan. Mereka berkomunikasi lewat bahasa tubuh. Si kru tampak bertanya, apa yang harus dia lakukan karena Jagat tidak mau menurutinya. Si produser mengangguk, kode kalau anak buahnya tidak perlu memaksa Jagat.

“Gue salut sama lo,” kata Irena ketika hanya berdua di mobil RakTV. Sebenarnya mereka tidak berdua, ada supir, kameramen, dan seorang kru di kursi depan. Irena dan Alin duduk di jok paling buntut.

Alin paham betul ke mana arah pembicaraan Irena. Dia hanya tersenyum tipis dan memposisikan badan senyaman mungkin. Dia menyandarkan punggung dan kepala, lalu menyilangkan kedua tangan di bawah dada.

“Jagat kayaknya enggak mudah ditaklukkan,” kata Irena lagi yang diamini Alin.

“Lo enggak takut?” tanya Irena.

“Takut apa?” Jawaban Alin berupa pertanyaan.

“Jagat. Dia kayaknya enggak bakal ramah sama lo.”

Alin tersenyum. “Gue pantes dapetin itu. Masih untung dia enggak bunuh gue tadi.” Dia tertawa seolah kalimat terakhir adalah lelucon.

Entah karena juga merasa lucu atau justru kasihan, Irena ikut tertawa. Namun, tawanya diiringi oleh gelengan kepala. “Mental lo kuat banget! Salut gue!”

Alin menggeleng, menyangkal pujian itu. “Justru karena mental gue lemah, makanya gue ninggalin dia.”

🦔🦔🦔

Hai, readers! jangan lupa kasih jempolnya dan dukung Alin ya. kasih komennya bertubi-tubi. follow juga IG-ku: snowwhite2493

TANTANGAN PEMBUKA

Vila Kebun Bunga. Seperti namanya, ketika melewati gerbang raksasa, pemandangan pertama yang disuguhkan adalah keindahan bunga beragam warna dan jenis. Aroma segar merebak memenuhi indera penciuman.

Mobil hanya bisa diparkir di belakang gerbang pertama. Selanjutnya, pengunjung harus melewati gerbang kedua yang ukurannya lebih pendek. Lebar jalan berbata hanya selebar setengah meter. Sisanya dipenuhi tanaman hijau setinggi dada orang dewasa. Satu-satunya alat transportasi yang bisa dipakai untuk masuk ke dalam hanyalah kedua tungkai kaki.

Seharusnya, Alin merasakan ketakjuban seperti kru dan kandidat lain. Nyatanya, dia menjadi satu-satunya orang yang kelihatan murung. Mata sedih itu menatap ke satu titik di depan. Tepatnya ke punggung pria yang berjalan bersisian bersama saingannya.

Cemburu? Mungkin iya. Namun, lebih tepatnya mungkin merasa menyedihkan dan terasingkan. Ada dua kandidat di sini, tapi Jagat hanya mau bersisian dengan Irena.

“Jadi kita beneran enggak boleh ke mana-mana, nih?” tanya Irena kepada Citra yang berjalan paling depan bersama PA-nya.

“Yoi. Cuma seminggu. Lo-lo pada pasti betah, kok. Apalagi tempatnya nyaman begini.”

“Ya, gue, sih, betah-betah aja. Asalkan ada kolam renangnya.”

“Ada, kok. Tenang aja. Selain kolam renang masih ada ruangan-ruangan lain yang gue jamin bikin kalian enggak kerasa terkurung 7 hari.”

“Oh, ya. Wow! Jadi penasaran gue.”

Alin tak terlibat percakapan dengan siapa pun. Bahkan ketika Yuna—penulis script yang juga teman satu kontrakannya—mengajak bicara, Alin hanya menanggapinya dengan gumaman, anggukan, atau senyuman.

Selain Alin, suara yang jarang terdengar gemanya adalah Jagat. Sepanjang perjalanan, pria itu menyimpan tangannya di saku. Hanya bicara seadanya ketika Irena mengajak bicara. Bahkan tidak ada senyum yang tersungging di bibirnya.

“Okay, guys.” Citra bertepuk tangan sambil membalikkan badan menghadap bintang utama dan dua kandidat terpilih. Dia berdiri di depan pelataran vila yang seluruhnya terbuat dari kaca. Ornamen dan furniture di dalam bisa dilihat dari luar. “Sampai di sini, komunikasi kalian dengan dunia luar akan di-pu-tus to-tal. Right? Jadi, gue minta dengan sangat hormat untuk kalian menyerahkan HP dan kunci mobil ke kru. Kalau ada yang bawa laptop juga harus diserahkan, ya. Pokoknya segala bentuk elektronik yang memungkinkan untuk berkomunikasi dilarang. Termasuk watch phone kalau ada.”

Jagat terpaksa melepaskan arlojinya ketika Citra menambahkan watch phone ke dalam daftar benda terlarang. Selain itu, dua HP-nya juga diserahkan kepada salah satu kru yang bertugas mengumpulkan barang.

Setelah memastikan tidak ada barang elektronik yang dibawa bintang utama dan kandidat, Citra lanjut menggiring tamunya ke dalam. Dia menggeser pintu kaca. Aroma segar dan sejuk pun langsung menerpa wajah dan anggota pernapasan.

Fasilitas yang tersedia di vila ini tidak jauh berbeda dengan fasilitas rumah pada umumnya. Dapurnya pun demikian. Selain 3 kamar, ruangan tertutup lainnya adalah perpustakaan, karaoke, billiard, dan ruang kosong tanpa furniture.

“Kok, kosong?” tanya Irena ketika dibawa melihat ruangan itu.

“Ini ruangan meditasi. Kalian bisa memakai tempat ini kalau mau menenangkan diri,” jelas Citra.

“Menenangkan diri?” Irena tertawa kecil, lalu menatap Jagat yang berdiri di sebelah kanannya. “Emangnya bakal ada tekanan batin, ya?”

Jagat tak menggubris. Dia sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Bahkan matanya menelisik ke empat sudut langit-langit yang dipasangi kamera.

“Yeah. Kita enggak tau apa yang bakal terjadi nanti. Bisa jadi kalian memerlukan tempat ini,” kata Citra.

Alin melangkah mundur diam-diam. Sepelan mungkin menjaga langkah agar tidak terdengar oleh yang lain. Dia menghapus air mata yang menetes tanpa bisa dikendalikan saat membalikkan badan. Belum apa-apa dia sudah merasa tertekan.

Alin berpindah sendiri ke belakang vila. Air matanya sudah bisa dikendalikan. Dia menarik-ulur napas di depan kolam renang. Hanya di sini dia mencium aroma melati yang begitu kuat. Maklum, sekeliling kolam terdapat 10 pot pohon melati.

“Lah? Udah ada di sini duluan.”

Suara Citra membuat Alin menoleh ke belakang. Dia tersenyum tipis kepada rombongan Jagat, Irena, dan kru Wasaba(Mawar Sang Bachelor).

“Wow! Aromanya berasa lagi di spa, ya.” Irena berkomentar setelah menghirup udara sekitar.

“Kalau gue, sih, merasanya kayak lagi ritual mandi kembang gitu,” tanggap Citra yang diamini beberapa anak buahnya.

Ternyata selain kolam renang, vila ini juga memiliki lapangan outdoor yang cukup luas. Ada ring basket yang menandakan kalau lapangan ini memungkinkan untuk olahraga itu.

“Lo bisa main basket enggak, Gat?” tanya Irena.

Jagat menjawab dengan gumaman pendek dan anggukan.

“Lo, Rin?” tanyanya lagi kepada Arin.

Arin menggeleng. “Gue enggak jago olahraga apa pun,” paparnya.

“Wah, sayang banget. Padahal gue pengin ngajakin main.”

Alin tersenyum.

“Kalau gitu besok pagi kita main, ya, Gat.”

Jagat menyanggupi ajakan Irena tanpa pikir panjang.

“Okay, karena kalian udah mulai bahas planning kegiatan, mending gue sampaikan aturan untuk kalian di sini aja, ya. Tadinya, sih, pengin di ruang karaoke biar lebih santai. Tapi, di sini gue rasa okay juga. Enggak masalah, ‘kan?” tanya Citra.

Jagat, Alin, dan Irena kompak mengangguk. Sementara itu, PA bergeser ke samping Citra. Dia mengambil alih pemaparan.

“Kalian punya jam kegiatan dan jam malam, ya. Jam kegiatan itu maksudnya waktu untuk kalian berkegiatan di luar kamar—baik berkegiatan bebas atau pun yang sudah diatur. Sementara jam malam, ya, seperti namanya. Kalian harus masuk kamar dan enggak diizinkan berkegiatan apa pun di luar. Jam kegiatan dimulai dari jam 6 pagi sampai 11 malam. Sedangkan jam malam dimulai dari habisnya jam kegiatan—berarti jam 11 malam—sampai jam 6 pagi.”

“Kalau kami melanggar?” tanya Alin.

“Melanggar jam kegiatan; misalnya kalian telat keluar kamar—dikasih tenggang waktu 5 menit—maka pintu kamar kalian otomatis bakalan terkunci.”

“Berarti kita enggak bisa keluar kalau enggak ada yang bukain?” tanya Irena.

“Yap. Pintu baru bisa kebuka 7 jam kemudian. Artinya, kalau misalkan ada kegiatan wajib, berarti kalian enggak bisa ikut.”

Alin dan Irena kompak mengangguk mengerti.

“Nah, kalau melanggar jam malam, kalian enggak bakal bisa masuk kamar. Intinya, kalian harus tidur di luar sampai pagi.”

“Waduh! Berat juga, ya,” gumam Irena yang hanya bisa didengar Alin yang berdiri di sisi kirinya.

“Oh, ya. Aturan ini cuma berlaku untuk kandidat, ya. Untuk Jagat, aturan ini enggak berlaku,” lanjut PA. “Kalau kalian tanya alasannya, ya, udah pasti—jawabannya karena dia bintang utama program ini. Kalau kalian merasa ini diskriminasi, yaaa, anggap aja itu benar.”

“Nah, setelah ini kalian bisa santai-santai dulu. setelah makan malam, kandidat akan mendapat tantangan pembuka dari Sang Bachelor kita. Tantangannya apa? tunggu aja after dinner,” tutup Citra sebelum membubarkan pengisi acara.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!