NovelToon NovelToon

The Last Lotus

Prolog

... ~Bila bulan tidak mencintai bumi, tak mungkin dia melindunginya dari kegelapan. Tapi saat bulan menghilang di balik awan, apa itu artinya dia sedang marah?~...

Ibukota, 2015

Alunan musik klasik terdengar memenuhi ruangan yang didekorasi mewah, tempat sebuah pesta sedang berlangsung. Gelas-gelas berdentingan seirama dengan suara obrolan ringan dari para tamu undangan. Para pelayan sibuk ke sana kemari menyiapkan hidangan serta memastikan semua orang merasa bahagia, sebahagia Alvano, tuan rumah yang sedang tertawa bersama seorang pria muda yang berdiri sopan di sebelahnya. 

"Ah, kenapa mereka lama sekali?" suara Alvano terdengar sedikit cemas di pendengaran pria yang berdiri di sebelahnya tapi bagi orang lain, pria paruh baya itu hanya terdengar tak sabaran. Undangan resmi digelar pukul delapan dan saat ini baru pukul tujuh lewat empat puluh lima. 

Pria muda itu melirik jam lalu dengan sopan berpamitan pada Alvano yang menepuk punggungnya. "Jangan jemput tunanganmu, biar ibu kamu yang membawanya ke sini," kata Alvano sambil tertawa. 

"Iya, Om, saya mau ke belakang sebentar," kata pria itu sambil melangkah. 

"Arsa, jangan lama-lama!" sahut Alvano diiringi anggukan sopan pria bernama Arsa itu. Setelah calon mertuanya memalingkan wajah, Arsa melangkah menaiki tangga. Dia tidak bermaksud mengecek tunangannya tapi dia justru mencemaskan wanita lain yang sebelumnya dia tinggalkan dalam keadaan murung. 

"Lihat Crystal?" tanya Arsa pada seorang pelayan. 

"Mbak Crystal tadi saya lihat ke lantai empat," jawab seorang pelayan. 

Dahi Arsa berkerut heran, hatinya seketika melontarkan pertanyaan. "Merenung apa lagi?"

Arsa baru saja akan melangkah untuk menemui Crystal ketika terdengar seruan nyaring dari lantai bawah. Beberapa pelayan berlarian dengan panik sembari menjerit histeris. 

"Kecelakaan! Mbak Crystal kecelakaan. Mbak Crystal kecelakaan!"

Sekejap situasi menjadi menegangkan karena para tamu berlarian mengikuti arah para pelayan yang melesat ke halaman belakang. 

Arsa pun ikut berlari, pikirannya kalut, terbelah-belah. Bersama Alvano mereka menuju halaman belakang, lokasi tempat Crystal tergeletak. Hampir semua orang menjerit histeris menyaksikan petaka yang terjadi. Alvano bahkan tak sanggup bernapas, seketika dia jatuh pingsan hingga menambah kepanikan. 

Arsa juga nyaris pingsan, tubuhnya menjadi kaku, tak bisa bergerak. Bahkan bibirnya terkatup rapat dengan air mata meleleh menyaksikan tubuh langsing Crystal yang berbalut gaun peach, tergeletak dengan darah berceceran. Arsa membeku, baru saja dia mengecup pucuk kepala Crystal dan sekarang kepala itu terkulai tanpa daya. Darah merah mewarnai rumput hijau yang seolah menjadi permadani Crystal.

Tak hanya itu yang membuat Arsa akhirnya menjerit histeris, ada tubuh lain yang sama tak berdaya, tergeletak tak jauh dari Crystal, tapi lebih nahas karena kepalanya di atas lantai halaman. Arsa berlari mendekat dan memberontak saat beberapa orang menghalanginya untuk menyentuh Andini, wanita yang melahirkannya. 

Dalam sekejap tim medis yang memang bersiap di lokasi pesta, memeriksa keadaan Crystal dan Andini. Suara-suara panik memenuhi rumah megah Alvano. Di tengah kepanikan itu terdengar suara yang mencemaskan putri sulung Alvano yang tak tampak. 

"Di mana Jira?"

Arsa ingin sekali mencari Jira tapi sirine ambulan membuatnya tersadar. Bergegas dia menyusul Crystal dan Andini yang dilarikan ke rumah sakit bersama dengan Alvano yang dibawa dengan mobil pribadi. Telinganya berpura tuli saat semua orang masih menanyakan keberadaan Jira, tunangannya. 

Ketika sirine semakin menjauh, seorang utusan segera membubarkan pesta disertai permintaan maaf. Para tamu berbondong-bondong pulang dengan berbagai asumsi, para pelayan merinding ngeri sembari berusaha mengusir secara halus semua tamu yang kukuh bertahan.

Sementara di sebuah kamar, seorang wanita merintih sendirian. Tangan kirinya  menyentuh perut yang mengeluarkan darah. Sambil menahan sakit, sebelah tangannya meraih ponsel di meja. Susah payah dia mencoba menelpon. 

"Tutup akses ke rumah! Bawa aku pergi tanpa ketahuan. Cepat, aku ... sakit ...  aku di kamar ...."

Wanita itu menatap cahaya bulan yang memancar dari tirai yang terbuka. Cahaya itu begitu terang tapi baginya tak mampu menerangi kegelapannya saat ini. 

"Ibu Jira baik-baik saja?"

Wanita bernama Jira itu masih ingin bicara tapi kepalanya terkulai ke lantai. Napasnya tercekat, perutnya semakin sakit. Di antara kesadaran yang menipis sebuah suara menggema di pikirannya. 

"Tolooong! Kak, aku takut!"

Sekuat tenaga Jira berusaha menghilangkan bayangan ketakutan wajah Crystal. Pipi tirus yang sebelumnya dibelai Arsa, mata berbinar yang sebelumnya ditatap Arsa. Bibir manis yang sebelumnya tertawa bersama Arsa. Pundak yang sebelumnya dirangkul Arsa. Juga kepala yang sebelumnya dicium Arsa.

Rasa sakit kembali menghantam dada Jira, tawa lepas mereka sempat menyakiti hatinya namun seperti biasa Arsa hanya menertawakan wajah dingin Jira meski Crystal lebih tahu diri, perlahan melepas tangan Arsa di pundaknya.

Tanpa sadar tangan Jira meremas kuat perut yang masih mengeluarkan darah. Bukan di sana sakitnya tapi telapak tangannya terasa kaku saat mengingat jemari Crystal terlepas dari tangannya. Bukan di tangan saja, kepalanya juga menjadi luar biasa pening, sekarang dia bahkan mual kala mengingat jelas wajah ketakutan Crystal karena tubuhnya menggantung di udara. Pekikan Crystal membahana dalam pikirannya. Setetes air meluncur begitu saja membasahi pipi mulus Jira. 

"Crystal, maaf ..." lirih Jira saat pintu terbuka diiringi pekikan sepasang pria dan wanita yang langsung memeriksa kondisi Jira.

"Jangan sampai ada yang tahu kondisiku sekarang. Ini rahasia," pesan Jira sebelum menutup mata karena tak tahan terus melihat bayangan saat Crystal melayang dan mendarat di halaman. 

...JANGAN LUPA MAMPIR KE NOVEL AUTHOR YANG BERJUDUL...

..."LET ME BE YOURS...

Jarak yang jauh

Suara burung yang mencicit di balkon terdengar riuh. Pelan namun pasti suara burung itu membangunkan gadis pemilik kamar. Setelah menggeliat malas, gadis itu berjalan ke jendela, membuka gorden dan memandangi dua burung yang seolah ikut menatapnya. 

Sebuah senyum samar merekah di wajah tirus yang rambutnya berantakan. Dua burung yang hampir setiap pagi berkunjung di balkon itu perlahan terbang menjauh seolah malu pada wajah cantik sang gadis yang masih menatapnya. Setelah burung itu menghilang dari pandangan, sang gadis beranjak ke kamar mandi untuk memulai aktivitas. 

Wajah itu semakin cantik kala seragam SMA berlogo sekolah swasta mahal sudah terpakai rapi. Rambut dikuncir satu dengan ikat hitam biasa berhias bunga perak. Senyumnya kembali terukir saat tangannya menyentuh ikat rambut sederhana itu.

"Jira, jangan kesiangan!" suara pekikan yang diiringi gedoran sambil lalu membuatnya segera menarik tas lalu membuka pintu. Di depan kamar, matanya memandang kedua orang tua yang berjalan tergesa ke arah ruang kerja. Perlahan, Jira menyeret langkah dan berhenti di dekat ruangan yang pintunya terbuka. Dia mengintip ke dalam, ada seulas senyum lagi menghiasi wajah Jira kala melihat ayahnya menyentuh pundak sang ibu. 

"Dara, kita sudah membahasnya berulang kali, ini hanya masalah kecil, jangan dibesarkan," kata Alvano. Dara, ibu kandung Jira mendesah, menepis tangan Alvano dan duduk di sofa. Bibirnya hampir mengucap serapah tapi saat matanya menangkap bayangan Jira di dekat pintu, fokusnya berubah. 

"Jira, masuk!" perintah Dara. Jira yang tadinya ingin melarikan diri tak punya pilihan. Dengan santai dia masuk ke ruangan diikuti tatapan menelisik Alvano. 

"Kamu nguping?!" tanya Alvano sambil menarik pelan telinga Jira. 

"Pintunya nggak ditutup!" jawab Jira sambil berusaha menghindari tangan Alvano yang akan mengacak rambutnya. "Papa!" Jira menjerit kesal karena tak berhasil menghindari tangan yang merusak penampilannya. 

******* kecewa meluncur dari bibir Jira, bergegas dia mencari cermin untuk merapikan rambutnya tapi Dara segera berdiri dan menarik tangan Jira. "Biar Mama pakaikan," kata Dara sambil menata ulang rambut Jira dengan rapi. 

"Aku mau lihat kaca," kata Jira tapi Dara menggeleng. 

"Kamu sudah cantik, segera sarapan dan pergi sekolah!" Dara mendorong Jira menjauh.

"Aku mau lihat kaca!" ulang Jira. 

"Kamu nggak percaya Mama?" tanya Dara dengan wajah dibuat kesal hingga Jira tertawa kecil. Melihat tawa itu, Dara dan Alvano spontan bersamaan memeluknya.

 

"Percaya mama, kamu sudah cantik, Jira!" kata Alvano menimpali. 

Jira melepas pelukan kedua orang tuanya lalu bergegas pergi tapi ucapan Dara menghentikan langkahnya. "Jangan suka menguping!" kata Dara dengan nada suara yang berbeda saat mengatakan Jira sudah cantik. 

Jira menatap ke depan pintu, ke arah ujung sepatu yang terlihat lalu perlahan hilang. Tak ada komentar dari bibir Jira, dia memilih segera keluar tapi begitu sampai di depan tangga, langkahnya berubah agak pelan agar memiliki jarak dengan gadis yang menuruni tangga di depannya. 

"Mau makan apa, Mbak?" tanya Bibi Ami, asisten keluarga yang paling tua. Mata Jira masih memandang gadis yang lebih dulu sampai di meja makan. Gadis itu bernama Crystal, usianya lebih muda dua tahun dari Jira, lahir dari ayah yang sama tapi di rahim yang berbeda. 

Segala hal di diri gadis itu sekilas menyerupai Jira. Hidung keduanya sama mancung, kulit mereka sama putih, pipi mereka sama tirus. Bedanya rambut Jira panjang sepunggung, rambut Crystal hanya sebatas bahu. Keduanya sama cantik tapi dengan jenis yang berbeda. Apalagi ketika wajah Crystal terangkat, saat senyum tipis gadis itu mengembang, keduanya bagai langit dan bumi karena Jira sama sekali tidak tersenyum. 

"Kak, punya bekas catatan fisika waktu kelas satu?" tanya gadis itu dengan riang, berharap menemukan secercah kehangatan dari Jira tapi seperti biasa, kakak satu bapaknya itu enggan menyahut. Jira lebih senang menanggapi Bibi Ami yang menawarkan aneka selai untuk rotinya. 

"Mbak Crystal mau juga?" tanya Bibi Ami tapi Crystal menggeleng lalu kembali menunduk, sibuk dengan ponselnya. Bibi Ami menghela napas lalu berjalan menjauhi meja makan yang sunyi. 

Tak ada percakapan normal selayaknya gadis remaja. Tak ada pertengkaran yang terjadi selayaknya kakak dan adik. Dua gadis yang duduk bersebrangan dengan jarak kurang dari dua meter itu seakan berada dalam dunia berbeda. 

Meski tanpa suara, Bibi Ami seolah memahami perasaan Crystal yang menunduk untuk menyembunyikan wajah sedih atau mungkin mata berairnya.

Suara kursi yang ditarik dengan kasar oleh Jira membuyarkan lamunan Bibi Ami, wanita itu bergegas mengikuti Jira yang melangkah ke luar rumah bersama dengan Crystal yang mengekor. Bi Ami melepas kedua anak majikannya dengan lambaian tangan tapi hanya Crystal yang membalasnya dengan ceria. 

*

Perlahan Mobil berhenti di dekat pintu samping SMA Duta Bangsa, dengan cepat Crystal keluar, melesat meninggalkan mobil yang kembali melaju menuju lobi utama untuk menurunkan Jira. 

Saat berada di halaman sekolah, Jira menatap Crystal yang bergegas masuk ke dalam kelasnya. Crystal baru seminggu menjadi murid SMA, dan baru pertama kali berada di sekolah yang sama dengan Jira. Sejak TK sampai SMP, Crystal berada di sekolah yang berbeda dengan Jira. 

Sejak awal pergi sekolah bersama, Jira meminta sopir pergi lebih pagi dan berhenti di pintu samping, membuat Crystal sadar diri bahwa Jira tidak mau diketahui pergi bersama dirinya. Keesokan harinya, ketika mobil belum berhenti sempurna di pintu samping, Crystal lebih dulu keluar. "Aku aja yang lewat samping," katanya tanpa menatap Jira. 

"Sayang, kenapa bengong!" suara seorang pemuda yang dengan santai menepuk pundak Jira membuat gadis itu menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan pegang-pegang!" hardik Jira kesal tapi cowok itu malah tertawa dan justru menggenggam tangan Jira. 

"Kenapa? Kan kamu pacarku!"

"Arsa!" Jira menarik tangannya lalu berjalan cepat meninggalkan Arsa yang terbahak.

Tawa Arsa terhenti saat menatap ikat rambut yang dikenakan Jira. Arsa tersenyum senang menyadari gadis dingin itu menghargai pemberiannya. Dengan riang ia mengikuti Jira tapi langkahnya terhenti di depan kelas satu. Senyumnya merekah menatap Crystal yang sedang mengerjakan tugas rumah. 

"Baru masuk udah ngerjain pe-er di sekolah!" seru Arsa jahil sambil menutup buku yang ada di meja Crystal. 

"Iih Kak Arsa jangan ganggu!" Crystal memekik kemudian ketika tersadar suaranya melengking, dia berbisik,"Jangan ganggu, aku lagi sibuk!"

Arsa tertawa lalu memandang ke ruang kelas yang kosong karena masih terlalu pagi. Pandangannya beralih ke wajah Crystal yang menunduk untuk menyalin materi sebagai tugas fisikanya. 

"Kak, jangan ganggu!" kata Crystal tanpa menoleh saat Arsa kembali menutup bukunya. Arsa ingin bertanya lebih lanjut tapi karena terdengar beberapa suara di luar kelas, Arsa memilih pergi setelah mengacak rambut Crystal yang memekik kesal. Cowok itu tidak melihat ada tiga orang gadis yang sedang menatap punggungnya dengan heran. Bergegas ketiganya mengintip ke dalam kelas dan mengerutkan dahi melihat Crystal sendirian. 

"Ini yang kalian ceritakan kemarin, kan?" tanya seorang yang paling tinggi. Gadis itu bernama Aya, siswi kelas dua yang terkenal senang bikin onar. Tak ada yang ditakutinya meskipun kakak kelas. Aya hanya segan pada Jira yang terkenal lebih mengerikan.

"Murid beasiswa?" tanya Aya."Kayaknya sih gitu. Selalu datang pagi, kayak nggak mau ketemu orang."

Alis Aya terangkat sebelah lalu senyumnya merekah. Perlahan dia mendekat lalu menendang meja hingga Crystal terlonjak kaget. 

"Ngapain kamu pagi-pagi berduaan sama Kak Arsa?!" hardik Aya.

"Ngapain?" tanya Crystal heran akan pertanyaan yang baginya tak masuk akal. Keheranan Crystal membesar seiring dengan tuduhan Aya yang makin tak terkendali. Kondisi kelas yang mulai ramai membuat Crystal merasa pening. Dia memilih diam tapi Aya makin berang. 

"Kalau ditanya tuh jawab!" bentak Aya sambil menarik kerah Crystal. 

"Kamu ngapain pagi-pagi berduaan sama cowok? Godain kakak kelas ya?"

"Maksud Kakak apa?" tanya Crystal tak mengerti seraya berusaha melepaskan diri. 

"Kamu setiap hari datang pagi-pagi sengaja biar bisa ngerayu cowok-cowok di kelas yang sepi, kan?"

"Nggak!" Crystal menyangkal tapi samar beberapa suara mulai membenarkan Aya.

 

"Yang digodain Kak Arsa pula, kamu tahu nggak sih dia siapa?" tanya kawan Aya sengaja menyebut nama Arsa agar situasi memanas dan terdengar sampai ke telinga Jira. 

"Ayo ngaku kamu ngapain aja tadi pagi sama Kak Arsa?!" bentak Aya. 

"Nggak ngapa-ngapain. Kak Arsa cuma ...."

"Cuma apa?" tanya Aya penasaran karena Crystal terdiam. 

Crystal bisa saja dengan mudah menjelaskan hubungannya dengan Arsa tapi dia terbayang wajah Jira. Maka dia memilih diam, Aya dan teman sekelas mulai membuat spekulasi sendiri. Karena Crystal menolak menjawab rentetan pertanyaan, Aya menyudutkannya ke tembok. 

Beberapa anak merinding ketakutan karena kabarnya bila sekali menjadi korban Aya maka selamanya tak akan hidup tenang. Benar saja, Aya yang tak logis mulai menampar Crystal hingga terjatuh ke lantai. Suara pekikan makin menjadi dan terdengar ke telinga Jira yang kebetulan melintas di lorong.

"Ada apaan?" tanya Jira penasaran.

"Korban baru Aya!" jawab sebuah suara dengan raut prihatin. 

"Siapa?" tanya Jira curiga.

"Crystal. Katanya tiap hari dia sengaja datang pagi buat godain kakak kelas. Tadi kebetulan kepergok Aya pas lagi sama Kak Arsa!"

Dengan cepat Jira melangkah ke dalam kelas. Suasana seketika hening saat Jira berada di antara kerumunan. Aya yang masih menampar Crystal, mendadak tersenyum saat melihat Jira.

"Ada apa ini?" tanya Jira sambil mendekat dan melirik Crystal yang terduduk di lantai. 

"Lagi ngasih pelajaran anak baru yang nggak tahu diri. Kakak mungkin sudah dengar kalau dia menggoda kakak kelas termasuk Kak Arsa!" lapor Aya.

 

"Jadi kamu apakan dia?" tanya Jira dingin.

 

"Baru aku tampar, Kakak boleh lanjutkan ...."

Beberapa orang menahan napas saat Jira menarik paksa Crystal untuk berdiri. 

"Berapa kali kamu menamparnya?" tanya Jira. 

"Baru tiga kali," jawab Aya sambil tersenyum. 

Crystal merinding melihat wajah Jira yang ikut tersenyum, hatinya tersayat ketika Jira melepas lengannya dengan kasar dan mendekati Aya sambil menggumam satu kata, "Bagus!"

Crystal ingin menangis tapi ditahan, namun jeritannya pecah saat Jira melayangkan tangan untuk menampar. Suara pekikan kembali terdengar kala Jira menghitung setiap tamparan keras yang mendarat di wajah Aya. 

"Kak, kenapa?!" Aya tampak shock tapi Jira kembali menarik Crystal dan meminta Aya mengeja nama yang tertera di kemeja Crystal. 

"Baca yang keras!" bentak Jira. 

"Crystal Sinar M."

"Kamu tahu M itu apa?" tanya Jira membuat otak Aya nyaris pecah karena praduga. Bibirnya yang terkatup rapat kembali terbuka untuk menjerit saat Jira melepas Crystal dan kembali menampar Aya sebanyak dua kali. "Lima. Enam!" Jira menghitung tamparan terakhirnya lalu menarik rambut Aya. 

"Siapa pun boleh kamu ganggu kecuali keluarga Mareendra!" ucap Jira dengan suara lantang yang mengejutkan semua orang.

Aya tak mampu lagi bicara, begitu pun keramaian yang memilih bubar. Jira melirik Crystal yang terpaku lalu ia meninggalkan ruangan tanpa bicara. Di tempatnya berdiri Crystal memandang punggung Jira sambil tersenyum kecil. 

"Apakah ini artinya kakak sudah mengikis jarak yang terbentang di antara kami?"

Sosok Crystal

Suara burung yang mencicit di balkon terdengar riuh. Pelan namun pasti suara burung itu membangunkan gadis pemilik kamar. Setelah menggeliat malas, gadis itu berjalan ke jendela, membuka gorden dan memandangi dua burung yang seolah ikut menatapnya. 

Sebuah senyum samar merekah di wajah tirus yang rambutnya berantakan. Dua burung yang hampir setiap pagi berkunjung di balkon itu perlahan terbang menjauh seolah malu pada wajah cantik sang gadis yang masih menatapnya. Setelah burung itu menghilang dari pandangan, sang gadis beranjak ke kamar mandi untuk memulai aktivitas. 

Wajah itu semakin cantik kala seragam SMA berlogo sekolah swasta mahal sudah terpakai rapi. Rambut dikuncir satu dengan ikat hitam biasa berhias bunga perak. Senyumnya kembali terukir saat tangannya menyentuh ikat rambut sederhana itu.

"Jira, jangan kesiangan!" suara pekikan yang diiringi gedoran sambil lalu membuatnya segera menarik tas lalu membuka pintu. Di depan kamar, matanya memandang kedua orang tua yang berjalan tergesa ke arah ruang kerja. Perlahan, Jira menyeret langkah dan berhenti di dekat ruangan yang pintunya terbuka. Dia mengintip ke dalam, ada seulas senyum lagi menghiasi wajah Jira kala melihat ayahnya menyentuh pundak sang ibu. 

"Dara, kita sudah membahasnya berulang kali, ini hanya masalah kecil, jangan dibesarkan," kata Alvano. Dara, ibu kandung Jira mendesah, menepis tangan Alvano dan duduk di sofa. Bibirnya hampir mengucap serapah tapi saat matanya menangkap bayangan Jira di dekat pintu, fokusnya berubah. 

"Jira, masuk!" perintah Dara. Jira yang tadinya ingin melarikan diri tak punya pilihan. Dengan santai dia masuk ke ruangan diikuti tatapan menelisik Alvano. 

"Kamu nguping?!" tanya Alvano sambil menarik pelan telinga Jira. 

"Pintunya nggak ditutup!" jawab Jira sambil berusaha menghindari tangan Alvano yang akan mengacak rambutnya. "Papa!" Jira menjerit kesal karena tak berhasil menghindari tangan yang merusak penampilannya. 

******* kecewa meluncur dari bibir Jira, bergegas dia mencari cermin untuk merapikan rambutnya tapi Dara segera berdiri dan menarik tangan Jira. "Biar Mama pakaikan," kata Dara sambil menata ulang rambut Jira dengan rapi. 

"Aku mau lihat kaca," kata Jira tapi Dara menggeleng. 

"Kamu sudah cantik, segera sarapan dan pergi sekolah!" Dara mendorong Jira menjauh.

"Aku mau lihat kaca!" ulang Jira. 

"Kamu nggak percaya Mama?" tanya Dara dengan wajah dibuat kesal hingga Jira tertawa kecil. Melihat tawa itu, Dara dan Alvano spontan bersamaan memeluknya.

 

"Percaya mama, kamu sudah cantik, Jira!" kata Alvano menimpali. 

Jira melepas pelukan kedua orang tuanya lalu bergegas pergi tapi ucapan Dara menghentikan langkahnya. "Jangan suka menguping!" kata Dara dengan nada suara yang berbeda saat mengatakan Jira sudah cantik. 

Jira menatap ke depan pintu, ke arah ujung sepatu yang terlihat lalu perlahan hilang. Tak ada komentar dari bibir Jira, dia memilih segera keluar tapi begitu sampai di depan tangga, langkahnya berubah agak pelan agar memiliki jarak dengan gadis yang menuruni tangga di depannya. 

"Mau makan apa, Mbak?" tanya Bibi Ami, asisten keluarga yang paling tua. Mata Jira masih memandang gadis yang lebih dulu sampai di meja makan. Gadis itu bernama Crystal, usianya lebih muda dua tahun dari Jira, lahir dari ayah yang sama tapi di rahim yang berbeda. 

Segala hal di diri gadis itu sekilas menyerupai Jira. Hidung keduanya sama mancung, kulit mereka sama putih, pipi mereka sama tirus. Bedanya rambut Jira panjang sepunggung, rambut Crystal hanya sebatas bahu. Keduanya sama cantik tapi dengan jenis yang berbeda. Apalagi ketika wajah Crystal terangkat, saat senyum tipis gadis itu mengembang, keduanya bagai langit dan bumi karena Jira sama sekali tidak tersenyum. 

"Kak, punya bekas catatan fisika waktu kelas satu?" tanya gadis itu dengan riang, berharap menemukan secercah kehangatan dari Jira tapi seperti biasa, kakak satu bapaknya itu enggan menyahut. Jira lebih senang menanggapi Bibi Ami yang menawarkan aneka selai untuk rotinya. 

"Mbak Crystal mau juga?" tanya Bibi Ami tapi Crystal menggeleng lalu kembali menunduk, sibuk dengan ponselnya. Bibi Ami menghela napas lalu berjalan menjauhi meja makan yang sunyi. 

Tak ada percakapan normal selayaknya gadis remaja. Tak ada pertengkaran yang terjadi selayaknya kakak dan adik. Dua gadis yang duduk bersebrangan dengan jarak kurang dari dua meter itu seakan berada dalam dunia berbeda. 

Meski tanpa suara, Bibi Ami seolah memahami perasaan Crystal yang menunduk untuk menyembunyikan wajah sedih atau mungkin mata berairnya.

Suara kursi yang ditarik dengan kasar oleh Jira membuyarkan lamunan Bibi Ami, wanita itu bergegas mengikuti Jira yang melangkah ke luar rumah bersama dengan Crystal yang mengekor. Bi Ami melepas kedua anak majikannya dengan lambaian tangan tapi hanya Crystal yang membalasnya dengan ceria. 

*

Perlahan Mobil berhenti di dekat pintu samping SMA Duta Bangsa, dengan cepat Crystal keluar, melesat meninggalkan mobil yang kembali melaju menuju lobi utama untuk menurunkan Jira. 

Saat berada di halaman sekolah, Jira menatap Crystal yang bergegas masuk ke dalam kelasnya. Crystal baru seminggu menjadi murid SMA, dan baru pertama kali berada di sekolah yang sama dengan Jira. Sejak TK sampai SMP, Crystal berada di sekolah yang berbeda dengan Jira. 

Sejak awal pergi sekolah bersama, Jira meminta sopir pergi lebih pagi dan berhenti di pintu samping, membuat Crystal sadar diri bahwa Jira tidak mau diketahui pergi bersama dirinya. Keesokan harinya, ketika mobil belum berhenti sempurna di pintu samping, Crystal lebih dulu keluar. "Aku aja yang lewat samping," katanya tanpa menatap Jira. 

"Sayang, kenapa bengong!" suara seorang pemuda yang dengan santai menepuk pundak Jira membuat gadis itu menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan pegang-pegang!" hardik Jira kesal tapi cowok itu malah tertawa dan justru menggenggam tangan Jira. 

"Kenapa? Kan kamu pacarku!"

"Arsa!" Jira menarik tangannya lalu berjalan cepat meninggalkan Arsa yang terbahak.

Tawa Arsa terhenti saat menatap ikat rambut yang dikenakan Jira. Arsa tersenyum senang menyadari gadis dingin itu menghargai pemberiannya. Dengan riang ia mengikuti Jira tapi langkahnya terhenti di depan kelas satu. Senyumnya merekah menatap Crystal yang sedang mengerjakan tugas rumah. 

"Baru masuk udah ngerjain pe-er di sekolah!" seru Arsa jahil sambil menutup buku yang ada di meja Crystal. 

"Iih Kak Arsa jangan ganggu!" Crystal memekik kemudian ketika tersadar suaranya melengking, dia berbisik,"Jangan ganggu, aku lagi sibuk!"

Arsa tertawa lalu memandang ke ruang kelas yang kosong karena masih terlalu pagi. Pandangannya beralih ke wajah Crystal yang menunduk untuk menyalin materi sebagai tugas fisikanya. 

"Kak, jangan ganggu!" kata Crystal tanpa menoleh saat Arsa kembali menutup bukunya. Arsa ingin bertanya lebih lanjut tapi karena terdengar beberapa suara di luar kelas, Arsa memilih pergi setelah mengacak rambut Crystal yang memekik kesal. Cowok itu tidak melihat ada tiga orang gadis yang sedang menatap punggungnya dengan heran. Bergegas ketiganya mengintip ke dalam kelas dan mengerutkan dahi melihat Crystal sendirian. 

"Ini yang kalian ceritakan kemarin, kan?" tanya seorang yang paling tinggi. Gadis itu bernama Aya, siswi kelas dua yang terkenal senang bikin onar. Tak ada yang ditakutinya meskipun kakak kelas. Aya hanya segan pada Jira yang terkenal lebih mengerikan.

"Murid beasiswa?" tanya Aya."Kayaknya sih gitu. Selalu datang pagi, kayak nggak mau ketemu orang."

Alis Aya terangkat sebelah lalu senyumnya merekah. Perlahan dia mendekat lalu menendang meja hingga Crystal terlonjak kaget. 

"Ngapain kamu pagi-pagi berduaan sama Kak Arsa?!" hardik Aya.

"Ngapain?" tanya Crystal heran akan pertanyaan yang baginya tak masuk akal. Keheranan Crystal membesar seiring dengan tuduhan Aya yang makin tak terkendali. Kondisi kelas yang mulai ramai membuat Crystal merasa pening. Dia memilih diam tapi Aya makin berang. 

"Kalau ditanya tuh jawab!" bentak Aya sambil menarik kerah Crystal. 

"Kamu ngapain pagi-pagi berduaan sama cowok? Godain kakak kelas ya?"

"Maksud Kakak apa?" tanya Crystal tak mengerti seraya berusaha melepaskan diri. 

"Kamu setiap hari datang pagi-pagi sengaja biar bisa ngerayu cowok-cowok di kelas yang sepi, kan?"

"Nggak!" Crystal menyangkal tapi samar beberapa suara mulai membenarkan Aya.

 

"Yang digodain Kak Arsa pula, kamu tahu nggak sih dia siapa?" tanya kawan Aya sengaja menyebut nama Arsa agar situasi memanas dan terdengar sampai ke telinga Jira. 

"Ayo ngaku kamu ngapain aja tadi pagi sama Kak Arsa?!" bentak Aya. 

"Nggak ngapa-ngapain. Kak Arsa cuma ...."

"Cuma apa?" tanya Aya penasaran karena Crystal terdiam. 

Crystal bisa saja dengan mudah menjelaskan hubungannya dengan Arsa tapi dia terbayang wajah Jira. Maka dia memilih diam, Aya dan teman sekelas mulai membuat spekulasi sendiri. Karena Crystal menolak menjawab rentetan pertanyaan, Aya menyudutkannya ke tembok. 

Beberapa anak merinding ketakutan karena kabarnya bila sekali menjadi korban Aya maka selamanya tak akan hidup tenang. Benar saja, Aya yang tak logis mulai menampar Crystal hingga terjatuh ke lantai. Suara pekikan makin menjadi dan terdengar ke telinga Jira yang kebetulan melintas di lorong.

"Ada apaan?" tanya Jira penasaran.

"Korban baru Aya!" jawab sebuah suara dengan raut prihatin. 

"Siapa?" tanya Jira curiga.

"Crystal. Katanya tiap hari dia sengaja datang pagi buat godain kakak kelas. Tadi kebetulan kepergok Aya pas lagi sama Kak Arsa!"

Dengan cepat Jira melangkah ke dalam kelas. Suasana seketika hening saat Jira berada di antara kerumunan. Aya yang masih menampar Crystal, mendadak tersenyum saat melihat Jira.

"Ada apa ini?" tanya Jira sambil mendekat dan melirik Crystal yang terduduk di lantai. 

"Lagi ngasih pelajaran anak baru yang nggak tahu diri. Kakak mungkin sudah dengar kalau dia menggoda kakak kelas termasuk Kak Arsa!" lapor Aya.

 

"Jadi kamu apakan dia?" tanya Jira dingin.

 

"Baru aku tampar, Kakak boleh lanjutkan ...."

Beberapa orang menahan napas saat Jira menarik paksa Crystal untuk berdiri. 

"Berapa kali kamu menamparnya?" tanya Jira. 

"Baru tiga kali," jawab Aya sambil tersenyum. 

Crystal merinding melihat wajah Jira yang ikut tersenyum, hatinya tersayat ketika Jira melepas lengannya dengan kasar dan mendekati Aya sambil menggumam satu kata, "Bagus!"

Crystal ingin menangis tapi ditahan, namun jeritannya pecah saat Jira melayangkan tangan untuk menampar. Suara pekikan kembali terdengar kala Jira menghitung setiap tamparan keras yang mendarat di wajah Aya. 

"Kak, kenapa?!" Aya tampak shock tapi Jira kembali menarik Crystal dan meminta Aya mengeja nama yang tertera di kemeja Crystal. 

"Baca yang keras!" bentak Jira. 

"Crystal Sinar M."

"Kamu tahu M itu apa?" tanya Jira membuat otak Aya nyaris pecah karena praduga. Bibirnya yang terkatup rapat kembali terbuka untuk menjerit saat Jira melepas Crystal dan kembali menampar Aya sebanyak dua kali. "Lima. Enam!" Jira menghitung tamparan terakhirnya lalu menarik rambut Aya. 

"Siapa pun boleh kamu ganggu kecuali keluarga Mareendra!" ucap Jira dengan suara lantang yang mengejutkan semua orang.

Aya tak mampu lagi bicara, begitu pun keramaian yang memilih bubar. Jira melirik Crystal yang terpaku lalu ia meninggalkan ruangan tanpa bicara. Di tempatnya berdiri Crystal memandang punggung Jira sambil tersenyum kecil. 

"Apakah ini artinya kakak sudah mengikis jarak yang terbentang di antara kami?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!