Hidup dalam serba-serbi kekurangan membuat Viola harus menjauh dari sang nenek.
Sejak kecil orang tua Viola sudah tiada hingga mau tidak mau Viola harus terbiasa dengan hidupnya yang bisa di kata dibawa kata sederhana.
Viola Kinara, gadis cantik berusia 17 tahun yang baru saja lulus SMA namun hidupnya sudah di terpah angin kencang yang memaksanya untuk tetap bertahan diusianya yang terbilang masih remaja.
Hidup Viola, jauh dari kata segala-galanya. Sejak Viola SMP sampai SMA, ia terus saja di bully oleh teman-teman sekolahnya karena berpenampilan lusuh.
Namun walau begitu, itu tidak membuat Viola putus harapan untuk meraih cita-citanya yang ingin menjadi seorang musisi terkenal karena sejak kecil, Viola sudah handal bermain biola.
Nenek Tia selalu bilang kepadanya bahwa Ibu Viola, Kinara. Sangat suka bermain biola.
Maka tak heran, Viola selalu senang bila bermain biola karena ia merasa lebih dekat dengan ibunya, Kinara.
Bahkan Viola selalu bersemangat, berdoa dan terus berusaha untuk meraih cita-citanya yang menurutnya akan membuatnya tambah bahagia.
…
Di sebuah rumah kumuh terlihat seorang wanita cantik tengah duduk melipat pakaian bersama wanita berusia senja di ruangan kecil.
"Cu, apakah kau yakin dengan keberangkatanmu besok ke Jakarta?" suara itu sudah terdengar parau.
"Iya Nek, Vio harus berangkat besok. Vio mau cari kerja di kota untuk biaya kuliah Vio yang mau lanjut tahun depan."
Viola menatap nenek Tia dengan tatapan sendu. Nenek Tia melihat wajah Viola hanya bisa menghela napas, pasrah.
"Baiklah Cu, lakukan apa yang menurutmu benar namun satu harapan nenek, Vio harus jaga diri disana."
"Iya nek, Vio akan selalu mengingatnya." ucap Viola sambil tersenyum, tidak lupa mengangguk.
Setelah membantu membereskan barang-barang, Nenek Tia keluar dari kamar Viola dengan wajah bersedih.
"Semoga cucuku disana selalu baik-baik saja." ucapnya begitu lirih.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Nenek Tia menutup pintu kamar Viola kemudian pergi ke kamarnya.
Sedang Viola dengan hati yang senang, merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah karena sejak tadi pagi hingga dini hari, ia belum pernah beristirahat.
"Hufft, semoga bila tiba disana, semua baik-baik saja." ucap Viola memejamkan kedua matanya.
…
Hari sudah berganti, matahari pun sudah menampakkan dirinya memberikan kehidupan untuk semua makhluk.
Viola dan nenek Tia bahkan sudah berada di halaman rumah.
"Neng, apakah cuman ini barang-barangnya?" tanya seorang pria tua yang akan mengantar Viola menuju Jakarta.
"Iya pak, hanya itu." jawab Viola.
Viola lalu menyalami tangan nenek Tia, walau rasanya sangat berat untuk pergi jauh dari sang nenek namun Viola harus melakukan itu, demi masa depan yang sudah ia impikan selama ini.
"Nenek, kalau begitu Viola pamit ya nek? Nenek sehat-sehat disini, Viola janji akan kabari nenek setelah tiba di Jakarta."
Setelah berucap, Viola meraih tubuh nenek Tia beberapa saat kemudian melepas pelukannya.
"Iya Cu, Viola jaga diri baik-baik ya disana? Jangan menyapa orang yang terlihat buruk."
Viola mengangguk paham kemudian pergi meninggalkan nenek Tia yang masih berdiri menatapnya.
Sesekali, Viola melambai kearah nenek Tia yang juga membalasnya.
"Maafin Viola, Nek. Viola terpaksa harus pergi." gumam Viola ketika nenek Tia sudah tidak terlihat lagi.
Sudah berjam-jam lamanya, Viola menghabiskan waktunya di dalam mobil. Sesekali Viola memainkan ponselnya walau ponsel itu sudah sangat jadul.
"Neng, kita sudah sampai di Jakarta" ucap pria tua tersebut melirik Viola dari kaca mobilnya.
"Oh gitu ya pak? kalau begitu saya turun disini saja, lagian saya juga mau mencari tempat tinggal dulu."
"Iya Neng."
Pria tua itu mengangguk kemudian memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
Viola dengan wajah bingung menatap kota Jakarta yang begitu ramai pengungjung.
"Apakah ini kota Jakarta? ternyata benar Jakarta memang sangat ramai." gumam Viola menatap kanan kiri kota metropolitan tersebut.
Viola terus berjalan sambil bertanya pada seseorang dimana tempat kosan yang murah.
"Misi Mas, Mbak Apa disini ada penyewa kos yang murah?" tanya Viola pada wanita dan pria muda.
"Iya Dek, dari sini Adek lurus saja bila sudah menemukan perempatan, belok kiri nah rumah warna hijau itulah tempatnya" jelas wanita muda tersebut.
"Oh gitu ya? makasih Mbak."
Viola tersenyum lalu berjalan pergi dan tanpa menunggu lama, Viola sudah menemukan rumah itu.
"Apakah ini rumahnya?" gumam Viola menatap heran rumah yang cukup besar itu.
"Tunggu, bagaimana bila rumah ini rumah yang di kontrakkan?"
Karena melihat rumah itu cukup besar membuat Viola sedikit ragu.
Namun ditengah lamunannya, Viola dikejutkan dengan kehadiran seorang pria bertubuh kekar.
"Permisi Dek, apa ada yang bisa saya bantu?" ucap pria tersebut.
"Eh iya Mas, apa ini rumah kosan?" tanya Viola to the point.
"Iya, ini rumah kosan." ucapnya, mendengar itu Viola tersenyum lebar.
"Mau saya antar bertemu bos?" tawar pria itu yang langsung diangguki Viola.
Mereka pun berjalan masuk ke rumah dengan wajah yang serius, Viola bahkan sudah berkeringat dingin.
Dan tidak lama, mereka pun masuk ke dalam ruangan pribadi seseorang. Mata Viola terbelalak melihat kesekelilingnya.
"Rumah ini sungguh sangat besar!!" gumam Viola dalam hati, menatap semua benda-benda mewah yang ada disana.
"Tunggulah disini, saya akan memanggil Bos saya dulu!" jelas pria tersebut.
Viola pun mengangguk paham hingga pria itu pergi meninggalkan Viola.
Viola terus memandangi benda-benda yang ada disana, terlihat semua benda-benda disana sangatlah mewah.
"Apakah pemilik rumah ini sangat kaya? tapi kenapa rumah sebesar ini ditempatkan sebagai kosan?" tanya Viola bergumam, terus memandang hingga ke sudut ruangan.
Setelah menunggu cukup lama, pria tersebut datang membawa seorang pria tampan.
"Apakah kau yakin ingin kos disini?" tanya pria tampan itu ketika berada di depan Viola.
"Iya Mas" jawab Viola diiringi anggukan.
"Ini memang kosan namun kami tidak menerima sembarang orang."
"Ma-maksud Mas?"
"Iya, kami hanya menerima orang yang mau bekerja dengan kami saja."
Pria tampan tersebut berkacak pinggang, menatap Viola dari atas sampai bawah.
"Aku sangat yakin, nih cewek bisa menghasilkan uang banyak." ucap pria tampan itu dalam hati.
"Kalau boleh tau memangnya kerja apa ya Mas?" tanya Viola merasa bingung.
Pria tampan itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya kearah Viola.
"Saya Hari Kusuma, saya seorang S
sutradara. Bila kau mau, saya bisa menjadikan kau seorang bintang."
Mendengar itu, kedua mata Viola terbelalak akan ucapan Hari. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan orang ternama dan tanpa berpikir panjang lagi, Viola mengangguk.
"I-iya mas saya mau, tujuan saya kesini memang untuk menjadi bintang."
Senyuman licik terbit dipelupuk bibir Hari bahkan hampir tidak terlihat.
"Benarkah, kalau begitu siapa namamu?"
"Viola mas, saya berasal dari kampung."
Lagi-lagi Hari mengangguk. "Jika usiamu?"
"17 tahun mas." tidak lupa Viola tersenyum karena begitu senangnya.
"Selamat ya Viola, kau bisa tinggal disini."
Mereka pun kembali bersalaman, bedanya keduanya tampak begitu bahagia sekarang.
…
Tidak lama, Viola kembali berjalan bersama pria yang membawanya bertemu Hari.
Banyak pasang mata yang menatap tidak suka kehadiran Viola yang berada disana.
"Gawat, ada penghuni baru lagi." gumam salah seorang wanita yang berjalan mendahului Viola.
"Iya, udah dia lebih cantik lagi daripada kita. Bisa-bisa kita nggak dapat jatah malam ini karena ada dia." jawab teman satunya yang diangguki wanita tadi.
Sedang Viola mendengar itu tersenyum pekik, walau tidak tahu apa maksud dari kedua wanita tersebut hingga mereka sudah tiba disebuah ruangan yang tampak begitu mewah.
"Inilah kamarmu, bila kau butuh sesuatu beri tahu aku saja."
Viola hanya mangut kemudian pria tadi kembali pergi meninggalkan Viola.
Viola yang sudah lelah langsung masuk ke dalam kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat.
Terima kasih..
Malam sudah menghampiri, Viola yang masih bergelut manja di dalam selimut pelan-pelan mulai tersadar.
Viola menggeliat mulai menatap kesekelilingnya. "Astaga, ternyata sudah malam" ucap Viola ketika melihat kegelapan dari luar jendela.
Viola pun bangkit dari tempat tidurnya, berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Cukup lama, Viola membersihkan dirinya hingga ia keluar hanya menggunakan handuk yang terlilit sebatas dada saja.
Viola yang belum sempat berpakaian, sudah dibuat terkejut akan suara ketukan pintu.
"Iya tunggu sebentar" sahut Viola, cepat-cepat mengambil koper dan mencari baju yang akan ia pakai.
Namun itu kembali gagal karena pintu kamarnya sudah terbuka lebar, memunculkan Hari yang berjalan menghampirinya.
Viola yang malu dengan penampilannya, menutupi area dadanya dengan kedua tangan.
"Mas Hari" ucap Viola terdengar bergetar.
"Kenapa kau masih belum siap? kita akan pergi sebentar lagi" seloroh Hari dengan ekspresi datar.
Viola yang paham, mengangguk. "Maaf mas tadi itu Viola ketiduran."
"Ah sudahlah, kau cepatlah bersiap-siap dan segera turun ke ruang tamu bila selesai" perintah Hari terdengar kesal.
"Iya mas."
Hari kemudian keluar kamar, meninggalkan Viola dengan wajah yang terlihat menahan malu.
"Bodohnya aku" umpat Viola memukul keningnya dan dengan cepat segera bersiap.
…
Viola keluar dari kamar sudah menggunakan pakaian yang menurutnya sudah pantas ia gunakan.
Setelah tiba di ruang tamu, Hari menatap Viola dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Apakah cuma ini pakaian bagusmu?" tanya Hari dan Viola mengangguk pelan.
"Jo, cepat bawa Viola pergi dan cepat kau ganti pakaiannya" ucap Hari tanpa melihat Viola lagi.
Jo yang mendapat perintah, langsung membawa Viola pergi hingga mereka tiba di sebuah ruangan.
"Cepat pakai baju ini" Jo memberikan sebuah gaun yang bagi Viola gaun itu sangat tidak cocok untuknya.
"Ta-tapi gaun ini tidak enak di pandang mas."
"Saya tidak mau tau, pokoknya kau harus memakainya" karena takut, Viola akhirnya meraih gaun itu.
"Masuk dan pakailah disana" Jo kembali memerintah Viola sambil menunjuk pintu ruangan yang ada didalam sana.
Viola yang penakut, hanya patuh akan semua perintah Jo.
Setelah beberapa menit, Viola akhirnya keluar menggunakan gaun kekurangan bahan tersebut.
Jo bahkan sudah menelan paksa salivanya, ketika melihat kecantikan Viola yang terpancar menggunakan gaun itu.
"Melihatnya seperti ini saja sudah membuatku paham akan alasan bos mengapa hari ini ingin menggunakan wanita baru ini" gumam Jo dalam hati.
Berbeda dengan Viola yang merasa tidak enak karena belahannya terekspose.
"Mas apakah gaunnya boleh diganti dengan gaun yang lain saja?" tawar Viola sambil menutupi belahannya yang dipandang Jo.
"Tidak, kau harus menggunakan gaun itu. Lagi pula bila bos Hari melihat kau dengan penampilan seperti ini, kau akan dibuat segera mendapatkan pekerjaan."
Viola yang sangat membutuhkan pekerjaan ikut pasrah akan perintah Jo.
Jo pun kembali membawa Viola ke tempat Hari berada. Senyuman Hari terbit setelah melihat penampilan Viola yang sangat anggun.
"Nah, ini baru bagus" Hari berdiri menghampiri Viola dan meraih tangannya.
"Ayo kita pergi" Hari berjalan beriringan Viola yang lagi-lagi memilih ikut perintah.
…
Viola dan Hari sudah diperjalanan menuju tempat yang dimana Viola sendiri tidak tahu akan kemana.
"Nanti setelah tiba disana, kau tidak boleh membantah semua perintahku" ucap Hari membuka pembicaraan.
Sedang Viola yang tengah duduk disamping Hari, menatap wajah serius pria tampan itu dengan sama seriusnya.
"Apakah hari ini saya akan bekerja?" tanya Viola yang Hari balas dengan anggukan.
"Tentu bahkan sudah ada yang memilihmu untuk memainkan peran dimalam ini."
Viola yang tidak paham akan maksud Hari hanya mengangguk dengan wajah bahagia karena menurutnya, sebentar lagi dirinya akan mendapat pekerjaan.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba disebuah klub malam.
Viola masih berjalan beriringan Hari yang masih memegang tangannya.
Tatapan Viola berubah ketakutan, melihat setiap sudut ruangan yang ada didalam sana.
"Mas kenapa kita kesini?" Viola menyembuyikan wajah cantiknya dipunggung kekar Hari.
"Karena hanya disini kau akan cepat mendapat pekerjaan."
Pikiran negatife Viola sudah terbayang-bayang. Viola bahkan sudah ingin pergi namun ditahan oleh Hari.
"Bila kau berani berbuat macam-macam maka jangan salahkan aku bila besok pagi kau tidak bernapas lagi."
Viola yang diancaman tersentak kaget sedang Hari yang sudah melihat gelak ketakutan diwajah Viola langsung menarik paksa Viola pergi ke sebuah ruangan tertutup.
"Duduk disini karena sebentar lagi seorang pria kaya akan datang kesini untuk kau hibur maka jangan membuat kesalahan walau itu sedikit saja."
Tidak mau membuat Hari marah, Viola hanya mengangguk dan benar saja, tidak lama setelah itu seorang pria tampan datang.
"Hari, apakah ini wanita perawan yang kau maksud?" tanya pria tampan tersebut duduk dihadapan Viola.
"Iya seperti janjiku, aku tidak mau membuatmu kecewa, Rehan."
Viola yang berada disana memilih menunduk, sesekali memandangi Rehan yang tampak menatapnya begitu nafsu. Viola bahkan sudah memperbanyak doa.
"Ya Allah, terus lindungilah aku dari pria bejat seperti dia ini" lirih Viola dalam hati.
Setelah puas berbicara, Hari berencana meninggalkan Rehan dan Viola namun sebelum pergi, Hari terlebih dulu mendekati Viola.
"Masih ingat kan apa yang barusan aku katakan?" bisik Hari dan Viola langsung mengangguk.
"Bagus" lanjut Hari meneruskan langkahnya, berjalan keluar.
Viola terus menatap punggung Hari yang mulai menghilang dari indera penglihatannya.
Sedangkan Rehan masih stay dengan wajah datar tanpa dosa.
"Apakah kau dari kampung?" tanya Rehan yang Viola balas dengan anggukan.
"Terus usiamu?" Rehan menatap Viola dalam dan lama.
"17 tahun mas" jawab Viola cepat.
Rehan yang baru kali ini mendengar suara lembut Viola bahkan sudah membuatnya terangsang.
"Apakah kau sungguh masih perawan?"
Karena sudah sekian lama menikmati tubuh wanita malam, ia pun sudah tidak percaya akan semua perkataan wanita malam yang mengatakan dirinya masih perawan.
"Mengapa dia berkata seperti itu, is sangat menjijikkan" umpat Viola dalam hati diiringi anggukan.
Rehan yang sudah mendapat jawaban Viola, merasa tidak puas bahkan Rehan sudah mendekatkan dirinya pada Viola.
Viola yang melihat tingkah Rehan, selalu menjaga jarak namun Rehan selalu menepisnya karena memang Rehan sedang menguji keluguan Viola.
"Sepertinya gadis ini benar-benar masih perawan, buktinya saja setiap kali aku mendekat dia selalu menghindariku, tidak seperti wanita penghibur lainnya."
Selama ini, Rehan memang hanya memuaskan nafsunya pada wanita penghibur saja namun entah kenapa? dihari ini, ia ingin mencicipi wanita perawan seperti Viola.
Dengan gerakan cepat, Rehan dengan kasarnya menghempaskan tubuh Viola keatas sofa dan sudah menindihnya.
Rehan bahkan sudah mulai memperlancar aksinya dengan melucuti pakaian yang digunakan Viola hingga menyisahkan pakaian dalam saja.
Viola selalu memberontak namun ia kalah jauh dengan kekuatan yang Rehan miliki. Terlebih lagi, Rehan sudah mengunci tubuh mungil Viola membuatnya semakin melemah bila melawan.
"Jangan mas, ini dosa besar" seakan tidak percaya, Refan pun terkekeh.
"Hahaha, mengapa kau berkata seperti itu? bukankah wanita penghibur tugasnya memang seperti ini."
Ungkapan Rehan pun berhasil membuat Viola bungkam namun melihat itu, Rehan menjauhkan dirinya pada Viola yang terlihat mulai kedinginan.
"Cepatlah kau pasang bajumu itu, sebelum aku benar-benar khilaf" pintah Rehan melirik kearah lain.
Terima kasih..
Viola yang memang kedinginan langsung meraih pakaiannya dan kembali memasangnya.
Setelah selesai, Viola menatap Rehan yang masih duduk terdiam membelakangi dirinya.
"Maaf mas tapi semua itu tidak benar. Saya memang bukan wanita malam, saya kemari kerena saya dijebak sama mas Hari."
"Dia bilang kalau dia itu adalah seorang sutradara dan dia juga bilang, dia akan memperkerjakanku namun setelah tiba disini, aku mulai mengerti akan pekerjaan yang dia tawarkan ini sangat tidak layak untukku."
Jelas Viola panjang kali lebar sedangkan Rehan sudah kembali menatap intens wajah Viola.
"Kau tidak berbohong kan?"
Rehan yang sangat membenci kebohongan, menatap Viola sangat tajam.
"Iya mas, saya bahkan rela bersumpah atas nama Tuhan saya."
"Baik, aku percaya."
Rehan bisa saja memaksa Viola namun Rehan juga masih memiliki hati nurani bila sudah menyangkut pada seorang wanita.
Rehan pun beranjak ingin pergi meninggalkan Viola namun Viola mencegat tangan Rehan.
"Mas, bolehkah aku ikut bersama mas Rehan saja. Aku tidak mau tinggal bersama mas Hari, aku tidak mau bila besok-besok kejadian ini terulang lagi."
Rehan yang ingin pergi jadi urung lalu menatap Viola yang terlihat menahan tangis.
"Aku bisa memasak kok mas, aku juga bisa beberes rumah bahkan aku juga bisa melakukan pekerjaan berat lainnya jadi ku mohon, bawalah aku bersama mas Rehan."
Viola menangkup kedua tangannya, berharap bahkan sangat berharap agar Rehan membawannya pergi, Rehan pun tampak berpikir keras.
"Sebagai pembantu?" tanya Rehan yang langsung Viola balas dengan anggukan.
"Apa pun itu, asal tidak dengan pekerjaan haram ini."
…
Rehan sudah membawa pergi Viola. Viola menatap wajah Rehan yang tampak fokus menyetir.
"Mas" panggil Viola pada Rehan.
"Hmm."
"Apa aku boleh bertanya?"
Viola menatap intens wajah Rehan yang juga menatapnya lalu kembali fokus menyetir.
"Apa?"
"Mengapa mas pergi di tempat seperti tadi? apakah mas tidak memiliki istri atau kekasih?"
Ucapan Viola berhasil membuat Rehan memberhentikan mobilnya secara mendadak.
"Kau!!"
Rehan menggeram, melihat tingkah Viola yang mulai seenaknya.
"Jangan kau pikir, aku sudah menolongmu maka kau sudah seenaknya bertanya apa saja tentangku" karena kesal, Rehan berkata sambil menunjuk Viola.
"Ma-maaf mas, saya benar-benar tidak bermaksud membuat mas Rehan marah, saya hanya -- "
Viola menggantung ucapannya, menyadari wajah Rehan yang bertambah merah.
"Em tidak jadi."
"Bagus jadi tetaplah duduk cantik seperti ini saja karena bila kau terus berbicara seperti tadi maka aku tidak akan segan-segan menurunkanmu dari mobilku."
"Benar-benar pria tidak sopan" gumam Viola dalam hati.
Setelah melihat Viola diam, barulah Rehan kembali melajukan mobilnya hingga tiba disebuah gedung tinggi, pencakar langit.
Viola terus terdiam, tidak berniat bertanya lagi. Takut bila kembali bicara membuat Rehan tambah kesal.
Rehan pun menuju lift begitu pula Viola yang terus mengikuti Rehan dari belakang.
Para pelayan tampak membungkuk sopan ketika Rehan melintasinya, seakan-akan Rehan adalah tamu spesial tapi tidak untuk Rehan.
Rehan tetaplah Rehan. Rehan yang selalu bersikap datar, kasar, tanpa ekspresi sama sekali.
Setibanya di lift, Rehan langsung memencet tombol 14 yang berarti, tempat yang akan ia tujuh ada di lantai 14.
Tidak lupa, Viola memperhatikan semua yang dilakukan Rehan agar besok-besok bila ingin menggunakan lift, ia sudah bisa menggunakannya.
"Oh begitu" Viola bergumam namun itu terdengar jelas ditelinga Rehan.
Rehan melirik Viola sekilas, lewat ekor matanya lalu menghela napas.
"Dasar gadis kulot" ucap Rehan dalam hati, tidak lama setelahnya lift terbuka lebar.
Rehan pun kembali berjalan, masih dengan Viola yang mengekor dari belakang.
Setelah tiba di depan apartemen miliknya, Rehan dengan cekatan memasukkan pin-nya dan lagi-lagi itu tidak lepas dari pandangan Viola.
Rehan yang memasukkan pin-nya begitu cepat membuat Viola kesulitan melihatnya.
"Apa?"
Rehan melihat Viola dengan tatapan tajam, Viola yang penakut langsung menggeleng.
"Cepatlah masuk, sebelum aku berubah pikiran."
Tak ingin melihat Rehan marah, Viola langsung berlari terbirit-birit.
Rehan melihat itu dengan spontan tersenyum kemudian menyusul Viola yang sudah berada di ruang tamu.
Viola bahkan sudah menatap kesetiap sudut apartemen Rehan, tampak semua yang ada disana mewah dan sangat rapi.
"Mas, apakah mas tinggal disini sendiri?" kalimat itu pun menjalar begitu saja dari bibir mungil Viola.
Menyadari akan pertanyaannya, ia lalu mengulum bibirnya, takut bila Rehan kembali marah.
Sedangkan Rehan sudah duduk bersender di sofa dengan tangan yang memijat pelipisnya.
"Tidak" jawabnya singkat.
"Oh begitu terus mas Rehan tinggal sama siapa?"
"Kenapa kau sangat cerewet, aku bahkan sangat lelah. Apakah kau tidak melihatnya?"
Bentakan Rehan menggema diseluruh sudut apartemen Rehan, darahnya bahkan terasa mendidih tatkala Viola yang terus bertanya.
Viola yang mendapat bentakan itu memilih diam sambil menundukkan wajahnya, tidak berani melihat kearah Rehan lagi.
"Sudah, kau pergilah sana" usir Rehan tapi saat ingin pergi, Viola kembali berhenti.
"Apa lagi?" bentakan Rehan kembali terdengar diiringi tatapan tajamnya.
"Em kamarku mas, kamarku ada dimana?"
"Oh kamarmu, kamarmu berada disebelah kiri, di lantai atas."
Tidak ingin bertanya lagi, Viola langsung melanjutkan langkahnya menuju dimana kamarnya berada.
Dan setelah tiba, Viola langsung merebahkan tubuhnya, diatas kasur yang berukuran king tersebut.
"Wahhh ternyata begini, rasanya jadi orang kaya? aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa tidur ditempat sebagus ini."
Viola terus berucap akan kehidupan orang kaya dan baru tersadar akan dirinya yang belum menghubungi nenek Tia setelah tiba di Jakarta.
"Astaga, nenek."
Dengan cepat Viola duduk, segera meraih ponsel jadulnya dari dalam tas.
Dert.. Derrttt..
Ponsel nenek Tia terdengar berdering namun entah kenapa? tidak juga diangkat.
"Nenek, angkatlah" Viola dengan perasaan tidak karuan bahkan tidak tersadar akan buliran hangatnya sudah keluar.
Ia sangat takut bila sesuatu terjadi kepada nenek Tia yang begitu sangat ia sayangi.
"Ya Allah, kenapa nenek tidak juga mengangkat telponku? padahal aku sudah belasan kali menghubunginya namun masih belum diangkat juga."
Semua pikiran negatife tentang nenek Tia sudah bersatu karena tidak biasanya nenek Tia, tidak menjawab telponnya.
"Apa jangan-jangan, sesuatu terjadi sama nenek?" pikirnya dengan wajah gusar.
"Kalau memang iya, aku harus segera pulang."
Tanpa berpikir panjang, Viola keluar dari kamarnya. Segera menghampiri Rehan yang terlihat masih di ruang tamu.
Dengan air mata bercucuran, Viola menghampiri Rehan.
"Mas, maafkan aku. Aku harus pulang kampung sekarang juga."
Rehan yang terkejut akan kehadiran Viola yang menangis, langsung menghampiri Viola.
"Kau ada apa? apa terjadi sesuatu?"
"Huuaaaa, nenek mas. Nenek tidak biasanya, tidak mengangkat telponku."
Viola terus saja menangis sedang Rehan dibuat bingung melihat Viola.
Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan gadis kecil itu.
"Bagaimana ini? apa yang harus ku lakukan?"
Rehan tampak berpikir keras dan entah dari mana asalnya? ia dengan tangan terulur, meraih tubuh mungil Viola.
"Sudah, sudah, kuatkanlah dirimu. Aku yakin nenek baik-baik saja." Rehan berucap sambil mengelus lembut punggung Viola.
Viola yang berada di dalam dekapan Rehan, masih terus menangis hingga deringan telpon terdengar membuat keduanya saling tersadar kemudian menjauhkan diri masing-masing.
Tampak dari wajah Viola berubah bahagia melihat yang menelponnya adalah nenek Tia dan dengan cepat, ia pun mengangkatnya.
"Huuaaaa neneeeek, Viola rindu neneeeek."
Terima kasih..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!