Hari ini tepat setahun aku menyandang status janda untuk kedua kalinya. Siapa sangka nasibku menjadi janda bahkan untuk kedua kalinya di usia yang masih muda. Tapi mau meratapi nasib pun tak ada gunanya, bukankah the show must go on.
Setelah membereskan alat makeup dan menyemprotkan parfum, aku turun menuju ruang makan. Disana sudah ada papa, mama, dan kakakku yang menungguku untuk sarapan.
"Pagi ma, pa." sapaku pada kedua orangtuaku sambil mencium pipi mereka. Mereka pun membalas ciumanku dengan senyuman.
"Pagi kak" aku menyapa kakakku satu-satunya yang sudah mengoleskan selai stroberi diatas roti tawarnya.
"Pagi, rey. Hari ini kamu ada rencana sama temanmu ga? " tanya Kak Daniar.
"Belum tahu Kak, hari ini kan tutup bulan seperti biasa mau selesaikan laporan bulanan. Emang kenapa kak? " jawab Renita, sambil memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya.
"Gapapa sih, mungkin kamu lewat depan stasiun kakak mau titip martabak manis."
"Oh, nanti diusahain deh. Kalau pulangnya ga kemalaman ya."
"Makasih sayangku" jawab ibu hamil itu sambil memasang senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Biar papa aja yang belikan, kasihan adikmu kalau masih putar balik. Itu kan ga searah kantornya."
"Tapi Daniar pengen Rei yang belikan pa."
"Emang kalo papa yang beli kenapa, takut si utun ileran, hahaha" tawa pak Fauzi diikuti mama dan Rei.
"Ih papa, bisa aja. Tapi iya juga sih hehehe"
"Kamu teh kebiasaan deh, kenapa ga titip ayahnya Fani aja sih kan sejalur dengan kantornya." Mama menyanggah
"Tapi kan baby utun mau tantenya yang belikan, itung - itung traktiran gajian. Ya kan Rei?"
"Iya-iya, emang bumil tuh bisa aja ngelesnya ya. Udah ah, Rei mau kekamar dulu ambil tas."
Setelah itu suasana di ruang makan kembali sepi hanya gesekan sendok dan piring yang terdengar.
"Ma, pa, Rei berangkat dulu ya, masih mau isi bensin dulu." Rei mencium tangan dan pipi kedua orangtua nya.
"Hati-hati dijalan, jangan ngebut." Kata mama
"Iya, ma."
"Jangan lupa baca doa biar selamat sampai tujuan dan kembali ke rumah."
"siap, dan" jawab Rei sambil hormat
"Kamu tuh ya, dibilangin orang tua" Tegur papa sambil gelengkan kepala melihat tingkah anak bungsunya.
"Rei, kalo ketemu cowok dijalan ngajak kenalan diterima ya, biar ga jomblo lagi, hehe" Goda kak Daniar disambut pelototan orang disekitarnya.
"Apaan sih kak, aku belum pengen menikah lagi."
"Sudah ga usah dengerin, kakakmu tuh emang suka godain kamu." ucap sang mama.
"Assalamualaikum" Renita pun berlalu setelah mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam" Jawab seluruh penghuni rumah.
€€€€
"Hai, sudah absen Rei?" tanya Arini sesaat setelah meletakkan tasnya di kubikel nya.
"Udah tadi barengan sama Rio dan Miko. Kamu sudah?" dan dijawab dengan anggukan kepala Arini.
Setelah itu mereka memasuki ruangan mereka bekerja yaitu di bagian teller sebuah Bank Pemerintah di kota itu.
Jam makan siang pun tiba, sekarang giliran Renita yang stanby disana sedangkan kedua temannya sesama teller bersiap untuk ke kantin.
"Rei, kamu mau titip apa? aku mau ishoma dulu" Arini berdiri mendekati Rei.
"Belikan gado-gado aja ya, sama es teh." jawab Renita sambil melayani nasabah.
"Oke, kami pergi dulu ya. Ayo Sin" ajak Arini pada Sinta.
"yuk, duluan ya Rei" ucap Sinta. Mereka pun berlalu ke kantin kantor.
"Ibu, ini uangnya sudah masuk. Saldo ibu sekarang 800 ribu rupiah. Terima kasih" Renita menunjukkan buku tabungan kepada nasabahnya.
"Iya, mbak. Makasih ya"
"Sama-sama ibu"
Dan waktupun bergulir, menunjukkan Jam dua siang kurang, dan kini giliran Renita melaksanakan Ishoma.
Setelah melaksanakan ibadah, Renita kembali ke tempat kerjanya. Saat melewati kubikel nya, Renita heran melihat ada bingkisan diatas mejanya.
Saat melihat ada OB yang melintas, Renita menghentikan nya. Berniat bertanya mungkin tahu siapa pengirimnya.
"Mas, itu siapa yang naruh. Seingat saya tadi ya ada bingkisan deh." tanya Renita
"Oh, itu tadi mas Miko mbak yang suruh. Katanya titipan dari temannya buat mbak." jawab si OB.
"Oh, kok Miko ga ngomong apa-apa tadi pas ketemu di Musholla."
"Kurang tahu mbak, tadi cuma disuruh taruh di meja mbak Rei aja."
"Ya udah, makasih."
"Sama-sama mbak, mari saya ke belakang dulu."
"Iya"
Renita pun mulai memanggil no antrean teler. Sambil melayani nasabah, Renita dan Teller lainnya menyelesaikan tugasnya hari ini.
Jam operasi Teller sudah selesai, setelah membereskan meja teller, mereka kembali ke kubikel masing-masing. Bersiap melaksanakan kewajiban nya, Renita menuju Musholla. Saat melihat Rio dan Miko, Renita memanggil Miko.
"Miko, aku ada perlu."
"Ada apa nona, sepertinya ada yang mau kamu tanyakan." goda Miko sambil memasang sepatunya.
"Kata OB tadi ada titipan dari temanmu untukku. Apaan sih isinya? terus siapa yang ngasih?" tanya Renita
"Oi oi oi...santai nona, satu-satu napa tanya nya. Kayak kereta api aja banyak banget nanya nya."
Renita dan Rio yang mendengar Miko cuma nyengir.
"Hehe.. iya."
"Iya, itu tadi ada titipan dari temanku buat kamu. Pengen kenalan katanya." ucap Miko tanpa rasa bersalah.
"Ada aja kamu, kenalan ya kenalan aja ga usah bawa bingkisan. Eh tapi isinya apaan ya?" tanya Renita lagi.
"Mene getehe. Aku kan ga berani buka, yang penting sudah disampaikan amanat nya." Niko mengendikkan bahunya.
"Yah kok gitu sih."
"Udah aku balik duluan, nanti sampe meja langsung buka biar ga penasaran."
"hmmm, iya deh"
"Yuk Rei, kami duluan ya." Rio pamit kembali ke ruangan.
"Iya, makasih ya."
Masih penasaran sama bingkisan dimeja nya tapi Renita menahan diri untuk membukanya karena jam kantor belum usai dan dia harus menyelesaikan laporannya hari ini.
Tampaknya akan lembur hari ini, karena masih ada beberapa laporan yang diperiksa sebelum diantar ke meja atasannya.
Capek, sambil menaikkan tangannya kertas dan merenggangkan otot-otot nya, Renita mengambil bingkisan kecil itu mengangkatnya berharap bisa menebak isinya. Tapi nihil, ga ada bayangan sama sekali.
Saat meletakkan kembali, Renta dibikin kaget sama suara cempreng disampingnya.
"Eh apaan tuh, dapat bingkisan nih. Dari siapa?" tanya Arini kemudian.
"Entahlah, aku juga ga tahu. Kata Miko dari temannya" jawab Renita
"Oh, dibuka aja siapa tahu ada pengirimnya." Usul Arini kemudian.
"Ga lah, entar aja buka dirumah."
"Laporanmu sudah selesai?" tanya Renita kemudian.
"Udah dong, tinggal nyetor ke bos abis ini. Punyamu udah belum?" Tanya Arini
"Dikit lagi, ini mau aku selesaikan dulu biar bisa cepat pulang." Renita mulai mengetik di komputernya.
"Emang mau kemana, buru-buru amat." cerocos Arini
"Tuh bumil minta belikan Martabak depan stasiun. Aneh, kenapa harus disana sih. Yang lain banyak yang lebih dekat, kok mintanya malah disana. Malas antrinya aku, capek." jelas Renita.
"Namanya juga orang hamil, minta nya pasti aneh, itu yang dinamakan ngidam sayang."
"Iya tahu, mana harus aku juga yang belikan. Pusing dah"
"Sabar Ya" jawab Arini.
"Iya, sabar. ayo lah laporanku sudah selesai, tinggal ngesave di flashdisk terus setor ke bos." Kalo kamu mau setor duluan gapapa, aku nyusul."
"Oke deh, aku duluan ya."
"Iya, sudah sana."
"Done, ayo kita setor" Renta pun pergi ke ruangan atasannya.
€€€€
Meninggalkan basement parkiran Bank tempat dia bekerja, Renita melajukan mobilnya kearah stasiun, memenuhi permintaan sang kakak yang lagi hamil besar.
Setelah 15 menit lamanya sampailah dia ditempat martabak yang dimaksud. Dan seperti yang sudah diperkirakan, antreannya sudah panjang.
Hadeh, tambah capek kalo seperti ini pikirnya, tak mau tambah banyak antrian nya dia mulai ambil no antrean dan memesan 2 martabak telur dan 2 martabak manis kesukaannya dan ponakan kecilnya.
Fina, gadis kecil usia 3 th itu sekarang pasti sudah ada dirumah Orang tua nya, setelah dua hari ikut papa dan eyangnya menjenguk sodara eyangnya dikota tetangga.
Sambil menunggu, Renita duduk di bangku pojokan sambil memainkan Handphone nya, membuka akun sosial media nya, dan mulai menjelajah disana.
Tanpa disadari ada sepasang mata yang memperhatikannya mulai dari awal kedatangannya ke tempat itu.
Akhirnya sang pemilik mendekati tempat duduk Renita, yang tampak asyik disana. Berhenti didepannya dan mengambil bangku lalu duduk dihadapan Renita.
"Hai, boleh kenalan?" sapa pemilik suara, mengulurkan tangannya mengagetkan Renita.
"Oh, iya boleh. Renita Malik, panggil aja Rei" jawabnya sambil tersenyum.
"Senyum yang manis, semanis wajahnya" batin Laki-laki itu.
"Aku Ardan Prasetya, panggil aja Ardan."
Setelah bersalaman, keduanya terlihat asyik ngobrol. Dan tampak sesekali tertawa.
"Asyik juga orangnya, betul kata Miko" batin Ardan sambil terus memperhatikan Renita.
Dan kini giliran Ardan yang dipanggil oleh si mas penjual martabak. Setelah membayar pesanannya, Ardan langsung menuju ke tempat Renita duduk.
"Aku duluan ya, sudah ditungguin sama yang minta martabak." Ardan basa-basi, sebenarnya dia masih ingin menemani Renita tapi apa daya kanjeng mami sudah menelpon nya.
Mengambil Telepon seluler nya dan menjawab panggilan yang memang dari Maminya.
"Halo, iya mi."
"Assalamualaikum ya ahlil kubur, kebiasaan emang ya jawab telepon gua pernah salam." cerocos sang mami
"Mam, kok doain anaknya begitu sih. Sedan belum mau mati mam" jawab Ardan.
"Makanya pakai salam. Pesanan mami udah kan, cepat pulang mami dah ngiler nih."
"Mami tuh kayak orang ngidam aja deh, iya Ardan langsung pulang. Udah dulu, Assalamualaikum." Ardan mengakhiri sambungan teleponnya.
"Waalaikumsalam" jawab sang mami.
"Rei, aku duluan ya. Sampai jumpa lagi, Assalamualaikum." Ardan pamit
"Waalaikumsalam" jawab Renita.
Tak lama pesanan Renita pun selesai, dan dia pun menuju kasir untuk membayarnya.
"Mbak, berapa semua pesanan saya?" tanya Renita.
"Semua sudah dibayar mbak, sama mas yang tadi." jawab kasir
"Hah, yang mana? Perasaan saya ga ada yang kenal deh"
"Itu loh mbak, mas yang tadi ngobrol sama mbak."
"Oh Ardan maksudnya?"
"Iya mbak, mas Ardan yang bayarin. Dia tadi pesan katanya buat salam perkenalan."
"Ada-ada aja deh, btw makasih ya. Sampaikan sama dia kalo kesini lagi makasih banyak."
"Ya udah, saya pulang ya mbak."
"Iya mbak, hati-hati."
Dan Renita pun melajukan mobilnya ke rumah, rasa capek nya sudah tak tertahan kan. Memasuki gerbang perumahan nya, sedikit mengurangi kecepatan mobil dan membuka kaca mobil, Renita menyapa satpam yang sedang duduk disana.
"Malam pak" sapanya
"Malam mbak Rei, baru pulang?" tanya seorang satpam bertubuh tambun itu.
"Iya pak, abis lembur sama disuruh belikan titipan ibu hamil katanya biar ga ileran anaknya." jawab Renita
"hehehe... iya mbak, betul itu" jawab satpam yang lebih kurus.
"Saya pamit ya pak, selamat bertugas"
"Silahkan mbak"
Setelah melewati portal pertama, Rei membelokkan mobilnya ke rumah bercat biru langit. Memarkirkan mobilnya di garasi dan memasuki rumahnya.
"Assalamualaikum. Ma, Pa, Kak Dani."
"Pada kemana sih orang-orang, kok sepi?" batin Rei
Melewati dapur dan bertemu bik inah, Rei pun duduk di sebelahnya.
"Eh, mbak Rei. Baru sampe mbak?" tanya bik Inah pada anak majikannya.
"Iya bik, Mama, Papa dan Kak Dani kemana?" "Kok sepi?"
"Ibu, bapak dan mbak Dani kerumah sakit mbak."
"Loh, ada apa?" "kok tumben ga ngasih kabar"
"Mbak Dani tadi sudah kontraksi dan ketubannya pecah, takut sampai kehabisan langsung dibawa ke rumah sakit mbak" terang bik Inah.
"Iya sih, tapi tumben ga ngabari. Ngeri gitu, aku langsung kesana aja tadi."
"Kata ibu ga usah mbak, disuruh istirahat dulu."
#Flashback on
"Ma... mama, Dani sakit perut seperti mau pup, mules ma." Teriak Daniar dari kamar mandi.
"loh, ma ini ketubannya pecah" Dahniar mulai panik
"Aduh, tenang ya jangan berjalan dulu biar ga licin." Kata Mama
"Bi, tolong ambilkan tas isi perlengkapan bayi dikamar Dani, sekalian panggil bapak di belakang."
"Baik bu." jawab Bi Imah dan langsung mengerjakan yang diperintahkan majikannya.
"Pa, ayo kita segera ke rumah sakit, takut kehabisan air ketuban nya." Kata mama sambil memapah kak Dani
"Bi, kami berangkat dulu. Jaga rumah ya, nanti kalo Rei datang suruh istirahat dulu, baru ke rumah sakit. Kasihan dia capek, abis lembur katanya."
"Baik, bu."
Dan mereka pun segera ke rumah sakit karena kontraksi Daniar semakin sering.
#Flashback off
"Rei keatas dulu ya bik, mau mandi udah gerah"
"Iya, mbak" jawab bik Inah
Saat menaiki tangga, Rei berhenti dan memanggil bik Inah lagi.
"Bik, itu di meja ada martabak. Ambil satu bungkus buat bibik, yang lainnya mau Rei bawa ke rumah sakit nanti."
"Iya mbak. Makasih" jawab bi Inah
Renita pun berlalu menuju kamarnya, meletakkan tas dan bingkisan yang tadi diambil dari meja kerjanya.
Setelah menyelesaikan mandi dan berganti pakaian rumahan kesayangan nya. Rei membuka handphone nya, dan mulai berselancar di dunia maya.
Teringat dengan bingkisan itu, rasa penasaran pun datang kembali. Rei memotretnya dengan kamera HP nya dan diposting di akun instagram miliknya.
"From someone, buka ga ya?" caption yang dia pasang setelah foto bingkisan itu. Dan mulailah Rei mengunggahnya. Tak lama ada yang mengkomentari postingan nya.
@nindi32 : "Dari siapa tuh?"
@yuni_D : "Wah, ada penggemar rahasia nih? 😍"
@Dim_45 : "Wah, nambah saingan gue"
@ArInii : "Buka dong, biar ga pinisirin"
Rei tersenyum membaca komentar dari beberapa temannya. Dan dia pun membuka bingkisan tersebut.
Betapa senang hati Rei saat tahu isinya adalah sebuah novel yang lagi rame diburu, ingat Renita waktu itu di toko buku dia berebut novel dengan seorang pria yang juga menginginkan nya.
Dan karena Renita kalah cepat akhirnya novel itu sudah berpindah tangan. Kecewa pastinya tapi ya sudahlah, masih ada yang berikutnya pikir Rei. Akhirnya dia pun pergi ke konter buku cerita anak-anak dan membeli 2 buku untuk ponakan kecilnya.
Setelah cukup lama merebahkan dirinya dikasur ukuran double, Rei lalu mengambil celana jeans belelnya, tak lupa jaket kulit dan tas selempangnya.
Mencari keberadaan bik Inah di ruang makan, Rei berniat menyusul orang tua nya ke rumah sakit.
"Mbak Rei mau ke rumah sakit?" tanya bik Inah, membuyarkan lamunannya.
"Eh iya bik, ini mau bawain martabaknya kakak." jawab Rei.
"Makan dulu mbak, biar ga sakit." ajak bik Inah kemudian.
"Malas, tapi lapar sih." Membuka tudung saji di meja makan.
"Bibik udah makan?" tanya Rei
"Belum, kan nunggu mbak Rei selesai makan dulu."
"Ayo lah temani saya makan, duduk sini bik."
"Iya mbak, makasih"
Keduanya lalu menyantap makan malam nya, tak ada obrolan hanya suara sendok dan piring yang terdengar.
"Bik, Rei berangkat ya. Jangan lupa kunci pintunya terus cabut, aku bawa serepnya. Pagarnya juga ya dikunci."
Membawa bungkusan martabak yang ada di atas meja dan juga kunci mobilnya, Rei langsung menuju ke garasi.
Melajukan mobil mini yang dibeli dari hasil kerja keras nya selama ini, Rei membelah jalanan kota itu.
Masih rame meski malam makin beranjak naik, sepanjang jalan menuju rumah sakit kawasan kuliner di kota itu tampak ramai oleh pengunjung.
Lima belas menit kemudian sampailah Rei di halaman rumah sakit, memarkirkan mobilnya diantara dua mobil yang tampak familia baginya.
Renita lalu mengambil handphone dan menghubungi Mama nya.
"Assalamualaikum, ma ada dimana? Rei usah diparkiran rumah sakit nih."
"Langsung kesini aja Rei, kak Dani ada di ruangan mawar no 204."
"Oke, bu bos"
Menutup panggilan teleponnya lalu keluar dari mobil. Memastikan tak ada yang tertinggal dan sudah dikunci, Rei pun mencari lift.
€€€
Tok tok tok
"Assalamualaikum, semuanya." sapa Rei
"Waalaikumsalam, eh Rei sini sayang duduk sini."
Mencium tangan dan pipi kedua orangtua nya, mencium tangan kakak iparnya dan kedua mertua kakaknya.
Mendekati keponakannya yang makin hari makin montok itu, mencium pipi gembulnya.
"ante, geli..." elak Fina kegelian
Tapi bukan Renita namanya kalau tidak bisa membuat keponakannya itu minta ampun.
"Biarin, tante kangen tahu ga sama kamu. Makin gendut aja ya beberapa hari ga ketemu."
"Ante, ampun. Fina geli." masih ketawa cekikikan karena perlakuan tantenya.
"Mamih.. tolongin Fina, ante nakal." pinta gadis kecil itu pada sang ibu.
"Dek, udah dong. keponakan mu udah minta ampun juga." sang Mami mulai berkomentar.
"Iya iya. Tapi peluk dulu ya, tante kangen sama kamu."
Kedua perempuan beda generasi itu langsung berpelukan, dan pemandangan itu tak luput dari tatapan semua orang yang ada disitu. Mereka tertawa melihat kelakuan keduanya.
"Dek, pesenan kakak ga lupa kan?" Kak Daniar saat Rei sudah duduk memangku putrinya Fina.
"Itu, buka aja mam, biar sekalian ayah sama ibu ikutan makan."
"Aku ambilkan minum dulu" Heru pun mengambil air kemasan dan meletakkannya di meja.
Mama membuka martabak manis kesukaan Dani, setelah itu mengambilkan beberapa potong untuk diletakkan dipiring kecil.
"Ayo jeng, di sambi martabaknya." kata Mama pada mertua kak Dani. Dijawab anggukan oleh kedua besannya.
"Loh ini kok banyak banget Rei, ngeborong kamu?" Papa memecahkan keheningan.
"Ga kok mah, tadi Rei masing-masing dua tapi satu bungkus dikasihkan bik Inah tadi."
"Lagian martabak itu gratis kok"
Sontak membuat semua diruangan itu menatapnya, tapi Rei cuek.
"Kok bisa dek, emang bukan kamu yang bayar?" tanya Kak Dani
"Enggak." ucap Rei singkat
"Tadi pas antre beli martabak, aku diajak kenalan sama cowok kak."
"Wah, sudah mulai membuka hati rupanya adekku ini." goda Kak Daniar
Rei hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Sedangkan kedua orangtua nya saling pandang, mungkinkah Renita sudah bisa melupakan perceraian nya.
Besar harapan kedua orangtua nya agar Renta kembali membuka hati, karena semenjak perceraian nya dia seperti menjaga jarak dengan setiap lelaki yang mencoba mendekatinya.
Tak sedikit yang dengan terang-terangan mengajaknya menikah, bahkan beberapa sudah datang langsung kepada kedua orangtua nya, tapi Renita masih tak ada niat membuka hati. Jadi semuanya ditolak, mungkin saat itu dia masih trauma dan menutup hatinya pada lelaki.
"Apaan sih kak. Dia cuma ngajak kenalan doang"
"Lagian ga ada yang salah kan kalau cuma kenalan" sergah Rei kemudian.
"Dia itu lagi nunggu martabak pesanan mami nya, terus lihat Rei sendirian akhirnya ngajak kenalan, gitu doang."
"Ternyata Pas mau pulang, dia bayarin punya Rei sekalian. Begitu ceritanya" jelasnya.
Kak Dani dan suami, serta kedua orangtua nya tersenyum. Mungkin Rei belum sepenuhnya membuka hati, tapi paling tidak sudah tidak menampakkan traumanya.
Renita hanya dekat dengan Rio dan Miko sebagai sahabat yang sudah dianggapnya sebagai kakak, dan Bang Heru, kakak iparnya.
Rei beranjak mendekati box bayi disamping ranjang kakaknya, memperhatikan Keponakan kecilnya yang baru beberapa jam lalu dilahirkan.
"Kak, pengen" kata Rei tiba-tiba
"Pengen apa?" tanya Kak Dani
"Pengen punya baby juga, yang imut kayak gini" Renita menciumi pipi keponakan barunya yang tampak menggeliat karena dicium olehnya.
"Ya bikin dong, makanya cepatan nikah lagi, biar bisa punya baby" seloroh Kak Dani
Renita mendengus, memutar bola matanya dengan malas. Tahu lah dia arahnya kemana, pasti ujung-ujungnya disuruh nikah lagi.
"Sabar dulu napa sih, emang nikah itu gampang."
"Belum apa-apa udah ditinggal pas sayang-sayange."
"Belum lagi yang susah move on dari mantan sampe ngajakin selingkuh. Malassss" Rei mulai meracau.
Perselingkuhan mantan suaminya dan berujung perceraian memang membuat trauma, tapi Rei tidak mau terlalu lama larut didalamnya.
"Sudah-sudah bahas yang lain aja, ga malu apa ada ayah dan ibunya bang Heru disini." sang mama menengahi, bisa panjang ceritanya kalau dibiarkan.
"Biarin lah jeng, gapapa kok" seru ibunda Heru.
"Anti, nanti bikinkan Dina Adek cowoknya. Kan mami kasih adik cewek, jadi biar ayah dan kakek ada temannya." celoteh Fina tiba-tiba
Semua yang ada diruangan itu tersenyum mendengar celotehannya.
"Beres, nanti tante langsung kasih dua, mau?" ujar Rei menanggapi celotehan keponakan nya itu.
"Mauuuuu, awas ya kalo ante bohong, Fina ga mau cium ante lagi" ucapnya sambil memanyunkan mulut kecilnya.
Pengen rasanya Renita menggitit mulut dan pipi tembem itu, bikin gemes memang.
"Iya tante janji, sini toss dulu" Renita memberikan telapak tangan nya dan disambut toss oleh si kecil Fina.
Benar kata orang rumah tidak akan sepi jika ada anak-anak didalamnya. Meski kadang berantakan tapi bikin suasana dirumah menjadi lebih hidup.
Andai saja dulu dia memiliki satu saja, mungkin hidupnya tidak akan sepi. Tapi takdir berkata lain. Pernikahan pertamanya harus kandas karena suaminya meninggal saat ada kontak senjata dengan kelompok separatis di Papua.
Dan saat itu dia sedang telat dua bulan, mungkin karena shock akhirnya Renita mengalami pendarahan dan keguguran.
Sedangkan dari pernikahan keduanya juga tidak berlangsung lama, baru memasuki seumur jagung mantan suaminya itu kedapatan selingkuh dengan mantan pacarnya yang ternyata juga istri orang.
Mengingatnya memang Renita sakit hati, merasa begitu bodoh telah percaya bahwa Suaminya tidak akan pernah mengkhianati nya.
€€€
"Ma, Pa, Bang Heru Rei pulang ya, ngantuk pengen istirahat." pamitnya, matanya sudah terasa berat untuk melek.
Sesaat setelah orangtua Heru pamitan, Rei masih anteng dengan HP nya, tapi sepertinya rasa ngantuk nya sudah ga bisa dikompromi.
"Kamu bawa mobil sendiri kan? Mending pulang sama papa aja." seru pak Fauzi
"Terus mobil Rei gimana pa? masak ditinggal disini?"
"Usah tinggal aja, Papa juga mau pulang. Besok pagi sebelum ke kantor papa antar kemari sekalian bawain baju ganti buat mama."
"oke deh"
Keduanya pun pergi meninggalkan Mama, Bang Heru dan Fina yang ingin menjaga mami dan adik kecilnya.
€€€
"Kalau ngantuk tidur aja, nanti papa bangunin kalau sampe rumah." ujar Papa
"Iya pa" jawab Rei singkat
Tak lama Rei pun terlelap mudah sekali baginya tidur dimana aja, asal ada bantal langsung ***** alias nempel molor.
Pak Fauzi, sang papa melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tahu putri bungsunya itu sedang kelelahan karena pekerjaannya.
Masih teringat jelas saat Rei mengatakan tidak ingin menikah lagi sesaat setelah surat cerainya resmi di dapat. Ada rasa bersalah karena terlalu memaksakan kehendak nya, meminta putrinya untuk menikah dengan Reza Setiawan.
Seorang Pengacara muda di kotanya, anak dari sahabat lamanya. Saat mengetahui putrinya akan dilamar, betapa senang hatinya sampai mengabaikan kebahagiaan putrinya tersebut.
Renita memiliki kecantikan yang diturunkan dari sang mama, wajar jika banyak yang menyukainya. Tapi saat mengetahui statusnya yang seorang janda tak banyak pula yang mundur teratur, apalagi melihat kondisi Renita yang belum sepenuhnya siap melepas statusnya.
Sampai akhirnya pertemuan tak terduga dengan sahabatnya di sebuah tempat latihan bersama burung berkicau.
#Flashback on
"Fauzi, apa kabar?" sapa Ardi, sambil mengulurkan tangan pada sahabatnya.
"Kamu Ar, kabarku baik. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Fauzi
"Seperti yang kamu lihat. Apa kabar keluarga mi, sehat kan?"
"Lama kita tidak ketemu, terakhir kali dipernikahan putri bungsumu." ujar Ardi
"Iya, benar. Mereka semua baik, alhamdulillah." jawab Fauzi dengan wajah lesu.
"Hei kenapa wajahmu, apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" tanya Ardi, melihat wajah sahabatnya itu sedikit muram.
"Tidak, hanya saja... " jawab Fauzi terputus mengingat status putrinya.
"Renita sekarang sudah menjadi janda. Suaminya meninggal saat ada kontak senjata di Papua." lanjutnya.
"Kasihan sekali, pasti terpukul dia." Suara Ardi menenangkan sahabatnya. Dia tahu bagaimana Renita yang dulu ceria dan tampak bahagia saat pesta pernikahan nya berlangsung.
"Sabar, mungkin sudah takdirnya. Jangan putus asa, jodohnya masih panjang." Seru Ardi berusaha menenangkannya.
"Sebenarnya aku ingin sekali melamar putrimu untuk putraku Reza. Tapi ternyata aku telat" seloroh nya mencoba mengusir ketegangan.
"iya kah, sayang sekali ya." jawab Fauzi sambil tertawa. Keduanya lalu tertawa sambil duduk mendengarkan kicauan burung Murai Batu miliknya.
"Tapi kita masih bisa kok menyambung tali silaturahmi kita dengan menjodohkan mereka." ujar Ardi kemudian.
Fauzi menoleh pada sahabatnya, bagaimana bisa dia memiliki ide konyol tersebut. Tapi tampaknya Ardi serius, Fauzi tidak menemukan ekspresi kebohongan dalam sorot matanya.
"Jangan konyol, mana ada yang mau dengan Rei, mengingat statusnya sekarang."
"Kamu tahu kan, pasti akan sulit bagi Rei untuk menerima perjodohan ini, apalagi putramu Pengacara sukses. Apa tidak berpengaruh pada karirnya nanti" jelas dan tegas, Fauzi seperti pesimis dengan perjodohan ini.
"Sudahlah, kita tidak tahu kalau kita tidak mencobanya kan?" ucap Ardi, senyumnya meyakinkan Fauzi bahwa semua akan baik-baik saja.
"Baiklah, akan kucoba mengutarakan niatmu pada istri dan anakku." jawab Fauzi kemudian.
Keduanya pun kembali berbincang mengenai burung peliharaan masing-masing.
€€€
"Ma, ada yang mau papa omongin ini tentang Rei" saat keduanya berada dikamar.
"Ada apa pa, tampaknya serius?" jawab istrinya.
"Tadi papa ketemu sama Ardi pas latbar murai. Dia berniat menjodohkan anaknya Reza dengan Rei. Menurut mama gimana?"
Pak Fauzi menceritakan obrolannya tadi tak ada yang ditutupi karena tak ingin menjadi pikiran.
Mendengus mendengar penuturan suaminya, mau tidak mau memang harus ada yang menggantikan posisi alm. Anton apalagi sejak kepergian nya, Rei tak pernah lagi dekat dengan laki-laki selain Rio dan Miko dan teman kerjanya.
"Mama coba bicarakan sama Rei dulu ya,pa. Tahu sendiri bagaimana keras kepala anak itu." jawab istrinya.
"Ga usah dipaksa ma, kalau jodoh pasti akan ketemu." Pak Fauzi menyetujui usul istrinya dan tentu saja harus siap di diamkan oleh anak bungsunya itu.
Keesokan harinya, saat Rei lagi menikmati hari liburnya dengan membersihkan kamar nya, sang mama mencoba membicarakan masalah perjodohan tersebut.
"Rei, mama ganggu ga?" tanya mama
"Ga kok ma, ini sudah mau selesai tinggal pindahin barang yang ga kepake aja. Ada apa ma?" Rei balik tanya, karena tak biasanya sang mama mencarinya dikamar kalau tidak ada hal penting yang dibicarakan.
"Tenang.. tarik napas" batin mama
"Rei, kamu ga pengen menikah lagi?" tanya mama sambil memegang tangan Rei. Terus terang ada rasa takut menanyakan nya tapi demi masa depan putrinya, dia harus kuat.
Renita tahu kedua orangtua nya mencemaskannya, tapi dia tak bisa membohongi hatinya kalau masih belum bisa melupakan almarhum suaminya.
Walaupun tidak banyak kenangan manis yang tercipta tapi sosok almarhum mampu membuat hatinya tenang.
"Rei, lihat mama." Menarik dagu Rei dan menatap matanya, mencari kekosongan yang selalu disembunyikan nya dengan rapi.
"Mama tahu, sulit bagimu melupakan almarhum. Tapi apa Rei tahu kalau almarhum juga tidak suka melihat Rei begini."
"Rei bukan lagi anak kecil yang meminta apapun akan selalu dituruti."
"Meskipun Rei bersujud memohon tapi almarhum tidak akan pernah kembali. Kalian sudah berbeda alam, sayang"
Berbicara dari hati ke hati, ini yang selalu Rei rindukan dari sang mama. Sudah lama sejak kematian Anton, Rei menjadi sosok yang berbeda.
Pribadi yang dulu hangat seakan hilang bersama dikuburkan jasad suaminya. Menangis dan menutup diri itulah yang dilakukan nya.
Meskipun sudah kembali bekerja tapi Rei hanya tersenyum didepan nasabah yang dilayani nya atau pada teman kerjanya. Diluar itu dia jadi pendiam.
"Cobalah buka hatimu, dan biarkan dia mencari sosok pengganti almarhum. Tapi almarhum akan selalu ada disini" Mama meletakkan tangannya didada Rei.
"Bisa? Mama yakin kamu bisa, sayang." Meyakinkan dan menguatkan hati Rei hanya itu yang bisa dilakukan wanita paruh baya tersebut.
Dengan anggukan Rei berusaha membuka hatinya.
€€€
Dan bulan pun berganti, Rei mulai bisa menerima kehadiran Reza disisinya, mungkin benar kata mama cinta itu akan datang dengan sendirinya karena seringnya bersama.
Dan keduanya pun kini resmi menyandang status suami istri. Bahagia tentu saja itu yang dirasakan keduanya. Walaupun tidak sepenuhnya hatinya terisi nama Reza. Tapi paling tidak gunung es itu mulai mencair dan luluh.
Tiga bulan hidup sebagai pasangan suami istri, membuat Rei tahu kebiasaan suaminya. Segala kebutuhan nya disiapkan, memasak dan melayani suami nya dengan baik seperti yang dulu dilakukannya pada almarhum Anton.
Sampai suatu saat secara tidak sengaja Renita menemukan noda lipstik dikemeja suaminya, dan juga bau parfum perempuan.
Renita awalnya cuek dan menganggap itu mungkin tidak sengaja, tapi setiap hari dia selalu mendapatkan suaminya pulang tengah malam bahkan dini hari.
Beralasan ada klien yang ditemui diluar kota dan harus berangkat pagi, bahkan tanpa sarapan pagi. Beberapa kali Rei terpaksa makan sendiri, kadang dia membawanya ke kantor dan membagikan dengan teman-temannya.
Hingga tanpa sengaja, saat pergi menghadiri undangan pernikahan salah satu teman kerjanya, dia melihat Reza bersama dengan seorang wanita bergandengan tangan dengan mesra. Keduanya pun tak malu menampakkan kemesraan didepan orang lain.
Sakit hati, itu yang dirasakan tapi dia tak ada bukti. Jadi hanya bisa menangis menahan perih. Tapi yang namanya bangkai ditutupi serapat apapun pasti akan tercium juga.
€€€
Suatu sore Rei menemukan amplop berisi hasil foto USG dari sebuah klinik bersalin di saku kemeja suaminya. Ada titik hitam disana dan usianya menginjak 8 minggu.
Seperti tertampar, Nyeri di dada. Menahan sesak membaca tulisan di amplop itu. "Dady, I'm coming. Peluk dan cium dari aku dan Momy."
Mendapati suaminya sudah selesai mandi, Rei meletakkan kembali amplop itu dan berpura-pura mengambilkan baju ganti suaminya. Tanpa rasa bersalah Reza mendekati Rei dan menciumnya. Tapi tidak lagi ada kehangatan yang Rei berikan seperti biasanya.
Hari ini dia harus menyelesaikan masalahnya dengan Reza suaminya. Rei memang mencintai suaminya, tapi rasa cinta Reza pada Rei tak seperti pada selingkuhannya.
Meskipun sebelumnya Rei tetap melayani suaminya dengan baik di atas ranjang, tapi perlakuan suaminya sungguh menyiksanya. Berhubungan intim dengan istri sah, tapi menyebut nama selingkuhan.
Seperti disengaja, tapi Rei tak kuasa menolak. Hanya air mata yang menjadi saksi. Reza hanya sekadar memberikan nya nafkah lahir dan batin, tapi tidak dengan cintanya.
€€€
Reza menyadari perubahan sikap Rei akhir-akhir ini, tidak bisa dipungkiri dia merindukan Rei. Tapi ini adalah kesalahan nya, dia bahkan dengan sengaja membawa amplop berisi hasil USG kekasihnya kerumah.
Rasa bahagianya akan kehadiran seorang buah hati dengan kekasihnya, tapi dia juga tak ingin melepaskan Rei begitu saja sebagai istri sahnya.
Bingung, tapi mau tidak mau dia harus mengungkapkan semuanya. Karena tidak ingin menyakiti Rei lebih lama. Egois memang dia ingin Rei tetap disisinya tapi juga tak mau melepaskan kekasihnya.
€€€
Dikamar ini tak ada lagi kehangatan, Rei sudah pasrah dengan keputusan suaminya. Tapi dia juga tak mau berlama-lama diduakan. Karena sebuah hubungan yang dilandasi dengan kebohongan pasti akan hancur.
Reza menceritakan semuanya, tentang selingkuhannya yang tak lain adalah cinta pertama nya, sejak kapan mereka berhubungan kembali dan melakukan pernikahan dibawah tangan.
Bahkan kedua orangtua nya pun baru mengetahui setelah Reza menunjukkan hasil USG nya. Sakit hati yang dirasakan orang tua Reza tak sebanding dengan yang dirasakan oleh Rei.
Menerima tamparan bahkan cacian dari kedua orangtua nya, dan pulang kerumah dengan babak belur sudah ditanggungnya.
Renita pun telah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Menunggu sidang pertama dan selanjutnya sampai dia peroleh surat cerai.
Ya, Renita sudah memantapkan hati untuk berpisah. Selama proses cerai berlangsung mereka tetap tinggal satu rumah tapi dikamar berbeda. Tetap melakukan aktivitas sebagai suami istri termasuk didepan orangtua nya kecuali untuk hubungan intim.
Tak ada penawaran untuk yang satu itu. Karena baginya membagi miliknya dengan orang lain takkan pernah terjadi. Lebih baik dia melepaskannya dan membuka lembaran baru.
€€€
Hari ini sidang putusan hakim, mediasi yang disarankan majelis hakim tak bisa mengubah keputusannya. Dan kini dia dinyatakan resmi bercerai dengan Reza.
Tak ada air mata, tak ada penyesalan karena mereka sama-sama sadar akan keputusannya. Harta gono - gini bukan masalah bagi Renita, gajinya masih cukup untuk membiayai hidupnya.
Bahkan sebelum dia menikah dengan Reza, Rei sudah memiliki rumah dengan almarhum Anton. Tapi karena banyaknya kenangan rumah itu akhirnya disewakan. Reza bersikeras memberikan rumah yang ditempatinya dengan Rei.
Meskipun Renita menolak tapi surat kepemilikan sudah dilimpahkan atas namanya. Keduanya bertemu terakhir kalinya sebagai suami istri di ruang sidang. Dan keluar sebagai individu, bukan lagi pasangan.
€€€
Maafkan jika masih banyak typo, mencoba menuangkan hobi disini. Ditunggu saran kritiknya, dari penulis baru.
Sesampainya dirumah, pak Fauzi memperhatikan putrinya yang terlelap, tampak wajah lelahnya. Terukir senyum diwajah pria paruh baya tersebut. Tak tega ingin membangunkannya, tapi menggendong putrinya pun tidak mungkin lagi.
Gadis kecil itu sudah berubah menjadi wanita dewasa, walau terkadang sikapnya masih manja. Mengusap kepalanya dan mencium keningnya seperti yang biasa dilakukannya. Hingga membuat Renita menggeliat karena merasakan ada yang menyentuhnya, dan dia tersenyum pada cinta pertamanya.
"Pa, kenapa tidak membangunkan Rei kalau sudah sampe" melihat sekitarnya.
"Papa tidak tega membangunkan mu, tapi papa juga tak sekuat dulu jika harus menggendong mu sampai kamar, bisa kumat encok papa" ucapnya berseloroh sambil tertawa.
Rei melihat papa nya tertawa pun ikut tertawa, yang benar saja jika papanya harus menggendongnya sampai kamar bukan cuma encok papa yang kumat, tapi penyakit tahunan mamanya bisa kambuh. Cerewet nya tak akan berhenti sepanjang hari.
"Papa, mana mungkin Rei meminta papa menggendong Rei. Bisa ngamuk ibu negara kalau ketahuan. hahaha" jawabnya.
"Rei buka pagar dulu ya pa" tersenyum sambil membuka pintu mobil. Dan keluar membuka pagar rumahnya.
Setelah memastikan pintu pagar dan garasi terkunci, keduanya lalu masuk ke kamar masing-masing. Mengistirahatkan badan yang sudah seharian beraktivitas.
€€€
Keesokan harinya, pak Fauzi sudah bersiap ke rumah sakit mengantarkan baju ganti untuk istrinya, sambil menunggu Renita turun beliau menikmati secangkir kopi dan membaca koran pagi ini.
"Pagi pa" sapa Rei sambil mencium pipi papanya. Duduk disamping papa dan memulai sarapannya.
"Rei, ikut papa kan ke rumah sakit ambil mobil" tanya papa.
"Enggak pa, biar Rei ambil nanti saat istirahat makan siang, sekalian mau dibawa ke bengkel. Sudah waktunya ganti oli pa"
"Oh ya sudah, berarti langsung ke kantor abis ini"
Menganggukkan kepalanya, sambil menghabiskan susu hangat kesukaannya.
Seperjalanan menuju ke tempat kerjanya, Renita dan papa tak berhenti bersenandung mengikuti lagu yang diputar di mobil papanya. Tembang kenangan yang sering mama dan papanya nyanyikan dirumah.
Saat diperempatan menunggu lampu merah berganti, sorot matanya menangkap bayangan seseorang. Ya seseorang yang pernah singgah di hatinya, meskipun tidak lama.
"Reza" batin Rei, dia tampak bahagia dengan istri barunya, apalagi kini sudah ada si kecil yang diantara mereka.
Tanpa sadar keduanya saling menatap satu sama lain dari balik kaca mobil. Renita tahu meskipun mereka bercerai, dia tidak bisa membencinya. Karena urusan hati tidak ada yang tahu.
Untung saja lampu hijau menyala, dan keduanya sudah melaju. Entah apa yang ada dalam pikirannya, meskipun Renita marah atas perselingkuhan mantan suaminya, tapi dia juga tak bisa menolak kalau Reza sudah menempati ruang kecil dihatinya.
Tak ingin papanya tahu, Rei segera menghapus air mata yang jatuh dipipi nya. Dan kembali menyanyikan tembang lawas yang papanya putar.
Sampai didepan lobi kantornya, mencium tangan dan pipi papa dan berpamitan. Lalu masuk menuju ruangannya setelah mobil papanya menghilang dari pandangannya.
"Pagi... " sapa Rei pada teman-temannya yang sudah lebih dulu tiba.
"Pagi Rei, gimana sudah dibuka bungkusanmu?" tanya Miko
"Sudah dong" jawabnya singkat.
"Wah seneng nih kelihatannya." goda Rio sambil melirik Miko.
"Hooh, auranya beda gitu" timpal Miko kemudian.
"Apaan sih? Udah ah, absen dulu terus siap-siap di front office." Tak mau berlama-lama karena Rei tahu dia akan jadi bulan-bulanan kedua sahabatnya itu.
"Oke bos" sahut keduanya bersama.
"Arini mana, kok tumben belum datang itu anak?" tanya Rei
"Katanya sedikit telat karena masih antar ibunya ke dokter, paling bentar lagi nyampe" sahut Miko
"Oh, sakit lagi kan?"
"Ga kok cuma kontrol rutin aja"
Mereka menuju meja teller dan bersiap sebelum jam kliring dimulai. Setelah itu mulai menyalakan mesin pemanggil antrean. Dan siap melaksanakan tugas hari ini.
€€€
"Mau makan siang dimana?" bisik Arini pada Renita.
"Aku mungkin ke rumah sakit dulu mau ambil mobil, sekalian antarin ke bengkel buat ganti oli." jawab Renita
"Jadi makan siangnya sekalian di pujasera depan bengkel aja. Kangen makan ayam geprek disana."
"Oh, ya udah nanti aku anterin sekalian mau ambil obatnya ibu di apotik dekat situ." Arini
Setelah selesai melayani nasabah yang terakhir mereka berdua memasang papan tanda istirahat dan hendak menuju meja kerjanya. Berpapasan dengan Miko yang sudah lebih dulu melaksanakan ibadah sholat dhuhur.
"Kalian mau kemana, buru-buru amat?" tanya nya kontan membuat keduanya berhenti.
"Mau makan ayam geprek di pujasera, tapi sebelumnya ambil mobilnya Rei di rumah sakit" jawab Arini.
"Loh kok bisa ada disana, emang siapa yang masuk rumah sakit?"
"Kak Dani kemarin melahirkan, semalam sudah ngantuk jadi ikut papa pulang mobil aku tinggal disana." jelas Rei
"Oh, kirain ada yang sakit"
"Kamu mau ayam geprek juga ga?" tanya Arini
"Boleh deh, sekalian sama punya Rio ya. Lagi malas ke kantin katanya."
"Okey"
Keduanya pun meninggalkan kantor menuju rumah sakit, tiba-tiba handphone Rei berbunyi. Nada dering yang sama yang dia tujukan untuk mantan suaminya.
Renita memang tak mengganti nada dering khusus itu. Bukan tak ingin mengganti tapi rasanya masih malas mengganti atau masih terlalu berharap padanya? Entah, hanya Renita yang tahu jawabannya.
"Rei, kok ga diangkat telpon nya?" Arini menggoyangkan lengan Renita, membuyarkan lamunannya.
"Ah iya, kenapa?" tersadar dari lamunannya, Rei malah balik nanya.
"Kamu tuh lagi ngelamunin apa sih, sampe ditanya apa, malah balik nanya."
"Hape mu tuh bunyi terus dari tadi, diangkat kek. Kalo ga mau diangkat ya direject aja, kasihan yang nelpon tahu!"
"Biarin lah, aku malas ngangkat telpon nya." jawab Renita
"Emang siapa yang nelpon?"
"Nih.. " Menunjukkan layar hape nya pada Arini
"Ngapain itu orang nelpon kamu?"
"Ya mana aku tahu, ini juga baru nelpon kok" Renita mengendikkan bahunya
"Mungkin dia kangen sama kamu, kan kamu mantan terindahnya." seloroh Arini, menggoda Renita yang menentukan bibirnya.
"Ih apaan sih. Ga ya"
"Ya sapa tahu kan"
Beberapa kali berdering tapi tak dihiraukan, tapi ada rasa penasaran mungkin juga rasa kangen pada mantan suaminya, apalagi setelah pertemuan singkat tak sengaja tadi pagi.
€€€
Berapa menit kemudian sampailah mereka di parkiran rumah sakit, Rei menuju ke tempat mobilnya berada dan Arini sudah menuju ke apotek.
Setelah mengantarkan mobilnya ke bengkel langganannya. Renita lalu menyebrang jalan menuju pujasera, karena tadi janjian ketemu disana dengan Arini.
Berjalan menuju stand ayam geprek favoritnya, Renita mencari keberadaan Arini sambil memencet hape nya.
Tiba-tiba dirinya menabrak seseorang, hampir saja Renita terpental ke belakang jika saja orang yang ditabraknya tak memegangi tangannya.
"Maaf, saya tidak sengaja" ucap Renita
"Rei.."
Mendongakkan kepalanya saat mendengar suara yang sudah setahun ini tak lagi mengisi hari-hari nya. Terlambat untuk menghindar, ya sudah hadapi saja.
"Rei, apa kabar?" Reza mencoba mengalihkan kecanggungan, entah kenapa dia selalu merindukan sorot mata ini.
Mungkin sudah tidak ada lagi namanya disana, tapi bolehkan jika Reza berharap bisa kembali mengisinya.
Masih dengan posisi semula, keduanya saling menatap mata. Tak dipungkiri ada rasa rindu diantara kedua nya. Menatap dan mencari jawaban atas pertanyaan dihati.
Hingga Renita tersadar karena hape nya bergetar, Arini menghubunginya.
"Uff, untung saja" batin Rei
"Terimakasih Tuhan, kalo menyelamatkan aku" Renita pura-pura membenahi rambutnya mengusir ketegangan.
"Aku.. Aku baik. Kamu sendiri apa kabar mas?" sapa Rei, meskipun sudah setahun berpisah tapi ternyata masih sama seperti dulu.
Selalu kaku dan grogi jika berdua dengan nya, dengan mantan suaminya.
"Aku baik Rei, tapi tidak hatiku" batin Reza
Menyadari Renita sedang menunggu jawabnya, dia pun tergelak.
"Baik, aku baik Rei"
"Papa dan mama sehat kan?"
"Alhamdulillah, Papa dan mama sehat"
"Papa mama mas Reza sehat? Ga naik lagi kan tensinya. Mas ga bikin ulah lagi kan?" candanya
"senyum itu, aku merindukannya" batin Reza kembali bergejolak.
"Kamu bisa aja, Rei. Ga lah, aku sudah jadi anak baik sekarang" katanya sambil tertawa.
"Rei, bisakah kita bicara empat mata?" Akhirnya pertanyaan itu lolos juga.
"Loh, kita sekarang kan sudah bicara empat mata mas" sergah Rei
"Iya... maksudku, apa kamu ada waktu. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
"Mas ini lucu, ya bicara aja apa susahnya. Tapi sayangnya sekarang bukan waktu yang tepat."
"Ya sudah, aku tunggu kapan kamu bisa"
"Aku ga bisa janji, tapi aku akan usahakan."
"Baik, aku tunggu"
Rei hanya tersenyum, entah kenapa tidak bisa menolaknya. Lagi dan lagi, tiba-tiba dari belakangnya.
"Rei... ya ampun, aku sampe keriting nungguin kamu tahu ga, untung aja sudah pesan duluan tadi ayam gepreknya kalau ga bisa semaput aku." cerocos Arini
"Eh ada mas Reza, apa kabar mas?" sambil menjabat tangan.
"Baik, maaf ya. Aku ga tahu kalau ternyata kalian sudah janjian." Sahut Reza merasa bersalah.
"Gapapa mas, emang dasar ini aja yang ga bisa lihat yang bening dikit." cengir Arini sambil menyikut tangan Rei.
"What? Apaan sih" Rei melotot, tapi yang dipelopori malah nyengir sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.
Reza hanya tertawa mendengar kedua sahabat itu saling berdebat. Keduanya emang tak pernah berubah, ga perlu jaim seperti perempuan lainnya.
Penampilan Reza sekarang memang makin dewasa, makin terlihat tampan di usianya. Makanya banyak sekali clien nya yang terang-terangan memuji dirinya. Bahkan tak malu untuk dekat dengannya.
"Kamu berhutang penjelasan padaku, kenapa tadi bisa ngobrol sama si mantan terindah itu"
"Apaan sih, aku ga sengaja kok ketemu dia."
"Hmmm ga yakin deh" Arini mencembikkan mulutnya, mencoba menggali informasi
"Beneran kok, suwer. Kalo ga percaya ya udah, ga rugi juga aku"
"iya deh, ngalah daripada manyun gitu."
"Terus dia ngajak ketemuan gitu?"
Renita menganggukkan kepalanya, rasanya seperti lagi disidang sama guru BK. Nyerocos mulu sahabatnya itu.
"Maunya apa sih? kok tadi sepertinya maksa banget pengen ketemu kamu."
"Mau tahu atau mau tahu banget?" Renita berjalan menuju parkiran meninggalkan Arini yang masih kepo
"Loh kok malah ditinggal sih, Rei tunggu.. " Arini berlari mengejar sahabatnya. Dan merekapun kembali ke tempat kerjanya.
€€€
Renita berniat naik bus menuju bengkel langganannya, karena ga mungkin kalau harus nebeng sama teman-temannya. Rumah mereka tidak searah dengan bengkel.
Kasihan juga jika harus putar balik, mana macetnya juga mulai padat disaat jam kerja berakhir. Lagian pula Renita ingin menjenguk keponakan barunya.
Dan disinilah dia, berada diantara keluarganya dengan kedua keponakan kecilnya yang menggemaskan.
"Kak, aku bawa pulang ya dedeknya" ucap Renita tanpa rasa bersalah. Dia membawa bayi berumur dua hari itu kedalam gendongannya. Menciumi pipinya, wangi bayi memang selalu menyenangkan.
"Enak aja, bikin sendirilah" jawab kakaknya ketus. Dia tahu Renita pasti akan merajuk.
"Ah, bikin doang mah gampang tapi sama siapa?" jawab Renita asal, membuat semua yang diruangan itu terkejut.
"Makanya cari calon suami biar bisa bikin adonan bayi yang bagus kayak gitu" Sambil tertawa Kak Dani mulai menggodanya.
"Yakali.. hilang sampe harus dicari. Kakak aneh deh"
"Loh bener kan, kamu itu harusnya buka hati biar cepat laku, dan bisa bikin adonan."
"Kakak.... Ma, kakaknya tuh" rajuk Rei sambil memonyongkan mulutnya.
"Kalian itu kalau udah kumpul berantem mulu, kayak kucing dan tikus. Akur napa" sergah mama
"Abisnya ma, Rei itu lucu pengen punya anak tapi ga mau nikah. Anak aku mau diminta, aneh kan."
"Kakak kan bisa bikin lagi, ya kan bang" Rei mulai mencari sekutu.
"Bang Heru aja mau kok diajak bikin lagi"
"Dia mah enak tinggal setor doang, nah yang loading hasil akhir kan aku. Kemana-mana dibawa dah mirip pemain drumband aku teh."
Sontak aja semua orang tertawa mendengar perdebatan kakak beradik yang absurb itu, Heru yang merasa dipojokkan cuma bisa nyengir sambil menggaruk kepalanya yang ga gatal.
Dan begitulah suasana yang selalu dirindukan oleh mereka, saat Kak Daniar menikah dan ikut suaminya bertugas di kota lain, Rei tidak ada teman untuk berdebat.
Saat Rei menikah dengan almarhum Anton dia pun ikut suaminya dinas di luar Pulau. Sampai saat kejadian naas itu terjadi, Rei terpaksa pulang dan kembali menetap disini.
Setelah mengurus semua surat pindah tugas, dari Bank tempatnya bekerja, melewati masa iddah dan mulai menata hidup baru. Beruntungnya Orangtua almarhum Anton mengerti keadaannya, bahkan yang meminta Rei untuk menikah lagi adalah ibunda Anton.
Mengerti keadaan menantunya, karena beliaupun sudah pernah mengalami hal yang sama. sebagai seorang istri prajurit, mau tidak mau, rela tidak rela dirinya harus melepas kepergian suaminya ke daerah konflik.
Bahkan sebelum Anton melamarnya Renita sudah menyiapkan mentalnya, jika menikah dengan anggota TNI maka harus siap dengan segala resikonya termasuk kontrak mati yang sewaktu-waktu datang.
Keluarga almarhum sangat mengerti Rei, bahkan sangat menyayanginya. Karena Anton adalah anak terakhir dan berasal dari keluarga besar TNI, Mulai dari kakeknya, saudara sepupu, Anton dan kakak-kakaknya semua abdi negara.
Bangga berada diantara keluarga besar Anton yang tak pernah pilih kasih, bahkan ikatan keluarga yang erat membuat Renita berat melepaskan.
Meskipun sekarang dia sudah tidak lagi bersama mereka, tapi Renita tidak pernah putus hubungan dengan keluarga Anton. Sesekali Renita akan pergi dan menginap disana saat weekend atau saat liburan tiba.
Mereka menyambut baik Renita seperti anak mereka sendiri. Bahkan saat Renita menikah dengan Reza mereka datang dan ikut membantu acara pernikahannya.
Hanya saja selama menikah dengan Reza, Renita sudah tidak pernah lagi menginap disana. Biasanya saat weekend setelah mengunjugi makam almarhum, Renita langsung kerumah orangtua nya.
Rei mendengus, sudah dua minggu ini dia tidak mengunjungi makam Anton. Besok setelah menyelesaikan semua laporan bulanannya, dia akan mengunjungi makam dan menginap dirumah orang tua Anton.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!