Perjalananku adalah tentang merelakanmu dan sikapmu adalah tentang melepaskanku
(kutipan kalimat bijak Fiersa Besari)
Riza terpaku di tempatnya berdiri. Ia telah memutuskan untuk melakukan perjalanan menjelajah alam setelah menonton tayangan youtube Fiersa Besari tentang petualangannya menjelajah alam untuk menyembuhkan luka saat patah hati. Ia memantapkan hati buat melakukan hal yang sama, mencoba mencari ketenangan hati agar mampu memaafkan dan mengikhlaskan apa yang bukan takdirnya.
Satu tas ransel pakaian, peralatan mandi, kotak p3k, jaket dan beberapa perlengkapan perjalanan lain telah ia masukan ke dalam jeep tua hitam yang akan digunakan untuk menemaninya melakukan perjalanan mencari ketenangan hati. Mama hanya diam ketika ia pamit tadi, karena perempuan yang masih tampak cantik pada usianya yang hampir setengah abad itu pun tengah terluka dalam. Riza sebenarnya tak tega meninggalkan mama, tapi ia juga tak bisa menemani mama yang setiap hari hanya diam menatap jendela kamarnya dengan sinar mata tanpa makna. Saat ini Riza juga terluka. Luka hatinya pasti akan semakin melebar dan parah jika tak kunjung terobati. Kekecewaan dan kemarahannya tak akan padam, malah akan semakin membara dan meledak-ledak jika terus menerus melihat mama berdiam dalam sakit hatinya. Riza tak ingin begitu. Riza sadar hanya diam meratapi nasib tak baik buat kesehatan mentalnya.
Satu-satunya saudara kandungnya, Wida, belum juga kelihatan batang hidungnya. Mungkin hari ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan rumah tangganya sendiri hingga tak sempat menjenguk mama. Suasana rumahnya benar-benar sunyi. Bahkan burung 'klangenan' papa pun enggan berkicau akhir-akhir ini seolah mereka semua sepakat untuk diam menemani kesunyian para penghuni rumah yang dirundung kelam. Riza tak bisa menunggu. Ia memutuskan meninggalkan pesan secara tertulis lewat pesan singkat tentang kepergiannya pada Wida agar kakaknya itu tidak mencak-mencak menyalahkannya apabila ada kejadian yang tidak diinginkan di rumah. Mbok Nah sudah diberinya pesan agar menjaga mama dan memberitahukan perkembangan kesehatannya pada Wida setiap hari selama Riza pergi.
Riza tak mampu berpikir jernih sejak mama tenggelam dalam diam. Hidupnya kacau. Dibiarkannya gadis yang telah menemaninya sebagai pacar selama 3 tahun itu pergi meninggalkannya dengan sebuah alasan klise, akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Ia sama sekali tak memintanya bertahan untuk cinta yang telah mereka jalin, untuk mimpi yang belum terwujud juga janji sehidup semati yang sempat terucap. Tidak. Pantang baginya memohon kembali gadis yang sudah dengan bulat hati membuat keputusan untuk meninggalkannya. Biar pergi saja. Bukan jodoh. Itu saja yang perlu digarisbawahi. Biarlah lukanya tetap jadi luka yang menganga. Biar waktu yang akan membuat luka itu mengobati dirinya sendiri, mengering lalu berganti dengan sel kulit yang baru.
Putus. Hubungan itu harus berakhir sampai di sini. Riza tak mau kenangan bersamanya membelenggu dan merampas masa depan. Meski sulit, namun ia harus belajar mengiikhlaskan. Perpisahan sesungguhnya bukan sekedar merelakan seseorang yang telah pergi. Bukan hanya Riza sebagai orang yang ditinggalkan yang harus berjuang mengikhlaskan, namun hal yang sama juga harusnya tengah dirasakan Avi yang telah memutuskan untuk meninggalkan. Tak cukup sebelah pihak saja yang mengikhlaskan. Bila yang lainnya masih belum juga bisa menerima, maka bukan tidak mungkin kenangan dan perasaan yang pernah ada diantara mereka tidak akan hilang dengan mudah.
Kemarin, 3 hari sebelum pernikahannya gadis itu sempat mampir menemui Riza di rumahnya. Garis wajahnya tampak kusut tak beraturan. Kilau bening kulitnya tidak bisa menutupi risau yang menggelayut di pikirannya. Kondisi Avi sekarang bertolak belakang dengan saat seenaknya ia mengatakan ingin putus. Kemarin Avi tampak malu dan ragu dengan dirinya sendiri. Wajahnya penuh raut penyesalan.
"Riz, kamu nggak apa-apa?" tanyanya canggung. Sebagian suaranya patah seolah ada sekat kaku dalam pita suara di tenggorokannya.
Riza tersenyum. "Kamu lihat sendiri, aku baik-baik saja." jawabnya pasti, meski hatinya jelas tidak baik-baik saja.
"Kamu tak ingin memintaku berjuang untuk mempertahankan hubungan kita?"
Riza menggeleng. "Aku menghargai keputusanmu."
"Maaf, aku baru menyadari sekarang kalau itu keputusan impulsif, Riz. Waktu itu aku emosi. Aku menyesal. Ternyata aku masih ingin merajut lagi mimpi dan janji kita. Aku cinta kamu, Riz. Aku ingin hidup hanya bersama kamu."
"Pergilah, Vi! Jangan pikirkan lagi janji dan mimpi kita. Lihatlah ke depan, jangan pernah menengok ke belakang lagi."
"Aku masih mencintaimu, Riz. Sungguh. Aku nggak bisa melupakan kamu. Tiba-tiba saja aku takut hidupku akan tersiksa karena terus mengenangmu seumur hidup." katanya lirih menyerupai rintihan yang tertahan.
Riza diam. Tak mengerti apa mau gadis itu. Apa dia mau meminta Riza berjuang mengubah keputusan yang telah dibuatnya sendiri? Tidak. Riza tak mungkin melakukan itu sekalipun hatinya tercabik namun ia masih memiliki harga diri. Lelaki yang telah dicampakkan tak akan memohon untuk kembali.
"Kamu akan menikah, Vi. Undangan sudah tersebar. Jangan melempar kotoran di wajah keluargamu! Keraguan dan ketakutan menjelang pernikahan itu biasa terjadi, namun tetaplah pada keputusanmu menikahi dia. Aku sudah ikhlas, Vi."
Avi menunduk sambil memainkan ujung kemeja sutra yang dikenakannya, meremas- remas dengan kedua tangannya. "Baiklah. Aku harap kamu akan mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku."
"Amin."
"Boleh aku memelukmu untuk yang terakhir kali?"
Riza menggeleng. "Kita sudah bukan siapa-siapa. Jangan tinggalkan jejak kenangan pahit."
"Tapi kita masih bisa berteman baik kan?"
Riza mengangguk.
"Kamu harus tahu, aku terpaksa harus patuh pada kedua orang tuaku."
"Aku paham." jawab Riza. Padahal dalam hati ia mengutuk Avi. Kamu juga takut miskin kalau tetap bersama seorang Riza yang tak jelas masa depannya.
"Kenapa reaksimu dingin sekali?" keluhnya.
"Maumu aku harus bagaimana? Membawamu pergi kawin lari? Kamu sendiri tidak yakin apa aku bisa membahagiakan kamu. Aku sudah mati rasa dan tidak bisa berubah seperti keinginan kamu. Masalahku banyak, Vi. Kalau tidak ada yang akan dibicarakan lagi, lebih baik kamu pulang dan mempersiapkan diri untuk pernikahanmu. Raihlah kebahagiaanmu sendiri! Tidak baik kalau ada orang tahu kamu masih datang ke rumahku. Kita harus sama-sama belajar mengikhlaskan."
Avi menatap Riza dengan mata yang merah dan berair. Entah apa yang dirasakannya, Riza tak ingin peduli. Avi akan jadi milik orang lain yang dipandang lebih bisa membahagiakannya. Dibiarkannya gadis berkulit bening bak kristal itu membalikan tubuh lalu berjalan menjauhinya dengan langkah gontai. Tak ada yang dapat dipertahankan lagi.
Dadanya masih terasa sesak saat mengingat peristiwa itu. Batu besar menghimpitnya, memaksanya untuk menyerah saja. Hidupnya telah hancur sejak papa tertangkap tangan komisi anti korupsi di Jakarta 2 bulan lalu. Berita tentang perkembangan kasus papa selanjutnya tidak ada yang menggembirakan. Kondisi perusahaan limbung. Beberapa aset perusahaan dan keluarga disita sementara sampai jelas keputusan pengadilan.
Sudah lebih dari sebulan ini mereka pindah dari rumah di kompleks perumahan mewah ke rumah warisan dari orang tua mama yang lebih sederhana. Mereka hidup sederhana dari penghasilan toko kue mama yang dikelola kakaknya, Wida. Secara ekonomi sebenarnya hidupnya tidak terlalu buruk. Mereka masih bisa makan enak dan Riza masih dapat melanjutkan kuliah tahun terakhirnya. Yang membuat terpuruk adalah cemooh orang dan berita simpang siur soal perselingkuhan papa dengan artis terkenal yang ikut bolak-balik memenuhi panggilan penyidik berkaitan dengan kasus papa. Itu juga yang membuat mama depresi, tak mau bicara dan mengurung diri dalam kamarnya. Belum lagi menghadapi kedatangan orang yang mengaku bisa menyelesaikan kasus papa dengan imbalan nominal uang yang tidak sedikit. Huh, muak sekali Riza melihat mereka. Tak tahu malu, mencari kesempatan di tengah konflik keluarga tersangka yang tak tahu apa-apa dengan cara menakut-nakuti. Akhirnya Riza dan Wida menunjuk tim legal kantor saja yang berurusan dengan hukum.
Kasus itu juga berimbas pada hubungannya dengan sang kekasih, Avi. Keluarganya tak ingin menanggung malu karena dikaitkan dengan keterpurukan keluarga Riza. Avi sendiri mulai meragukan kesanggupannya untuk terus bersama Riza dan gamang menatap masa depan mereka. Dia telah memilih menjalin hubungan dengan lelaki lebih tampan dan mapan yang dijodohkan orang tuanya.
Besok adalah hari pernikahan Avi. Riza tak ingin berada di kota ini lagi. Ia ingin mengembara mencari arti hidup yang lebih bermakna daripada kehidupannya sekarang. Ia ingin dikenal orang menjadi Riza yang baru, bukan anak pengusaha terkenal yang sekarang sedang menghadapi kasus yang mempermalukan keluarganya. Tekatnya sudah bulat. Berbekal tabungan dan hasil penjualan beberapa barang mewah yang masih disimpannya, ia pergi membawa jeep tua keliling Jawa sendirian.
________
Selamat datang di kisah petualangan Riza. Ditunggu kritik, saran dan dukungannya😘
Alamak, kebablasan. Riza menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi ketika tahu perjalanan yang seharusnya akan dimulai dari ujung timur Banyuwangi tapi mobilnya malah sudah jauh melaju ke arah Malang. Terpaksa mendadak harus berganti destinasi awal. Riza terlanjur berjalan jauh menuju ke arah Malang, enggan rasanya kalau harus putar balik. Apalagi membayangkan jarak kota Banyuwangi yang masih ratusan kilometer lagi, sedangkan tubuhnya letih karena kurang tidur. Sunyi hati membuat malam terasa kelam dan matanya sulit terpejam. Bayangan masa lalu dan kemarahan selalu memenuhi kepalanya.
Jalan tol Surabaya - Malang yang lengang membuatnya terlena. Jeep tuanya meluncur lurus begitu saja mengikuti lajur jalan tol tanpa halangan. Lagu-lagu Fiersa Besari yang disetelnya lewat aplikasi musik di gawainya terasa begitu merasuk di hati, seakan menemukan teman yang merasakan kegalauan hati yang sama walaupun tak pernah bertemu muka. Teman yang memotivasi diri untuk bangkit menjadikan hari-hari galau menjadi lebih bernilai positif, tidak merusak diri. Beruntung sekali Riza hidup di jaman teknologi informasi begitu membumi. Motivator yang memompa semangatnya tak selalu harus hadir nyata, namun bisa memotivasi lewat media sosial. "Terima kasih, Fiersa. Unggahanmu memotivasi aku untuk bangkit dari rasa patah hati." kata Riza dalam hati pada salah satu ikon master patah hati favoritnya.
Hanya perlu satu jam lebih, Riza telah tiba di kota Malang. Riza memutuskan untuk langsung berbelok ke arah selatan. Tujuan pertamanya adalah pantai Sendang Biru. Namun malang tak dapat di tolak, belum sampai tempat yang dituju jeep tuanya tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
"Jancuuk! Apes banget aku!" Riza memukul kemudi sambil berteriak menggerutu. Sekali lagi ia menjatuhkan tubuhnya di jok. Sial. Mungkin orang galau tak seharusnya bepergian membawa mobil sendirian begini. Ia berjanji akan buat catatan ini dan disebarkannya di media sosial agar orang lain dapat mengambil pelajaran dan tidak mengalami kesialan yang sama dengannya. Otaknya ambyar. Terbukti tak ada satupun hal yang dilakukannya dengan benar hari ini. Yang dirasakannya hanya bingung dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini terjadi.
Kalau otaknya normal mana mungkin ia menyetir mobil begitu saja tanpa melihat kondisi bahan bakar yang sekarat. Padahal tujuannya adalah daerah pelosok yang jarang atau bahkan tak ada pom bensin. Jeep mogok di kawasan perkebunan. Riza bingung. Celingak-celinguk memperhatikan areal di sekelilingnya. Yang ada hanya pohon-pohon, rumput dan ladang jagung. Jalanan juga sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat. Bagaimana ini? Pom bensin pasti jauh dari sini. Pikirannya benar-benar buntu.
Tiba-tiba terdengat klakson mobil di belakangnya berbunyi nyaring, nyaris memekakkan telinga. Dilihatnya sebuah mobil bus tiga perempat berhenti di belakang mobilnya. Supirnya kelihatan kesal karena kondisi jalan tidak cukup lebar untuk bisa menyalip jeepnya yang sedang mogok.
Riza tak tahu harus berbuat apa. Ia diam saja di belakang kemudi.
"Ono masalah opo mobilmu, Cak?" (Ada masalah apa mobilmu, Kak?) Seorang perempuan muda dengan jeans belel dan kemeja kotak-kotak menghampirinya dan bertanya dengan suara cempreng. Rambutnya diikat ekor kuda dan memakai topi hitam dengan bordir kalimat yang berbunyi, Dian yang tak kunjung padam.
"Keentekan solar." jawab Riza dingin. (kehabisan solar)
"Diinggirno sek yo, Cak. Awake dewe nggak iso liwat." katanya lagi. (Dipinggirkan dulu ya, kak. Kami tidak bisa lewat)
Riza menggangguk. Perempuan berperawakan mungil itu lalu memanggil beberapa orang temannya untuk membantu mendorong mobil Riza lebih ke kiri agar bus tiga perempat yang tampaknya bermuatan remaja yang hendak berdarma wisata itu bisa lewat.
Bus itu akhirnya bisa lewat setelah jeep Riza didorong ke pinggir mepet dengan kebun jagung. Aroma bunga kopi tercium harum menusuk hidungnya. Tanaman kopi tampak dijadikan pagar buat ladang jagung di perkebunan yang terletak di dataran yang cukup tinggi itu. Sejak beberapa kilometer sebelumnya, Riza memang telah melintasi jalan bukit yang berkelok dan naik turun. Kondisi jalannya sudah beraspal namun lebarnya hanya pas untuk 2 mobil minibus berpapasan tanpa sela. Makanya jeep Riza harus didorong sedikit masuk ke pinggir kebun agar bus 3/4 itu bisa lewat.
"Mau dibantu carikan solar?" tawar perempuan itu. Setelah busnya lewat, ternyata dia masih ada menunggu di samping jeep Riza, tidak langsung naik bus dan meninggalkannya dalam keadaan bingung.
"Iya."
Dia meminta Riza tunggu sebentar sementara dia mengejar bus yang berjalan perlahan menantinya. Dia berbincang sebentar dengan supirnya. Kemudian mengambil gawai dan menelpon seseorang. Setelah selesai, bus itu melaju sementara gadis mungil berkemeja kotak-kotak itu kembali lagi menemui Riza.
"Aku nyilih solar soko paklikku, sing duwe persewaan kapal ning pantai Lenggoksono. Sampeyan mengko kudu langsung mbalekno yo, Cak." (Aku pinjam solar dari omku yang punya persewaan kapal di pantai Lenggoksono. Kamu nanti harus segera mengembalikan ya, kak)
"Inggih. Suwun yo, dik.(Oke. Terimakasih ya, Dik)" jawabnya semringah. Riza kehabisan kata. Bersyukur sekali dipertemukan dengan gadis baik hati yang bersedia susah untuk menolongnya.
Riza turun dari jeepnya. Ia ikut nongkrong di sebelah gadis mungil itu. Mereka sama-sama duduk menunggu orang yang akan membawakan solar pinjaman gadis itu di bawah pohon kopi yang sedang berbunga. Harumnya segar dan semerbak. Mungkin karena wanginya, bunga-bunga putih yang tumbuh di ranting-ranting itu dikerumuni oleh banyak serangga sejenis kumbang juga kupu-kupu.
Riza mengulurkan tangannya. "Kenalkan, aku Riza."
Gadis itu menyambut uluran tangannya dan menjabatnya dengan erat. Meski masih kelihatan muda, namun tatap matanya penuh percaya diri. Ia menyebut namanya Dian.
Riza melirik topinya dan berkomentar santai, "Oh, jadi nama panjangnya Dian yang tak kunjung padam ya?"
Gadis itu tersenyum. Tidak membenarkan, tidak pula menyangkal gurauan Riza.
"Mau kemana, Cak? Kenapa sampai kehabisan bahan bakar?" tanya Dian dengan wajah cuek. Tangannya iseng menyabuti rumput yang ada di dekatnya lalu melemparkannya sembarang di sekitar tempat duduknya.
"Pantai Sendang Biru. Mau tracking ke pulau Sempu."
"Sampeyan salah arah, Cak. Ke pantai Sendang Biru tidak lewat jalan ini. Harusnya belok ke timur setelah melewati bukit hutan jati di pertigaan desa Kedung Banteng tadi. Tak jauh dari pertigaan itu ada pom bensin. Ikuti terus petunjuk arah ke pantai Sendang Biru, sudah cukup banyak kok papan petunjuk arahnya." jelasnya fasih.
Riza garuk-garuk kepala. Waduh, salah arah lagi. Memang bepergian saat galau sendirian harusnya naik transportasi publik saja, bukan bawa kendaraan sendiri seperti sekarang. Di transportasi publik bisa tanya dan dibantu orang sekitar. Nyetir sendirian saat kepala sedang penuh berbagai masalah itu berbahaya. Beruntung Riza hanya beberapa kali salah arah, belum sampai ke tahap yang mencelakakan jiwa raganya. Riza menarik nafas panjang. Harusnya ia jalan santai dan lebih fokus melihat papan-papan penunjuk arah yang mungkin tersembunyi atau luput dari pengelihatannya.
Tak ada kata yang bisa terucap. Riza memang tak punya pengalaman bertualang sendirian begini. Biasanya ia selalu pergi bersama rombongan teman-temannya. Sering jadi supir tapi tak mengerti arah. Riza menyadari kalau selama ini ternyata ia supir buta yang sangat tergantung pada arahan navigator. Riza hanya cengar-cengir mendengar penjelasan Dian yang panjang lebar soal tempat-tempat wisata di Malang selatan. Pengetahuannya tentang itu telah merekah di kepala karena ternyata ia sering menjadi pemandu wisata di kawasan Malang Selatan. Tadi itu Dian sedang bawa jadi pemandu sekaligus kernet bus yang membawa rombongan wisata anak SMU dengan tujuan pantai Lenggoksono dan air terjun Banyu Anjlok.
Orang suruhan Dian telah datang membawa sejerigen solar milik paman Dian, pemilik perahu sewaan yang digunakan pengunjung untuk berkeliling bukit karang, mengunjungi air terjun Banyu Anjlok serta beberapa pantai eksotis sekitar Lenggoksono.
Riza mencoba menstarter jeepnya saat tangki bahan bakar telah terisi 10 liter solar. Bersyukur tidak ada masalah yang berarti. Ia membiarkan mesin menyala saat ditinggal keluar untuk mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang telah membantunya.
"Terima kasih ya. Bagaimana menggantinya? Aku ganti uang saja boleh?"
Dian menoleh ke arah Tono yang membawakan jerigen solar tadi. "Ya opo, Ton? Kon gelem gak tuku solar kanggo gentekno solare paklik Gun?" (Bagaimana, Ton? Kamu mau nggak membelikan solar untuk menggantikan solar om Gun?)
Tono menggangguk.
"Kasih aja uangnya ke Tono, Cak. Biar dia yang beli solar penggantinya."
Riza memgambil 2 lembar uang seratus ribuan lalu memberikannya pada Tono.
"Keakehan iki, Cak." (Kebanyakan ini, kak)
"Nek iso tuku 5 liter meneh, Ton. Susuke kanggo kon (jika bisa, beli 5 liter lagi, Ton. Kembalianya buat kamu)." jawab Riza sambil menahan senyum.
Toni mengangguk.
"Aku antar kamu ke tempat tugasmu, Yan."
"Katanya mau ke Sendang Biru."
"Nanti aja setelah mengantar kamu. Aku akan merasa bersalah kalau pekerjaanmu terlantar karena membantuku."
Dian tersenyum.
____________
Begitu menginjakkan kaki di pantai berpasir putih kecoklatan yang tampak anggun dengan bukit-bukit karang di sekitarnya, Dian sudah dipanggil omnya. Para remaja yang berwisata sudah duduk manis di perahu kayu masing-masing. 30 orang putra putri duduk manis di 4 perahu kayu bermotor yang masing-masing berkapasitas 8 orang. Semua telah menggunakan pelampung, siap berpetualang keliling teluk yang airnya tampak berwarna biru tosca.
"Dian, ayo! Tamumu sudah siap mau nyebrang ke pantai bolu-bolu, Kelatak dan Banyu Anjlok." teriak salah seorang awak perahu.
Dian segera berlari meninggalkan Riza yang bengong sendiri. Dian langsung menuju salah satu perahu yang tampaknya kekurangan awak. Tubuh mungil itu begitu cekatan memegang kayu panjang di sebelah kiri perahu bersiap mendorong perahu yang telah dinaiki 7 anak seusianya. Perahu perlu didorong agar lebih ke tengah sehingga perahu dengan mudah melaju tanpa terantuk pasir atau karang pantai. Sementara seorang rekannya sibuk menyalakan mesin diesel yang digunakan sebagai tenaga pendorong perahu.
"Cak Riza. Ayo melu sisan. Isih onok kursi sak enggon maneh" teriak Dian sambil melambaikan tangannya ke arah Riza. (Kak Riza, ayo sekalian ikut. Masih ada kursi kosong satu lagi)
Riza bergegas mengunci mobilnya dengan memencet tombol mengunci otomatis. Tanpa berpikir ia langsung berlari mengejar perahu yang telah didorong Dian menuju ke tengah laut. Ia tak peduli apapun. Bergabung dengan remaja tanggung yang tengah berdarma wisata mungkin membawa kegembiraan tersendiri. Ingat masa-masa Indah di SMU.
Dian melompat naik dari sisi kiri, sementara Riza memilih menyeimbangkan perahu dengan naik dari sisi kanan. Seorang remaja putera membantu menarik tangannya saat naik tadi. Celana jeansnya basah. Tapi Riza senang. Apalagi anak-anak remaja tanggung itu juga tampak tak keberatan ada penumpang lain diluar kelompok mereka. Rata-rata mereka tengah sibuk mengabadikan foto diri serta pemandangan sekitar dengan kamera ponsel. Sebagian kecil ada menggunakan kamera digital dan mengambil video kebersamaan mereka saat perahu mulai perlahan melaju ke tengah.
"Pakai pelampungnya, Cak." kata Dian sambil melempar satu pelampung ke arah Riza.
Riza menangkapnya lalu segera mengenakan pelampung itu. Tentu saja ia sadar harus menggunakan pelambung sebagai salah satu prosedur keselamatan penumpang kapal.
"Cak Riza yang mobilnya tadi mogok di jalan ya?" sapa pemuda gempal yang duduk tepat di depan Riza.
Riza mengangguk.
"Mobil apik kok mogokan." komentarnya sinis disambut tawa rekan di sebelahnya.
Riza hanya tersenyum.
Daripada menanggapi anak yang berkomentar sinis tentang mobilnya yang tadi mogok, Riza lebih tertarik memperhatikan anak-anak lain yang tertawa memperlihatkan hasil pengambilan gambarnya yang mungkin tampak lucu. Sementara Dian terlihat serius memberikan beberapa pengarahan tentang gambaran singkat tempat-tempat yang akan mereka kunjungi, persiapan snorkeling, waktu yang disediakan, dan apa yang harus dilakukan para tamu di tempat-tempat tersebut. Yang paling ditekankan adalah menjaga adab, kesopanan dan menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
"Pertama-tama kita akan mengelilingi pulau-pulau karang cantik yang konon tidak kalah cantik dari pulau karang di Raja Ampat. Teman-teman akan melihat berbagai varietas tanaman bakau yang menghias pulau-pulau karang itu. Lihatlah kedepan. Kita akan mengitari pulau-pulau karang tersebut."
Para penumpang kapal menghentikan aktivitas pribadinya dan melihat ke depan dengan antusias. Terpampang jelas beberapa batu karang yang berdiri kokoh diantara lautan menyerupai sebuah pulau-pulau kecil. Pintar sekali gadis itu mengalihkan perhatian para remaja yang biasanya susah diatur.
Pantai yang pertama kali dikunjungi adalah Banyu Anjlok, sebuah pantai dimana terdapat air terjun yang tumpah langsung ke laut. Air terjun itu berasal dari laguna air tawar di atas bukit karang. Kata Dian, ada beberapa traveler yang mendirikan tenda di atas bukit karang guna melihat sunset dan sunrise. Rombongan itu mengambil paket one day tour, oleh karena itu mereka diberi kesempatan satu jam berada di pantai Banyu Anjlok untuk mandi, berfoto, memanjat tebing dengan seutas tali mencapai puncak bukit karang atau aktivitas lain yang mereka sukai. Aktivitas bebas, hanya waktu yang dibatasi. Para remaja itu langsung melompat dari perahu yang telah bersandar lalu sibuk masing-masing berkelompok sesuai kegiatan yang mereka sukai di pantai itu.
Riza ikut saja bergabung dengan salah satu kelompok anak laki-laki yang memutuskan untuk naik ke bukit karang dengan seutas tali. Menguji adrenalin. Setelah sampai di atas bukit pun mereka tetap ingin menguji adrenalin lagi dengan melompat terjun ke laut. Wih, ngeri. Lompat bebas dari ketinggian sekitar 100 meter.
"Wani ra, Cak?" tantang anak bertubuh gempal yang sejak tadi sinis melihat Riza.
"Siapa takut. Bonek kok dilawan." balas Riza pasang wajah angkuh, terpancing emosi tak mau kalah.
"Bonek di sini kalah sama Arema, Cak." Anak gempal itu kembali membalas dengan lebih sinis.
Riza maju. Ia tak peduli apapun, yang penting niatnya tidak bunuh diri. Lagipula anak muda yang di depannya tadi sudah melompat dan byur.... tenggelam sebentar lalu muncul dan berenang ketepian. Setelah itu ia tertawa sambil melambaikan tangan ke orang-orang yang masih berada di atas bukit seolah mengatakan, "Yes! aku berhasil. Aku hebat."
Kalau anak SMU saja bisa, kenapa Riza tidak. Riza memantapkan diri menjadi penerjun berikutnya. Hup, ia melompat dengan percaya diri. Blub bup blub bup... tubuhnya mulai masuk ke dalam air, namun dengan cepat kembali terdorong naik karena pengaruh pelampung yang dikenakannya.
Riza berenang ke tepi lalu melakukan celebration action seperti anak lelaki sebelumnya, melambaikan tangan ke atas sambil tersenyum jemawa.
Tiba-tiba ada tangan menyentuh pundaknya, "Cak, jangan ngajari anak ABG melakukan hal yang membahayakan. Tempo hari ada anak ABG tewas gara-gara melompat dari situ."
Riza menoleh. "Maaf." katanya sambil menunduk begitu tahu yang menegurnya adalah Dian, sang pemandu. Meski ini bukan idenya, tapi Riza merasa bersalah juga melakukan tindakan yang membahayakan nyawa seperti itu. Biarpun sedang patah hati, ia tak mau mati sia-sia. Seharusnya ia yang lebih tua menasehati, bukannya malah ikut-ikutan menguji adrenalin buat sok-sokan layaknya anak remaja tanggung. Riza sudah hampir lulus kuliah. Usianya sudah 21 tahun, seharusnya sudah bisa bersikap lebih dewasa.
"Duduk di sana yuk!" ajak Dian sambil menunjuk pohon bakau besar yang melengkung.
Riza mengekor saja.
"Aku sebenarnya sudah bosan bawa tamu ke sini-sini aja. Pinginnya bisa jalan-jalan ke tempat lain biar tidak jadi katak dalam tempurung." tiba-tiba saja gadis mungil itu membuka percakapan dengan kalimat berisi keluhan.
"Memang berapa penghasilan kamu dari pekerjaan ini?"
"70 ribu perhari."
Riza mengelus dada dalam hati. Kasihan. Otak Riza menghitung, kalau dia bekerja 22 hari sebulan, berarti penghasilannya masih ada di bawah UMR.
"Kamu bekerja tiap hari?"
"Kalau libur sekolah aja, cuma buat kegiatan mengisi waktu sambil cari uang saku. Sekarang aku kelas 3 SMU dan sudah diterima lewat jalur SNPTN di fakultas ekonomi di salah satu universitas negeri di Surabaya."
"Wah, hebat. Baru selesai Ujian Nasional dong." Padahal dalam hati Riza mau bilang, pola pikir kamu lebih dewasa daripada seharusnya anak SMU.
Dian mengangguk.
"Kita tukeran nomor telepon ya. Kabari aku kalau sudah mulai aktif di Surabaya." Riza mulai sok akrab.
"Nggak tahulah, Cak. Dilematis jadinya. Kalau nggak diambil, sekolah kena imbas jatah SNPTN buat adik kelas pasti dihentikan. Kalau diambil, masih bingung biayanya darimana."
"Buat surat keterangan tidak mampu aja supaya dapat keringanan biaya."
"Sudah diajukan surat-suratnya. Belum tahu diterima atau tidak."
"Nanti aku bantu cari pekerjaan sampingan di Surabaya. Kakakku punya bisnis toko baju online dan toko kue. Aku akan rekomendasikan kamu, kalau kamu mau."
Matanya langsung berbinar-binar. Dian kelihatan lebih bersemangat. "Terima kasih, Cak. Aku tunggu kabar baiknya lo. Aku akan melakukan pekerjaan apapun asal halal dan bisa melanjutkan kuliah." jawabnya cepat dan tegas.
Riza sendiri sebenarnya bingung, apa yang bisa ia janjikan buat gadis yang baru beberapa jam dikenalnya. Semua serba spontan, tanpa pikir panjang. Terserah bagaimana nanti saja. Niatnya baik. Mudah-mudahan saja jalannnya dipermudah.
Wida belum tentu butuh pegawai. Lagipula andaikan Dian tahu bagaimana keadaan keluarga saat ini, apa ia masih mau berkawan dengannya. Apa dia tidak akan menjauh dengan teratur atau terang-terangan menolaknya seperti teman-teman yang selama ini baik padanya. Apa dia tidak malu berkawan dengannya meski tahu ayahnya tersangka korupsi, usahanya disegel dan kerap dikaitkan punya hubungan spesial dengan artis terkenal.
Tidak. Riza tidak boleh membuka jati dirinya. Bukankah ia pergi untuk mencari jati diri yang baru? Dian tak boleh tahu siapa dia dan keluarganya. Biarlah. Nanti Riza pikirkan lagi ide untuk mencarikan pekerjaan sampingan buat Dian. Pasti banyak orang yang butuh pegawai yang baik, gesit dan cerdas seperti dia.
"Mudah-mudahan rejekimu baik, Yan." ujar Riza kemudian.
___________
Selamat membaca💞
Selalu sehat dan bahagia ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!