"Ayo cepat. Kita harus pergi sekarang" kata Ambar kepada dua pegawainya yang bergerak sangat lambat.
"Sebentar, Kak. Catatan saya ketinggalan"
Ambar menunggu dengan tidak sabar di depan mobil keluaran Jepang keluaran tahun 2010 yang masih terlihat mulus meskipun bekas.
"Kan aku sudah suruh kalian menyiapkan semuanya tadi pagi. Kita bisa telat nanti, keburu siang" teriaknya lalu melihat dua pegawainya berlari dari dalam toko untuk menghampirinya.
Ambar segera masuk ke dalam mobil dan disusul oleh pegawainya. Mobil akhirnya dinyalakan dan mereka pergi ke sebuah pasar tempat kebutuhan toko souvenir pernikahan mereka dijual.
"Kita juga harus pesan tempat aroma terapi yang dipesan pengantin untuk tanggal lima bulan April, Kak"
"Apa lagi?" tanya Ambar ingin tahu kesiapan pegawainya.
"Pesanan undangan pernikahan sahabat Kak Ambar"
"Awas saja kalau kalian lupa lagi agenda hari ini"
Kedua pegawai Ambar menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa bersalah mereka.
Sudah lima tahun ini toko souvenir Ambar berdiri. Awalnya Ambar bekerja sebagai seorang pegawai di toko serupa. Lalu dia memberanikan membuka tokonya sendiri dengan modal sedikit. Untunglah bisnis pernikahan tidak pernah mati sepanjang tahun. Toko souvenirnya akhirnya bisa dikenal banyak orang dan pesanan selalu datang setiap bulannya. Dua bulan lagi, dia akan memenuhi pesanan terpenting untuknya. Pesanan ini meliputi undangan pernikahan paling bagus dan souvenir pernikahan mewah yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan pesanan untuk seribu orang itu berasal dari sahabatnya sendiri. Felysia Gianina yang berasal dari keluarga pengusaha kaya di negeri ini. Bahkan mungkin termasuk sepuluh besar keluarga terkaya di negeri ini.
"Saya masih tidak habis pikir kalau kak Ambar mengenal seseorang dari kalangan itu" komentar salah satu pegawainya saat mereka berjalan di dalam pasar untuk membeli beberapa bunga kering.
"Iya, kak. Masa keluarga kaya begitu sekolah di SMU yang sama dengan kak Ambar"
Ingin sekali Ambar menutup mulut kedua pegawainya yang terus saja menanyakan sesuatu seperti ini. Tapi, Ambar mengerti. Cukup sulit mempercayai kalau putri orang sekaya itu mengenal Ambar yang hanya anak dari keluarga miskin.
"Sudah cepet. Tuh tokonya keliatan" Ambar menarik pegawainya untuk segera mengambil semua bunga kering yang mereka butuhkan.
Saat mereka sibuk memilih, Ambar terdorong ke depan tanpa sengaja.
"Maaf, Kak. Saya gak sengaja"
Ambar menoleh dan ingin sekali menumpahkan kekesalan yang dirasakannya karena terganggu saat belanja tapi tidak jadi. Itu karena yang menyenggolnya tadi adalah anak berpakaian seragam putih abu-abu. SMU, masa-masa yang indah. Seperti masa yang dialaminya dengan kedua sahabat terbaik yang pernah dia inginkan. Fely dan Rea. Ambar teringat pada masa saat mereka masih berada di kelas senior di SMU Negeri kota ini.
"Ambar, cepet!!"
"Iya"
"Rea, Ngapain kamu lelet gitu?"
"Apaan sih Fel, guru kita tuh masih jauh"
"Ayo cepet, nanti telat masuk dihukum lagi"
Feli menyambar tangan Ambar dan Rea lalu membawa mereka berlari menyusuri lorong dan masuk ke dalam kelas yang ramai.
"Untung sampai" ucap Feli tidak didengarkan kedua sahabatnya.
"Parah kamu Fel. Lihat nih Ambar, bisa pingsan dia lari kayak gitu"
Feli menoleh dan melihat Ambar, anak SMU dengan badan gendut, berjerawat di kedua pipinya dan berjilbab sedang mandi keringat.
"Iya, Fel. Enak badan kamu kecil. Aku kan bisa sesak napas nih" kata Ambar lalu merebahkan dirinya di atas kursi.
"Wah, Kamu bisa bunuh Ambar kalo kayak gini. Lihat nih lemaknya berkurang satu milimeter" goda Rea membuat Ambar dan Feli tertawa. Mereka bertiga tertawa bersama sampai guru wali kelas masuk dan memberi pelajaran Matematika.
Sepulang sekolah, Ambar duduk di taman sekolah, menunggu dua sahabatnya yang sedang sibuk. Sibuk menolak para anak laki yang menyatakan sukanya pada mereka berdua. Yah, mau bagaimana lagi. Ini tahun terakhir mereka di SMU. Feli dan Rea kebetulan diberikan anugerah terindah yang tidak pernah dimiliki Ambar. Paras cantik, rambut halus dan tergerai panjang. Badan langsing semampai dan tinggi bak model. Dan paling terpenting adalah keluarga kaya yang memberikan nilai plus-plus pada penampilan mereka. Para anak laki-laki itu tidak membuang waktu demi bisa memiliki kekasih seorang putri keluarga kaya. Tapi, Ambar tahu hasil dari pertemuan sahabatnya dengan semua anak laki=laki itu. Nihil. Feli dan Rea tidak akan pernah menerima mereka menjadi kekasih ataupun teman dekat. Karen, keduanya terlalu sibuk belajar dan memenuhi keinginan orang tuanya. Tidak seperti Ambar yang bersantai dengan segala yang tidak dimilikinya.
"Duh, dasar anak dua lima tuh. Dia tadi maksa mau peluk aku tau" Datanglah Rea dengan wajah kesal dan gerakan tangan seperti menyingkirkan kotoran di pundaknya.
"Kasihan tau. Anak itu kan adik kelas, cakep lagi. Kenapa gak kamu terima aja Re?" tanya Ambar.
"Kamu aja sana. Cih"
Ambar tertawa mendengar jawaban Rea yang sembarangan. Tentu saja para anak laki-laki itu tidak akan pernah mau melirik perempuan sepertinya.
"Mana Feli?" tanya Rea yang merebut teh botol Ambar.
"Gak tau. Belum balik"
"Waduh, bahaya"
Rea mengambil tasnya lalu berlari ke arah lorong kelas tiga IPS. Ambar yang terkejut segera berlari mengikuti Rea dari belakang. Maklum, lemaknya tidak bisa diajak kerja sama. Ambar harus memaksa semua lemak itu untuk berlari dengan kecepatan tertinggi mereka agar bisa menyamai langkah Rea.
Dan di lorong kelas 3 IPS, Ambar terpana dengan hiasan balon berwarna pink yang tertata bak acara lamaran.
"Wah,ada anak IPS gila" komentar Rea lalu pergi mencari Feli.
Ambar yang masih terpesona dengan pemandangan romantis itu ditarik oleh Rea untuk mengikuti.
Tak butuh banyak langkah akhirnya mereka menemukan Feli berdiri di tengah lingkaran anak laki-laki yang membawa sekuntum mawar merah. Di depan Feli ada seorang anak laki-laki yang semua siswa sekolah ini kenal.
Kenzo Julian, salah satu dari anak pengusaha kaya di kota ini. Kalau menurut kekayaan mungkin keluarganya berada di urutan seratus.
"Jadilah pacarku" teriak Kenzo lalu disambut teriakan dan tepuk tangan penghuni empat kelas IPS.
Feli terlihat bingung dengan yang harus dihadapinya dan tidak bisa berkata apa-apa.
Ambar dan Rea mengerti tentang sifat sahabatnya yang tidak bisa menyakiti orang lain. Feli lebih seperti peri yang turun dari langit sedangkan Rea adalah malaikat dari bawah tanah.
"Feli bodoh. Tendang aja semuanya" komentar Rea yang jago bela diri. Ambar hanya bisa menelan ludah saat Rea mengatakan itu. Takut.
"Gimana nih?" tanya Ambar bingung. Dia tidak pernah mengalami sebuah pernyataan cinta apalagi yang seperti ini. Jadi, Ambar bukan orang yang tepat untuk mencari pendapat menyelesaikan masalah seperti ini.
"Aku telepon sopir Feli" ujar Rea lalu menelepon seseorang.
Tak lama, tepat sebelum Feli dipaksa untuk menerima cinta Kenzo. Seorang laki-laki dengan badan tegap datang dan memberikan kesan menakutkan pada semua anak. Sopir sekaligus pengawal Feli itu menarik majikannya tanpa mempedulikan siapapun dan apapun. Rea dan Ambar mengikuti langkah sopir keluarga Feli berikut sahabatnya dan pergi dari situasi tidak kondusif.
"Makasih" Feli memeluk Rea dan Ambar saat sampai di depan mobilnya. Mobil keluaran Jerman berwarna hitam mulus.
"Kalo ada kejadian seperti ini lagi, aku gak akan bantu"
"Rea"
"Eh, kamu liat sendiri kan tadi. masak anak bodoh ini cuma berdiri diam disana"
"Aku kan tidak tega menolak"
"Ya udah terima aja sana" teriak Rea.
"Aku gak bisa" jawab Feli lemah.
"Terus, maunya gimana?"
Sebelum terjadi pertengkaran yang semakin memanas, Ambar memeluk kedua sahabatnya.
"Untung deh, tadi Rea telpon pak Sopir. Udah, mending kalian pulang sebelum anak-anak itu mengejar"
Karena ucapan Ambar, akhirnya Rea dan Feli tidak bertengkar lagi. Mereka juga segera masuk ke dalam mobil jemputan masing-masing dan pergi dari lingkungan sekolah. Tinggallah Ambar sendiri disana.
Benar perkiraan Ambar. Sedetik kemudian setelah Rea dan Feli pergi dengan mobil jemputan masing-masing, para anak kelas dua berhasil mengejar dengan segala properti penembakan yang mereka gunakan.
"Hei gendut, kemana Feli?" tanya Kenzo sebagai pemimpin grup.
"Pulang" jawab Ambar santai lalu berjalan menjauh untuk pulang ke rumahnya yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari sekolah.
"Dasar gendut" kata semua anak kelas dua melihat Ambar berjalan pulang. Kurang ajar sekali mereka, padahal Ambar itu kakak kelas. Tapi dia tidak memiliki wibawa hanya karena menjadi yang paling gendut dan jelek diantara dua sahabatnya. Mau bagaimana lagi, ayah Ambar hanya sopir angkot yang berpenghasilan tidak tetap. Ibunya membuka toko kelontong kecil di depan rumah peninggalan kakek dan nenek yang sudah reot. Ambar juga tidak memiliki rupa cantik. Dia memiliki pipi tembem, berjerawat dan disembunyikan dalam hijab. Belum lagi badan sedikit obesitas untuk tinggi 160 cm. Berdiri di samping Rea dan Feli, membuatnya seperti pelayan daripada seorang sahabat.
Tapi Ambar sudah terbiasa dengan semua ejekan yang harus didengarnya. Tiga tahun bersahabat dengan dua orang dewi sekolah itu membuatnya kebal dengan semua hal yang membuat telinganya panas. Ambar sampai di rumah dengan keringat bercucuran membasahi seragam dan hijabnya.
"Assalamualaikum"
"Waallaikum salam, baru pulang?"
"Iya, Bu"
Ambar pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya lalu melihat makanan di atas meja makan. Hanya ada tempe, tahu goreng dan sayur bayam. Enak, pikirnya. Dia segera mengganti pakaian dan makan siang dengan lahapnya. Meskipun menu rumahnya selalu sederhana, Ambar tidak pernah mengeluh. Hal itulah yang membuatnya memiliki badan sedikit lebih besar.
"Bu, Ambar berangkat dulu ya"
"Lho, sudah jam tiga ya?"
"Iya"
"Ati-ati, nak"
Ambar segera berangkat ke rumah Pak RT dekat rumahnya. Sepulang sekolah dia memang memiliki kegiatan lain untuk mengahsilkan uang. Memberi les pada anak pak RT dan pak RW. Meskipun jelek, gendut dan miskin, setidaknya Ambar memiliki kemampuan otak di atas rata-rata.
Sepulang Ambar dari rumah Pak RT, angkot ayahnya ada di depan rumah. Tumben masih sore ayahnya sudah pulang. Ambar masuk ke dalam rumah dan ingin memberi salam. namun segera diurungkannya setelah mendengar suara dari dalam kamar orang tuanya.
"Assalamualaikum" bisiknya lalu masuk ke dalam rumah. Dia mendekat ke kamar orang tuanya dan mendengar suara itu semakin kencang. Sepertinya orang tuanya tidak tahu kepulangan Ambar.
"Sudah, Pak. Gak apa-apa"
"Bapak gak tau lagi, Bu"
"Terserah Bapak. Angkot mau dijual terus Bapak buka pom bensin mini juga ibu tambah seneng"
"Tapi, gimana sama uang kuliah Ambar?"
Ibu Ambar tidak menjawab, membuat situasi menjadi hening untuk sebentar.
Ambar memilih bergerak untuk masuk ke dalam kamarnya dan termenung di atas ranjang. Setengah tahun lalu, sebenarnya AMbar sudah memutuskan untuk tidak kuliah. Dia bahkan sudah memberikan kabar itu pada orang tuanya. Ayah dan ibunya yang merasa kasihan, memberinya semangat untuk kuliah agar bisa mencari kerja yang lebih baik. Ambar senang sekali diberi kesempatan untuk bermimpi dan mencari Universitas yang menurutnya paling murah di kota. Dia juga sudah memutuskan untuk menabung uang jajan agar bisa membeli buku-buku latihan ujian Universitas. Tapi ... kini? Sepertinya Ambar harus mengubur semua mimpi dan harapan untuk kuliah. Dia tidak mungkin menyusahkan kedua orang tuanya demi bisa kuliah. Hanya saja, harapan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar musnah sudah. Ambar menangis dalam kesunyian kamarnya dan tidak sengaja tertidur.
"Ambar, Nak. Bangun!"
Ambar terbangun dari tidur sorenya yang singkat lalu melihat ibunya.
"Sudah petang, ayo sholat"
Ambar melihat langit berwarna kemerahan di luar jendela kamarnya dan mengangguk.
"Iya, Bu'
Malam itu Ambar hanya terdiam tidak seperti biasanya. Orang tuanya melihat Ambar dengan berbeda saat itu.
Setelah sholat Isya' dengan ibunya, Ambar memberanikan diri untuk bicara.
"Bu"
"Apa nak?" tanya ibunya masih dalam balutan mukena putihnya.
"Ambar gak pengen kuliah"
Sebenarnya berat sekali kata-kata ini keluar dari mulutnya, tapi Ambar tidak memiliki pilihan lain.
"Apa? Lha kan kamu sudah lihat-lihat Universitas minggu kemarin?"
"Ambar gak tertarik lagi, Bu. Ambar pengen kerja kayak tetangga Pak RT. Kakaknya Dimas itu"
"Ratih?"
" Iya"
"Tapi, bapakmu udah cari uang buat kuliah"
Ambar menebak ayahnya akan meminjam uang dari kakaknya yang memiliki usaha mebel itu.
"Gak usah, Bu. Ambar pengen kayak Ratih, cari uang sendiri terus beli baju, tas, sepatu"
Padahal dia tidak pernah sekalipun peduli tentang penampilannya. Berusaha memahami keinginan putrinya, ibu Ambar berusaha mengerti permintaan putrinya yang mendadak itu. Ambar sepertinya serius dengan keinginannya kali ini.
"Bener kamu gak nyesel?"
"Iya, Bu. Tolong bilang bapak ya"
"Ambar ... "
Ambar berhenti lalu melihat ke arah ibunya.
"Makasih ya"
Ambar mengangguk dan pergi ke kamarnya. Dia tidak bisa menahan air matanya lagi dan menangis dengan menutup mulutnya. Semalaman dia hanya menangis lalu tertidur lagi tanpa makan.
Di sekolah, Ambar lebih banyak berdiam diri di dalam kelas. Dia tidak merasa lapar, haus bahkan keinginan untuk bercanda dengan kedua sahabatnya.
"Kamu kenapa Am?" tanya Rea tidak membuatnya tertarik untuk menjawab.
"Iya, Ambar. Kamu kenapa? Aku udah bawain roti sama susu. Apa kamu sakit?" tanya Feli juga terdengar seperti khawatir.
Kadang, Ambar berpikir, betapa enaknya menjadi Rea dan Feli. Keduanya adalah seorang putri di keluarganya. Keluarga yang kaya raya. Rea keluarga terkaya nomor empat dan Feli nomor delapan. Pasti dua sahabatnya itu tidak akan pernah merasakan bimbang hati seperti yang sekarang dialami oleh Ambar. Semua mimpi mereka berdua pasti dengan mudah akan bisa terwujud dengan dukungan keluarga. Sedangkan Ambar?
"Hei, Ambar. kamu kenapa sih?" tanya Rea lagi seperti tidak sabar. Ambar hanya tidak ingin menjawab dan merebahkan kepalanya di atas bangku. Tak lama terdengar suara seruan berisik dari lorong kelas. Ambar mengangkat kepalnya untuk melihat suara berisik di luar. Deretan anak laki-laki dengan mawar di tangannya tiba-tiba saja masuk ke dalam kelas. Mereka berbaris sampai ke bangku yang diduduki Ambar. Dan secara mengejutkan ada anak laki-laki dengan jas dan buket bunga mawar merah besar masuk dengan gaya kerennya. Kenzo. Ambar yang mengerti tujuan anak itu segera meletakkan kepalanya lagi di atas meja.
"Felysia Inez Gianina. Aku menyukaimu saat pertama kali melihatmu. Apakah kau mau menjadi kekasihku?"
Rasanya ingin muntah terus menerus mendengar pengakuan yang tidak kreatif seperti ini. Ambar yang belum makan dari semalam menjadi kesal.
"Hei, anak kecil. Berapa kali aku bilang kalau Feli itu nggak suka sama kamu. Pergi sana. Ini kelas tiga. Tempatmu bukan disini!" ujar Rea kesal.
"Aku tidak ada urusan denganmu putri kedua. Aku hanya menyukai putri sejati"
Ambar tidak tahan lagi dengan semua rayuan yang didengarnya selama tiga tahun. Dan tidak ada satupun yang ditujukan kepadanya. Ambar menggebrak meja dan berdiri. Hal itu mengejutkan Rea, Feli, Kevin dan semua anak di kelas 3 IPS 4 ini.
"HEI, FELI ITU GAK SUKA SAMA LO. UDAH DITOLAK TERUS GAK SADAR-SADAR YA LO" katanya dengan sedikit berteriak. Ambar menatap dengan mata melotot dan menakuti semua anak kelas dua yang berani masuk. Akhirnya semua pasukan kelas dua mundur dan meninggalkan pemimpin mereka sendiri.
Semua anak di kelas melihat ke arah Ambar yang sebenarnya tidak suka bicara dan galak itu. Tapi Ambar tidak peduli. Dia sudah muak dengan semua rayuan yang diucapkan para anak laki-laki maupun guru ditujukan untuk kedua sahabatnya. Semua menyanjung mereka berdua karena kecantikan, kepandaian dan yang paling penting kekayaan. Ambar tahu nasibnya tidak akan mungkin sama seperti kedua sahabatnya itu. Dia jelek, gendut dan miskin. Belum lagi masa depan tidak menentu yang menyambutnya setelah lulus dari SMU. Semua pemikiran ini membuatnya kesal sekali dan akhirnya meledak.
"Hei gendut" jawab Kenzo yang belum juga pergi dari hadapan Feli, Rea dan Ambar.
"APA?? LO TULI?? BELOM PERGI JUGA???" teriak Ambar lagi mengejutkan semua anak. termasuk kedua sahabatnya.
"Dasar gendut, jelek. Aku heran gimana kamu bisa jadi temen kedua bidadari ini. Pasti kamu pake pelet" ucap Kenzo yang membuat Ambar semakin kesal. Tapi ... sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, wajah Kenzo terdorong keras ke belakang sampai badannya jatuh ke lantai. Kenzo juga mulai merintih kesakitan saat kakinya diinjak oleh seseorang.
"Apa??? Berani kau ngatain sahabat gue!!" teriak Rea dengan gaya gangster.
"Iya!!! Dasar anak kecil!!! Sampe kapan aku harus bilang kalo aku gak mau pacaran sama elo. F*****G S**T" nada sopan tapi kata-kata yang sangat kasar keluar dari putri sejati. Feli ternyata bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu\, membuat Ambar kaget.
Rupanya bukan Ambar saja yang kaget, anak laki-laki yang terbaring di lantai itu juga terpaku dan menahan sakit di pergelangan kakinya. Bocah kelas dua itu pasti tidak mengira kalau putri sejati yang dia sukai selama ini bisa mengeluarkan kata-kata kasar dari mulut manisnya. Dan injakan kaki kecil dan indah itu pasti sangat menyakitkan karena bibir bocah laki-laki itu berkumpul di tengah dan tertutup rapat. Ambar maju ke arah kedua sahabatnya dan menarik kaki Feli yang panjang itu.
"Sudah, dia bisa lumpuh nanti" kata Ambar berusaha menenangkan sahabatnya. Dia juga memberi isyarat agar Kenzo segera pergi dari kelas ini agar tidak mengalami kejadian yang lebih mengejutkan.
"Dasar anak kecil bodoh!!" teriak Rea saat Kenzo pergi
"Sudah, Rea. Sudah ada bel masuk. nanti ketahuan guru"
Bujukan Ambar berhasil. Kedua sahabatnya yang sedang menahan emosi akhirnya duduk di bangkunya masing-masing dan tenang selama guru matematika dalam perjalanan. Tapi begitu Pak Guru masuk ke dalam kelas, Ambar, Feli dan Rea tertawa bersamaan. Dan seperti di komando, semua anak di kelas 3 IPS 4 tertawa bersama mereka. Membuat Pak Guru yang tidak tahu apa-apa kebingungan.
Pulang sekolah ketiga sahabat itu makan di sebuah restoran makanan cepat saji dekat sekolah.
" Ini adalah tanda terima kasihku kepada kalian karena sudah mengusir Kenzo keras kepala itu" seru Feli seperti mengalami kebebasan hidupnya. Ambar dan Rea hanya bisa melihat temannya yang sedang tersenyum cantik dan membuat banyak orang memusatkan perhatian padanya. Terpaksa Ambar menyudahi acara bersyukur Feli dengan alasan lapar. Mereka bertiga makan bersama dan membicarakan semua kejadian hari ini dengan bahagia.
Kehidupan sekolah mereka berjalan menyenangkan sampai akhirnya Ujian Akhir Sekolah berlangsung. Feli dan Rea yang dibantu belajar dengan tutor serta Ambar yang belajar sendiri mati-matian bisa menyelesaikan ujian dengan baik. Tapi ... Ambar belum bicara apapun tentang keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikan lagi.
"Akhirnya!!!!! selesai!!!" teriak Rea lalu membuang semua soal-soal latihan dari tutornya Dan semua anak mengikuti jejaknya. Ambar sendiri tidak melakukannya dan terdiam di bangkunya.
"Kenapa Mbar? Sejak ujian kamu kok gak semangat?" tanya Feli. Ambar lalu tersenyum dan berusaha menyembunyikan masalahnya.
"Kayaknya ujianku hancur" jawabnya.
"Apa??? Gak mungkin" Rea ikut terkejut dengan jawaban Ambar.
"Iya nih. Banyak yang gak bisa kujawab" keluh Ambar.
Feli dan Rea tidak menjawab perkataan Ambar lagi dan saling berpandangan. Keduanya tidak bisa menghibur dan membantu karena Ambar bukanlah orang yang suka dikasihani. Keduanya diam sampai kelulusan diumumkan. Danem Ambar ternyata menjadi yang terbaik di kelas IPS dan menerima piagam penghargaan dari sekolah. Kedua orang tuanya merasa bangga saat menemani Ambar menerima penghargaan yang bagi putri mereka tidak bernilai apa-apa. Meskipun ada kemungkinan Ambar diterima di Universitas Negeri karena prestasinya, dia tidak mungkin membebani kedua orang tuanya dengan uang saku dan pengeluaran tak terduga lainnya nanti. Karena itu Ambar tetap dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Dan saat ini Ambar merasa kesal dan sedih karena kedua sahabatnya tidak datang ke acara kelulusan. Alasannya cuma satu, mereka sibuk mempersiapkan kuliah di luar negeri. Rea di London dan Feli di Jepang. Seminggu setelah acara kelulusan, Ambar dikejutkan oleh kedatangan kedua sahabatnya di rumah. Ambar tidak malu dengan keadaan keluarganya sejak berteman dengan dua putri konglomerat itu, hanya terkejut karena keduanya masih mengingatnya.
"Kupikir kalian bakal pergi tanpa pamitan" kata Ambar ketus.
"Ambar, maaf. Aku gak datang waktu perpisahan"
"Iya, tapi kamu gak sedih dan nangis karena kita gak dateng kan?" jelas Rea lalu masuk ke dalam rumah Ambar tanpa permisi. Rea dan Feli akhirnya mengetahui kehidupan sahabatnya yang sebenarnya.
"Mana kamarmu?" tanya Rea.
Ambar menunjuk ke arah suatu pintu kayu berwarna coklat lapuk di tengah ruangan.
Feli dan Rea masuk ke dalam kamar dan Ambar siap menerima kata-kata menghibur dari dua sahabatnya. Pasti mereka akan memuji salah satu sisi kamar yang terlihat lebih baik dari lainnya, pikir Ambar.
"Waduh, jelek banget kamarmu Mbar" ternyata bukan kata pujian yang diterima olehnya. Tapi kata-kata pedas Rea yang mengomentari plafon berjamur, cat tembok yang pudar, ranjang dan lemari tua yang ada di dalam kamarnya.
"Mulut kamu tuh yang jelek" jawab Ambar membuat ketiganya tertawa. Ambar memang tidak salah memilih sahabat. Tapi Feli yang terdiam sejak tadi tiba-tiba memeluknya yang duduk di atas ranjang.
"Maafin aku ya. Aku bakalan pergi jauh, gimana ini?" ujarnya lalu menagis di pundak lebar dan tebal Ambar.
Rea yang tadinya sangat semangat mengomentari kejelekan kamar Ambar juga terdiam seperti menahan tangis. Ambar sebenarnya tidak pernah iri dengan nasib sahabatnya yang jauh lebih baik daripada dirinya. Ambar hanya menyesal tidak bisa menghadirkan gaji besar untuk membantu kedua orang tuanya nanti. Setelah Feli puas menangis, Ambar melihat kedua sahabatnya.
"Aku gak pernah cerita sama kalian, maaf. Tapi aku gak akan kuliah"
"Apa? nilaimu kan bagus Mbar"
"Iya, kamu juga nerima piagam dari sekolah, kan?"
Ambar berusaha tersenyum lalu menepuk pundak Feli dan Rea.
"Aku bisa dapet beasiswa tapi gak punya uang saku buat berangkat kuliah. Belum lagi buku, perjalanan studi banding, Praktek Kerja Lapangan, Kuliah Kerja Nyata dan biaya skripsi. Daripada ngeluarin duit buat itu semua, aku milih kerja aja" jelas Ambar disambut keheningan.
Karena kedua sahabatnya tidak bisa berkomentar apapun, Ambar kembali bicara.
"Kapan kalian berangkat?"
"Rea lusa, kalo aku besok siang" jawab Feli lalu menangis lagi.
Ambar memeluk sahabat paling cantik, pintar dan terlihat lemah lembut itu, seperti tidak ingin berpisah. Rea yang sedari tadi terdiam akhirnya memeluk keduanya dan ikut menangis.
Ketiga sahabat itu tidak lama lagi akan menjalani kehidupan masing-masing yang penuh dengan kejutan. Mereka tidak akan bertemu sampai salah satu dari ketiganya memberi kabar yang sangat menggembirakan. Felicya akan menikah dengan penerus perusahaan keamanan besar dari Inggris. katanya kakak Rea yang memperkenalkan mereka. Ambar yang sudah bekerja selama tujuh tahun merasa ikut bahagia dengan kabar itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!