Taksi berwarna hitam ini akhirnya berhenti setelah menempuh perjalanan yang jauh. Aku keluar dari taksi sambil menggendong tas ranselku. Mataku melirik Pak Sopir yang beranjak dari jok pengemudi, membuka bagasi mobil dan membantuku mengeluarkan koperku.
“Terima kasih, Pak,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar uang padanya. Ia tersenyum singkat padaku sebelum mengemudikan mobilnya menjauh dari area ini.
Tanganku merogoh saku celana jeans-ku untuk mengambil sebuah kunci. Lalu, aku membuka pintu mansion yang tinggi dan besar—ini pasti pintu utama. Saat pintu terbuka, terdengar suara decitan khas pintu yang sudah lama tidak dibuka.
Aku tidak langsung masuk begitu saja. Kuamati sejenak bagian depan mansion. Rumah ini terlalu besar untukku seorang. Tapi, aku pun tidak punya pilihan lain. Akhirnya, aku melangkah masuk sambil menarik koperku, tak lupa menutup kembali pintunya.
Setelah menyalakan sakelar lampu pusat, seluruh lampu di mansion ini menyala. Mansion berdinding krem pucat ini tidak seseram beberapa detik yang lalu. Sungguh, saat aku tiba tadi, mansion ini terlihat seram.
Namaku Adreanna Berenice, panggil saja Reanna. Usiaku delapan belas tahun, tepatnya berada di kelas akhir SMA. Aku pindah ke mansion klasik ini atas isi surat wasiat usang yang kutemukan di laci meja kerja orangtuaku. Isinya adalah apabila kedua orangtuaku dalam bahaya, maka siapa pun yang menemukan surat tersebut, harus membawaku ke mansion ini.
Dalam surat wasiat itu pun ditekankan bahwa seluruh biaya hidupku akan ditanggung oleh seseorang. Tentunya, terbesit rasa penasaran di dalam hatiku untuk mencari tahu siapa dermawan itu. Namun, rasanya energiku sudah terkuras habis, bahkan hanya untuk memikirkan bagaimana cara menemukan orang tersebut. Ah, semoga aku dapat bertemu dengannya suatu saat nanti.
Di balik tirai jendela kamarku, tampak langit biru muda dan pepohonan. Aku berdecak kagum. Kira-kira ... berapa puluh buku, ya, yang bisa kubaca sambil menikmati pemandangan ini?
Perjalanan panjang membuat perutku meraung-raung, memaksaku berhenti memikirkannya.
Begitu aku membuka kulkas di dapur, hanya ada bahan mentah seperti sayuran, buah-buahan, ikan serta daging mentah. Jika kupikirkan lagi, itu bukan ‘hanya’. Maksudku, ada banyak bahan mentah segar di hari pertama aku tiba di mansion. Rasanya seperti aku sedang berlibur di vila saja.
Aku menyeruput sup buatanku sendiri sembari mengamati ruang makan yang klasik ini. Setiap ukiran di pilar dan langit-langitnya membuat ruangan ini tampak seolah-olah keluar dari sebuah lukisan Eropa.
Bahkan ketika aku berkeliling mansion pada malam harinya, aku dapat merasakan nuansa abad pertengahan yang kental di setiap lorongnya. Angin malam yang berembus masuk melalui ventilasi membuatku menggigil. Daripada aku membeku, lebih baik aku bergegas ke kamar.
Langkahku terhenti saat aku melewati sebuah pintu. Mataku menatap lekat-lekat pintu tersebut. Sekilas tidak ada bedanya dengan pintu lainnya yang berwarna putih. Namun, terdapat ukiran unik di gagang pintunya, yang tidak kujumpai di pintu-pintu ruangan lainnya.
Tanpa ragu-ragu, aku membuka pintu ruangan itu. Mulutku sedikit melebar begitu menemukan sebuah ruangan perapian. Perapian yang tidak menyala, sofa khas zaman dahulu, dan lemari kayu tua di sudut ruangan menciptakan kesan antik di ruangan ini. Warna dinding dan perabotan perapian di sana sama seperti ruangan lainnya.
Semuanya tampak normal, kecuali ….
Mataku yang tadinya menyapu ke setiap sudut ruangan, berhenti pada semacam kapstok topi yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Di bagian atasnya, terdapat dua buah lonceng tua yang menggantung seperti lonceng di pintu masuk toko antik.
Pikiran negatif mulai memenuhi kepalaku. Aku tidak ingin berada di sana lebih lama lagi sehingga aku bergegas keluar dari ruangan itu sebelum ada hal lain yang menyambutku.
“Itu … hiasan, kan?” gumamku begitu sampai di kamarku. Aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, menghela napas lega.
“Setidaknya aku tidak menyentuhnya tadi,” gumamku berusaha menenangkan diriku sendiri.
...***...
Malam terasa begitu singkat ketika matahari telah bersinar terang kini. Hari ini aku akan pergi ke sekolah untuk mengikuti pengarahan Ujian Nasional sehingga aku tidak boleh terlambat.
Setelah mandi dan sarapan, aku bergegas mengenakan seragam sekolah berkemeja putih, dengan jas almamater biru dongker dan rok selutut motif kotak-kotak yang berwarna senada. Tak lupa kaos kaki hitam sepanjang betis dan sepatu fantofel hitamku.
"Baiklah, ayo berangkat!" ucapku, menyemangati diriku sendiri karena aku harus berjalan sedikit jauh dari mansion untuk memanggil taksi.
Sesampainya di sekolah, mataku melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Masih ada sepuluh menit tersisa sebelum bel masuk berbunyi. Kulangkahkan kakiku di koridor megah sekolah ini.
Sekadar informasi, sekolahku adalah sebuah sekolah swasta khusus keturunan konglomerat dan setingkat itu. Jadi, ya, bisa dibilang aku adalah salah satu putri konglomerat di sekolah ini.
“Kau datang pagi-pagi sekali, bung!”
Saat aku hendak masuk ke kelas, aku mendengar suara seorang lelaki yang sedang berbicara dengan John. John adalah temanku dari kelas lain yang sangat terkenal di sekolah. Kedua orang tuanya merupakan donatur utama sekolah mewah ini.
Namun, perlu dicamkan bahwasanya John adalah orang paling menjengkelkan di dunia. Ia sering, ralat, selalu menjahiliku! Walau begitu, aku percaya bahwa sebenarnya ia adalah siswa yang baik.
Rumor yang beredar adalah John tidak tertarik dengan seluruh siswi di sekolah kecuali diriku. Aku tidak tahu mengapa. Terlepas dari itu, aku selalu berusaha berbaik hati pada anak donatur itu.
Ah, sudahlah. Toh, dia tidak menggangguku. Lebih baik aku langsung masuk daripada dituduh melihatinya terus.
Ketika aku sampai di bangkuku, mataku bertemu dengan Leon yang duduk tak jauh di sebelahku sembari membaca novel.
Nah, kalau Leon adalah teman dekatku sejak SMP, dan anak kepala SMA ini. Ia dicap sebagai most wanted oleh kebanyakan siswi di sekolah ini karena kekayaannya yang setara dengan John. Kadang, John dan Leon bertengkar, sebelum akhirnya mereka saling mengalah dengan sendirinya.
Jika John dikenal memiliki sifat hangat, maka Leon sebaliknya. Meski begitu, keduanya sama-sama menyebalkannya bagiku. Karena Leon yang bahkan satu kelas denganku jarang bersikap ramah padaku, sementara John yang berada di kelas lain malah terlampau ramah padaku—jahil.
Kini, aku punya taktik baru agar Leon mau menujukkan senyumnya padaku setelah berbulan-bulan tidak tersenyum padaku.
“Selamat pagi, Leon!”
Ya, begitulah aku memanggilnya dan menyapanya. Lelaki itu menatapku sejenak sebelum mengangguk sekali dan tersenyum singkat.
“Nah!” seruku spontan, yang di luar dugaanku malah mengejutkan lelaki itu. “Akhirnya aku berhasil membuatmu tersenyum,” lanjutku sambil terkekeh puas.
Kalian tidak akan bisa membayangkan seberapa puasnya diriku saat berhasil menemukan cara untuk membuat lelaki dingin ini tersenyum, setelah berkali-kali gagal membuatnya tersenyum.
Aku bahkan pernah menunjukkannya film komedi, dan ia hanya berwajah datar bak dinding, membuatku yang saat itu tertawa terpingkal jadi terdiam kesal. Aku yakin tidak hanya aku saja yang akan kesal ketika ada orang yang tidak tertawa saat menonton film komedi.
Bel tanda masuk berbunyi. Begitu seluruh siswa sudah memasuki kelas, seorang pria memasuki kelas dan berkata, “Anak-anak, hari ini saya akan memberikan pengarahan terhadap kalian. Tolong dengarkan baik-baik.”
Beliau adalah Pak Thomas, wali kelasku. Kelas dua belas terdiri dari beberapa kelas. Dan saat ini, masing-masing wali kelas diminta untuk memberikan pengarahan pada tiap kelasnya.
Pak Thomas menyalakan proyektor, dan secara otomatis lampu kelas perlahan padam layaknya lampu bioskop. Beliau menjelaskan apa yang harus dipatuhi dan dilakukan pada saat ujian. Tidak seperti ujian pada tahun sebelumnya, kali ini kami wajib mengerjakannya di komputer.
“... Apabila kalian menemukan kesalahan teknis ketika mengerjakan soal ....”
Aku menguap karena mengantuk. Selain karena posisi dudukku di paling belakang, aku juga sudah tahu seluk-beluk aturannya dari guru privatku dulu. Tunggu, jangan salah paham! Aku dapat mengetahuinya karena aku sudah terbiasa mengerjakan soal tryout yang diberikan oleh guru privatku tersebut.
Lalu, sebuah suara bisikan di dekatku berhasil menelan suara Pak Thomas seutuhnya.
“Pst, Reanna!”
“Pst, Reanna!”
Kepalaku tertoleh ke pemilik suara yang merupakan teman sebangkuku, Ella Credhiston. Ella merupakan sahabatku yang memiliki warna rambut cukup unik—merah pekat mendekati cokelat. Aku pernah bertanya apakah rambutnya yang berwarna merah itu dicat, dan Ella menentangnya. Katanya, ia mendapatkan warna rambut itu sejak kecil.
“Apa?” tanyaku balik dengan berbisik pula. Aku tidak ingin dikeluarkan dari kelas karena ketahuan bercakap-cakap di saat guru sedang menjelaskan sesuatu.
“Jam berapa pengarahannya selesai? Lama sekali!” bisik Ella menggerutu. Aku hanya mengangkat bahu pelan. Aku tidak heran melihatnya bosan. Selain aku, ia dan kebanyakan temanku sudah tahu mengenai isi pengarahannya.
Melihat presentasi yang membosankan ini membuatku lama-kelamaan jadi ingin melihat reaksi teman-teman sekelasku.
Ketika kepalaku menoleh ke kiri, aku terkejut ketika tatapanku bertabrakan dengan tatapan Leon, yang duduk selang dua bangku di sebelah kiriku.
Tanpa menunggu apa pun, aku buru-buru meluruskan pandanganku, berpura-pura menonton presentasi Pak Thomas sambil menetralkan degup jantungku yang berdebar-debar. Astaga, kenapa aku jadi seperti ini?
Dan ada yang aneh dengan Leon.
Sewaktu SMP, ketika guru sedang presentasi, terutama di dalam kegelapan, merupakan kesempatan emas bagi lelaki itu untuk tidur. Tidak jarang ia ketahuan dan dihukum dengan dikeluarkan dari kelas. Kebiasaannya itu selalu membuat seisi kelas geleng-geleng kepala. Pasalnya, tidak ada siswa semalas lelaki itu.
Namun, bahkan kini ia terjaga? Meski harus kuakui ia jadi lebih rajin sejak masuk SMA, tapi aneh saja melihat Leon terjaga di tengah presentasi yang membosankan seperti ini.
“Eh, tadi Leon melihat ke arahmu, tahu!” bisik Ella dengan antusias.
“Terus kenapa?” tanyaku berbisik, berusaha bersikap tenang, meski sebenarnya aku juga sempat salah tingkah tadi.
“Yah, barangkali dia ingin berkata sesuatu padamu?” jawab Ella, lebih seperti orang bertanya.
Tidak mungkin. Leon yang dingin itu nyaris tak pernah terlihat berbicara pada seorang pun di kelas ini. Aku sampai berpikir bahwa ia mungkin selalu bertelepati dengan makhluk-makhluk halus di sekolah ini.
Pengarahan berakhir dua jam kemudian. Seperti murid lainnya, aku pun ingin segera pulang, meski pintu kelas sangat penuh sesak karena mereka keluar dengan berebut. Ayolah, teman-teman, jangan samakan pintu kecil itu dengan gerbang raksasa!
Lalu, aku mendengar seorang siswa laki-laki menyebut nama Leon.
“Leon! Ada apa dengan ekspresimu? Kau sedang ada masalah?”
Aku tidak berminat menoleh karena menurutku percuma jika aku menoleh hanya untuk memerhatikan tanpa berbuat apa pun—berhubung aku bukan orang yang suka membuang-buang waktuku untuk meladeni urusan orang lain.
Memang, aku tidak pernah bercita-cita menjadi psikiater atau pun dokter jiwa. Bukannya aku menyelesaikan masalah mereka, bisa-bisa aku jadi gila duluan.
Ngomong-ngomong, urusanku sudah selesai. Jadi, aku tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sekolah.
“Aku pulang ....”
Aku mendengar suaraku sendiri begitu memasuki mansion. Rasanya agak sedih ketika aku mengabarkan kepulanganku pada diriku sendiri. Pasti menyenangkan jika aku dapat mengatakannya pada kedua orangtuaku yang sedang duduk santai di sofa atau berada di meja makan, menungguku bergabung makan malam bersama mereka.
Namun, segera kutepis pikiran itu. Besok adalah hari Sabtu, dua hari sebelum ujian. Ah, mengingatnya langsung membuatku tersenyum masam.
...***...
Keesokan harinya, pukul 6.59 pagi.
Ada banyak ruangan yang harus kubersihkan hari ini juga, jika aku tidak ingin mansion besar yang kutinggali berdebu.
Hanya terdengar suara penyedot debu yang digerakkan oleh tanganku di ruang tamu. Aku sempat berharap ada banyak pembantu yang akan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga ini. Tapi, Reanna, bangunlah dari mimpimu! Hanya ada kau seorang di sini.
“Oke, lakukan saja, Reanna,” gumamku pada diriku sendiri sambil melanjutkan bersih-bersih.
Siang hari tiba. Aku terpaksa mandi lagi karena tubuhku sudah dibanjiri peluh hasil kegiatan bersih-bersih tadi. Setelah mandi, aku yang awalnya ingin mengistirahatkan tubuh sejenak, tiba-tiba saja ingin membaca buku, mengingat sewaktu aku bersih-bersih, aku menemukan sebuah perpustakaan pribadi.
Krieet ....
Pintu perpustakaan terbuka. Di sana, terdapat banyak rak yang dipenuh oleh berbagai macam buku. Oh, yang benar saja. Siapa yang akan membersihkan buku sebanyak itu, padahal membersihkan setengah dari mansion ini saja sudah membuatku kelelahan setengah mati.
Aku mendekati salah satu rak buku, mengamati berbagai buku di sana. Walaupun aku melihat ada banyak buku yang dapat kumanfaatkan sebagai bahan belajar untuk Ujian Nasional, tanganku bergerak ke deretan buku fiksi.
Yah, mau bagaimana lagi? Rasa penasaranku tidak bisa ditunda dibandingkan dengan keinginanku untuk belajar.
Aku mengambil beberapa buku fiksi yang menurutku menarik lalu menumpuknya menjadi sebuah menara buku. Dengan hati-hati, aku membawa menara buku itu menuju kamarku.
“Duh! Berat sekali!” keluhku begitu meletakkan buku-buku itu di lantai kamar. Aku langsung duduk bersila di sofa antik, membaca masing-masing judul buku yang ada.
“... Oidipus sang Raja, Dewi Olympia Terakhir, … ah, serius, ini semua buku mitologi?” heranku begitu mengetahui arti dari judul buku-buku yang akan kubaca.
Tapi berikutnya, mataku menangkap keberadaan sebuah buku bersampul biru muda pucat. Pangeran Terakhir? Judulnya lebih aneh dari buku-buku tadi.
Meski begitu, rasa penasaran yang kuat tiba-tiba muncul di benakku, mendorongku membaca buku tersebut. Kuharap isinya bukan mitologi lagi.
Bulan purnama menyinari daratan dan lautan. Malam yang hampa. Tidak ada angin yang berhembus maupun suara burung hantu, seolah-olah apa pun di sana sedang memandangi dua makhluk paling berpengaruh terhadap takdir dunia dan kerajaan mereka berikutnya.
Wajah mereka sedingin embusan angin malam yang pernah datang. Tubuh mereka tinggi, setinggi ambisi mereka untuk menyingkirkan satu sama lain. Mereka pun bertarung dengan sengit seolah tiada hari esok.
Sayap perdamaian tak pernah terbentang di antara kedua makhluk agung bertaring tersebut. Mereka saling memperebutkan tahta dan kekuasaan.
Cahaya matahari dan cahaya bulan menyeruak dari balik tatapan mereka yang sedalam lautan serta setajam mata pedang. Api dan es beradu dalam kegelapan malam. Yang satu ingin melukai, yang satunya lagi ingin melindungi.
... Baiklah, cukup! Aku akan membaca buku yang lain! Buku biru ini berhasil membuatku pusing. Kutarik penanda buku yang terbuat dari pita biru, lantas menempatkannya di antara dua halaman yang kubaca tadi.
Aku suka membaca cerita, bahkan cerita fantasi. Namun, entah mengapa, hanya dengan membaca beberapa paragraf tadi membuat kepalaku berputar. Mungkin kata-katanya terlalu sulit kupahami.
Kutolehkan kepalaku ke arah balkon. Cahaya jingga menyeruak masuk ke dalam kamarku. Aku melirik tumpukan buku yang ada di sekitarku.
Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, apa sebaiknya kubaca semua, ya? Karena aku pun penasaran apakah isi buku-buku lainnya seaneh buku bersampul biru pucat tadi atau tidak.
Tunggu sebentar, tadi aku melihat kata ‘makhluk agung bertaring’. Apa itu maksudnya … vampir?
Yang benar saja. Mana mungkin ada vampir sungguhan di dunia ini, di zaman modern?
Jujur, kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalaku, seolah-olah itu adalah rumus Fisika dan Matematika yang harus kuhafalkan demi ujian nanti.
Aku tahu, menghafalkan sebuah rumus memang lebih sulit dibandingkan membaca banyak cerita legenda. Namun, tetap saja, aku harus belajar dengan giat untuk ujian itu agar ilmuku selama tiga tahun tidak sia-sia.
Setelah memilih beberapa buku yang akan kutaruh di kamarku, akhirnya aku mengambil sebagian dari mereka untuk kukembalikan ke perpustakaan. Salah satunya adalah buku biru yang memusingkan itu.
Karena kedua tanganku penuh dengan buku-buku, aku menggunakan kakiku untuk membuka pintu perpustakaan yang sengaja tidak kututup rapat tadi. Aku menghela napas melihat rak buku yang banyak itu, lagi.
Kuletakkan tumpukan buku itu di samping meja kerja yang ada di sana karena aku terlalu malas untuk menatanya di rak berdasarkan urutan huruf depan judulnya. Aku tak peduli jika itu akan membuat perpustakaan ini tampak berantakan.
Toh, siapa lagi yang akan masuk ke perpustakaan ini kalau bukan aku sendiri?
Akhir pekan yang sangat diharapkan semua orang di sekolahnya takkan pernah berakhir, akhirnya berakhir juga. Dengan segala rumus dan tulisan-tulisan yang telah bersarang di otak, Adreanna dan teman-temannya mengerjakan setiap soal ujian dengan sungguh-sungguh.
Begitu ujian hari pertama berakhir, para peserta ujian saling bercerita tentang bagaimana perasaan mereka saat ujian. Tegang, cemas, gugup, itulah kata-kata yang menggaung di sepanjang koridor.
“Hei, Reanna!”
Gadis bersurai cokelat itu menoleh ke John, yang mempercepat langkahnya demi dapat berjalan sampingnya.
“Bagaimana hari pertama ujiannya?” tanya John dengan cengiran khasnya.
“Yah, tidak buruk,” jawab Adreanna datar, mengundang kekehan dari John.
“Seperti biasa, kamu selalu tidak peduli dengan apa pun. Kamu pun tidak peduli dengan siapa yang berada di sampingmu. Tetapi, itulah yang membuatku nyaman berada di dekatmu, Reanna,” ujar John dengan senyum hangat.
Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke Adreanna, membuat gadis itu ikut berhenti. Keduanya bertatapan sejenak.
“Em … oke?” jawab Adreanna, sedikit bingung, tapi akhirnya, ia kembali berjalan.
Bagi sebagian orang, John mungkin akan terlihat seperti tipe lelaki yang gemar merayu perempuan. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, John memang selalu spontan bersikap lembut pada setiap perempuan, khususnya Adreanna.
“Kamu tahu? Beberapa hari yang lalu, kedua orangtuaku ikut rapat wali murid dengan kepala sekolah. Mereka pun mengusulkan supaya diselenggarakan pesta dansa topeng sebelum pengumuman kelulusan. Keren, ‘kan?” tutur John panjang lebar.
“Benarkah?” sahut Adreanna dengan tatapan antusias. “Itu pasti keren, tapi hanya untuk kalian,” lanjutnya, sambil mengembalikan ekspresi datarnya.
John mendengus kecil melihat betapa cepatnya perubahan ekspresi Adreanna.
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya John, mengangkat setengah alisnya.
Adreanna menatap sebal John dan menjawab, “Yah ... karena pesta dansa topeng, ‘kan, berpasangan? Kalau tidak membawa pasangan, bukan pesta dansa namanya.”
John tertawa renyah melihat Adreanna yang menekuk alisnya. Ia pun berkata, “Jangan kesal begitu. Kamu bisa jadi partner-ku nanti.”
Tiba-tiba Leon menabrak bahu John, membuat John mengaduh kecil. Emosinya meningkat begitu melihat Leon pergi begitu saja.
“Apa-apaan, sih, kau?” desis John kesal, gaya bicaranya yang lembut berubah ketus seketika.
Leon berhenti dan berbalik menghadap John.
“Heh, kau yang apa-apaan? Memangnya ayahku sudah menyetujuinya?” tanya Leon tajam. Adreanna, yang berdiri di sebelah John, merasakan hawa tidak enak di sampingnya.
“Tentu saja! Kalau belum, aku tadi tidak akan berkata begi—tunggu! Kau menguping percakapanku dengan Reanna?” tanya John, melotot tidak terima.
“Kau yang bicaranya terlalu keras, bodoh,” sangkal Leon, menyeringai, membuat John mematung dan menahan emosinya. Akhirnya, ia hanya bisa mendecih pelan.
“Terserah,” ucap John acuh, berusaha menjaga image dirinya.
“Ngomong-ngomong, Reanna, aku pergi du—eh?”
Tidak hanya John, Leon pun bingung karena tidak melihat Adreanna di samping John.
“Ini semua gara-gara kau! Aku hanya ingin mengajaknya menjadi partner dansa-ku!” tukas John sambil menatap tajam Leon, seolah-olah Leon adalah orang paling dibencinya di muka bumi ini.
“Bukannya tidak wajar, ya, kalau anak kelas lain bersikeras ingin menjadi partner dansa-nya, padahal sudah ada teman sekelasnya yang ingin menjadi pasangannya?” sanggah Leon, mendengus sinis.
“Bicara soal batas wajar, kau sendiri sembarangan menginterupsi percakapan orang! Memangnya itu wajar?!” kesal John.
Mereka terus saja beradu mulut hingga beberapa detik kemudian, mereka saling menghindar dan pergi.
...***...
Pada hari terakhir ujian, sebelum pulang ke rumah masing-masing, para murid kelas dua belas diminta berkumpul di aula sekolah. Saat ini Adreanna berdiri di samping Ella, di antara sekian banyaknya murid.
“Terima kasih karena sudah menyisakan sedikit waktu kalian untuk berkumpul di sini. Saya, selaku kepala sekolah, akan menyampaikan pengumuman terkait agenda berikutnya sebelum kalian menerima hasil ujian dan ijazah,” ujar sang kepala sekolah yang berdiri di depan mimbar, Pak Threonne.
“Pihak sekolah sepakat akan mengadakan pesta dansa topeng bertema kerajaan abad ke-19. Acara ini akan diselenggarakan seminggu lagi sehingga kalian bisa bersiap-siap. Dan sesuai namanya, kalian diwajibkan mengenakan topeng, tanpa perkecualian. Semoga hari kalian menyenangkan. Sekian, terima kasih.”
Suara tepuk tangan meriah menggema di aula megah tersebut. Terlihat jelas sambutan suka cita dari seluruh murid kelas dua belas.
Setelah pengumuman selesai, Adreanna keluar bersama Ella, begitu pula dengan murid-murid lainnya. Tapi tiba-tiba, Adreanna menghentikan langkahnya karena mendengar suara langkah yang tak asing baginya.
“Kenapa, Ren?” tanya Ella heran. Sedetik kemudian, matanya membulat melihat Leon dan John berjalan menuju mereka secara beriringan.
Ia nyaris menjerit histeris jika tidak cepat-cepat membungkam mulutnya sendiri. Bayangkan saja, dua siswa populer di sekolah sedang berjalan dengan santainya ke arah mereka.
Leon menatap serius Adreanna. Sambil menunjuk John, ia berkata pada Adreanna, “Kau tidak akan menjadi pasangan dansa-nya, ‘kan? Jadi pasanganku saja.”
Sontak Ella, Adreanna, dan John membelalak mendengarnya.
“Leon, aku mau pulang. Ada apa, sih, dengan kalian berdua? Sejak hari itu, kalian terus-menerus membahas pasangan dansa,” gerutu Adreanna sembari berjalan menjauh. Ella menoleh sejenak ke dua lelaki itu sebelum akhirnya, ia berlari kecil menyusul Adreanna.
Adreanna terkejut karena Leon tiba-tiba menarik tangannya. Ia menoleh dengan tatapan tajam pada Leon, yang menatapnya sungguh-sungguh.
“Kenapa kita membahas hal itu sejak kemarin, katamu? Itu karena ... banyak teman-teman kita yang sudah punya pasangan dansa, sedangkan kita belum,” sahut Leon, mengalihkan tatapannya dengan sedikit malu.
Ella menahan jeritannya saat melihat adegan tersebut, sedangkan Adreanna hanya menatap heran bercampur kesal pada dua lelaki yang masih setia menunggu jawabannya tersebut.
Gadis itu bahkan sempat berpikir selama lima detik, mencari jawaban yang dapat meloloskannya dari suasana ini.
“Oke, aku akan jadi pasangan dansa-mu, Leon,” jawab Adreanna dengan entengnya, membuat John membelalakkan matanya.
Ia menarik lengan kanan Adreanna sehingga genggaman Leon lepas dari lengan Adreanna yang satunya. Dengan penuh penekanan, John berkata pada Leon, “Dia *p*artner-ku, titik!”
Ella tidak dapat menahan rasa takjubnya lagi, melihat sahabatnya diperebutkan oleh John dan Leon.
“Hei! Lepaskan tanganku! Kalian aneh sekali, sih .... Ya sudah, nanti akan kupikirkan lagi,” ujar Adreanna sambil menepis tangan John. Ia lalu melenggang pergi, meninggalkan Ella, John, dan Leon, yang mematung di tempat.
“Ella, kalau temanmu yang satu itu tidak mau jadi partner-ku, besok aku terpaksa meminta bantuanmu untuk mendapatkannya,” ucap John datar, membuat Ella tersentak.
“Kau sedang mengancamnya atau selera humormu memang seburuk itu, hah? Dasar aneh,” celetuk Leon. “Ella, biarkan saja Reanna mau memilih siapa. Toh, dia sudah dewasa, bukan anak kecil,” lanjutnya sebelum berjalan menjauh, membuat Ella dan John mengerjapkan mata mereka, kebingungan.
“Kau lebih aneh karena bertingkah seperti perempuan yang labil!” seru John lantang, membuat beberapa siswa menoleh terkejut ke arahnya, diikuti tatapan tajam siswi-siswi yang merasa tersinggung dengan ucapannya.
Ella pun menatap sinis John, yang dengan tidak tahu malunya pergi begitu saja meninggalkan area sekolah.
...----------------...
Malam tiba. Bulan tiga perempat muncul di langit. Seorang gadis yang mengenakan piyama sedang menopang dagunya di pembatas balkon, sembari menghela napas.
Ia memang senang karena ada yang memerhatikannya hari ini, terutama Leon—yang dulunya sikapnya sedingin es di kutub bumi. Tampaknya, pemanasan global tidak hanya telah mencairkan es di kutub, tapi seolah-olah ikut mencairkan es di hati Leon.
Namun, ia sedikit gundah. Entah mengapa, di balik rasa senangnya itu, seakan-akan ada hal tidak beres yang sedang menantinya di masa depan.
Dirinya tengah membayangkan warna gaun dan topeng yang akan ia kenakan saat pesta nanti. Ia pun membayangkan dengan siapa dirinya akan berdansa.
“Oh!”
Lampu bersinar terang di atas kepalanya, membuat Reanna manggut-manggut.
Aku tinggal tidak usah memilih satu pun di antara mereka. Mudah, bukan? Hmm, aku memang jenius, pikirnya, merasa bangga dengan dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!