Citra menuruni bukit sambil menggenggam pistolnya erat-erat. Beberapa anak buahnya mengikuti dari belakang. Sirene mobil polisi meraung di antara keheningan yang mencekam, membawa pergi para penjahat.
Suara tembak menembak telah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Bau mesiu masih mengapung di udara. Gerombolan penyelundup obat-obatan terlarang Rassidy telah berhasil digulung.
Ini adalah pencapaian yang cemerlang! Tim pemburu yang terdiri dari Kapten Citra dan 6 anak buahnya sudah menargetkan group Rassidy sejak beberapa bulan lalu, dan markas Rassidy di lereng bukit dekat pelabuhan baru terendus setelah kurir penting Rassidy berhasil dijadikan mata-mata pihak polisi.
"Kerja bagus, Kapten ! Ini adalah perburuan tercepat yang pernah kita capai. Target kita kali ini adalah group jalur Singapura yang paling susah dibekuk ! " Priyo Hendro, atasan Citra telah menunggu di kaki bukit. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Citra.
Citra tersenyum bangga. Baru saja ia hendak mengucapkan sesuatu, sebuah letusan terdengar dari balik pepohonan, dan ia tiba-tiba rebah di depan Priyo dan seluruh anak buahnya. Citra sekejap merasakan dingin dan nyeri di punggung dan dada kirinya, untuk kemudian dunia pun menjadi gelap baginya.
.........
Citra merasakan pening yang amat sangat. Ketika terbangun, mula-mula ia mendengar suara gamelan sayup-sayup di telinganya. Citra mengerenyitkan kening, antara sakit dan heran.
Siapa yang menabuh gamelan di rumah sakit? Citra yakin saat ini ia terbaring di salah satu ruang perawatan karena luka tembak yang dideritanya terakhir kali.
"Aah..." Citra mengeluh sambil sedikit menggeliatkan punggungnya yang terasa pegal. Ia membuka matanya perlahan, berharap melihat Sherly atau Yudhis, kedua anak buah sekaligus teman yang paling setia.
Tapi Citra terperangah melihat pemandangan yang tertangkap indra penglihatannya.
Di atas kepalanya, ia melihat kelambu sutra berwarna ungu muda bersulam , menghias tempat tidur kayu besar yang mewah. Di balik kelambu, terlihat dinding kayu berukir dan berlapis prada emas. Interior yang apik dan...sedikit kuno.
Ini ruang perawatan yang sangat bergengsi dan klasik !
Citra mencoba menggerakkan kepala menunduk, melihat dadanya. Ia menduga dadanya pasti diperban, dan lengannya dihubungkan pada selang infus.
Tapi ia tercengang, ketika melihat lengannya yang putih dan telanjang, dadanya juga telanjang, tanpa sehelai benang pun, dan....tidak ada luka sedikitpun.
Citra terlonjak duduk. Ia menyibakkan selimut sutra tipis yang menutupi tubuh bawahnya. Seluruh tubuhnya mulus, tanpa luka atau bahkan sekedar lebam sedikitpun.
Citra tercengang, ketika ia melihat ukuran dadanya yang tiba-tiba membengkak, dari cup C, menjadi D ! Dan kulitnya yang kuning langsat merona sehat, kenapa menjadi seputih dan sepucat ini?
Ketika meraba rambutnya, ia makin terkejut. Sebelumnya, rambutnya memang panjang. Tapi bukan sepanjang ini, lebat dan melingkar-lingkar sampai melewati pinggulnya!
Citra mendadak ingin histeris, ia bergegas turun dari tempat tidur. Seperti kesetanan, ia menghampiri cermin yang ada di atas meja, di sudut ruangan.
Dan Citra terbelalak, mulutnya terbuka mengeluarkan seruan tertahan. Paras wajah ayu yang terpantul di cermin, bukanlah wajahnya. Wajah cantik dengan mata bulat mellow mendekati mesum, bulu mata panjang dengan hidung bangir dan bibir sensual yang basah, Ya Tuhan !
Ini...ini mirip seperti artis top India yang pernah dilihatnya sekilas di tivi, siapa ya namanya? Citra menggelengkan kepala, bingung dan tak percaya.
Wajah ayu nan belia ini, tubuh sexy gemulai ini bukanlah miliknya. Tetapi kenapa kesadarannya berada di dalam tubuh ini? Kenapa ia bisa berpindah ke sini?
"Aduhai, tuan putri..." terdengar pekik kaget. Seorang gadis muda menghampiri sembari tergopoh-gopoh menutupi tubuh bugil Citra dengan kain sutra. Dituntunnya Citra yang kebingungan untuk duduk di kursi.
"Tuan Putri sudah terbangun, kenapa tidak memanggil hamba? Hamba harus segera menuang ramuan obat untuk tuan putri !"
"Tuan putri??" Citra mengulangi. "Kamu panggil saya tuan putri?"
"Ampun, tuan putri. Kalau tidak berkenan, mohon beritahu hamba !" Gadis itu berlutut di bawah kaki Citra. "Tetapi mohon tuan putri tenang, dan ijinkan hamba melayani tuan putri minum obat ini terlebih dulu!"
"Bukan, aku bukan marah, hanya bingung. Bangunlah . Duduk di sebelahku ini ! Dan tolong jelaskan apa yang terjadi !" Citra membangunkan gadis itu dan mengisyaratkan untuk duduk di sampingnya.
"Tuan putri, hamba harus melayani anda. Hamba tidak pantas duduk di sebelah anda!" Gadis itu terperanjat.
"Tidak apa-apa, duduklah." Citra tersenyum . Gadis di depannya memiliki wajah yang manis dan polos. Citra merasa suka padanya, dan ia berharap mendapat beberapa penjelasan dari gadis itu.
Gadis muda itu menuangkan segelas teh obat yang tersedia di atas meja, kemudian ia membantu Citra meminum obat pahit itu.
Citra terbatuk-batuk sedikit. Si Gadis dengan sigap mengangsurkan saputangan sutra untuk menyeka wajah Citra.
"Terimakasih," Citra tersenyum tulus. "Sekarang tolong jelaskan padaku, ini di mana, siapa aku, siapa kamu, dan kenapa aku bisa ada di tempat ini?"
Kini giliran gadis itu yang ternganga.
"Gawat, tuan putri rupanya mengalami lupa ingatan, akibat benturan tempo hari ! " gumam gadis itu. Cukup keras untuk didengar oleh Citra.
"Jadi aku pernah mengalami benturan ?"
"Benar, tuan putri. Kepala anda terbentur pada kereta . Tabib berkata kondisi anda cukup parah. Anda terbaring pingsan selama beberapa hari. Tetapi kepala anda tidak mengalami luka sedikitpun. Tidak disangka Tuan Putri bisa mengalami lupa ingatan karena kecelakaan itu !"
"Oh, seperti itu... Kalau begitu, bisakah kamu memberitahu saya segalanya tentang diri saya? Dan terlebih dulu, tolong beritahu siapa namamu!"
"Hamba Sekar Kemuning, tuan putri biasanya memanggil hamba Sekar. Hamba pelayan tuan putri sejak kecil ," wajah gadis manis bernama Sekar itu terlihat murung. Ia sedih karena majikannya tidak mengenalinya lagi. Padahal mereka melewati masa kecil dan remaja bersama-sama.
"Tuan putri bernama Galuh Citrawani Diah Paramhita junjungan hamba, putri sulung dari Adipati Daha. Tahun ini usia tuan putri genap 18 tahun dan telah dinikahkan dengan jodoh tuan, putra Raja Panjalu, Raden Jayanti Suryapaksi. Saat ini tuan putri berada di istana keputrian keraton Panjalu."
Citra menutup mulutnya yang ternganga. Daha ? Panjalu? Ini jaman kapan? Dan siapa namanya tadi? Galuh Citrawani?
Baiklah, agak mirip dengan nama aslinya, Citra Kartika.
"Hamba mengiringi tuan putri untuk menikah ke istana beberapa minggu yang lalu. Namun, tuan putri bukanlah permaisuri putra mahkota, melainkan... istri kedua...atau istri alit dari Raden Jayanti Suryapaksi."
"Heh? What the hell... ??" cetus Citra. Mendadak ia merasa ingin pingsan lagi.
"Tuan putri mengatakan apa tadi?" Sekar Kemuning bertanya kebingungan.
"Bukan apa-apa, aku kaget mendengar kalau aku bukan istri pertama. Apakah aku seorang pelakor, Sekar? Eh, maksudku ..apakah aku telah merusak rumahtangga wanita lain?"
"Tidak, tuan putri. Anda adalah jatukarma Raden Suryapaksi yang telah ditentukan oleh junjungan hamba Adipati Daha dan Paduka Raja Panjalu, sejak anda masih bayi. Namun, sungguh disayangkan, Raden Suryapaksi membawa seorang istri ketika memenangkan perang, dia adalah tuan putri kerajaan Jenggala yang kalah perang.... Galuh Putrika Sundari ..."
"Hmm...Lanjutkan, Sekar."
"Raden Suryapaksi telah menikahi Paduka Galuh Sundari selama 3 warsa, tetapi hingga kini beliau belum memiliki keturunan, sehingga Paduka Raja Kahuripan meminta kepada ayahanda Raja Daha untuk menikahkan anda ke Panjalu sesuai janji dahulu."
"Tetapi Raden Suryapaksi telah mengingkari janjinya dengan menikahi perempuan lain, dan menjadikan putri ayahandaku sebagai permaisuri alit. Mengapa ayahanda tidak menolak pernikahan ini?"
"Adipati Daha dan Yang Mulia Paduka Raja Panjalu adalah adik kakak. Dengan kata lain, suami anda, Raden Suryapaksi adalah juga sepupu anda. Tidak mungkin membatalkan ikatan perjodohan, meski seratus istri telah dinikahi sebelumnya."
"What the hell?!" maki Citra . Aturan macam apa ini?
"Ngomong-ngomong ini tahun berapa, Sekar?" Citra memegang tangan Sekar. Ia yakin, entah karena apa, ia mengalami time travel. Tubuh aslinya entah berada di mana saat ini, setelah tertembak oleh anggota gerombolan Rassidy.
Mungkin tubuhnya terbaring di sebuah ruang ICU, mengalami koma dengan kehidupan ditopang oleh sistem. Mungkin juga tubuhnya telah dinyatakan mati dan telah dikremasi oleh teman-teman terdekatnya, lalu abunya ditabur di lautan, sesuai dengan mandatnya dulu.
"Hah? Bahkan tuan putri pun melupakan tahun berapa ini?"
"Sekar, please deh, aku benar-benar blank saat ini, memoriku kosong, tidak ada satupun yang aku ingat. Tidak ada satu pun! Tolonglah, kamu bantu aku untuk mengingat segalanya."
"Baik, tuan putri. Sekarang adalah tanggal 20 sasih karo tahun 1180." Dalam hati Sekar mengeluh, tuan putri tidak hanya melupakan segala hal. Ia juga sering mengucapkan kata-kata dan pernyataan aneh yang belum pernah didengar oleh Sekar, seumur hidupnya.
"Jadi aku mohon, kamu beritahu aku setiap detail, setiap peristiwa, dan setiap orang yang ada hubungannya dengan aku ! Kamu bisa melakukannya pelan-pelan."
"Baik, tuan putri."
...
Galuh Citrawani Diah Paramhita terlahir sebagai putri sulung dari istri utama Adipati Daha. Ia memiliki seorang adik kandung laki-laki bernama Nareswara Paramudita, dan dua adik tiri perempuan dari selir.
Sejak terlahir, Citra telah ditunangkan dengan sepupunya, Raden Suryapaksi yang berusia 5 tahun lebih tua darinya.
Saat itu terjadi peperangan antara Panjalu dan Janggala, kerajaan yang sejatinya masih ada pertalian darah leluhur. Pasukan kerajaan Panjalu yang dikepalai oleh paman termuda Citra, Panglima Jayasendra, memenangkan perang pada awal bulan Caitra. Sehingga bayi mungil putri kakaknya yang baru terlahir ke dunia, diberi nama Galuh Citrawani.
"Galuh Citrawani adalah putri kesayangan seluruh kota kadipaten Daha dan istana Panjalu. Anda sangat dekat dengan Paduka Raja dan Permaisuri.Entah kenapa Raden Suryapaksi membawa putri Galuh Sundari ke istana dan menjadikannya istri utama."
"Anda sebenarnya adalah putri yang berhati mulia... seharusnya...seharusnya... andalah yang menjadi permaisuri, bukan Galuh Sundari, karena dia adalah..putri musuh kerajaan Panjalu.." Sekar bercerita dengan sedih
"Tuan putri setiap hari termenung, menangis, terkenang pada tunangan anda. Adik anda, Raden Nareswara pernah memohon kepada ayahanda untuk menikahkan anda pada putra Adipati Ujung Galuh, tetapi ayahanda menolak. Karena tidak ada persetujuan dari Yang Mulia Paduka Raja ."
"Beberapa bulan lalu, Yang Mulia menitahkan tuan Adipati untuk menikahkan anda ke istana. Raden Nareswara tidak setuju, hingga dia melarikan diri dari istana kadipaten. Pernikahan anda tetap terlaksana tiga minggu lalu dengan meriah, pada penanggal purnama Kasa tahun 1180."
Citra termangu. Jadi ia telah berpindah ke tubuh seorang putri dengan perbedaan waktu nyaris seribu tahun. Pikirannya kacau.
Jelas-jelas Sekar berbicara dengan bahasa kuno, tetapi kenapa ia bisa memahaminya dan bisa pula berkomunikasi balik?
"Sekar, aku pusing..." keluh Citra sambil memijat keningnya.
Sekar telah selesai melayaninya mandi dan berganti pakaian. Gadis itu menuntunnya menuju ke pembaringan.
"Tuan putri berbaring saja dulu. Dua hari tuan putri terbaring pingsan, begitu bangun telah banyak bergerak dan berbicara. Hamba seharusnya memanggil tabib dulu sebelum melayani anda mandi."
"Tidak apa, Sekar. Aku merasa lebih segar setelah mandi, hanya kepalaku terasa pening. Tolong pijatkan kepalaku ."
Sekar memijat lembut kepala majikannya.
Citra baru memejamkan kepalanya, seorang pelayan lain memasuki ruangan dan melaporkan kedatangan Permaisuri .
"Adik Galuh Citra telah terbangun?"
Suara yang merdu mengalun, mendahului kedatangan seorang wanita anggun secantik bidadari.
Citra berdecak kagum.
Wanita yang baru datang ini, kecantikannya tak tertandingi. Kulitnya yang halus bagai bercahaya, serasi dibalut busana kerajaan yang mewah.
Citra mendekatkan kepalanya pada Sekar yg berlutut di bawah pembaringan.
"Sst, Sekat, ini siapa?"bisiknya.
"Tuan putri, ini adalah madu anda, Permaisuri Galuh Putrika Sundari."
Citra akan turun dari tempat tidur, tetapi dicegah oleh si wanita anggun.
"Tetaplah istirahat, adik. Kakak hanya ingin melihat keadaanmu."
Senyum wanita itu terlihat tulus. Tetapi tatapan matanya tidak memancarkan kehangatan. Hati Citra merinding seketika. Apakah ini adalah awal dari aura-aura persaingan?
"Terimakasih, kakak. Aku tidak apa-apa, cuma sedikit pening."
Ada suara-suara terkesiap di belakang sang permaisuri. Dua orang pelayan menutup mulut mereka, memandang terbelalak ke arah Citra.
Citra menoleh pada Sekar dengan pandangan bertanya. Sekar yang memahami arti tatapan itu, berbisik pada majikannya.
"Tuan putri, panggil diri sendiri dengan sebutan hamba, atau adik, kepada Permaisuri."
"Oh, Okey! I see !"
Permaisuri Galuh Sundari dan dua pelayannya saling pandang . Dalam hati mereka bertanya-tanya dengan keanehan sikap dan kata-kata Galuh Citrawani itu.
Sekar berlutut di depan kaki Galuh Sundari.
"Mohon ampunkan tuan putri Galuh Citrawani, Paduka Galuh Permaisuri. Tuan putri hamba melupakan banyak hal, akibat cedera kepala yang dia alami. Jika ada hal yang kurang berkenan, mohon beri waktu tuan putri hamba untuk memperbaikinya di kemudian hari."
"Aah, adikku mengalami lupa ingatan?" Galuh Sundari terlihat cemas. "Apakah tabib sudah dipanggil dan Kakanda Raden telah diberi laporan?"
"Tabib sudah dalam perjalanan, Paduka Galuh. Tetapi laporan belum disampaikan pada Paduka Raden, menunggu hasil pemeriksaan tabib."
"Baiklah. Jika ada hal yang memerlukan bantuanku, segera laporkan padaku."
"Hamba mengerti, Paduka Galuh."
Galuh Sundari menghampiri Citra. Tangan halus itu meraih tangan dingin Citra dan digenggam sejenak.
"Kakak akan memastikan perawatan terbaik dari tabib untuk adik. Adik istirahat baik-baik supaya cepat sembuh, dan juga turuti semua anjuran dari tabib kelak."
Ditatap sedekat ini, Citra bisa melihat kulit yang sehalus kulit bayi ini, dan gigi yang putih dari balik bibir tipis. Citra tersenyum dan mengangguk dengan rasa terimakasih.
Tabib datang diiringkan seorang murid wanita. Galuh Sundari tetap duduk di dalam ruangan, menonton tabib dibantu muridnya melakukan pemeriksaan pada Galuh Citrawani.
"Tabib Darma, adik mengalami lupa ingatan total. Apakah Tabib bisa mengobatinya? Sungguh sangat tidak nyaman bagi adik, aku sendiri yang tidak mengalami bisa merasakan penderitaan adik," kata Galuh Sundari.
"Menjawab Permaisuri, cedera kepala tuan putri Citra cukup aneh, karena hamba tidak menemukan sumbatan pada saraf utama. Secara umum, kesehatan tuan putri baik-baik saja. Tetapi hamba akan meresepkan obat untuk merangsang daya ingat tuan putri."
"Oh, Begitu? Lakukan yang terbaik, Tabib Darma. Ambil persediaan bahan obat terbaik dari gudang obat di istana. Biar aku yang melapor pada Kakanda Raden Suryapaksi."
"Hamba laksanakan semua perintah permaisuri."
Tabib Darma memberikan bahan-bahan obat pada pelayan dan menjelaskan cara menakar dan merebusnya. Setelah Tabib Darma mohon diri dan berlalu dari kediaman Citrawani, Sundari bangkit dan menghampiri madunya di pembaringan.
"Tabib mengatakan kalau adik tidak punya masalah kesehatan, seperti yang adik dengar sendiri tadi. Yah, memang agak berat kehidupan di dalam istana, kakak mengerti dengan tekanan yang adik alami... Memang sungguh berat rasa hati jika sudah menikah lama, tapi tidak pernah dikunjungi suami ke kamar adik.... Meskipun kakak tidak pernah tahu bagaimana rasanya diabaikan oleh suami, tetapi kakak dapat memahami adik.. " raut wajah Sundari benar-benar sedih.
Kata-kata Sundari memang terdengar halus dan manis, tetapi sesungguhnya beracun.
"Kakak...adik sangat paham jika Kakanda Raden memiliki tugas berat di istana. Tidak menjadi masalah jika kakanda belum mengunjungi adik. Di mata adik, dia tetap suami yang akan mendampingi dan melindungi adik. Meskipun di mata orang lain kakanda terlihat tidak menyayangi adik, tetapi di mata negara adik adalah juga istri sah Raden Suryapaksi." Citrawani menyahut dengan suara sama manisnya.
"Yaah, kenyataannya memang kakanda telah menikahi adik dengan sah, untuk menemani kakak yang sangat beliau manjakan. Maafkan kakak ya dik, aku telah berusaha membujuk kakanda agar datang padamu sewaktu-waktu. Tetapi kakanda terus saja hanya mau mengunjungi kakak setiap malam. Aku sungguh menjadi tidak enak hati padamu."
Citra tersenyum. Dalam hatinya ia membatin.
Senyum yang tulus dan tatapan sedihmu hanya pura-pura. It's okey. Citra bukan gadis kemarin sore. Usiaku di duniaku yang dulu paling tidak sepuluh tahun lebih tua darimu.
"Kakak jangan cemas. Adik yakin tidak lama lagi kakanda pasti akan mencari adik, karena kita harus berusaha untuk membuat keturunan. Bukankan kakak dimadu karena belum melahirkan cucu untuk Paduka Raja?"
DEG !
Uluhati Sundari terasa dipukul seribu tangan bersamaan. Rasanya seperti akan memuntahkan darah sebentar lagi. Galuh Sundari melotot sembari memegang dadanya.
"Galuh Citra ! Beraninya kamu mengungkit hal yang menjadi luka terbesarku ! Beraninya kamu!"
Perempuan cantik itu terlihat mengerikan dengan mata indahnya yang melotot lebar-lebar dan bibir mengerut.
"Bukan hamba yang berpikir seperti itu ! Hamba dengar itu dari gunjingan para pelayan istana !Itulah kenyataannya, hamba adalah seorang putri yang jujur, " Citrawani masih memanas-manasi Galuh Sundari dengan cueknya.
Perempuan dari Jenggala itu menggeram. Tanpa mengucapkan sepatah kata pamit, ia meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, diikuti oleh kedua pelayannya.
"Beraninya kamu menghina paduka permaisuri!" salah satu pelayan melotot kepada Citrawani, tetapi dibalas dengan lemparan cangkir keramik oleh gadis itu.
Si pelayan mengaduh-aduh memegangi dahinya yang berdarah. Ia pontang-panting melarikan diri ketika Citrawani memandangnya galak.
"Hahahaha.." Citrawani tertawa geli.
Sekar Kemuning memandangi dengan cemas.
Apakah tuan putrinya selain mengalami lupa ingatan, juga menderita tekanan jiwa?
Tingkah lakunya menjadi sangat aneh, nakal dan bertolak belakang dengan sifatnya yang lemah lembut.
"Sekar, kamu kenapa? Apakah tingkah laku Sundari dan pelayannya itu tidak lucu?"
"Tuan putri... anda kenapa... kenapa bisa begini?"
"Kenapa? Bukankah Sundari sudah keterlaluan meremehkan aku, Sekar. Apakah kamu tidak suka jika aku membalas?"
"Tapi ini tidak sesuai dengan kepribadian tuan putri yang halus dan lembut..." Sekar menunduk.
Citra menatap pelayannya, kasihan.
Tentu saja aku berbeda dengan Galuh Citrawani, Sekar.. Majikanmu yang asli entah di mana dia sekarang. Tetapi aku pastikan tidak akan membiarkan seorangpun meremehkan Galuh Citrawani .
" Sekar, kamu jangan terlalu kuatir. Percayalah padaku, aku bisa mengatasi semua ini. Kamu tenang dan tinggal menonton apa yang akan aku lakukan."
"Tapi... Hamba mencemaskan keselamatan tuan putri. Paduka Raden sudah berubah, dia bukan lagi Raden Suryapaksi yang dulu. Dia sekarang sangat berpihak pada Galuh Sundari dan selalu mempercayai apapun hasutan permaisuri."
"Lihat saja nanti, Sekar. Kau lihat nanti sepak terjangku. Jangan panggil aku Galuh Citrawani kalau tidak bisa membalikkan keadaan," Citra mengedipkan sebelah matanya nakal, membuat Sekar ternganga dan terbelalak.
....
Galuh Sundari menangis dan bersimpuh di depan kaki Raden Suryapaksi. Tangisnya yang begitu menyedihkan tetap tidak meninggalkan kesan seorang putri yang anggun. Kedua pelayannya turut bersujud dengan kepala menyentuh lantai di belakang Sundari.
"Sayangku, dinda Sundariku yang jelita. Jelaskan, persoalan apa yang begitu melukai hatimu?" Suryapaksi memegang pundak Sundari dan menariknya bangun. Dituntunnya permaisuri untuk duduk bersisian di pembaringan.
"Kakanda, semua ini salah hamba yang tidak berguna dan tidak berbakti, sehingga semua orang juga berhak untuk menghina hamba... uuhuu..uhuuu.."
"Siapa yang berani menghinamu, dinda?" Suryapaksi mengerutkan keningnya.
"Ampuni Adik Galuh Citrawani, Kanda. Adik sedang lupa ingatan, sehingga ia melupakan penghormatan di antara kakak adik. Ia tidak sengaja mengingatkan kemalangan hamba yang tidak mampu memberi kanda keturunan." Tangan halus Sundari memeluk leher kekar Suryapaksi, kepalanya yang berambut hitam lebat menyandar ke dada bidang sang Raden. Sedu sedannya yang halus dan pelan masih terdengar sesekali.
Suryapaksi memeluk istrinya penuh kasih. Bibirnya hinggap di kening putih mulus itu dengan hati-hati.
"Lancang sekali Galuh Citrawani. Dia lupa kedudukannya di sini hanyalah untuk memenuhi titah ayahanda ! Dinda Sundari, meskipun kamu belum bisa memberiku anak, hatiku dari dulu dan kelak hanyalah milikmu. Kamu tidak usah kuatir, kanda akan menegur Galuh Citrawani agar kelak tidak berani berlaku lancang kepadamu."
Diam-diam Sundari tersenyum. Tetapi airmatanya tetap mengalir deras di pipi, diusap tangan kekar Suryapaksi dengan lembut.
"Sekarang kanda mau melihat kesayangan kanda tersenyum. Bulan jadi tertutup mendung kalau wajah ayumu manyun begini. Malam ini seluruh diri dan raga kanda milikmu, dinda... Mari kita berusaha lebih keras lagi untuk membuat anak."
Mereka berciuman mesra. Kedua pelayan Sundari mengundurkan diri setelah menurunkan tirai dan menutup pintu.
Di balik kelambu sutra itu, kedua sejoli itu saling pagut, saling pilin, saling renggut. Suara rintihan dan erangan eksotis dari bibir Sundari terdengar hingga ke telinga kedua pelayannya, yang menguping dari balik pintu dengan kulit wajah memerah bak kepiting rebus.
.....
"Kakanda, hamba mohon jangan datang ke kediaman hamba setiap malam. Hamba tidak ingin disalahkan oleh Ayahanda Raja karena tidak mau berbagi diri kakanda dengan adik Citrawani," keluh Sundari manja.
Kepalanya bersandar di lengan Suryapaksi yang direntangkan di atas bantal. Tubuh mereka berdua sama-sama polos tanpa sehelai benangpun, setelah pergumulan panas mereka sebelumnya.
"Hmm..." berat suara Suryapaksi. "Bukan salah dinda. Kanda yang malas mendatangi Citrawani. Kanda tidak bisa membagi cinta untuk wanita lain."
"Tetapi, kanda... kerajaan ini membutuhkan seorang penerus. Suka tidak suka, kakanda harus mengunjungi adik agar dia bisa mengandung cucu untuk ayahanda ..."
"Dinda ...."
"Ampuni hamba," Sundari memeluk Suryapaksi. " Ini demi kelangsungan keluarga kerajaan kita, kakanda. Mohon dipertimbangkan kembali. Percayalah, hamba tidak cemburu dan tidak marah, karena cintakasih hamba pada kakanda suci dan tulus. Semua akan hamba lakukan demi kejayaan kakanda dan kerajaan ! Bahkan jika hamba harus mengalah, hamba rela ditempatkan di istana pengasingan, atau dikembalikan ke Jenggala, demi untuk kebahagiaan masa depan kakanda dan adik Citrawani..."
"Tidak akan !" Geram Suryapaksi. "Jika Citrawani ingin mengusirmu dari sisiku, dia yang akan kuasingkan lebih dulu, dinda! Jangan pernah dia berani berharap menguasai kakanda untuk dirinya sendiri ! Itu tidak akan pernah terjadi."
"Tapi kakanda, bagaimana dengan permintaan ayahanda? Beliau sudah sangat ingin memiliki cucu..."
"Apakah istriku hanya Citrawani? Kanda memiliki dua orang istri. Dinda masih sangat muda, masih panjang harapan kita untuk mendapat keturunan."
"Hamba hanya kuatir, jika adik Citrawani tidak segera mengandung, maka kakanda yang akan disalahkan oleh ayahanda karena hanya menyayangi hamba dan mengabaikan adik.."
"Bagi kakanda, yang terpenting hanyalah dinda. Apapun titah ayahanda, biar kakanda yang menghadapi nanti."
"Oh, kakanda... hamba sangat mencintai kakanda..."
Jemari Sundari mengelus dan menyelinap dengan ahli, hingga sang Raden menggelinjang. Malam itu dihabiskan Sundari untuk melayani gairah Raden Suryapaksi yang menyala-nyala dan tiada akhir. Dengan piawai, Sundari bertekad membuat suaminya mabuk kepayang dan tidak akan pernah beranjak menuju ranjang sang madu, Galuh Citrawani.
Hari purnama karo, cuaca dingin dan sedikit berkabut.
Sekar dan Gentini baru saja melangkah keluar dari sanggar pamujan kecil di istana keputrian, ketika seorang pelayan berjalan cepat dan menabrak mereka. Sebuah keranjang bambu kecil jatuh terhempas dan bunga-bunga di dalamnya berserakan di tanah berumput.
"Kau !" Sekar marah. Ia memungut keranjang yang jatuh dan mengumpulkan kembali bunga-bunga yang berserakan.
"Sari, kenapa kamu menabrak kami?" Gentini marah-marah pada pelayan itu.
"Kalian yang tidak melihat jalan." Cetus Sari acuh tak acuh. "Oho, kalian mengumpulkan kembang ya! Sepertinya ada yang tidak puas dengan kehidupannya, dan ingin mengubah nasib dengan mandi kembang di malam purnama. Siapa tahu ada panglima prajurit gagah perkasa yang jatuh cinta. Hihihi."
"Tahu apa kamu ! Ini bunga rampe untuk tuan putri Galuh Citrawani ! Beliau hendak menyucikan diri setelah kecelakaan kereta. Ini tanda syukur kepada Sang Pencipta. Dasar kamu pelayan terbelakang, tahu bergunjing aja !"
"Huh !" Sari berlalu dengan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia tidak tahu kalau beberapa langkah di depannya menyala sebuah pasepan di perempatan jalan setapak.
Ia yang mengarahkan pandangan ke atas, tanpa sengaja melanggar pasepan itu, hingga ia menjerit kaget. Lalu jatuh terguling di rerumputan sambil terus menjerit kepanasan dan kesakitan. Kakinya melepuh.
Sekar dan Gentini tertawa hingga keluar airmata.
"Huh, rasain !" sorak Gentini puas.
"Angkat dagu tinggi-tinggi, biar nyangkut di tali jemuran!" teriak Sekar terbahak-bahak.
"Aduh, aduuh, awas kamu ya.." ancam Sari sambil meringis menahan sakit pada kakinya. Terpincang-pincang ia menghilang di tikungan.
"Kenapa Sari sombong sekali pada kita, ya? Mentang-mentang pelayannya permaisuri Sundari. Ia sengaja selau memusuhi dan mencari gara-gara dengan kita."
"Wajar. Majikannya adalah madu dari majikan kita. Jadi dia pikir dia harus memusuhi kita, untuk membela majikannya. Meskipun permaisuri Sundari selalu pura-pura baik pada tuan putri Citra."
"Sst, awas ada yang dengar.."
Sekar melirik beberapa pelayan bagian upacara yang tengah berlalu sambil menyunggi peralatan sembahyang. Mereka tersenyum dan saling menyapa. Setelah rombongan itu berlalu, Sekar menyenggol siku Gentini.
"Gentini, kamu lihat tadi? Para pelayan upacara itu sebagian besar adalah orang-orangnya permaisuri Sundari. "
"Memang, sejak permaisuri Sundari masuk istana, ia membawa banyak pengikut dari Jenggala. Mereka semua melayani dia untuk ditaruh di dapur, di bagian upacara, di gudang obat dan sebagainya."
"Wah, hebat juga pengaruhnya. Bahkan Raden Suryapaksi pun bertekuk lutut padanya..."
Mereka memasuki halaman kediaman Galuh Citrawani. Berjalan langsung menuju ke belakang untuk menyiapkan air mandi kembang. Dan mereka tercengang, melihat tuan putri mereka sedang jungkir balik dengan kepala di bawah !
"Jagat Dewa Batara ! Tuan putriii ! Apa yang terjadi?" Histeris, Sekar dan Gentini menghampiri .
Citra salto beberapa kali sebelum mendarat kembali ke tanah. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya, senyumnya berseri-seri. Pakaian yang dikenakannya adalah kostum senam yang dimodifikasinya sendiri.
"Enak banget ya abis senam yoga pagi begini ! Tubuhku jadi segar, kulitku pun kelihatan lebih merona..." Citra merasa puas. Disekanya peluh di dahi dengan sehelai saputangan sutra.
Gerakannya terhenti ketika ia menyadari kedua pelayannya dilanda shock. Mereka terpaku memandanginya dengan tatapan horor.
Citra terbahak geli ketika ia menyadari situasinya. Kedua gadis pelayan dari jaman kuno itu, tentu tidak pernah melihat seorang putri kerajaan memakai kostum senam, jungkir balik dan salto di udara. Terlebih seorang Galuh Citrawani yang terkenal lemah lembut dan sangat feminin.
"Sekar, Gentini, maaf yaa bikin kalian shock...Hahahaha...." Galuh Citrawani tidak bisa berhenti tertawa.
Sekar dan Gentini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak terbangun dari pingsan, tuan putri mereka berubah menjadi lain sama sekali. Lebih lincah dan gesit. Sering mengucapkan kata-kata aneh. Ini pasti akibat dari lupa ingatan.
Meski junjungannya telah berubah, kedua pelayan itu dengan setia dan tabah tetap mematuhi dan menuruti setiap perintah Galuh Citrawani.
"Tuan putri, ini kembang harum yang anda minta. Hamba akan suruh pelayan belakang untuk menyiapkan air mandi sekarang."
"Air panas jangan terlalu banyak, hangat kuku saja. Tambahkan segenggam garam dapur yang kasar. Setelah itu baru taburkan bunga di atasnya ya."
"Baik, tuan putri."
....
"Ini namanya mandi spa, Sekar. Kamu lihat itu bunga melati, cempaka, kenanga, mawar dan irisan pandan wangi ini... ini bisa bikin badan segar dan pikiran rileks .."
"Mandi...apa?"
"Mandi spa, Gentini." Citra terkikik geli. Menjelaskan berbagai 'budaya' jaman modern kepada orang kuno, sangat menghibur. Citra sangat menikmati ekspresi heran, bingung campur melongo di wajah mereka. Ini selingan baginya di antara kemonotonan gaya hidup kuno yang membosankan.
Di saat udara peralihan senja ke malam yang dingin, memang sangat nikmat berendam air hangat bertabur bunga. Citra menyandarkan kepalanya di tepi kolam kecil, tubuhnya yang hanya berbalut selendang tipis terasa nyaman berbaring. Air hangat yang wangi memenuhi kolam hingga sebatas lehernya.
Citra bernyanyi-nyanyi kecil sambil memejamkan mata. Lagu lama 'melati dari jayagiri' yang menjadi favoritnya sejak kecil.. Citra diajari lagu ini oleh mendiang neneknya. Ia diajari juga memainkan beberapa alat musik klasik, seperti biola, suling dan harpa.
Ia, Citra Kartika, adalah anak tunggal. Cucu tunggal pula, karena ibunya putri semata wayang dari seorang seniman yang terkenal. Sayang, ibunya meninggal ketika melahirkan, sehingga ia diasuh oleh kakek neneknya.
Sejak kecil, Citra tidak mengenal ayahnya.
Ia pernah begitu menggebu ingin bertemu ayahnya. Pertama kali Citra dibawa ke rumah ayahnya, saat ia berusia 5 tahun. Ayahnya yang telah menjadi milik dari keluarga barunya, keluarga politik kelas atas.
Setelah dewasa, Citra memahami dunia politik. Politik itu kejam, membunuh orang tanpa perlu berdarah. Yang dibunuh adalah karakternya. Demi untuk melindungi karir politik ayahnya, Citra harus menjadi keponakan dari ayah kandungnya sendiri.
Itulah sebabnya kenapa Citra memilih untuk masuk akademi polisi, ketika ia lulus sekolah menengah. Ia ingin tampil di medan terdepan, menangkap penjahat dengan berani, dengan senjata di tangan. Ia ingin menunjukkan sisi dirinya yang bertolak belakang dengan ayahnya.
Semua yang pernah diusulkan ayahnya, ia lakukan sebaliknya. Dan ia cukup puas dengan dirinya sendiri.
Ia tumbuh menjadi pemberontak, pemberani, pribadi yang tangguh dan belum pernah terkalahkan di bidang apapun yang ia geluti. Dan itu untuk menunjukkan pada ayahnya, bahwa ia, putri yang tidak diakui, lebih bisa diandalkan daripada putra kebanggaan yang disanjung-sanjung sang ayah.
....
Raden Suryapaksi memasuki istana keputrian, menuju kediaman Citrawani. Ia menyuruh pengawalnya menunggu di depan pintu gerbang. Ia dengan pasti langsung melangkah ke belakang, ke taman permandian, di mana Citrawani tengah berendam air hangat bertabur bunga.
Para penjaga keamanan wanita diberi isyarat agar tidak mengumumkan kedatangannya. Sekar dan Gentini yang menunggui majikannya di balik tirai bambu, terkejut dengan kedatangan Raddn Suryapaksi. Tetapi mereka terpaksa menutup mulut dan pergi menjauh setelah diperintah melalui isyarat mata.
Suryapaksi melangkah pelan-pelan menghampiri. Citra berbaring di kolam, membelakangi arah masuk. Gadis itu memejamkan mata sambil menyanyi. Suryapaksi mengerutkan alisnya. Suara gadis itu merdu, alunan nada yang dinyanyikannya terdengar aneh dan asing, tetapi enak didengar.
"Siapa kamu?" Citrawani tiba-tiba membentak. Tanpa mengubah posisinya, ia membuka mata dan memutar kepalanya. Gadis itu terkejut melihat seorang laki-laki. Orang itu dengan percaya diri melipat tangan di dada, berdiri bebarapa langkah di sana sembari memandanginya.
Sraaasshh!!
Citrawani meloncat seperti terbang dari kolam, menyambar kain yang ditumpuk di samping pemandian lalu ditutupkan di tubuhnya. Semua itu ia lakukan hanya dalam hitungan detik.
"Sekar, Gentini !" teriak Citra. Tetapi kedua pelayannya itu tidak kunjung datang. Citra menggertakkan giginya, geram. Entah apa yang dilakukan lelaki ini pada kedua pelayannya.
"Siapa kamu?" ulangnya pada orang asing yang masih menatapnya, kali ini pandangan lelaki itu berubah . Pandangan orang yang shock, seperti pandangan pelayan-pelayannya. Tetapi hanya sekejap. Beberapa saat kemudian, pandang mata lelaki itu kembali dingin dan skeptis.
"Oh, kamu tidak mengenaliku? Jadi benar kata-kata orang, kamu mengalami lupa ingatan?"
"Huh, buat apa aku mengenalmu? Kamu lelaki mesum, penyusup ! Beraninya memasuki kolam mandi keputrian dan mengintip istri putra mahkota yang sedang mandi ! Beraninya kamu !"
"Kenapa aku tidak berani?"
"Kamu cari mati!"
"Siapa yang berani menghukum aku?"
"Memangnya kamu raja? Tidak ada yang berani menghukum kamu, katamu? Kalau begitu biar aku yang menghukummu !" Dengan marah, Citra meraih sebuah nampan perak yang ada di sisi kolam lalu dilontarkan. Benda itu berdesing dan mengarah pada lelaki itu dengan teknik pelempar senjata rahasia yang akurat.
Suryapaksi menyambut lemparan 'senjata' itu dengan sebelah tangan. Nampan itu lalu ia banting hingga penyok di lantai batu.
"Citrawani, beraninya kamu menyerangku!"
"Kamu melakukan pelanggaran berat ! Raden Suryapaksi tidak akan mengampunimu !"
"Oh, kamu ingat yang mana namanya Raden Suryapaksi?"
Tatapan lelaki itu seperti mengejeknya. Citrawani panas. Ingin dirinya mengiyakan. Tetapi ia tidak bisa berbohong. Dengan kesal, ia mendengus.
"Huh ! Ada urusannya hal itu denganmu!?"
"Tentu saja ada. Karena akulah Jayanti Suryapaksi!"
"Apa?"
Citrawani terbelalak. Rahangnya terbuka. Dengan setengah tak percaya, ia menatap lelaki di depannya lekat-lekat.
"Kamu..kamu..Raden Suryapaksi?"
Dan Citrawani baru menyadari, pakaian yang dikenakan lelaki ini mewah, lain dari orang biasa. Jadi ini Raden Suryapaksi, putra raja yang menjadi suaminya? Tanpa sadar Citrawani mengamati lelaki itu dari kepala hingga ke kaki dengan rasa penasaran.
"Bagaimana? Kamu sudah menyadari siapa aku? Aku Raden Jayanti Suryapaksi, suamimu, Galuh Citrawani Diah Paramhita!"
"Aa..iya. aa aku tidak tahu kalau kamu adalah...su maksudku, Raden Suryapaksi..." Citrawani gugup. Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus gugup? Apakah karena menyadari kalau dirinya telah kelepasan tangan menyerang suaminya sendiri? Atau karena tatapan mata lelaki yang setajam elang Amerika ini serasa menembus tulang ?
"Maafkan hamba, hamba benar-benar tidak mampu mengenali kakanda Raden, karena hamba... mengalami amnesia, lupa ingatan."
Citrawani mencakupkan kedua tangannya dan menyembah. Ia dengan fasih segera mengubah gaya bicaranya yang lugas dan kasar menjadi penuh hormat.
Suryapaksi berdehem.
"Hm, jadi kamu sama sekali tidak ingat dengan semua masa lalumu? Juga kenangan masa kecil kita?"
"Tidak ingat sama sekali. Tetapi hamba malah bersyukur. Karena dengan melupakan masa lalu, hamba terhindar dari kekecewaan. Dengar-dengar , seseorang kabarnya juga melupakan jodoh masa lalu , padahal tidak mengalami benturan di kepala." Sindir Citrawani.
"Hm, aku baru tahu kalau lupa ingatan juga bisa membuat seseorang menjadi lebih pintar bersilat lidah, " Suryapaksi balas menyindir.
"Yah, begitulah kakanda. Bahkan lebih dari itu. Hamba mohon kakanda tidak akan kaget melihat begitu banyak perubahan, karena anda sendiri telah berubah banyak. Kakanda mungkin harus belajar dulu untuk menghadapi diri sendiri sebelum mengkritik orang lain."
"Pintar!" dengus Raden Suryapaksi. "Jika aku tidak melihat dan mendengar sendiri, aku tidak akan percaya ini kata-kata kamu, Citrawani."
Citrawani tersenyum.
"Ampuni hamba, kakanda. Tetapi dunia ini sudah mengajarkan banyak hal kepada hamba. Seorang joker yang jahat berasal dari orang baik yang tersakiti. Hamba bersyukur belum menjadi orang jahat."
"Kamu merasa tersakiti, Citra? Kamu pikir aku menyakitimu?"
"Hamba tidak ingat lagi, kakanda. Semua yang hamba ketahui sekarang, berasal dari penuturan orang lain, terutama pelayan hamba."
"Dan apakah yang dituturkan mereka tentang diriku, Citrawani?" Raden Suryapaksi mendekat perlahan, sembari menatap Citrawani, mengintimidasi.
Citrawani memegangi kain yang menyelubungi tubuhnya erat dan reflek melangkah mundur. Suryapaksi tidak menghentikan langkahnya. Ia mengungkung Citrawani yang tersudut di antara tubuhnya dan tembok pembatas taman pemandian.
"Apakah mereka menceritakan pernikahan pertamaku yang belum menghasilkan keturunan? Dan memintamu untuk segera membuat bayi denganku? Untuk itukah kamu mandi kembang di waktu sandikala begini?"
"Apa sih? Menjauhkan sedikit, Kakanda Suryapaksi !" Citrawani mendorong dada lelaki itu dengan sedikit ragu. Tetapi otot dada itu tebal dan kokoh seperti otot binaragawan.
"Bukankah ini yang kamu inginkan, Citrawani? Kamu ingin mempersembahkan cucu untuk ayahanda? Kalau memang itu yang kamu inginkan, aku akan memberikannya ! Aku akan memuaskanmu, asalkan kamu tidak mencari masalah dengan dinda Sundari."
"Hummh, kakak mengadu pada anda secepat itu?" Citrawani tersenyum, tatapan melecehkan sengaja tidak ia sembunyikan dari matanya. "Apalagi yang kakak katakan, kakanda? Tidakkah ia meminta anda untuk meninggalkan hamba secepatnya?"
"Jangan mengatakan hal buruk tentang Sundari seperti itu, Citrawani ! Dia tidak serendah yang kamu pikirkan. Apa kamu sengaja bertingkah laku seperti ini, untuk menarik perhatianku? "
"Menarik perhatianmu? Buat apa, kakanda? Apakah anda pikir, semua wanita di dunia ini ingin sekali mendapatkan perhatian anda?"
Suryapaksi menatap tajam Citrawani. yang dibalas gadis itu dengan lebih tajam dan berani.
"Apakah kamu tidak? Siapa yang dulu memohon kepadaku untuk tidak memutuskan tali pertunangan? Aku tahu kamu tidak ingin melepaskan status istri putra mahkota ! Aku tahu, yang kamu inginkan adalah melahirkan penerus kerajaan ini! " Lengan Suryapaksi terulur, hendak meraih Citrawani dengan kasar.
Tetapi gadis itu lebih cepat, menepis tangan Suryapaksi, lalu menyelinap seperti belut di celah yang tercipta antara dirinya dan lelaki itu. Dengan kemampuannya yang tinggi, dalam beberapa detik Citrawani telah menjauhkan dirinya dari suaminya.
"Maafkan hamba harus mengecewakan kakanda, tetapi apa yang kakanda katakan tidak sesuai dengan isi hatiku. Maaf, hamba pamit dulu," tanpa menunggu jawaban, Citrawani melesat pergi dari taman permandian.
Di luar taman, dengan lincah ia meloncat dari satu dahan pohon ke dahan berikutnya, hingga sampai di depan kamarnya. Citrawani menyelinap masuk tanpa diketahui oleh beberapa pelayan yang masih beraktivitas di kediamannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!