"Gak boleh telat,..." Tapi astaga telat! Hari ini pertama meeting di posisi baru dengan Director rumah sakit. Ini gara-gara semalam terlalu malam pulang dari Bandung.
Baru seminggu hari ini ngantor disini dan hari ini meeting pertamaku dengan Direktur Utama Rumah Sakit tempatku bekerja. Keluar buru-buru dari mobil dan menenteng tas kerja dan tas laptop sementara tangan lain memegang gelas kopi. Multitasking...
Aku berjalan cepat di lobby. Ponselku berbunyi,... Astaga lebih baik aku membeli wireless headphones lain kali.
"Iya kenapa Ma?" Lobby kenapa ramai sekali, harus berhati-hati dengan semua barang yang kubawa sementara aku harus mengejar lift di depan, sembari menelepon.
"Lisa, adik kamu minta bayaran semesteran kuliah. Kamu belum kasih ya..." Mama datang dengan masalah. Uang!
"Udah Ma, kan udah awal bulan sama uang saku semua. Sekarang dia minta apa lagi?!" Belum apa-apa aku sudah kesal.
"Katanya kurang. Kepake sama dia buat beli buku kuliah dan bayar praktek. Dia minta lima juta lagi...." Langsung menghela napas kesal dengan omongan Mama.
"Dia pake buat apa lagi sih...Ya Tuhan! Mama jangan kasih Ma. Aku mau ngocehin orang dulu, kemana lagi sih dia pakai uangnya, itu adek satu kenapa sih nyusahin bener!" Aku tak sadar mengoceh dengan nada tinggi, harus nanggung semuanya di keluarga ini semenjak kepergian Papa. Dua adikku masih kuliah, walaupun satu hampir selesai. Kebutuhan rumah, Ibu yang terkadang sakit, kenapa hidupku berat sekali belakangan.
"Iya Mama gak habis pikir kenapa dia gak bisa berhemat. Udahlah Lisa, nanti Mama yang kasih aja, Mama masih ada..."
"Gak bisa Ma! Simpen buat Mama! Besok aku omelin dulu si Ardy! Kurang ajar! Kemarin Mama tahu dia juga minta tambahan, sekarang....Aww!" Dan tiba-tiba aku bersenggolan dengan seorang gelas kopiku tumpah dan sukses membuat noda lebar. Kopi yang masih panas itu membuatku noda di bajuku! Apes!
"Sial! Bisa hati-hati gak sih!" Akumulasi kekesalanku sudah memuncak sekarang. Entah kesialan apa hari ini, baju ku kena tumpahan kopi, baju putih lagi, lupa gak bawa blazer! Telat lagi, harus ketemu Director hari ini,... Orang yang menabrakku juga sedang melihat pada layar ponselnya. "Kamu tuh ya! Liat dong kalo jalan! Jangan lihat HP terus..." Aku hopeless melihat bajuku yang sudah kotor.
"Maaf, saya tak melihat Anda."
"Maaf!Maaf! Mata dipakai kalo jalan!" Aku melihat orang yang menabrakku, mukanya bule, mungkin salah satu keluarga pasien. Ganteng, tapi gue gak perlu kegantengan dia sekarang. Ngomong Indonya lancar, gak ada accent khusus. Kok bisa...
"Saya belikan lagi kopinya..."
"Bukan masalah kopinya Bambang! Baju saya kotor! Astaga, tuh mata... disimpen dimana sih." Sekalian kupanggil Bambang karena kesel. Dia langsung nyengir karena dipanggil Bambang. "Apa lu nyengir-nyengir."
"Ini mungkin membantu..." Dia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya celananya dengan cepat. Masih ada yang pake sapu tangan ya zaman ini.
"Wah jaman kuno juga ya pakai sapu tangan. Ishhh... sudahlah saya buru-buru. Saya ambil!" Aku meninggalkan bule itu dengan mengambil sapu tangannya, lebih baik pergi cepat harus bisa mengeringkan ini, karena aku lupa bawa blazer!
Aku tidak memperdulikan orang itu lagi, gak bakal ketemu lagi juga, salah dia! Kuambil sapu tangannya dan berlari ke depan. Lift didepan sudah mau sampai! Satu-satunya cara mencoba membersihkan ini, menyelamatkan blouse satu-satunya.
"Bu Lisa, kenapa bu bajunya?" Staffku Dhea yang sudah menunggu bertanya soal kondisiku yang mengenaskan.
"Ditabrak orang picek didepan." Sapu tangan tadi tampaknya berhasil membuat nodanya tidak melebar. Mungkin aku bisa pinjem blazer Dhea kalo nodanya tidak bisa bersih.
"Ada jadwal perkenalan dengan Pak Director Bu, jam 10." Aku baru seminggu pindah ke cabang ini, sebelumnya bekerja di salah satu cabang rumah sakit yang lebih dekat ke rumah. Aku Melisa Darmawan, 34 tahun, Head Division Finance and Accounting, ini promosi jabatan dari pusat karena ini cabang yang lebih besar, tanggung jawabnya pun lebih besar.
"Iya, jilid laporan yang saya minta sudah siap?"
"Sudah Bu,..."
"Bajuku, gimana ini. Dhea bawa blazer? Saya pinjam, saya lupa bawa blazer..." Ini gak mungkin bersih secara sempurna.
"Ada Bu, ntar saya ambilin."
"Ya udah saya periksa laporan ini dulu." Aku memeriksa laporan yang sudah disiapkan assistenku."
"Ini Bu..."
"Namanyanya pak Vincent siapa kemarin, Vincent Hudgens ya..."
"Iya Bu..."
"Ngomongnya Indo apa English."
"Indonya lancar kok bu. Bahasanya native malah kalau Pak Vincent..."
"Ohhh..." Sebuah kekhawatiran menyełinap dalam hatiku. Kok bisa bule lancar bahasanya. Kaya orang yang nabrak aku tadi pagi. Jangan bilang dia orangnya... Matilah kusebut dia Bambang plus manusia prasejarah. Gak mungkin.... apa bener aku seapes itu hari ini. "Kok bisa lancar banget bahasanya."
"Blasteran kelahiran sini Bu ..."
"Ohhh umur berapa."
"Masih muda Bu, kayanya awal 40 deh." Serius! Director RS ini umurnya awal 40?! Muda amat!? Orang tadi mungkin juga diawal 40. Apa aku bener-bener apes hari ini. Engga-engga, Ya Tuhan gak mungkin...
Aku dengan susah payah mendapatkan promosi sepuluh tahun ini. Harus dihancurkan sama si Bambang...
Hatiku langsung gak tenang. Sampai didepan ruangan director aku berdoa itu bukan bule ganteng yang ku lihat sejam yang lalu. Please ya Tuhan, jangan bikin aku seapes ini hari ini.
"Bu, sihlakan masuk ..." Sekertarisnya membuka pintu.
Aku melihat perawakannya dari belakang, ternyata dia sedang menelepon dan menghadap ke jendela besarnya. Sial!Sial! Bajunya sama! Suara baritonnya pun sama! Please ya Tuhan, aku butuh keajaiban dunia ke sembilan terjadi. Jangan si Bambang .... Dia mematikan teleponnya, siap berbalik, sesaat dia masih memperhatikan layar. Ya Tuhan aku rela melakukan apapun, jangan dia please!
"Maaf menunggu Bu Melisa, ..." Dia melihatku, aku melihatnya. Si Bambang manusia kuno didepanku yang masih membawa sapu tangan itu , Vincent Hudgens. "Anda...." Dia menujukku dengan jarinya dan aku cuma bisa gemetar di kursiku sekarang.
"Saya benar-benar minta maaf buat kejadian tadi pagi Pak Vincent..." Si Bambang nyengir sebelah bibirnya melihatku, kenapa dia suka sekali nyengir. Aku menangkupkan tangan menyembahnya didepan wajahku memohon pengampunan. "Maaf buat kejadian tadi pagi."
Dan bintang keberuntunganku sudah musnah hari ini, jika ada hujan meteor, maka sekarang sudah terjadi. Kiamatku sudah dekat!
❤❤❤❤❤
Hallo girls, kita maen dokter-dokteran sekarang.
Jangan lupa di Fav ya, klik jempol.
Votenya baru jalan bulan MEI ...jadi bulan ini Vote masih di IHMB yaaa
Makasih semuanya
Aku tak tahu apa arti tiap cengiran Bambang ini. Tapi demi Tuhan kuharap dia bukan tipe baperan plus pendendam. Setengahnya aku tetap berpikir dia terlalu tampan dan muda untuk menjadi direktur sebuah rumah sakit.
Menunggunya bicara adalah sebuah siksaan. Padahal aku sudah mengerahkan upayaku untuk meminta maaf.
"Sudahlah lupakan, kita disini untuk pekerjaan. Saya juga minta maaf menabrak Anda." Dan aku menghela napas lega, ternyata dia tidak mempermasalahkannya.
"Terimakasih Pak. Saya benar-benar tidak mengetahui Bapak atasan saya."
"Anda baru dipromosikan dari cabang bukan."
"Iya Pak."
"Hmm, muda sekali, sudah promosi menjadi Kepala Bagian." Kenapa dia tidak menyebutkan dirinya sendiri, terlalu muda untuk Direktur.
"Saya 34 tidak muda lagi Pak. Saya sudah berkarier lebih dari sepuluh tahun di grup ini." Aku berbangga hati dengan pencapaianku, tak ada yang tahu berapa banyak kerja kerasku.
"Ohhh saya pikir Anda lebih muda dari itu. Ternyata kita hanya beda 5 tahun." Aku tersenyum. Ternyata si Bambang ini belum kepala empat. Dia lebih mengesankan untuk orang yang belum kepala empat.
"Baiklah, kita langsung ke pekerjaan saja."
Selamat, setidaknya dia tidak mengambil hati atas kekurang ajaranku.
\=\=\=\=\=\=
"Masih belum berkeluarga? Masa?" Aku baru tahu si Bambang itu single dari Dhea assistenku disini.
"Iya Bu, ... workaholics. Mendewakan kerjaan. Pak Director punya bisnis jaringan apotek dan klinik sendiri lho Bu. Plus dia itu partner penasihat pengacara untuk kasus khusus malpraktik."
"Gay ya?"
"Kayanya sih engga Bu, cuma ya orangnya ya gitu suka kerja, mungkin dia anggep cewe itu ganggu waktu dia. Tapi katanya udah pernah cerai sih. Banyak yang tergila-gila sama dia. Beberapa dokter pernah terlibat pacaran ama dia. Tapi gosipnya Pak Direktur itu anti komitmen punya. Tapi kayanya ehmm... deg-degan ya Bu kalo pacarnya kaya gitu... Terlalu h*ot."
Aku tersenyum mendengat perkataan Dhea. Iya sih, terlalu sulit untuk menolaknya, dengan brewoknya yang kadang dibiarkan sedikit tumbuh itu. Kau bisa membayangkan banyak hal.
"Hmmm... ya sudahlah, biarin aja bukan urusan kita. Masing-masing punya hidup masing-masing."
"Ibu kan single Bu. Tak tertarik ikut bursa calon Bu?" Dhea menggodaku.
"Saya lebih tertarik ketenangan hidup... Ya sudah, saya mau pulang dulu ya. Jangan lupa minta anak-anak kerjakan yang saya minta. Bilang kita meetingkan besok."
"Siap Bu."
Aku bersiap-siap pulang. Ada masalah di rumah, Ardy adik bungsuku itu, aku harus bicara dengannya sepulang ini.
Sudah jam 7 malam. Lumayan pulang jam segini walaupun masih macet tapi setidaknya lebih sedikit lebih cepat daripada pulang jam 6.
Seseorang tiba disampingku saat aku didepan lift. Ternyata Bambang, kenapa otakku suka sekali menyebutnya Bambang.
"Oh Bu Melisa, sudah mau pulang." Dia berbaik hati menyapaku duluan. Udah ganteng, mapan, bule, suara baritonnya bikin lemes. Gimana dia gak tenang-tenang aja ya, yang nyerahin diri sama dia sukarela banyak. Tinggal pakai, otakku sekarang ikut membayangkan banyak hal soal Bambang ini.
"Iya Pak, ..." Aku tersenyum padanya. "Oh ya sapu tangannya saya bersihkan dulu, nanti saya kembalikan ke Bapak." Tapi old school karena masih pake sapu tangan. Kayanya itu generasi Papa Mama aku. Generasi sekarang bawa tissue doang.
"Kuno ya..." Dia tersenyum begitu membahas sapu tangan, karena dia masih mengingat yang kukatakan tadi pagi.
"Saya... saya...maksud saya sekarang jarang yang bawa saputangan Pak. Saya minta maaf lagi... Itu jangan ambil hati Pak."
"Itu menang kuno." Dia tertawa sendiri. Lumayan ternyata dia bisa menertawakan dirinya sendiri. Aku jadi tidak begitu tegang lagi.
Lift berdenting dan dia mempersihlahkan aku masuk terlebih dahulu. Dia punya sopan santun yang bagus.
"Mau temani saya makan malam dibawah?"
"Ehh? Makan malam? Sekarang?" Aku harus pulang ngomong ke Ardy gak bisa mampir kemana-mana lagi sekarang.
"Maaf gak bisa ada urusan keluarga Pak..."
"Ohh, anak udah berapa?" Pertanyaan klise orang Indonesia, sepertinya bule ini memang native Jakarte ternyata. Aku meringis sendiri...
"Saya single bahagia Pak..." Dia mengangguk tapi kemudian tak bertanya lagi. Aku tahu mungkin dia menghindari single yang mengharapkan dia. Takut disangka PHP. PHP in Head finance itu repot urusannya.
"Kalau begitu saya duluan Pak. Malam Pak"
"Iya malam..." Aku meninggalkannya dan berjalan lurus ke lift basement.
Dia tipe anti komitmen. Dan dia gak tahu akupun anti komitmen, apalagi berpikir nyari affair ke orang seperti dia, itu gak akan terjadi. Lift berdenting kami sudah mencapai lantai dasar kemudian.
"Kamu bisa gak sih jangan bikin masalah terus Dy? Kamu kemanain uang yang udah kakak kasih? Kamu pikir kita keluarga kolongmerat?! Bisa gak sih kamu mikirin kakak juga!?"
Aku marah-marah ke adik bungsuku itu. Sejak tujuh tahun lalu setelah Papa sepenuhnya pensiun aku yang menanggung pengeluaran keluarga. Uang tabungan Papa habis karena tiba-tiba Papa ternyata menderita gagal ginjal karena diabetes dan komplikasi yang sudah lama dia derita.
Pun itu tak menolong karena akhirnya setelah berjuang tiga tahun Papa meninggal.
Gajiku besar iya, tapi bebanku juga besar. Mukai dari pengeluaran rumah, biaya kuliah dua adikku, sampai ke biaya pernikahan adik keduaku bahkan aku yang menanggung. Untungnya tahun ini akhirnya dari tiga adikku tinggal Ardy yang sudah menjalani semester empat. Aku baru bisa sedikit bernapas lega.
Dan Ardy ini menang terlaludimanja karena dia anak laki satu-satunya dan bungsu.
"Udah Mel, biar Mama yang kasih." Uang Mama juga dari aku. Apa bedanya...
"Dia udah minta tambahan ke aku Ma. Dia ngabisin uang kaya dia tuh anak orang kaya. Mama jangan iyain terus Ma."
"Kakak tuh bawel banget sih, emamg orang gak butuh sosialisasi. Ini Jakarta Kak, aku gak mau jadi orang kuper!" Dan dia sangat senang membantahku karena dia tahu Mama akan meredakanku. Bukan sekali dia minta uang untuk kasus yang bisa membuatku naik darah.
"Eh Dy, kalo mau ngabisin duit pake duit kamu sendiri. Gue biayain lo biar lu bisa nyari duit sendiri. Kuliah yang bener sono, IPK pas-pasan, belajar gak bener, pacaran, clubbing kaya anak orang kaya, lu kalo ngulang mata kuliah lagi jangan harap gue mau bayar! Sono drop out sekalian!"
Ardy diam dengan kemarahanku. Tapi menatapku dengan sengit.
"Sudah Mel, nanti Mama yang bayar gak pa pa..."
"Ma, jangan belain dia mulu Ma. Cape aku dengernya. Itu duit aku yang cari, emang buat dia foya-foya."
"Makanya cari laki kaya.... Jangan kaya' janda tua bawel, minta duit dikit aja ngomelnya ke ujung dunia."
"Lu ngomong apa hah!" Aku mendatangi Ardy dan sekarang berdiri depan Ardy. "Coba ulang sekali lagi! Beli beras sekilo aja gak pernah, berani lu ngomong lagi?!"
"Udah ...udah! Ardy!" Sekarang Mama berteriak.
"Kenapa? Lu pikir gue gak berani?! Janda tua bawel!" Dan sebuah tamparan melayang ke mukanya. Dia melihatku tak percaya, dia pikir aku tak berani menghajarnya...
"Gue benci sama lu!" Dan dia pergi dari rumah.
"Pergi lu gak usah balik lagi!"
Kepalaku sakit, Mama menangis semalaman karena aku menampar Ardy dan anak kesayangannya itu kemudian tak pulang sampai tiga hari ini.
Aku merasa bersalah.
Tapi kelakuan Ardy tak bisa ditolerir lagi. Tak bisakah dia tak terlibat pergaulan anak-anak orang kaya itu. Uang mereka tak punya seri, tapi aku bahkan mobilpun cuma punya mobil dari faselitas kantor. Tak bisakah dia sedikit meringankan beban yang kupikul sendiri. Aku menyesal menyetujui permintaannya untuk masuk ke universitas itu. Harusnya kukirim saja dia ke Jogja atau Malang.
Andai Papa masih ada... Mungkin aku masih bisa cerita padanya. Aku tak punya kesabaran menghadapi Ardy. Tapi Papa selalu punya celah bicara dengan Ardy, sementara Mama terlalu lemah hati terhadap apapun yang Ardy minta.
Aku baru selesai meeting di kantor pusat. Ini baru jam dua tapi rasanya benar-benar lelah. Janda tua bawel! Mungkin benar apa yang dikatakan Ardy... aku bukan single bahagia, tapi aku janda tua bawel.
Aku pernah menikah. Pernikahan impian, diumurku ke 24, princess meet prince story. Suamiku anak orang kaya berumur 28, hidupku terjamin. Tapi mimpiku itu hanya bertahan tidak sampai setahun karena di bulan ke enam akhirnya aku tahu suamiku punya dua wanita simpanan lainnya plus pacar tak resmi. Rasanya aku seperti orang bodoh dibohongin mentah-mentah...
Tidak! Aku tak akan membiarkan diriku hidup dalam kebohongan besar macam itu.
Setelah itu hidupku berubah 180°, kehidupan mimpi itu berakhir, aku bercerai, memulai karierku dari bawah. Tak lama Papa mulai sakit-sakitan, Mama juga tak stabil kondisinya karena terpengaruh Papa.
Bertahun-tahun aku berusaha sekuat tenaga untuk bekerja mendapatkan pengakuan karena aku bisa melihat aku akhirnya yang harus berdiri menyokong keluargaku. Aku janda, reputasiku sudah tak mendukung lagi untuk mendapatkan pangeran. Yang bisa kulakukan adalah berdiri menyokong diriku sendiri.
Luka akibat perceraian cukup membuatku melihat cinta berbeda. Kepercayaanku hancur, statusku janda yang kadang membuat orang berpikir aku gampangan mau diajak terlibat hubungan sesaat.
Akumulasi pengalaman hubungan pribadi yang gagal selama bertahun-tahun cukup membuatku yakin lebih baik berdiri di atas kaki sendiri. Aku telah menutup diri karena banyak kekecewaan yang aku alami.
Kupikir akhirnya, bahagia itu adalah melihat keluargaku tercukupi. Aku tak muda lagi, ... cukuplah berbakti buat Mama. Membuatnya bahagia di penghujung hidupnya. Tak kurang satu apapun.
Tapi setiap jalan memiliki tantangannya sendiri. Hidup tak pernah mudah bukan.
"Bu, sekertaris bilang Pak Vincent minta meeting anggaran jam 4." Dhea menyambutku langsung dengan jadwal meeting internal.
"Oke. Jam 4 kan. Mana yang harus saya tandatangan." Pekerjaan masih menumpuk, sudahlah Ardy bukan anak kecil, nanti juga kalau uangnya habis dia pulang minta duit.
Meeting anggaran dengan beberapa kepala unit berlangsung panjang sampai lewat jam 6, karena mereka punya banyak permintaan.
Di akhir meeting sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselku. Dari Lenna, adikku.
'Kak, Mama kayanya kambuh lagi.' Aku menghela napas dan memijat kepalaku membacanya. Sementara yang lain sudah keluar aku masih duduk.
Mama punya penyakit maag yang sudah menahun. Jika dia kambuh, bahkan dia tidak bisa bangkit dari tempat tidur, tidak bisa makan, kadang berakhir dia harus opname.
Aku menelepon Lenna.
"Obat masih ada? Minta resep ke dokter Rina, kayanya bisa langsung tebus kan." Lenna yang bisa kuandalkan sekarang. Dia selalu bisa membantuku.
"Bisa kak, ini aku udah di apotik. Sisa satu, aku beli lagi."
"Ya udah. Nanti bentar aku pulang." Aku menutup telepon.
"Ada yang sakit?" Ternyata si Bambang masih disampingku. Kupikir tadi dia sudah keluar.
"Engga, cuma mama yang maagnya kambuh lagi?"
"Ohh, gastritis, GERD, tukak atau IBS?" Kalau ngomong ke dokter pasti langsung detail pertanyaannya.
"Dulu diagnosisnya GERD."
"Kalo parah opname aja, biar bisa ditangani."
"Engga udah ada resep yang biasa."
"Diresepin Prilosec?"
"Iya kayanya, saya lupa nama obatnya..." Aku tak bisa mengingat nama obat yang dia hapal di luar kepala tentu saja. Perhatian juga ke rekan kerja si Bambang.
Teleponku berdering dari Mama kemudian. Lenna di apotik apa dia baik-baik saja. Aku langsung mengangkatnya.
"Iya Ma."
"Mel, cari adek kamu kenapa dia belum pulang Mel. Telepon Mama gak diangkat." Aku menghela napas.
"Iya ntar Mel cari. Mama istirahat aja. Ntar aku pulang." Anaknya lakinya itu udah gede, udah bisa jaga diri sendiri. Selalu diperlakukan kaya anak kecil. Aku tak habis pikir. Tapi bagaimanapun itu anaknya.
"Pak Vincent masih ada yang mau dibicarakan."
"Tidak, sudah semua tadi." Dia diam sebentar. "Kamu perlu bantuan soal Mamanya? Biar dokter Hendra periksa Mama kamu, bawa aja kesini. Kalo parah opname aja."
"Engga, Mama cuma banyak pikiran aja... Makasih Pak . Kalau begitu saya kembali ke ruangan saya Pak. Malam Pak." Aku harus mencari Ardy sekarang. Bawa balik pulang anak kesayangan Mama itu.
"Iya malam..." Aku menghilang dari ruangan kembali ke ruanganku sendiri. Mencoba menelepon Ardy, tapi dia tidak mau mengangkat teleponku tentu saja. Anak ini dia tak tahu Mama memikirkannya sampai sakit.
Berkali-kali menelepon tak membuahkan hasil aku kesal. Adikku itu tak pernah menghargai apa yang aku usahakan buat dia.
Aku pulang, dijalan aku coba lagi. Sampai ke basement ketika akhirnya ditelepon balik oleh Ardy.
"Pulang! Mama sakit mikirin kamu gak pulang anak kesayangan..." Aku langsung ke inti pembicaraan tanpa tedeng aling-aling lagi.
"Aku gak mau pulang. Aku mau ngekos tinggal sendiri. Gak usah ngurus aku lagi,..." Dan mendengar kata-katanya langsung membuatku sakit kepala.
"Gak bisa! Enak aja, Mama mana setuju kamu ngekos, seenak kamu pulang malem, seenak kamu kelayapan, sakit tambah sakit tuh Mama. Kamu jangan macem-macem. Pulang sekarang!"
"Aku bisa hidup sendiri. Cape dengerin kakak sama Mama tiap hari, pokoknya aku gak mau pulang. Kirim 5 juta ke rekening aku sekarang, aku nyari kos! Aku tinggal di apartment temen aku, kakak gak usah repot ngurus aku!"
"Lu pikir gue ATM lo, lu jangan macem-macem!Pulang sekarang! Kasian Mama!" Seenaknya minta 5 juta dia pikir gue metik duit di pohon!
"Terserah kakak aku gak akan pulang! Bye!"
"Ardy!" Dia menutup teleponku begitu saja.
"Hati-hati!"
"Ehh!" Seseorang mendorong bahuku ke samping, aku tak memperhatikan jalanan ramai area parkir, hampir saja aku keserempet mobil.
"Liat-liat kalau jalan, jangan sambil teleponan..." Sejak kapan dia ada dibelakangku. Apa dia dengar semua perkataanku.
"Maaf. Makasih Pak." Tiba-tiba aku merasa malu sia mendengarkan semua yang kukatakan. Dan mataku memanas karena kesal mendengar Ardy ingin kos. Dia pasti membuat Mama sedih dan ini adalah kesalahanku karena menamparnya.
"Apa kamu baik?"
Kalimat itu. Sudah lama sekali tak ada seorangpun yang bertanya apa aku baik-baik saja. Kenapa aku tiba-tiba merasa terpuruk begini.
"Saya baik. Makasih Pak, ... Saya harus kembali. Makasih lagi..." Tiba-tiba aku merasa ingin menangis. Aku berbalik dan langsung meninggalkan Boss ku itu dengan cepat karena air mataku tiba-tiba tak memberiku waktu.
Aku tak perduli kesopanan lagi, lebih tak baik jika tiba-tiba aku menangis didepannya, akan lebih memalukan lagi. Profesional mana yang menangis didepan atasannya.
Aku hanya ingin menangis di mobil sendiri.
Karena selama ini aku juga sendiri.
Semuanya akan baik-baik saja, aku hanya perlu menguatkan diriku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!