NovelToon NovelToon

Dewan Cinta Hati Freya

Bab 1

"Kaya ... aku males sekolah," rengek seorang gadis yang masih setia membungkus diri dengan selimut. Tidak dibiarkan hawa dingin mengusik mimpi indah. Dia juga tidak begitu peduli dengan matahari yang sedang memaksa masuk melalui jendela di seberang kasurnya---lagian siapa sih yang meletakkan jendela di sana?! Gerutu gadis itu setiap hari.

Sedangkan anak perempuan satunya lagi sudah siap dengan blazer abu dengan logo Bayanaka International School yang berada di depan saku dada kirinya. Sekolah kenamaan yang menjadi tempat mereka untuk menimba ilmu sejak dini.

Kaya hanya bisa berkacak pinggang melihat kelakuan sahabatnya. Tidak berlangsung lama dia mengembuskan napas dan menyimpan tasnya di bawah meja belajar. Dia lalu mendekati temannya lalu berucap, "Freyaaa ... bangun!!!"

Freya mengintip tetapi tidak membuka mata sepenuhnya. Tangannya bergerak otomatis ke bawah bantal. Menarik sebuah ponsel dan melihat jam yang tercetak pada benda canggih itu.

"Baru juga jam enam. Bangunin aku jam setengah tujuh ya," ucap Freya lalu kembali menarik selimut hingga menutupi wajah.

Kaya hanya bisa menggelengkan kepala. Terpaksa dia mendekati jendela dan membuka gordennya. Biarkan saja sinar matahari masuk dan membuat sahabatnya itu menggeliat seperti cacing kepanasan. Namun, sahabatnya itu benar-benar tidak peduli. Bahkan mengubah posisi miring menjadi menghadap pada bantal. Mengesalkan sekali.

"Come on, Freya! Mau sampai kapan kamu malas-malasan? Disaat banyak orang yang mau sekolah, kamu malah menolaknya?!" ucap Kaya lantang, tetapi Freya tidak mendengarkan. Kalau saja dia kuat seperti anak laki-laki, dia pasti akan menggeret sahabatnya ke kamar mandi. Bikin kesal saja!

Kaya kembali berkacak pinggang dan mengembuskan napas hingga poni panjangnya ikut terbawa ke atas. Sesekali memperhatikan jam tangan di pergelangan kiri, mereka mungkin saja bisa telat di upacara pembukaan murid baru. Senior bisa menghukum mereka, terlebih SMA Bayanaka punya organisasi khusus untuk menyidak murid-murid yang melanggar aturan. Ayolah! Masa seorang Kaya Alfinatun harus ikhlas menerima nilai minus di buku sikap?

Sambil berpikir, dia mengetuk ujung kaki dengan lantai. Itu tidak akan membuat Freya bangun, jadi dia bisa santai sedikit. Kaya benar-benar menolak mendapat nilai minus! Sepertiya Kaya memang harus mengeluarkan jurus rahasianya.

"Frey, enggak mau ketemu Kak Areka gitu? Pagi ini pasti muncul di upacara lho," ucap Kaya.

Tidak perlu menunggu hingga dua menit berlalu. Freya segera duduk di tepi ranjang sambil mengusap matanya. Setelah sepenuhnya sadar, gadis berambut panjang sebahu itu segera berlari ke kamar mandi.

Kaya menutup mulutnya, lalu tertawa. Untungnya Freya sudah berlari ke kamar mandi sambil membawa baju ganti. Dia tidak perlu sungkan karena kebohongan kecil yang sudah dia utarakan.

"Dasar, Freya! Ah iya, dia pasti belum siapin buku buat hari ini. Aaa! Kapan sih dia berhenti kekanak-kanakan," gerutu Kaya.

Sambil menunggu sahabatnya, Kaya mengambil tas warna biru. Freya benar-benar tidak menyiapkan apa pun. Apa jadinya jika Kaya meninggalakan gadis itu barang sehari saja? Ya ampun.

Kaya dengan telaten mengambil buku tulis tanpa sampul ke dalam tas. Mengambil beberapa pulpen dan pensil lalu memasukkannya ke kotak pensil. Tidak lupa dia cek kembali barang-barang milik Freya.

BRAK

Kaya segera menoleh pada sumbr suara yang di dapatnya. Gadis itu lengkap dengan seragamnya. "Kay, Kay! Ayo ke sekolah!"

"Hah?! Kamu kan belum makan!" amuk Kaya.

Freya segera berlari ke arah Kaya. Mengambis tas berwara biru lalu memakainya. "Percuma! Di rumah juga gak ada apa-apa. Mama sama Papa lagi di luar kota," balas Freya.

Kaya baru mau menjawab lagi, tetapi Freya justru menari tangan sahabatnya. Beginikah rasanya menghadapi orang yang sedang mabuk cinta?

Kaya hanya bisa pasrah. Si Kunci Hati sudah telanjur menetap di relung terdalam hati sahabatnya. Bahkan sampai dua tahun! Ayolah ini hanya cinta monyet! Memang Areka itu semenarik apa sih?

----------------

"Selamat pagi, kami selaku OSIS Bayanaka mengucapkan selamat datang pada siswa dan siswi baru baik di SMP maupun di SMA Internasional Bayanaka," ucap kakak kelas dengan rambut digerai berwarna perak dan logat luar, tetapi belum fasih dalam berbahasa Indonesia.

Ih, kenapa gak Kak Areka aja? Freya menggembungkan pipi, matanya panas. Dia malas mendengarkan anggota OSIS yang sedang berceramah tentang peraturan untuk murid baru. Hari ini lebih dingin dari biasanya, seharusnya Freya menggunakan baju hangatnya saja.

Lapangan luas dipenuhi semua murid dari SMP dan SMA kelas satu yang dipersilakan duduk beberapa menit lalu, sisanya sudah kembali ke kelas kecuali anggota OSIS, tidak tahu mau apa. Freya lebih sibuk memeluk dirinya sendiri. Mengusap kedua telapak tangannya untukk menghantarkan hangat melalui mulut ke tubuhnya sendiri.

"Bagi nama-nama yang sudah disebutkan harap masuk barisan kelasnya masing-masing. Setelahnya, masa orientasi akan kami mulai," ucap anak OSIS yang sebelumnya. Freya terbelalak! Gila, dari tadi kakak itu membagi nama kelas satu? Gawat ... dia sama sekali tidak menyimak.

Sedia payung sebelum hujan. Sedia Kaya sebelum kena masalah.

Tergesa-gesa dia menarik lengan gadis berambut ikal pendek tersebut. Padahal sahabatnya itu baru saja mau melangkah pergi ke barisan. "Sekarang kenapa? Ayo masuk barisan kelas!"

"Masalahnya itu, aku enggak tau aku kelas apa," ucap Freya. Kaya menarik napas pelan lalu tersenyum seperti sudah terbiasa menghadapi hal ini.

"Kita sekelas, kok. Ayo! Nanti ketinggalan," ajak Kaya. Freya mengangguk sebagai tanda persetujuan. Untung sekelas lagi dengan Kaya. Kalau tidak ... masa SMA-nya akan sama seperti bajunya. Abu-abu!

Warna rambut beraneka ragam, diperkenankan oleh sekolah dengan syarat memang sejak lahir punya warna rambut itu. Tidak ada cat rambut. Kalau ketahuan bisa dapan poin minus di buku sikap, fatalnya kena skors.

Freya berdiri di samping Kaya, memang satu kelas dibuat dua banjar. Lalu, datang beberapa kakak kelas yang merupakan anggota OSIS. Di tangan mereka terdapat kertas HVS yang sudah ada tulisan, tapi karena terbalik jadi tidak terbaca.

"Adik-adikku, di sini kami selaku OSIS akan membimbing kalian selama sehari penuh untuk masa orientasi. Silahkan ikuti pembimbing kalian. Terima kasih," ucap kakak kelas dengan logat Melayunya yang kental.

Satu per satu pembimbing menyebutkan kelas yang mereka bimbing. Sampai pada kelas Freya dan Kaya. "Kelas X-IPS 3 harap ikuti saya!"

Freya terlonjak kaget. Bukan karena perintahnya, tapi karena suara berat yang sudah lama dia tidak dengar sepanjang liburan. Itu Kak Areka!

"Kaya itu ... Kak Areka!" Freya langsung meremas tangannya karena terlalu senang. Kaya hanya menutup wajah malu, karena sahabatnya ini mencuri perhatian orang-orang di sekitar. Bagus kalau Areka tidak mendengarnya.

Bab 2

Ersya Areka Elvano.

Nama laki-laki yang sejak tadi berjalan lebih dahulu dari barisan X IPS 3. Di dalam hati Freya ada yang meloncat-loncat sampai membuat Kaya tidak habis pikir dengan rasa suka sahabatnya. Ruam-ruam kemerahan selalu muncul ketika melihat kakak kelas itu tersenyum seraya menjelaskan tiap sudut bangunan SMA Internasional Bayanaka.

Freya mengakui, Areka tidak setampan cupid bayanaka, Eros atau para the golden boys of Bayanaka. Tapi, tentu saja ... baginya ketampanan kakak kelasnya itu hampir mendekati Jun Matsumoto, artis favoritnya. Tingginya sekitar 180 cm, sangat menguntungkan kalau ikut Basket. Matanya hitam, rambutnya hitam kecoklatan, benar-benar ketampanan rasa lokal.

Freya tidak sadar barisannya berhenti berjalan, sampai hidung mancungnya menabrak barisan depan. Tidak mau cari masalah dia langsung minta maaf. Kaya yang di sebelah mencoba menahan tawa tapi dia terlalu sibuk mendengar apa yang Areka katakan.

Tangan Areka menunjukkan ruangan dengan jendela yang ditutup gorden dan pintunya yang menutup, di tengah pintu ada kotak dengan lubang persegi panjang di depannya. "Ini ruangan khusus untuk Dewan siswa. Berseberangan dengan ruangan OSIS. Dewan siswa hanya ada di SMA, tapi mengurusi semua siswa dari SMP dan SMA."

Seseorang mengajukan tangannya. Areka mempersilahkan. "Tugasnya apa, Kak?"

"Bila ada yang melanggar peraturan, etika dan lainya, dewan yang akan mengurus memberikan hukuman. Bila ada hal yang mengganggu, bullying, bisa dikeluhkan melalui kotak ini." Areka menunjuk kotak dengan lubang persegi panjang di depannya. Semuanya mengangguk paham dan  kembali berjalan.

Freya tidak tertarik pada organisasi. Males banget ngurusin orang lain, pikirnya.

Sayangnya waktu berjalan cepat, masa orientasi pun berlalu. Areka berpamitan pada kelas X IPS 3 ketika semua adik kelasnya sampai di kelas dan duduk rapi di bangku masing-masing. Kaya dan Freya tidak mengambil bangku yang terlalu jauh. Duduk di belakang dekat dengan jendela. Tempat paling strategis karena bisa langsung melihat pemandangan taman jurusan di lantai satu.

"Udah puas belum ketemu Kak Areka?" tanya Kaya di belakang Freya.

Freya berdiri dan memutar kursinya, lalu duduk menghadap sahabatnya. "Belum, soalnya besok enggak tau bisa ketemu apa enggak, huh," gerutunya.

"Ya ampun, Freya. Masa kalian harus ketemu tiap hari? Pacar aja bukan, oops ... bahkan Kak Areka belum tentu kenal kamu. Paling juga besok udah lupa sama kelas ini," ucap Kaya dengan mulut yang sepertinya ketumpahan sambal level 10 Bi Nina—penjual nasi uduk di kantin SMP.

Freya cemberut, tidak aneh bagi Kaya melihatnya. Sering kok, kalau dia berkata pedas tentang Areka. Untung saja Kaya sahabatnya, kalau bukan udah dibuang ke tong sampah!

"Ih ... Kaya! Nih ya denger, nama Kak Areka itu ... Ersya Areka Elvano," timpal Freya kesal. Sebelah alis Kaya naik. Bingung, apa maksudnya.

"Terus apa hubungannya?"

Freya tersenyum cerah. " Nama belakang aku sama Kak Areka itu mirip. Jadi aku sama dia ditakdirkan untuk bersama, 'kan?"

Kaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aduh, sahabatnya ini kelewat cerdas atau kelewat mabuk asmara sih? "Enggak, kecuali kamu bisa buktin yang lainnya."

Freya menimbang-nimbang, lalu berkata. "Ada lagi dong. Kamu tau enggak kelas berapa Kak Areka? XII IPS 3! Cocok banget kan?"

"Terserahlah." Kaya melambai-lambaikan tangannya, pusing yang ada. "Nanti sore kita ke aula ya! Pilih-pilih ekskul. Aku mau ikut Mading, biar bisa ketemu terus sama Cupid-nya Bayanaka."

Keadaan berbalik, Freya yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitulah mereka, bikin iri satu kelas karena sangat dekat.

Aula di sekolah penuh dengan murid SMA pada sore hari. Freya tidak berminat melirik ke stand ekskul yang berjajar saling berseberangan dan menyerukan nama ekskul mereka. Beberapa orang mendatangi Kaya dan dirinya, menawarkan masuk klub ini itu, tidak jarang pujian dilontarkan kepadanya. Tapi, tentu saja matanya mencari-cari Areka.

Kaya mengajaknya untuk masuk ke klub mading, ada dua orang yang sama tinggi tapi beda warna rambut; yang satu pirang dan yang satu lagi hitam. Tampan sih ... tapi masih jauh kalau dibandingin sama Kak Areka.

"Enggak dulu deh, Kaya." Dua orang anak laki-laki itu hanya tersenyum, bersyukur ada yang sudah daftar.

"Tidak apa, nanti kalau kamu berubah pikiran bilang saja pada temanmu. Oh, nama kalian Kaya dan Freya?" tanya laki-laki berambut hitam yang melirik Kaya lalu Freya. Senyum terukir jelas di wajah anak laki-laki tersebut, menambah poin tampannya.

"Benar, Kak. Kalau nama kakak siapa?"  tanya Kaya.

Anak laki-laki masih tersenyum. "Aku Artha, ketua  klub mading yang baru. Sepertinya yang di sebelah kamu tau yah? Pasti beritanya sampai ke gedung SMP. Dia Raymond, Cupid-nya Bayanaka."

Raymond hanya sekilas tersenyum lalu memainkan kameranya. Tapi, cukup lah untuk membuat Kaya bahagia. Mereka masih betah mengobrol dengan kakak kelasnya yang baru. Apalagi keduanya dari jurusan yang sama. Freya juga menikmati obrolan, walau matanya terus mencari Areka.

Di tengah pembicaraan, seseorang anak laki-laki memegang tangan Freya. "Enggak boleh pake gelang. Memang di SMP kalian enggak diajarin ya?"

"Ih apaan sih!" Freya langsung menginjak kaki anak laki-laki tersebut sampai kesakitan. "Jangan sentuh aku!"

Semua tertawa. Lihat! Karena dia, Freya jadi tontonan. Menunduk, menahan malu. Kaya tahu sahabatnya sedang malu, dia berinisiatif untuk pergi dari sana.

"Leon, dia masih murid baru. Beritahu dengan baik. Jika Areka tahu, mungkin kamu yang kena hukuman." Anak laki-laki itu menunduk dan membenarkan kata Raymond. Sebaiknya besok pagi dia minta maaf.

oOo

"Freya ... time to go school!" teriak Kaya layaknya ibu-ibu. Padahal Mamanya tidak pernah seperti itu, huh. Tapi, orang yang dituju malah meringkuk dalam selimut. "Hey, girl! Are you listening to me?"

Freya sudah sepenuhnya bangun. Enggak mau masuk sekolah! Baru hari pertama saja malah dipermalukan oleh anak laki-laki yang tidak dikenalnya. Masa baru masuk udah kena masalah lagi.

"Freya ... bangun!" Kaya menggoncang tubuh sahabatnya agar bangun. Entah kenapa tidak berhasil.

Ada suara di balik selimut. "Enggak mau."

Why?

Kaya menghembuskan napas. Sepertinya Freya memang belum tahu peraturan di sekolah, yah walaupun mereka di Bayanaka sudah lama. Wajar kok. Anggota dewan di SMP sudah angkat tangan dengan sahabatnya. Susah dibilang, lapor BK juga percuma. Tiap Minggu selalu ada nama sahabatnya di daftar pelanggaran.

"Jangan pakai gelang lagi. Nanti anggota dewan nyamperin kamu. Masa kamu gak kapok sih sejak SMP?" ucap Kaya.

Freya mendadak duduk dan menatap Kaya bingung. "Dewan? Jadi waktu SMP yang suka nahan aku, ngomel gak jelas dan lapor ke BK itu dewan siswa?"

Demi apapun itu, Freya enggak pernah sadar? Kaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Freya emang kurang update, tapi masa sampai anggota dewan aja enggak kenal?

"Aku tau kamu itu cerdas, jadi gampang naik kelas dan lulus. Come on ... sampai hal kecil seperti dewan aja kamu enggak tau? Padahal Kak Areka juga dewan siswa."

Freya menggeleng lalu memikirkan kembali Areka. Dia cuma tahu kalau orang yang disukainya itu anggota OSIS. Ya, dia akui kalau dirinya memang sangat kurang update pada berita Bayanaka gara-gara banyak berita yang enggak bermutu untuk dicerna. Tapi, hal penting juga jadi tidak terbaca olehnya, dan dia sangat menyesali itu.

Tunggu anggota dewan? Sekarang dia punya ide bagaimana caranya bertemu Kak Areka lagi. Bukan sehari, tapi tiap hari!

BAB 3

Kelas XII IPS 3

Papan nama kelas di atas pintu terlihat bersih dan mengkilap. Berbentuk persegi panjang dengan dasar hitam dan tiap goresannya ditulis dengan cat keemasan. Pintu coklat itu masih menutup, padahal guru sudah keluar dari sana beberapa menit lalu.

"Freya tunggu!" Napas Kaya terengah-engah menyusul si sahabatnya yang tiba-tiba berubah jadi energik setelah bel sekolah berakhir. Dia celingak-celinguk melihat koridor tempat Freya berhenti. "Lho, ngapain kita ke kelas senior? Mending kamu isi dulu ini kertas peminatan kelas yang bakal kamu ambil di tahun ini!"

Freya cemberut ketika tangan kanan Kaya menyodorkan selembar kertas putih. Dengan terpaksa dia ambil lalu membacanya sekilas. "Nanti aja lah! Ada yang lebih penting sekarang, Kaya." Kaya memutar matanya bosan ketika melihat kertas itu di lipat sembarangan dan dimasukkan dalam saku.

Kaya tidak tahu apa rencana sahabatnya. Tapi yang pasti ada satu alasan : A-R-E-K-A. Pintu kelas tersebut terbuka, tanpa berlama-lama sahabatnya sudah ada di hadapan dua anak laki-laki. Lupakan Areka, pikir Kaya. Matanya berbinar-binar melihat salah satu anak laki-laki tersebut yang ternyata Kak Raymond.

"Permisi, Kak! Saya mau bertemu Kak Areka." Dua anak laki-laki di hadapannya sama-sama mengangkat alis bingung. Bukan, bukan karena tidak paham dengan bahasa yang digunakan Freya. Kak Raymond menutup matanya dan dia menggunakan telapak tangannya untuk menutupi mulut yang tersenyum. Sedangkan laki-laki satunya lagi dengan rambut hitam dan mata coklat khas Indonesia hanya tersenyum, masih pula mengangkat sebelah alisnya.

"Sepertinya kamu salah kelas, Dik! Areka ada di kelas XII IPS 1, bukan di sini," lirih anak laki-laki berambut coklat tersebut.

Kak Raymond menimpali dengan berkata, "Biar aku tebak, Freya pasti tahu dari gosip teman kalau Areka sering keluar dari kelas ini ya? Wajar sih ... Setelah satu jam kegiatan belajar mengajar berakhir kelas dipakai pelajaran peminatan."

"Bukti kamu sama Kak Areka berkurang satu," bisik Kaya sambil menggodanya dan sukses mendapat hadiah berupa cubitan pelan di pinggangnya.

Awas saja nanti, Kaya!

"Eh? Gitu ya ... maaf, Kak! Aku salah kelas." Freya baru saja menarik Kaya tapi Kak Raymond mencegahnya dengan kata-kata.

"Freya, sahabat kamu ... kakak pinjam dulu ya! Hari ini mendadak anggota baru perkenalan diri sama pembimbing. I'm sorry for the late information." Tanpa aba-aba Kaya melambai-lambaikan tangannya lalu mengikuti Raymond pergi.

Oke, sekarang dia harus apa?

Anak laki-laki berambut hitam masih diam di tempatnya, untuk seukuran anak laki-laki SMA dia sangat tinggi dan murah senyum. Idola! Tapi aku lebih tertarik Kak Areka. "Memangnya ada urusan apa? Biasanya di hari Selasa, Areka ada kegiatan OSIS yang tidak bisa diganggu."

"Sebenarnya ... aku mau daftar jadi anggota dewan, Kak."

oOo

Papan nama di samping atas kirinya tampak setelah anak laki-laki itu melepas blazer yang kini  tersimpan rapih di dalam tas biru dongker. Tas itu tersimpan rapih di samping meja.  Ini di dalam ruangan dewan!

Daqta Thufail Danendra. Nama kakak kelas Freya yang satu ini, sangat ramah —lihat saja dari cara senyumnya yang lebar dan mata coklat hangat itu! Tidak disangka, Kak Daqta juga anggota dewan yang merangkap jadi ketua PASSUS Bayanaka. Jadi Freya bisa masuk ke ruangan dewan tanpa perlu izin.

Tidak ada yang menarik di ruangan dewan, selain pintu kaca di ujung tembok yang menghubungkan ke ruangan lain. Sisanya sama saja seperti kelas bedanya mirip privat, ada delapan meja dan kursi dengan barang yang berbeda pula, menunjukkan tiap kepribadian pemiliknya —tapi Freya enggak tahu yang mana meja Kak Areka. Di samping pintu ada rak buku kaca. Ada pula papan tulis tidak terlalu besar di sana. Cat ruangan? Putih, dan hitam di belakang mendominasi. Apa mereka suka dengan warna black and white ya? Freya menggeleng kepalanya sadar bukan waktunya memikirkan hal itu.

"Jadi bisa kita mulai, Freya?" tanya Kak Daqta pelan tapi tidak melewatkan sedikitpun senyumnya.

Freya menganggu dan Daqta mempersilakan dirinya untuk duduk berseberangan setelah mengambil salah satu kursi. "Tentu, Kak. Aku siap kapan saja. Tidak! Tidak! Maksudku sekarang, besok mungkin aku sudah gila karena keinginanku untuk masuk!" canda Freya disambut hangat tawa Kak Daqta.

"Waktu jaman SMP, apa kamu melakukan hal-hal yang ada di buku pelanggaran?" tanya Daqta serius.

"Ya." Freya menggigit bibir bawahnya.

"Pernah berorganisasi? Memiliki ekskul?"

Freya mengembuskan napas sebelum menjawab. Ada yang menusuk dari perkataan Kak Daqta! Perasaannya tidak enak, tapi dia harus menjawab, "Tidak, Kak."

"Fiuh ... oke ... ini yang terakhir. Kenapa kamu mau jadi dewan?" Tatapan Kak Daqta tiba-tiba tajam seperti elang yang mengincar mangsa. Freya menelan ludah, antara malu dan tidak sanggup mengungkapkan alasannya.

Satu tarikan napas, lalu Freya hembuskan, lalu ....

"Daqta! Lihat aku bawa Areka ke sini! Susah banget lho gusur dia, aku jadi curiga kakinya di lem jadi susah buat pergi!" Freya mengenal suara nyaring ini, eh sebenarnya agak nge-bass sih, tapi  ... tuh kan Freya jadi ingat kejadian kemarin.

Lupakan itu! Tadi dia bilang apa? Bawa Kak Areka? Tidak mungkin. Ruam-ruam kemerahan muncul lagi di sekitar wajah, agak gatal dan dia jadi ingin bersin. Oke tahan. Cuma ada dua hal yang membuatnya seperti ini : Kak Areka dan wangi bunga lavender.

"Daqta dia siapa?" tanya Kak Areka menunjuk Freya. Secara singkat Kak Daqta menjelaskan.

Seseorang menggebrak meja, ternyata anak laki-laki yang menegur Freya kemarin. "Nope. Aku enggak setuju! Aku satu SMP dengannya, dia anak paling bandel yang pernah aku kenal. Mana sekarang dia mau jadi dewan? Hah! Areka jangan mau, rusak nama dewan ... kalau si bodoh ini masuk."

Ada nada sinis di akhir kalimat. Benar-benar menusuk. Mata Freya memelot. Pantas saja di hari pertama anak itu langsung bertindak. Ah sudah pupus harapanku, pikir Freya menahan tangis. Hapus dua kata terakhir. Dia sebenarnya tidak terima dipanggil 'si bodoh' dibanding harus menangis seperti perempuan yang baru digantung.

"Oh aku ingat, Kakak ... Kak Leon, 'kan?  Iya, aku suka melanggar. Tolong, ya, Kak. Aku enggak sebodoh yang itu, dari keempat paralel kelas aku—" Freya diam melihat Kak Areka mendorong mundur Leon agak pelan. Tidak tahu, tapi Kak Daqta mencoba menenangkan Leon.

Hanya ada Kak Areka di seberang Freya. Entah harus bahagia atau meluapkan amarahnya. Tidak, jangan keduanya. Lebih baik tenang, daripada enggak jadi dewan.

"Maaf, Freya. Apa yang dikatakan Leon benar, dan lagi belum ada sejarahnya perempuan mampu menangani pekerjaan dewan di Bayanaka. Dengan berat hati, kami belum bisa menerima kamu," ucap Kak Areka tegas tapi dengan nada rendah. Cukup membuat suasana meremang penuh dengan aura gelap yang melelehkan hati.

Freya berdecak kesal —menahan tangisan sebenarnya. Lalu bibirnya berucap, "Aku enggak bakal menyerah! Sampai kakak merekrut aku sebagai dewan!" Areka diam. Leon mengambil langkah dan berhadapan dengan Freya. Tangannya mengepal, kalau saja dia anak laki-laki, Leon sudah memukulnya.

"Tunggu, Leon. Artha bilang kamu juga mencari Freya sejak pagi. Apa kamu ingin menemuinya hanya untuk berkata buruk tentangnya?" Daqta tersenyum kecut melihat Leon membuang mukanya yang merah. Freya malah memunggungi Areka dan menutupi sekitar mulut dan hidungnya dengan kedua tangan agar bersinnya tidak menular.

"Bukan ... sih, tadinya aku mau minta maaf," jelas Leon lirih.

Daqta tetap tersenyum, pandangannya sekarang berganti melihat Kak Areka dan Freya. Gadis itu sudah berusaha menutupi bersin dan ruam-ruam kemerahan di pipinya. Daqta bangun dari tempat duduknya, mengambil blazer dan meletakkannya di atas kepala atas suruhan Kak Areka.

Wajah kebingungan Freya berikan pada kedua anak laki-laki yang lebih tinggi dari Leon. "Kamu alergi wangi lavender ya? Sudah cium saja wangi blazer Daqta!" perintah Kak Areka padanya. Dia mengangguk dan mencium dalam blazer Daqta.

"Freya." Kali ini Daqta yang angkat bicara, "Areka bilang belum, bukan berarti kamu ditolak. Kamu cukup membuktikan diri kalau kamu bisa menjadi disiplin, oke?"

Freya mengangguk lalu berpamitan keluar dari ruangan dewan setelah memberikan blazer ke pemiliknya. Matanya dan Kak Areka sempat bertatapan namun tidak lama dia menunduk malu. Bagaimana tidak? Orang yang disukainya sekarang tahu sifat buruknya gara-gara Leo si keripik kentang!

Blam!

Pintu tertutup, Freya sudah tidak ada di ruangan. Kak Areka dan Daqta memilih duduk di kursi mereka. Leon malah menghampiri keduanya geram.

"Kenapa kalian malah kasih dia kesempatan?" rahang Leon mengeras. Tidak terima.

Kak Areka memilih memilah kertas-kertas berisi keluhan, bukan berarti dia mengabaikan adik kelasnya yang sedang kesal. "Bagaimanapun buruknya seseorang di masa lalu. Setiap orang berhak memiliki kesempatan kedua. Dia hanya perlu berusaha dan meyakinkan semua orang jika dirinya berubah."

"Ini memang menyulitkan." Daqta tersenyum pada Leon. "Kamu juga hanya perlu memberikan dia kesempatan kedua, mempercayainya jika dia mampu. Jangan hanya bisa menilai sisi buruknya! Lihat matanya dalam. Kamu akan menemukan semua jawaban kalau kamu membuka hatimu."

Leon membenarkan kedua argumen kakak kelasnya. Lagipula untuk apa dia menilai buruk Freya terus-menerus? Memangnya dia sudah jauh lebih baik daripada gadis itu. Jawabannya belum—mungkin sedikit.

Tapi kenapa dia benar-benar sulit menerima eksistensi Freya?

Sudahlah ....

------

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!