Kau orang terpelajar Mutia, jadi hadapi mereka dengan elegan. Jangan terbawa emosi dan bertindak anarkis. Ujar sisi malaikatnya memperingati.
Suamimu berselingkuh, Mutia. Dengan adik sepupumu pula. Bodoh jika kamu hanya diam. Setidaknya, mereka pantas mendapatkan sebuah tamparan. Ayolah, jangan tampak lemah atau kau akan semakin diinjak-injak bagai sampah tak berguna. Kali ini sisi iblisnya yang berpendapat.
"Aku... hamil, Mut."
"Lalu?" Mutia berlaga bodoh dan tak tahu apapun. "Kenapa kamu datang padaku? Seharusnya kamu temui pria yang menghamilimu dan meminta pertanggung jawaban darinya, Sonya."
Wanita berambut sebahu yang memiliki usia lebih muda tiga bulan darinya itu menoleh pada suaminya. Mereka saling berpandangan lekat, melupakan kehadirannya, membuat Mutia ingin sekali melemparkan vas cantik —yang berdiri angkuh diatas meja kopi— ke arah mereka berdua, meluapkan kemarahan yang menyelimuti hatinya.
"Karena itu..." Sonya kembali menatap Mutia. Diteguknya saliva dengan kasar, sebelum melanjutkan ucapannya. "Pria... pria yang..."
"Aku pria yang menghamili Sonya."
Seketika Mutia memejamkan mata. Meresapi denyutan nyeri yang menghujam jantung saat mendengar ucapan suaminya.
Sejak awal Mutia tahu bahwa tidak ada cinta diantara mereka, mengingat pernikahan mereka terjadi karena sebuah perjodohan yang di lakukan oleh para orang tua. Namun memerhatikan dari bagaimana Haikal menerimanya sebagai istri, Mutia optimis suatu hari nanti mereka bisa saling mencintai.
Katanya... hasil tidak akan pernah mengkhianati kerja keras, lalu apa yang terjadi pada Mutia? Selama dua tahun pernikahan Mutia menjadi istri yang baik, berusaha meluluhkan hati suaminya, tapi justru pengkhianatan yang ia dapatkan.
Bagai mendapat luka, disiram air garam pula. Itulah perumpamaan yang cocok untuk Mutia. Telah sakit merasakan cinta sepihak, ditambah pula suami yang dicintai berselingkuh.
"Sejak kapan, Haikal?" bak seorang masocist, Mutia mencari-cari hal yang bisa membuatnya merasa kian sakit dan tersiksa. "Apakah sebelum pernikahan kita?"
Haikal menggeleng. "Pertama kali kami bertemu yaitu saat kamu mengajakku untuk menjemput Sonya yang baru saja menyelsaikan kuliahnya di Bandung. Saat itu aku merasakan ketertarikan yang begitu kuat padanya, namun aku berusaha mengelak dengan mengingatkan diri bahwa aku sudah menikah denganmu. Tapi ternyata... Sonya merasakan hal yang sama. Tepat di hari pernikahan kita yang ke satu tahun, Sonya mengakui perasaannya dan kami sepakat untuk menjalin hubungan."
Ya Tuhan, sudah selama itu. Ck... menyedihkan.
Jujur saja, Mutia masih tak percaya hingga detik ini, bahwa adik sepupu yang paling dekat dengannya, tenyata menjadi duri dalam rumah tangganya.
"Satu tahun kalian berhubungan di belakangku, lalu kenapa baru sekarang Sonya hamil? Seharusnya kalian tetap diam."
"Karena aku tak ingin lagi menyakiti Sonya juga menyembunyikan hubungan kami."
Tak ingin lagi menyakiti Sonya, katanya. Lalu bagaimana dengan perasaan Mutia? Entah seberapa banyak lagi Haikal akan menyakitinya. Pria itu terus saja menggores luka dihatinya, membuat Mutia merasa kian hancur lebur. Mutia tersenyum getir.
"Kenapa kamu harus menghamilinya dulu, baru datang padaku untuk mengatakan bahwa kamu akan menikahinya? Bukankah hal itu justru akan membuat Sonya menjadi bahan pergunjingan. Hamil di luar nikah."
Hatinya memang remuk redam, namun Mutia tidak akan menunjukannya pada Haikal dan Sonya. Ia ingin kedua orang itu hanya melihat bagaimana kuat dan tegar dirinya, meski sudah dikhianati.
"Kehamilan Sonya akan membuatmu berpikir ulang untuk menolak keinginanku. Kamu tentu pasti akan memikirkan nasib bayi itu."
Licik. Dua tahun menikah, Mutia mengenal Haikal sebagai pribadi yang lembut dan penyayang. Tapi hari ini Mutia melihat sisi lain pria itu. Seorang ambisius, yang akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
"Jadi... kalian akan menikah? Lalu bagaimana dengaku? Kamu akan menceraikanku, Kal? Mengingat pernikahan kita terjadi hanya karena perjodohan dan kedua orang tuaku juga sudah meninggal, jadi kamu tidak memiliki alasan lagi untuk bersamaku dalam pernikahan ini."
"Tidak, Mutia. Aku tidak sejahat itu, menceraikanmu setelah aku bersama dengan wanita yang aku cintai. Kami sudah membicarakannya dan Sonya bersedia menjadi istri kedua."
Tidak sejahat itu, kamu bilang. Tahukah kamu, penyataan cintamu untuk Sonya membuat hatiku berdarah-darah, Kal. Kamu lebih dari jahat. Kamu kejam!
"Maafkan aku, Mutia."
Suara Sonya menarik perhatian Mutia. Sekian menit berlalu, wanita itu hanya diam usai mengatakan bahwa ia hamil, kini kembali mengeluarkan suara dan mengatakan kalimat bullshit, yang membuat Mutia memutar mata jengah.
"Maafmu tidak ada artinya."
"Mutia!" Haikal meninggikan suara. Nyaris saja amarahnya meledak, andai saja Sonya tidak segera mencengkram lengannya dan menggeleng pelan.
"Aku tahu yang kulakukan ini salah, namun aku tak bisa menahan diriku untuk jatuh cinta pada suamimu, Mutia. Jika bisa memilih, aku juga tidak ingin mencintai suami orang, apalagi pria itu adalah suami sepupuku sendiri. Karena cinta ini juga, aku rela berbagi denganmu."
Tapi aku yang nggak rela, sebab tahu Haikal mencintai kamu.
Memejamkan matanya sesaat, Mutia menarik nafas dalam. "Setidaknya berikan aku waktu untuk menenangkan diri, Haikal. Pengkhianatanmu membuatku terguncang. Itu juga jika kamu masih memiliki simpati padaku."
Haikal mengetatkan rahang. Ucapan Mutia seolah mengatakan; kamu jahat, Haikal. Padahal kenyataannya Ayah Mutia lah yang jahat. Andai saja Sugiono —Ayah Mutia— tidak meminta pada Ayahnya agar menikahkan mereka, sebab usia pria itu yang sudah tidak lama lagi karena penyakitnya dan andai saja Ayahnya tak memiliki hutang budi pada Sugiono, Haikal tidak mungkin menikahi wanita yang tidak ia cintai. Jadi... sudah menjadi konsekuensi Mutia, yang akan merasakan sakit saat ia menemukan wanita yang dicintainya.
"Baiklah."
Lantas Haikal beranjak dari duduknya, mengajak serta Sonya meninggalkan Mutia yang kini menutup wajahnya dengan tangan dan mulai menangis. Pertahannya runtuh, topeng tegarnya telah menghilang. Kini Mutia terisak pilu, menyayangkan nasib pernikahannya.
TO BE CONTINUE...
Dua hari berlalu dengan cepat. Bak dalam satu kedipan mata, tiba-tiba saja sekarang Mutia sudah kembali duduk berhadapan dengan Haikal dan Sonya. Seolah melakukan reka ulang kejadian dua hari lalu, mereka pun kembali berada di posisi dan situasi yang sama. Mutia duduk di sofa panjang menatap nanar sembari tersenyum getir pada dua orang manusia yang duduk di seberangnya. Mereka saling menempel dan menautkan tangan, tak memedulikan perasaan Mutia yang luluh lantak bagai diterjang badai tornado.
"Ini sudah dua hari, Mutia." Haikal membuka perbincangan. Akhirnya mengarahkan tatapan ke arah Mutia, setelah sekian menit berlalu hanya memaku atensi pada wanita disampingnya.
Orang bodoh pun pasti tahu, bahwa Haikal sedang di mabuk cinta. Jadi sudah jelas, Mutia lebih daripada bodoh, karena selama satu tahun mereka berhubungan, ia tidak mencurigai interaksi janggal diantara mereka.
Mutia tersenyum lebar, tampak baik-baik saja, begitu kontras dengan penampilannya yang seperti mayat hidup. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya dingin dan lingkaran hitam menghiasi bagian bawah matanya.
"Aku setuju kalian menikah."
Haikal menoleh pada Sonya. Bibirnya menyungging senyum lebar, pun dengan wanita disampingnya. Lalu tanpa sungkan Sonya menyandarkan kepala di pundak Haikal, tatkala pria yang masih berstatus suami Mutia itu serta merta mendaratkan kecupan sayang di puncak kepala Sonya.
Sama sekali keduanya tidak memedulikan Mutia yang wajahnya kini sudah merah padam, dengan mata berkaca-kaca dan perasaan yang remuk redam. Ingin sekali rasanya Mutia meminta pada Tuhan untuk membuatnya buta saja, agar ia tak perlu melihat suaminya mengumbar kemesraan —dosa— bersama adik sepupunya.
"Tapi sebelum itu..." kalimat Mutia yang menggantung, sukses menarik perhatian dua manusia yang sedang kasmaran di depannya saat ini. "Ceraikan aku."
Haikal membelalak, tatkala Sonya menggeleng panik.
"Aku tidak akan menceraikanmu." ada penekanan di setiap kata yang Haikal ucapkan.
"Sedangkan aku tidak sudi di madu." serang Mutia.
"Mutia, aku yakin ini tidak akan sulit. Aku sepupumu dan hubungan kita cukup dekat. Berbagi suami tentu..."
"Sekalipun itu dengan sepupuku sendiri!" sela Mutia sembari melemparkan tatapan sinis pada Sonya. "Aku bahkan ragu, apakah benar selama ini kamu menganggapku keluarga."
"Mutia, kenapa kamu bicara seperti itu? Tentu saja aku menganggapmu keluargaku dan aku sangat menyayangimu." sahut Sonya.
"Lalu kenapa kamu menikamku?!" manik hitam Mutia menatap Sonya dengan nyalang, tatkala tangannya yang terkepal memukul pegangan kursi berulang kali. Mengalihkan kemarahannya yang ingin sekali memukul wajah lugu Sonya.
"Mutia! Jangan tinggikan suaramu." tegur Haikal, namun sama sekali tidak Mutia pedulikan. Wanita dua puluh tiga tahun itu masih mengarahkan tatapan penuh kemarahan, kekecewaan dan kebencian pada Sonya yang mengaku begitu menyayanginya.
"Jika apa yang kamu katakan itu memang benar, kamu tidak akan mungkin tega menghancurkan rumah tanggaku, Sonya."
Mata Mutia sudah memerah dan mulai berkaca-kaca, namun sekian menit berlalu, tak kunjung ada cairan bening mengalir keluar. Sekuat tenaga Mutia menahan tangisnya, tak ingin tampak lemah.
"Aku tidak bisa menahan perasaanku, Mutia. Jika bisa memilih, aku juga tidak ingin jatuh cinta pada suamimu. Aku..."
Mutia mengarahkan telapak tangannya pada Sonya, meminta wanita itu berhenti bicara. "Jangan menjadikan cinta sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan kalian. Aku tidak akan melarang kalian menikah, tapi sebelum itu Haikal harus memenuhi syarat yang kuberikan. Ceraikan aku."
"Tidak! Sekali aku bilang tidak, ya tidak, Mutia!" Haikal tetap keras kepala, membuat Mutia geram.
"Aku bukan Khadijah, yang memiliki hati mulia dan sebaik-baiknya wanita penghuni syurga. Aku juga bukan Fatimah Az-Zahra, yang memiliki cinta suci dalam diamnya. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar cinta Fatimah untuk Ali. Dan aku tidak memiliki cinta yang mampu mengguncang Arsy Allah. Aku hanyalah Mutia, seorang manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Hatiku kotor, masih menyimpan perasaan iri dan dengki. Jadi... untuk menghindari niat jahat muncul di hatiku, seperti memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman kalian, maka sebaiknya lepaskan aku."
Haikal terbelalak. Tak menyangka bahwa Mutia yang selama ini ia kenal lemah lembut dan begitu penurut, bisa memiliki pikiran untuk memberikan racun padanya.
Lalu apa yang harus ia lakukan? Tetap menahan Mutia, resikonya ia dan Sonya beserta bayi mereka akan selalu dibayangi oleh ketakutan kalau sewaktu-waktu Mutia benar-benar merealisasikan niatnya. Tapi jika ia melepaskan Mutia, maka ia akan kehilangan segalanya.
Sang Ayah akan mencoretnya dari kartu keluarga, mengambil semua fasilitas yang ia miliki, mengeluarkannya dari kantor dan bahkan mungkin sampai membacklistnya hingga ia tidak bisa bekerja di perusahaan manapun. Kalau sudah seperti itu, bagaimana caranya ia menghidupi Sonya dan bayi mereka nanti.
Aku berada dalam masalah besar, batinnya. "Aku benar-benar tidak bisa melepaskanmu, Mutia."
"Kenapa?"
Haikal bungkam. Genggaman tangannya pada Sonya kian mengerat. Membuat Mutia tiba-tiba saja mengeluarkan tawa mencemooh.
"Ah... aku tahu apa alasannya." matanya menatap Haikal dengan sorot mengejek. "Ayah. Right?"
Haikal masih setia dalam bungkamnya. Menggelitik Mutia untuk semakin tertawa saat melihat mata Haikal yang berkata iya. Begitu menyenangkan melihat ketidakberdayaanmu, Haikal. Mutia bersorak dalam hati.
"Aku ingat Ayahmu pernah bilang, jika kamu menyakitiku sekali saja, maka kamu akan kehilangan semua yang kamu miliki." Mutia tersenyum pongah. "Seharusnya kamu memang tidak macam-macam, Haikal. Lalu sekarang... bagaimana? Kamu ingin tetap memiliki apa yang sudah kamu miliki atau... ingin memiliki apa yang baru akan menjadi milikmu? Semua kemudahan yang Ayahmu berikan atau... Sonya? Tik... tok... tik... tok."
Kemudian Mutia meledakan tawanya. Saat ini Mutia tampak seperti kehilangan kewarasannya. Tapi apa pedulinya... membuat Haikal berada dalam posisi terponjok, memberi kesenangan tersendiri untuk Mutia. Kamu pikir menyenangkan berada diatara pilihan yang sulit, sekarang... rasakan sendiri.
"Kau mengancamku, Mutia?!" desis Haikal.
"Apa kamu berpikir aku akan memintamu untuk tidak menikah dengan Sonya dan melapor pada Ayah, sehingga kamu kehilangan segalanya?" Mutia tersenyum mengejek sembari menggeleng dramatis. "Jangan terlalu menilai tinggi dirimu, Haikal."
Ucapan Mutia sukses memukul ego Haikal. Tangan pria itu mengepal, siap menghantam wajah Mutia kapan saja. Beruntung Sonya memegangi tangannya, sehingga ia tidak lepas kendali detik itu juga.
"Dibanding memintamu untuk tidak menikah dengan Sonya, aku lebih memilih untuk bercerai darimu. Karena aku tidak sudi lagi hidup bersama pria yang bahkan tidak bisa menjaga ucapan dan nafsunya." bibir Mutia menyungging seringai. Dalam hati ia memuji dirinya yang bisa menyerang Haikal dengan telak. "You know? You're like an animal!"
"Mutia!" Haikal beranjak bangkit dengan penuh kemarahan, tatkala Sonya menutup mulutnya yang menganga lebar. Sepupunya yang tak pernah mengupat, kini bicara kasar.
"Tidak seharusnya kamu bicara begitu, Mutia." tegur Sonya setelah berhasil menghilangkan rasa kagetnya. "Haikal masih sua..."
"Akan segera menjadi mantan suami!" Mutia mendelik tajam, lalu mengalihkan atensi pada Haikal yang kini berdiri menjulang dihadapannya. "Kamu tidak perlu khawatir, aku yang akan bicara pada Ayah. Jadi... tidak ada lagi alasan untukmu menahanku, kan?"
Haikal menarik nafas dalam. Ia mendengus sebelum mengeluarkan suaranya. "Oke. Sesuai keinginanmu. Aku... menalakmu Mutia Haruka. Sampai bertemu dipengadilan."
Dan seperti dua hari yang lalu, Haikal meraih tangan Sonya, menarik wanita itu pergi meninggalkan Mutia yang kini menyandarkan punggung, wajahnya menengadah, menatap langit-langit. Tapi berbeda dengan sebelumnya, dimana ia merasa begitu terluka, kali ini ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Seulas senyum pun menghiasi wajah Mutia.
"Terima kasih sudah memberiku kekuatan, Tuhan."
...****************...
......TO BE CONTINUE......
Bersamaan dengan hakim yang mengetukkan palunya, sejenak Mutia memejamkan mata dan membuang nafas panjang. Inilah akhir dari perjuangannya sebagai istri selama dua tahun terakhir. Duduk di persidangan untuk mendengarkan putusan hakim bahwa mulai detik ini ia dan Haikal resmi berpisah.
"Mutia,"
Bibir Mutia memaksakan senyum saat manik kelamnya menangkap sosok pria lima puluhan tengah berjalan menghampirinya dan menatapnya dengan sorot teduh penuh kasih sayang.
Beranjak dari duduknya, Mutia menyambut kedatangan pria itu dengan pelukan hangat. "Aku pikir Ayah nggak akan datang."
Mengingat bagaimana marahnya pria tua itu seminggu lalu, saat Mutia mengatakan keinginannya untuk bercerai dengan Haikal dan memberikan alasan bahwa mereka tidak bisa memaksakan diri untuk terus bersama. Mutia berdalih, mereka sudah mencoba untuk menghadirkan cinta, namun perasaan yang tumbuh justru hanya sebatas kasih sayang antar saudara. Haikal menganggapnya tak lebih dari seorang adik, pun sebaliknya.
Jujur saja, Mutia merasa tak tega untuk membohongi pria yang sudah ia anggap sebagai Ayah kandungnya sendiri, tapi Mutia harus tetap melakukannya. Ia tak ingin menghadirkan kekacauan dalam keluarga Haikal. Dan juga, Mutia tidak ingin membuat pria tua itu merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya karena ulah brengsek Haikal.
Meski kini pria tua itu telah berstatus sebagai mantan mertuanya, namun kasih sayang Mutia padanya masih tetap utuh.
"Mana mungkin Ayah membiarkan putri Ayah menghadapi hari berat ini sendirian." dengan lembut pria tua yang Mutia panggil Ayah, mendaratkan kecupan hangat di puncak kepalanya, sebelum menciptakan jarak.
"Nak, walaupun kamu sudah bukan lagi menantu Ayah, tapi kamu akan tetap menjadi putri kesayangan Ayah. Jadi... kalau kamu butuh apapun, jangan sungkan meminta pada Ayah. Selagi bisa, Ayah akan memberikan apa yang kamu inginkan."
"Terima kasih, Yah." Mutia tersenyum tulus. Lalu pandangannya teralihkan pada sosok wanita bersanggul ketat yang berada di bagian belakang ruang sidang. Wanita lima puluhan itu berdiri disana bersama Haikal dan Sonya. Menatapnya dengan sorot sinis dan bibir menyungging senyum mengejek.
Mengabaikan ketidaksukaan wanita itu, Mutia menghampirinya. Dengan sopan diraihnya tangan wanita yang tak lain adalah Ibu Haikal, untuk ia kecup punggung tangannya.
"Ibu datang."
"Aku datang untuk Haikal." dengan kasar Karlina menarik tangannya dari genggaman Mutia. "Akhirnya kalian bercerai juga. Dua tahun yang begitu lama dan memuakkan."
Mutia tak menanggapi, hanya mengulas senyum kecil. Ia takkan tersinggung, karena tahu sejak awal Karlina memang tidak pernah menyukainya. Bahkan wanita itu menentang keras perjodohan yang dilakukan oleh suaminya, Hartono.
"Bu, jaga bicaramu!" Hartono menegur sembari melemparkan tatapan tajam pada istrinya.
"Loh, kenapa? Aku hanya berkata jujur." kemudian dengan tak acuh Karlina melenggang pergi. Diikuti oleh Haikal dan Sonya, yang sama sekali tidak berniat mengajaknya bicara, walau hanya sekedar basa basi.
"Setelah ini kamu mau kemana, Nak?"
Mutia menoleh pada mantan Ayah mertuanya. "Pulang ke rumah orang tuaku, Yah."
"Ayah sudah mengatakan pada Haikal, bahwa rumah yang pernah kalian tempati akan Ayah berikan padamu dan Haikal setuju. Jadi kamu nggak usah pindah, tetap disana, karena rumah itu sekarang milikmu."
"Terima kasih, Yah." Mutia tersenyum lebar, berusaha tampak ceria. "Tapi aku tetap ingin pulang. Aku merindukan kenangan di rumah orang tuaku."
"Baiklah, Ayah mengerti." tangan keriput Hartono mengusap surai hitam Mutia dengan lembut. "Keberatan jika Ayah mengantarmu?"
"Tentu saja tidak."
* * *
Dahi Mutia mengernyit saat tak menemukan sosok pelaku yang baru saja membuat kegaduhan, hanya tampak pintu yang masih dalam keadaan terbuka dan sofa tunggal dekat pintu yang telah berpindah posisi, seperti baru saja di tabrak dengan kuat.
"Faisal, kamu udah pulang?"
Bukannya jawaban yang Mutia dengar, melainkan suara benda-benda yang dilempar sebelum kemudian jatuh menghantam lantai, serta bunyi pecahan kaca yang membuat Mutia serta merta menghampiri kamar adik semata wayangnya.
"Astagfirullah, Sal."
Mutia berseru kaget kala menemukan kamar adiknya yang sudah seperti kapal pecah, sementara sosok sang adik justru terduduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidur, kedua tangannya menutupi wajah, masih dengan memakai seragam putih abu-abu.
"Ada apa, Sal?" melangkah dengan hati-hati agar tak tertusuk pecahan kaca, Mutia mendekati adiknya. "Kenapa sampe berantakin kamar kayak gini?"
Tepat ketika Mutia tiba di ujung ranjang, Faisal beranjak dari duduknya dan menatap Mutia dengan mata merah. Dari rahang Faisal yang mengetat dan gigi yang menggeletuk, Mutia yakin adiknya sedang diselimuti kemarahan. Namun mata merah itu pun tampak berkaca-kaca, seolah menahan tangis, menahan kesedihannya. Tapi karena apa?
"Orang-orang membicarakanmu, Yuk! Telingaku pengang mendengarnya."
Mutia berusaha menahan diri agar tidak terprovokasi oleh nada tinggi yang Faisal keluarkan. "Membicarakan apa?"
"Tentang perceraianmu dan Haikal."
"Lalu? Kenapa kamu harus marah? Mereka membicarakan aku, bukan kamu. Oh... atau kamu malu memiliki Ayuk seorang janda di usianya yang bahkan belum mencapai seperempat abad. Begitu, Faisal?"
"Aku sama sekali tidak malu memilikimu sebagai saudara, sekalipun sekarang kamu berstatus janda. Aku hanya tidak suka mendengar mereka bicara buruk tentangmu, memojokkanmu sebagai pihak yang bersalah, seolah mereka tahu segalanya. Padahal kenyataannya, si bajingan Haikal lah yang patut di salahkan!"
Sejenak Mutia memejamkan matanya, saat Faisal membanting jam weker yang secepat kilat ia ambil dari atas nakas.
"Aku peduli denganmu. Aku menyayangimu. Karena itu aku tidak ingin orang-orang bicara buruk tentangmu. Harusnya Ayuk mengatakan kebenarannya, tak perlu menutupi kebusukan Haikal, sehingga Ayuk tidak akan menjadi bahan pergunjingan manusia-manusia sok suci itu."
"Aku memikirkan perasaan Ayah, Sal. Ayah pasti akan sangat terpukul dan merasa bersalah bila tahu kebenarannya."
"Kenapa kamu repot-repot memikirkan perasaan Ayahnya, sementara Haikal sendiri tidak peduli? Sebelum membahagiakan orang lain, kamu harus membuat dirimu bahagia terlebih dulu, Yuk. Berhentilah memikirkan perasaan orang lain."
"Tidak bisa, Sal. Ayah sudah begitu baik pada kita. Kalau bukan karena Ayah, kamu tidak akan bisa melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Aku tidak tahu kapan bisa membalas semua kebaikan Ayah, jadi setidaknya... yang bisa kulakukan adalah menjaga perasaannya."
"Ya Tuhan..." Faisal mengerang dan mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum menjatuhkan tubuh di tepi ranjang. "Kenapa kamu harus mengalami ini semua, Yuk? Kamu orang yang baik, tapi kenapa semua orang justru berbuat jahat padamu."
Menghampiri Faisal, lalu Mutia memeluknya. Membuat wajah laki-laki tujuh belas tahun itu menempel di perutnya.
"Saat mendengar mereka bicara buruk tentangmu, aku ingin sekali melabrak dan meremas mulut mereka. Tapi aku ingat pesanmu dan Ibu, yang memintaku untuk memuliakan wanita, sebab wanita memiliki hati yang lembut dan begitu rapuh, sehingga harus diperlakukan dengan istimewa. Jadi... aku berusaha keras menahan emosi dan melampiaskan kemarahanku dengan membanting barang. Maaf, Yuk. Aku janji akan segera membereskannya."
Mutia yang kini menangis dalam diam, menganggukkan kepalanya berulang kali. Setelah menyeka air mata, Mutia tersenyum tulus sembari mendaratkan kecupan di puncak kepala adiknya yang sudah beranjak dewasa.
"Berpura-pura tuli saja, nanti mereka akan lelah sendiri."
...****************...
Info: Yuk/Ayuk adalah panggilan orang Prabumulih/Palembang untuk kakak perempuan. Ayuk memiliki arti yang sama dengan Mbak dan kakak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!