NovelToon NovelToon

Putri Yang Ditukar

prolog

Happy reading...

🌿

Annisa, gadis remaja yang akrab disapa Nisa. Usianya kini lima belas tahun. Dan di tahun ini, ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama-nya.

Nisa tinggal bersama ibunya yang bernama Asih di sebuah desa yang cukup terpencil. Bu Asih sudah lama sakit-sakitan. Selain karena faktor usia, juga karena kesehariannya yang mengharuskan ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Bu Asih bekerja serabutan. Menggarap kebun, ataupun mencarikan rumput untuk ternak tetangga. Semua ia lakukan untuk biaya hidup sehari-harinya.

Bagi Bu Asih, Nisa adalah segalanya. Terlepas dari kemiskinan yang menjeratnya, Bu Asih ingin yang terbaik untuk putrinya itu.

Sejak kecil, Nisa sudah menjadi yatim. Tidak ada kenangan tentang sosok ayah dalam benaknya. Diantara teman-temannya, mungkin ia yang paling serba kekurangan. Walau begitu, Nisa tumbuh menjadi anak yang periang dan juga mandiri.

Saat ibunya pergi ke kebun untuk bekerja, Nisa yang mengerjakan pekerjaan rumah. Membersihkan rumah, mencuci baju, juga mencuci piring selalu dilakukannya setiap hari.

Annisa pantang terlihat sedih. Ia tahu, kesedihan yang terpancar dari wajahnya akan menambah beban pikiran sang ibu.

Annisa juga giat belajar. Dengan segala keterbatasan fasilitas dan biaya sekolah, tak menghalangi Nisa untuk bercita-cita seperti anak-anak lain pada umumnya.

Terkadang, Bu Asih merasa miris dengan nasib yang dialami putrinya. Selain rajin, menurut gurunya kepandaian Nisa di atas rata-rata teman seusianya. Hal itu juga yang membuat Bu Asih meminta bantuan pihak sekolah agar mengupayakan berbagai cara untuk Nisa bisa tetap melanjutkan pendidikannya.

Di sisi lain...

Ada Rayhan dan Raydita, adiknya. Kakak beradik itu hanya terpaut usia sekitar dua tahun saja. Mereka merupakan anak-anak dari Adisurya, seorang pengusaha kaya yang terkenal dengan segala jenis usaha yang digelutinya.

Rayhan biasa disapa Ehan oleh orang tuanya. Sementara teman-temannya memanggilnya dengan panggilan 'Ray'. Sedangkan sang adik, dipanggil Dita.

Adisurya terkenal hampir di setiap bidang usaha. Dari bisnis kuliner hingga properti digelutinya. Kekayaan yang dimilikinya membuatnya masuk dalam jajaran orang terkaya di ibukota.

Tahun ini, Rayhan duduk di kelas 3 SMA. Semantara Dita baru akan memasuki kelas 1 SMA. Mereka menimba ilmu di tempat yang sama. Dengan Rayhan yang terkenal sebagai idola di sekolahnya.

Kekayaan yang dimiliki orang tuanya tentu membuat Rayhan dan Raydita hidup bergelimangan harta. Mereka mengenyam pendidikan di sekolah bertaraf internasional di ibukota. Mereka juga mengikuti berbagai macam les sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Namun semua kemewahan itu nyatanya tak membuat mereka merasa puas. Kepuasan itu justru ada saat mereka bisa membuat orang lain mengikuti perintah mereka.

Di sekolahnya, Rayhan dikenal sebagai sosok badboy yang diidamkan banyak sisiwi di sana. Sikapnya yang arogan dianggap wajar oleh teman-temannya, mengingat Rayhan bukanlah dari kalangan biasa.

Begitu juga dengan Raydita. Selain cantik dan modis, Dita juga sosok yang arogan. Setali tiga uang dengan kakaknya, Dita juga suka sekali mengusili teman yang dianggapnya lemah.

Hingga suatu hari, seorang anak perempuan berpenampilan lusuh datang dan menetap di rumah mereka. Dan tentunya hal itu menjadi kabar baik bagi mereka berdua. Karena dengan begitu, ada target baru yang bisa dijadikan oleh mereka sebagai 'teman' bermain.

Bagaimana kisah selengkapnya?

Nantikan episode selanjutnya, ya...

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, terima kasih.

kehidupan Nisa

Happy reading...

🌿

**"Yaah, ayah... Di sini, Yah. Ayah mau kemana? Jangan tinggalkan dedek sendiri. Yaah..."**

Adisurya terperanjak dan langsung terduduk dari tidurnya. Ia mencoba mengatur deru nafasnya yang terengah. Sambil mengusap keningnya yang berkeringat dingin, pria itu menoleh pada istrinya yang terlelap, kemudian mengusap kasar wajahnya.

"Lagi-lagi mimpi itu." Gumamnya.

Ya, mimpi yang sama yang sering ia alami beberapa bulan terakhir ini. Mimpi yang membuatnya tidak bisa tertidur lelap dan mulai merasa gelisah.

Adisurya menatap ragu pada ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Namun kemudian, ia meraihnya dan menghubungi seseorang.

📱 "....."

📱 "Cari tahu tentang anak itu. Secepatnya," titah Adisurya.

Sesaat ia termenung. Memikirkan sesuatu yang ingin segera didengarnya. Tak lama helaan nafas kasar dibuangnya, lalu menunduk sangat dalam.

"Maafkan ayah, Nak." Gumamnya.

Adisurya kembali merebahkan diri. Mencoba meraih ketenangan diantara kegundahan yang saat ini dirasakannya.

***

Sementara itu di tempat lain...

Semilir angin malam terasa sejuk menenangkan jiwa. Bintang-bintang bertebaran menambah indahnya pesona malam yang gulita.

Dari balik kaca jendela Nisa menatap pesona malam itu sambil memelut erat kedua lututnya. Sesekali ia menoleh pada ibunya yang terbaring lemah berbalutkan selimut seadanya.

"Ya Robb, apa yang harus Nisa lakukan? Hanya Engkau Yang Maha Penolong, berilah kesembuhan pada Ibu! Nisa mohon..." Batinnya memelas bersamaan dengan ujung matanya yang meneteskan air mata.

Sudah lama Bu Asih mengeluhkan sakit. Namun ia memaksakan diri bekerja di kebun tetangga. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk makan dan ongkos Nisa pergi ke sekolah. Seminggu ini Bu Asih benar-benar menyerah, ia tidak sanggup lagi bangun dari tidurnya. Dan selama seminggu ini mereka makan dari pemberian tetangga.

Uhhuk... Uhhuk...

Dengan cepat Nisa beranjak mengambilkan minum untuk ibunya.

"Ini, Bu. Minum dulu," ucap Nisa.

"Kamu belum tidur, Nak?" tanya Bu Asih yang sudah terduduk dan meminum air yang disodorkan putrinya.

"Belum, Bu."

"Tidurlah, Nis. Besok kan kamu harus sekolah. Jangan sampai bangun kesiangan dan membuat Yuli menunggu. Tidak enak sama Pak Indra." Ujarnya.

"Besok kita ke Puskesmas lagi ya, Bu. Nisa akan izin dulu nggak sekolah. Supaya Ibu ada yang menemani," ujar Annisa sambil menatap sendu wajah ibunya yang lesu.

Bu Asih menggeleng pelan.

"Ibu bisa diantar Bi Titin, Kamu harus sekolah ya... Mumpung ada yang mengantar," ucap Bu Asih dengan suara yang lemah.

Nisa mau tak mau menyanggupi permintaan ibunya. Beberapa hari ini, ia ikut nebeng dengan motor Pak Indra, ayah Yuli.

Sesaat kemudian, Nisa mulai terlelap. Meringkuk di samping ibunya, dengan beralaskan kasur tipis yang sama sekali tidak memberinya rasa nyaman.

Asih menatap sendu pada wajah Nisa yang sudah terlelap. Ia mulai khawatir pada kehidupan Nisa jika kemungkinan terburuk terjadi pada dirinya. Akan seperti apa nasib putrinya nanti. Tidak seharusnya di usia yang masih belia, Annisa merasakan kehidupan sepahit ini.

"Malang sekali nasibmu, Nak. Maafkan Ibu yang tidak bisa memberimu kehidupan yang layak. Ibu benar-benar minta maaf, Nis. Semoga saja Gusti Allah membukakan pintu hati Agan dan membawamu pergi dari kemiskinan ini. Supaya kamu bisa hidup sebagaimana mestinya." Ucapnya sambil menahan isakan.

***

Cicitan burung mengusik tidur Nisa pagi ini. Gadis itu terhenyak melihat sinar mentari sudah bersinar terang di balik tirai jendela rumahnya. Saat melihat jam di dinding, ia semakin terperanjat karena waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih.

Nisa bergegas ke kamar mandi dan hanya sempat mencuci muka, karena tidak sempat menimba air. Dan waktu yang dimilikinya pun tidak memungkinkan untuk menimba.

"Bagaimana ini? Aku belum memasak air untuk minum ibu." Gumamnya pelan.

Nisa menoleh pada ibunya yang masih terbaring. Diambilnya cangkir berpenutup yang biasa digunakan ibunya. Nisa berlari ke rumah tetangga, ia berniat meminta air panas untuk menghangatkan minum sang ibu.

"Hari ini kamu kesiangan, Nis? Pantas saja Bibi belum melihatmu menimba air," ujar Bi Titin tetangga Nisa.

"Iya, Bi. Semalam Nisa sulit tidur. Terima kasih ya, Bi. Nisa mau siap-siap berangkat ke sekolah."

"Tunggu, Nis! Ini, bawa untuk sarapan Ibumu. Kamu juga harus sarapan. Kalau uang, Bibi nggak bisa ngasih," ujar Bi Titin sambil menyodorkan semangkuk singkong rebus yang sudah ditaburi parutan kelapa.

"Terima kasih, Bi. Jazakallah, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Bibi selama ini. Maaf, Nisa selalu merepotkan." Ucapnya dengan kepala yang tertunduk.

"Kamu ini ngomong apa sih, Nis? Sudah sana bersiap! Kamu bareng sama Yuli kan perginya?"

"Iya, Bi. Nisa pulang dulu ya. Nanti nitip ibu," pamit Annisa yang dijawab anggukan oleh Bi Titin.

Bi Titin menatap sendu pada punggung Nisa. Ia benar-benar merasa iba dengan garis kehidupan yang dilalui gadis itu bersama Asih, ibunya.

Annisa dan ibunya tinggal di rumah yang sangat sederhana. Hanya ada satu ruangan yang luasnya tidak lebih dari dua puluh meter persegi dengan kamar mandi kecil dan sumur di sampingnya.

Hanya ada satu ranjang berukuran sedang dengan kasur lantai sebagai alasnya. Lemari usang ada di salah satu sisi ruangan itu. Selebihnya, tidak ada apapun selain peralatan makan seadanya dan juga tungku perapian yang biasa mereka gunakan.

Setibanya di rumah, Annisa menghampiri ibunya. Diusapnya lembut punggung wanita renta yang sedang terbaring lemah itu.

"Bu, maaf Nisa bangun kesiangan. Ibu mau ke kamar mandi? Diminum dulu air hangatnya, Bu. Ini juga ada singkong rebus dari Bibi. Sarapan ya, Bu." Ujarnya.

Hening, tidak ada jawaban dari Bu Asih. Wanita itu masih dengan posisi tidurnya yang membelakangi Annisa.

"Bu, Ibu... Ibu masih tidur?" Nisa mencoba melihat pada wajah ibunya. Entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa hari ini sikap ibunya tidak seperti biasanya.

Annisa meraih tangan ibunya. Ia terhenyak saat merasakan tangan itu sangat dingin. Raut wajah Nisa yang menegang kini jadi memucat. Berkali-kali ia memastikan suhu tubuh ibunya.

"Kenapa dingin sekali? Tidak mungkin kan kalau Ibu..." Gumamnya. Annisa pun mencoba membangunkan ibunya dengan menguncang pelan bahunya.

"Bu, Ibu. Bangun, Bu! Ibu harus sarapan. Ibu harus melihat Nisa pergi ke sekolah. Bangun, Bu! Jangan tinggalkan Nisa sendirian. Nisa mohon... Bangun, Bu. Hiks, hiks..."

Annisa terisak sambil membenamkan wajah di dada ibunya. Merasakan betapa sesak dadanya saat ini. Tidak mungkin ibu yang sangat mengasihinya pergi secepat ini.

"Tidak, Bu. Jangan tinggalkan Nisa. Nisa tidak mau sendirian... Bu, bangun. Nisa mohon..." Tangisnya yang menggema terdengar memilukan.

_bersambung_

kepergian ibu

Happy reading...

🌿

Awan kelabu menggelayut di hamparan langit yang luas. Desiran angin yang membawanya seolah mengarahkan tata letak di mana awan itu harus menjatuhkan butiran air yang dibawanya.

Suara gemericik air yang memantul di permukaan tanah berpadu dengan isak tangis seorang gadis remaja. Suara air itu mengiringi isak tangis Annisa yang tengah bersimpuh dihadapan gundukan tanah yang masih merah. Isakannya terdengar memilukan, mengiris hati siapa saja yang mendengarnya.

"Nis, pulang yuk. Hujannya semakin deras," bujuk Bi Titin lembut entah sudah yang keberapa kalinya.

"Nggak mau, Bi. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa. Nisa mau bersama ibu di sini." Isaknya sambil menggeleng pelan.

"Sabar ya, Nis. Ibumu sudah tenang di sisi Gusti Allah. Jangan diratapi," ujar Bi Titin sambil menyeka air matanya.

"Nisa mau Ibu, Bi. Nisa tidak mau sendiri, hiks hiks. Bu... jangan tinggalkan Nisa." Lirihnya.

Bi Titin tidak bisa berbuat apa. Diusapnya punggung Annisa dengan lembut sambil tetap memayunginya. Ia menoleh pada beberapa orang yang menunggu di bagian lain area pemakaman. Menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa Annisa masih belum bisa dibujuk untuk pulang.

Seorang remaja bersama ibunya datang menghampiri, mencoba membujuk Annisa yang bahkan tidak perduli akan tanah yang mengotori bajunya.

"Nisa, pulang ke rumah Ibu yuk! Ada Yuli yang akan menemanimu. Kamu bisa tinggal bersama kami, Nak." Bujuknya lembut.

"Iya, Nis. Kita bisa berbagi kamar dan berangkat sekolah bersama. Jangan larut dalam kesedihan ya, Nis. Ikhlaskan ibumu," ucap Yuli menimpali ucapan sang ibu.

"Sekarang aku sendiri, Yul. Aku nggak punya siapa-siapa," sahut Nisa sambil mengusap wajah sembabnya.

"Ada Ibu, Nisa. Ada Yuli, Bi Titin juga. Iya kan, Bi?"

"Iya, Nis. Kamu tidak sendiri," sahut Bi Titin.

Allahu akbar, Allaahu akbar!

Allaahu akbar, Allaahu akbar!

Asyhadu allaa illaaha illallaah.

Asyhadu allaa illaaha illallaah.

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.

Hayya 'alashshalaah.

Hayya 'alashshalaah.

Hayya 'alalfalaah.

Hayya 'alalfalaah.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.

Laa ilaaha illallaah.

Kumandang adzan ashar menggema dari masjid yang letaknya tidak jauh dari area pemakaman. Memanggil satu persatu orang-orang yang tadi mengantar jenazah Bu Asih ke pemakaman, tidak terkecuali Annisa.

Dengan berat hati, Annisa meninggalkan tanah merah yang basah dengan taburan bunga di atasnya. Sendu ia menatap batu nisan bertuliskan nama ibunya.

Lagi-lagi ia menyeka air mata yang tumpah begitu saja di pipinya. Annisa bahkan tidak tahu bagaimana menghentikan derai air matanya sendiri.

"Bu, Nisa pulang ya... Besok Nisa ke sini lagi." Lirihnya sambil mengusap lembut nisan ibunya.

Bi Titin membantu Annisa berdiri. Dengan sabar ia menemani gadis remaja itu hingga sampai di rumah. Annisa menolak tinggal di rumah Pak Indra. Ia memilih tinggal sendiri di rumahnya. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama almarhumah sang ibu.

***

Syahdu malam kian terasa. Tatkala lantunan ayat suci Al-quran menggema di rumah sederhana Annisa. Sesekali masih terdengar isakan dari sosok yang tengah bersimpuh itu. Saat mengadukan jalan hidupnya pada Sang Khalik pemilik alam semesta.

"Nisa, makan dulu." Bi Titin menghidangkan nasi dan lauk seadanya di atas tikar.

"Terima kasih, Bi." Ucapnya dengan suara yang parau.

"Ayo makan sini sama Bibi." Ajaknya.

Mau tak mau Annisa menuruti ajakan Bi Titin. Ia merasa tidak enak hati jika harus menyusahkan tetangganya tersebut. Dengan enggan Annisa menyuapkan makan malamnya. Wajah pucat dan sayu itu mamaksakan diri menelan nasi beserta lauknya.

"Bagaimana sekarang, Nis? Sekolahmu masih tetap akan dilanjutkan?" tanya Bi Titin.

"Nisa tidak tahu. Tapi sepertinya tidak akan, Bi. Nisa akan mencari pekerjaan saja," sahut Annisa yang tertunduk sangat dalam.

Isakan itu terdengar lagi, Bi Titin hanya bisa menatap pilu gadis yang kini sebatang kara tersebut. Ia ingin membantu. Namun apa daya ia sendiri serba kekurangan. Dan pekerjaan, memangnya pekerjaan apa yang bisa dilakukan anak seusia Annisa.

"Maaf, Bi. Nisa tidak bisa menghentikan air mata ini." Ucapnya sambil menyeka air mata.

"Yang sabar ya."

Annisa mengangguk pelan. Ia pasrah tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Ujian Nasional telah berlalu. Nisa hanya tinggal menunggu kelulusan dari sekolahnya.

Annisa bisa saja melanjutkan sekolahnya. Ada bantuan sekolah gratis dari pemerintah yang diberikan pada anak-anak di desa itu. Namun untuk keperluan lainnya, membeli perlengkapan sekolah juga ongkos serta belum lagi jika ada pengeluaran mendadak. Dari mana Annisa memperoleh uang untuk semua itu?

Kalaupun ada tetangga yang berbaik hati membantunya, mau sampai kapan? Bukankah hutang budi dibawa sampai mati?

Annisa hanya bisa pasrah menerima takdirnya. Tidak ada orang yang bisa dijadikannya pegangan. Mencari pekerjaan kini menjadi pilihan Annisa. Ia hanya perlu memenuhi kebutuhannya tanpa harus menyusahkan orang lain.

"Bibi tidur duluan nggak apa-apa, Nis?"

"Nggak apa-apa, Bi. Maaf merepotkan Bibi," ucap Nisa pelan.

"Tidak apa-apa. Ibumu sudah seperti saudara Bibi. Jangan terlalu malam tidurnya ya."

"Iya, Bi."

Sesaat hening. Annisa masih terduduk sambil memeluk kedua lututnya. Dengkuran halus mulai terdengar dari Bi Titin yang terlelap. Nampaknya wanita itu kelelahan setelah seharian ini mengurus segala hal yang menyangkut pemakaman.

"Bu... Hiks, kenapa Ibu meninggalkan Nisa?" Lirihnya dengan tatapan kosong.

Bayang-bayang sosok ibunya yang berlalu-lalang di rumah itu nampak bergelayut di pelupuk mata Annisa. Ibu yang selalau tegar menghadapi beratnya beban hidup di usia senjanya. Ibu yang selalu berusaha tersenyum di saat beban yang ditanggungnya teramat sangat berat. Ibu yang...

Annisa tak mampu lagi menahan air matanya. Ia kembali terisak mengenang sosok ibu yang meninggalkannya begitu saja.

Perlahan, rasa kantuk mulai datang. Terlebih, kelopak matanya yang bengkak sudah terasa sangat berat. Annisa mulai memejamkan mata. Bersiap untuk menyongsong hari esok yang entah akan bagaimana.

Baru saja Annisa akan terlelap. Namun tiba-tiba ia terperanjak. Suara pintu yang diketuk seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Siapa orang yang bertamu di malam selarut ini?

Annisa menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. Saat ini ia benar-benar merasa takut membayangkan siapa yang ada di balik pintu rumahnya.

"Buka pintu."

Nisa tertegun mendengar suara seorang pria di luar sana. Ia semakin heran dan bertanya-tanya, siapa pria itu?

_bersambung_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!