"Aku pikir, pernikahan itu adalah sebuah kisah yang begitu membahagiakan, setelah dua orang yang saling mencintai bisa bersatu menjalin sebuah ikatan resmi. Bisa saling berbagi di saat suka maupun duka. Apalagi untuk aku yang hanya hidup sendiri, tanpa seorang ibu yang belum pernah aku lihat secara langsung, dan tanpa seorang Ayah selama dua tahun ini.Apalagi pernikahanku yang seperti hanya mimpi," Dara menundukkan wajahnya, memejamkan mata yang mulai meneteskan air yang sempat iya bendung tadi. Isak tangisnya mulai terdengar, memecah keheningan senja sore itu.
Di bawah pohon rindang dengan sebuah kursi panjang menghadap ke arah senja yang hampir tenggelam, seorang wanita menepuk nepukkan tanganya ke pundak wanita yang satunya, berusaha menenangkan wanita yang menangis itu walaupun ia rasa hanya memberi sedikit saja keringanan akan beban yang dipikul wanita yang menangis itu.
"Bagaimana aku harus menghadapi perkataan orang-orang nanti.
"Tenanglah, semua pasti ada Hikmahnya," wanita bernama Laras itu mengelus punggung Dara berusaha menenangkannya. Dalam hati Laras mengutuk suami Dara yang telah menjadikan Dara seperti ini. Kadang Ia menyesal karena tidak bisa bertindak cepat menolong sahabatnya itu. Andai saja dia punya bukti, dia pasti sudah melaporkan kejahatan suami Dara kepada Polisi. Tapi setidaknya, Laras bisa tenang karena Dara sudah lepas dari pria bajingan itu.
Dara yang sudah mulai tenang, sudah bisa mengangkat wajahnya melihat ke qmdepan, walaupun terlihat mata Dara sudah mulai bengkak karena menangis.
"Kau tidak pantas menangisi pria jahanam itu Dara, biar Tuhan yang membalasnya kelak dengan balasan yang setimpal, Kau sudah mendapatkan surat cerainyakan, Rei juga sudah melepaskanmu, saatnya kau menata hidupmu kembali."
"Apa aku akan kuat mendengar perkataan orang-orang nanti, mereka hanya mengetahui aku sudah menikah dan tidak berpikir cerai, tapi bagaimana saat orang-orang tau nanti," Dara tertunduk kembali, tetapi dia menahan untuk tidak menangis.
"Jangan dengarkan mereka, tetaplah tegar menatap kedepan," Dara menatap Laras lalu memeluknya dengan begitu erat. Wajahnya sudah mulai menunjukkan senyum walaupun sangatlah tipis.
"Laras, kenapa kau harus pergi, lalu siapa nanti yang akan menemaniku, kau sahabatku yang selalu aku jadikan pelampiasan kesalku kan?" Dara mulai tersenyum lebar.
Laras melepaskan pelukan Dara," dasar menyebalkan, apa aku disampingmu hanya untuk pelampiasan saja, tubuhku sakit semua kalau sering berada di sampingmu," Laras memegang lengannya yang sering terkena pukul saat dekat dengan Dara.
"Ah kau ini," Dara melayangkan telapak tangannya dan memukul pelan lengan Laras.
"Baru saja aku bilang, kau sudah memukulku lagi,"
"Ah, itu cuma pelan, ada lagi yang lebih keras... "
Dara hendak melayangkan tangannya kembali, tapi Laras menjauhkan tubuhnya dari Dara.
Dara dan Laras tertawa bersama lalu menatap senja sore itu yang hampir terbenam.
"Tempat ini adalah tempat favorit kita, kalau kau kembali nanti, kuharap tempat ini masih ada, kita bisa bertemu kembali disini," ucap Dara tanpa melihat Laras.
"Ini adalah danau, dia tidak akan hilang Dara, kita saja yang selalu meninggalkan danau ini, danau ini sudah dibangun dengan sangat indah, ini tempat wisata favorit para muda mudi tahun ini"
"Iya kau benar."
"Laras ayo kita pulang, bukankah kau harus bersiap-siap untuk keberangkatanmu nanti malam."
"Ayo!"
Mereka berdua berdiri meninggalkan danau sambil bergandengan tangan. Hari itu adalah hari terakhir Dara dan Laras bersama, sebelum Laras pergi ke Paris mengikuti suaminya dan menetap disana. Laras adalah tetangga Dara sejak kecil. mereka sekolah bersama, besar bersama, kerja bersama sampai akhirnya Laras bertemu dengan pria Paris dan memutuskan menikah. Yang jelas pria Paris itu lebih baik daripada suami atau lebih tepatnya mantan suami Dara. Laras sudah menikah selama setahun, dan saat ini mereka akan tinggal di Paris karena suami Laras mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disana.
Saat malam tiba, tak henti-hentinya Dara dan Laras berpelukan sebelum melepas kepergian Laras. Ayah dan Ibu Laras juga ikut ke Paris, karena tidak mungkin Laras meninggalkan Ayah Ibunya karena tidak ada yang akan merawat mereka.
"Paman, Bibi, hati-hati di jalan, Dara akan selalu merindukan kalian, kalian sudah Dara anggap keluarga sendiri," Dara mengelus lengan Ibu Laras lalu memeluknya.
"Dara juga harus menjaga kesehatan, menjaga diri, kami disana nanti tidak akan pernah melupakanmu, jangan lupa selalu menghubungi Bibi ya," Dara mengangguk seraya melepaskan pelukannya, Dara mengucapkan salam juga kepada Ayah Laras lalu mencium tangannya.
" Jaga keluargaku dengan baik James, jangan lupa berkunjung kemari kalau ada waktu!"
James suami Laras mengiyakan permintaan Dara, lalu mereka menaiki mobil dan berlalu pergi menuju Bandara.
Dara hendak masuk ke dalam rumah, dia menoleh kembali ke kediaman keluarga Laras.
"Pasti akan sangat sepi sekali," Dara membuka pintu rumah, dan menutupnya kembali. Dia menuju ke dapur lalu mengambil dua helai roti yang ditengahnya dilapisi selai kacang kesukaannya. Dia mengunyah habis roti itu," Enak sekali ... seperti baru kali ini saja aku makan," Dara berdiri dan mengambil sebotol minum dari dalam kulkas, lalu meneguknya sampai habis. Dara hendak meletakkan botol kosong di tempat sampah, tetapi dia mengurungkan niatnya setelah dia seperti mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu. Setelah memastikan kembali pendengarannya tidak salah, Dara membuang botol kosong dalam sampah dan bergegas kedepan melihat siapa yang mengetuk pintu. Dara mengintip dari balik tirai jendela, dia takut kalau mantan suaminya yang datang.
"Tuan Kin," Dara tersentak, Dara segera membuka pintu.
"Tuan Kin, kenapa anda kemari, apa ada yang harus saya kerjakan?" Dara sangat terkejut akan kedatangan Bos nya yang bernama Kin Sanjaya.
Kin hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa.
"Tuan Kin, apa saya terlalu lama mengambil cuti?" Dara menunduk, tapi kemudian Dara tertawa kecil,bersamaan dengan tawanya, pria yang disapa Tuan Kin itu juga tersenyum.
"Duduklah Tuan Kin.. duduklah!" Kin duduk, Dara pun juga duduk di sebelahnya. Mereka duduk di teras rumah sambil menikmati udara malam.
"Aku ke sini karena ini.. " Kin memberikan sebuah kotak kecil terbungkus kertas kado.
"Aku minta maaf karena tidak datang ke pernikahanmu, ku harap kado ini bisa membuatmu memaafkanku,"
Dara menerima kado itu dengan menahan kesedihannya dengan senyum kecil di bibir mungilnya. Dia menatap Kin dengan mata yang berkaca-kaca.
Kin adalah teman Dara saat SMA dulu, tepatnya dia adalah kakak kelas Dara, mereka kenal dekat saat mengikuti pelajaran tambahan yang diadakan sekolah . Walaupun Dara anak orang biasa, tapi Ayahnya bekerja keras hanya untuk menyekolahkan Dara kesekolah yang terbaik di kotanya, dan sampai ke perguruan tinggi yang sama dengan Kin. Selain itu juga, dengan nilai yang tinggi, Dara bisa dengan mudah masuk ke sekolah elit tersebut.
.
.
.
Jangan lupa like ya, ikuti terus ceritanya, seru lo, 🙏💕
Dara menatap wajah Kin dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa menangis, apa hadiahnya kurang besar," Kin meledek Dara.
Dara menundukkan kepala sambil mengusap air mata yang terjatuh. Aku harus tetap tersenyum, aku tidak ingin orang lain mengasihani diriku. "Tuan, kau datang ke sini hanya untuk memberiku ini, kenapa repot-repot sekali," Dara masih menundukkan wajahnya.
"Tidak apa-apa, ini sebagai permintaan maaf karena aku tidak bisa datang saat itu, oya, aku tidak melihat suamimu, apa dia belum pulang kerja?" Kin melihat ke sekeliling mencari suami Dara.
"Hmm belum datang Tuan, aku akan mengambilkan kau minum dulu," Dara berdiri hendak masuk ke dalam rumah, namun Kin menahannya.
"Aku tadi sudah minum, duduklah!" Dara kembali duduk." Kalau di luar tempat kerja, panggil saja namaku seperti dulu Dara, aku jadi canggung kalau kau memanggilku Tuan! "
"Mana bisa Tuan Kin, aku sekarang jadi bawahanmu bukan teman dekatmu seperti dulu lagi."
"Kau ini membuatku menjadi canggung saja,"
"Baiklah, aku akan memanggilmu dengan nama KIN," jawab Dara sambil tersenyum memecah keheningan.
"Begitu lebih enak," Kin tersenyum." Baiklah aku pulang dulu, salam untuk suamimu," Kin beranjak berdiri, Dara ikut berdiri lalu mengangguk pelan.
"Hati-hati di jalan Kin!" sambil melambaikan tangan.
Kin masuk ke dalam mobil, menatap ke arah Dara sejenak, kau sudah memiliki suami sekarang, kita tidak bisa seakrab dulu lagi Dara. Kin melajukan mobilnya pelan.
Dara masuk dan mengunci pintu rumah, tak terasa air mata yang sempat mengering itu menetes kembali. Dara menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, membekap wajahnya pada bantal. Dia sudah tak kuasa membendung kesedihannya lagi, semua dicurahkan di atas bantal spon itu.
Dia selalu menyesali keputusan yang dia ambil, menikah dengan seseorang yang belum lama Ia kenal. Mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya, yang semua itu palsu, hanya gombalan semata. Begitu bodohnya dia sampai tidak mengetahui bagaimana watak asli Rei.
Dara bangkit dari tidurnya, mengusap air mata nya, " Untuk apa aku harus menangis, saat ini aku sudah lepas dari Rei sialan itu, aku harus bisa kuat, semua temanku adalah orang baik, mereka pasti tidak akan mencela diriku kalau mereka tau semuanya," Dara berjalan ke kamar mandi yang berada di luar kamarnya. Mengambil air wudhu lalu menunaikan kewajibannya.
***
Keesokan paginya, Dara sudah bersiap untuk bekerja kembali. Dia menata hatinya pelan-pelan untuk menghadapi semua rekan kerjanya. Karena dia berpikir, tidak akan mungkin jika rekannya tidak akan bertanya tentang pernikahannya. Dara memang mendapat cuti menikah selama sebulan penuh, itu memang sudah kebijakan spesial yang diberikan perusahan tempat Dara bekerja sebagai wujud terima kasih perusahaan dan menghargai privasi karyawannya. Tapi karena urusan perceraian, Dara jadi menambah beberapa hari lagi untuk mengurusnya.
Tak lama perjalanan Dara menggunakan taksi online, akhirnya dia sampai di halaman perusahaan. Dia masuk dan disambutlah oleh para rekan kerjanya, ada yang mengucapkan selamat, ada yang bilang kenapa lama sekali cutinya, ada yang hanya tersenyum saja. Semua sapaan itu hanya Dara tanggapi dengan senyuman. Dia segera melakukan pekerjaan agar terhindar dari pertanyaan teman-tamannya itu.
Kin sudah berada di dalam ruangan, dia terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa bulan ini industri tekstil nya mulai turun omset, beberapa jenis bahan mentah yang dibutuhkan sangat sulit di dapat, pemasok yang biasa memasok di perusahaannya mulai mengurangi jumlah pasokan.Sedang permintaan lebih besar, jadi banyak perusahaan yang membatalkan pemesanan pada perusahaan industri Kin.Permasalahan ini membuat kepala Kin terasa sakit.
Tok
Tok
Tok
"Masuk!" seru Kin tanpa memandang ke arah pintu, siapa yang datang.
"Kopi Tuan Kin," suara seorang wanita.
Kin menoleh kearah suara, "Dara," Kin tersenyum, seketika menutup map yang baru saja iya buka.
"Minumlah dulu kopi ini Tuan Kin, mungkin ini akan sedikit menenangkan!" Dara menyerahkan secangkir kopi susu kepada Kin.
"Kau seperti bisa membaca pikiranku saja ..." Kin meminum sedikit kopi buatan Dara "...enak sekali kopi buatan Dara," gumam Kin.
"Aku memiliki teman yang mungkin bisa membantu anda saat ini Tuan Kin." Ucap Dara tiba-tiba.
Kin menatap Dara, seperti ada angin segar yang menghampiri dirinya saat ini.
"Cobalah kau hubungi temanmu itu Dara, siapa tau dia mau bekerja sama dengan perusahaan kita!"
Dara mencoba menghubungi temannya lewat ponsel. Setelah tersambung, Dara menceritakan inti dari permasalahan perusahaan kepada temannya itu. Tak lama kemudian, terdengar pembicaraan mereka telah diakhiri oleh Dara.
Dara tersenyum, "Temanku akan datang kesini Tuan Kin, mungkin dalam beberapa hari lagi untuk menemui anda membicarakan hal ini,"
Kin tersenyum dan menggelengkan kepala, "Kau baru masuk hari ini, tapi sudah menyembuhkan sakit kepala ku Dara."
Kau juga mengobati rinduku Dara.
Apa yang bisa dilakukan Dara selain mengulas senyum di wajahnya.
"Kalau begitu saya permisi Tuan Kin," Kin mengangguk mengiyakan.
Segala permasalahan yang sedang dihadapi perusahaan memang sangat cepat beredar, terutama para karyawan yang sambil bekerja sambil berbisik-bisik pula. Karena itulah walaupun baru saja Dara masuk kerja, dia segera tau ada masalah dalam perusahaan. Untung saja Dara memiliki teman yang iya kenal semasa kuliah dulu, lalu dia menghubunginnya terlebih dahulu sebelum iya menghubungi kembali saat berada di dalam kantor Kin.
Dengan bekerja ternyata bisa mengurangi sedikit beban mentalmu, untunglah teman-teman tidak bertanya secara detail tentang pernikahanku.
Dara tersenyum sendiri mengingat ketakutan masuk kerja yang dia alami tadi malam. Semua yang terjadi memang bukanlah kesalahan Dara, melainkan ketidak beruntungannya saja. Semua memang sudah direncanakan oleh Yang di Atas, hanya saja mungkin saat ini dia masih malu mengungkapkan kenyataan kalau dia sudah menjadi janda di usia yang begitu muda, 24th.
Sudah waktunya makan siang, para karyawan secara bergantian menuju ke kantin yang telah disediakan perusahaan. Tidak ada yang boleh keluar perusahaan saat jam makan siang, akan tetapi tidak ada pegawai yang mengeluhkan kebijakan tersebut, kantin yang berada dalam perusahaan sangatlah memadai, harga bersahabat serta menu makanan yang beraneka ragam. Semua disediakan perusahaan hanya untuk memberikan yang terbaik bagi karyawan.
Seluruh keringat karyawan seperti dibayar setimpal oleh perusahaan dengan bentuk gaji yang lumayan serta bonus yang tak terduga datangnya, bisa bulan ini juga bisa bulan depannya. Membuat karyawan betah berlama-lama bekerja di perusahaan tersebut, dan mendoakan agar sukses selalu.
Tiba giliran Dara untuk makan siang, dia bersama beberapa karyawan lain menuju ke kantin, Dara memilih bakso sebagai makan siangnya, beberapa hari ini mungkin keinginannya untuk memakan nasi sedikit berkurang, Dara hanya memperbanyak stok camilannya dirumah.
Dara menikmati bakso jumbo pedasnya, ditemani jus jeruk yang begitu menggoda di cuaca panas seperti ini. Dara menikmati makanannya sambil berbincang ringan bersama beberapa pegawai wanita yang duduk semeja dengan Dara.
Hari sudah menjelang sore, terlihat lalu lalang para pegawai tekstil membersihkan tempat sekitar mereka bekerja dan bersiap diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Satu persatu dari mereka telah keluar, sedang Dara masih terlihat memakai jaket dan mengambil tas selempang kecil yang selalu menemaninya. Dia keluar bersamaan dengan Kin yang juga baru keluar dari kantor.
"Apa suamimu menjemputmu Dara?" tanyanya.
Dara terlihat bingung menjawab pertanyaan itu," Aku pulang sendiri Tuan Kin," jawabnya sambil tersenyum.
"Mau aku antar?"
"Mmm aku ... "
"DARA," teriakan seorang laki-laki yang tak asing bagi Daramembuat wanita itu dan Kin menoleh bersamaan.
"Rei," gumam Dara tanpa suara.
"Ikut aku, aku ingin bicara denganmu!" Rei menarik tangan Dara dan wanita itu mencoba melepaskan tarikan tangan Rei dengan menepis nya.
"Rei, tanganku sakit, aku tidak mau,"
Kin hendak melangkah membantu Dara, tapi dia masih diam melihat situasi yang terjadi.
"Sebentar saja, ayo!" ajak Rei kembali.
Dara pun terpaksa mengikuti Rei dengan tangan yang masih ditarik kasar, sekilas Dara menatap Kin dengan raut wajah memelas. Kin sebenarnya bersimpati dengan Dara, dia merasa mungkin sedang terjadi pertengkaran antara suami istri atau apa. Kin memang tidak mengenal Rei, juga belum pernah bertemu dengan dia, tapi Kin hanya mengetahui namanya saja. Karena itu Kin yakin itu adalah suami Dara dan dia tidak mau ikut campur urusan rumah tangga seseorang, walaupun itu temannya sendiri.
Dara masuk ke dalam mobil Rei dengan wajah yang begitu kesal sekaligus takut. Iya membendung air mata yang hampir keluar. Mengumpat dalam hati, ingin sekali dia mencakar-cakar pria di sampingnya ini.
"Kenapa kau masih mencariku Rei, kau sudah menyetujui perceraian kita, aku sudah bahagia tidak bertemu denganmu," Dara bicara tanpa memandang orang disampingnya.
Rei masih fokus dengan jalan di depannya. Pertanyaan yang Dara lontarkan belum terjawab.
Sampai mobil itu berhenti di sebuah taman di pinggir danau, Rei mengajak keluar Dara lalu mereka duduk di taman itu. Sebenarnya Dara tidak ingin mengikuti Rei, tapi apa daya tenaga yang di milikinya tidak kuat menahan tarikan pria bertubuh kekar dan tinggi itu.
"Apa kau tidak ingin kita kembali rujuk?"
Dara diam menatap sembarang arah.
"Ayolah Dara, kita bisa mengawali kembali hubungan kita, saat itu aku hanya khilaf," Rei memandang Dara dengan penuh harap.
"Singkirkan wajahmu itu dari hadapanku Rei, aku tidak ingin kembali padamu lagi." Dara berdiri hendak meninggalkan Rei, tapi Rei sudah memegang tangan Dara kembali.
"Baiklah, duduklah dulu Dara!" Dara kembali duduk dengan terpaksa." Saat ini Bundaku tidak tahu kalau kita berpisah, bagaimana aku bisa mengatakannya, sedangkan Ibu ingin cucu dari kita," Rei mengusap kasar wajahnya, dia terlihat cemas.
Dara memang tidak tega dengan Ibu Rei, dia sudah berumur dan Ibu Rei juga pernah mengatakan kalau dia menginginkan cucu. Memang di awal pernikahan Dara dan Rei semua baik-baik saja, tapi semakin lama Rei menunjukkan watak aslinya, dia sangat kasar, mudah marah, selalu memaksa dan selain itu dia juga badboy, banyak sekali wanita yang menjadi selingkuhannya di luar sana, setelah Dara menyadari semua itu Dara menggugat cerai Rei dan meninggalkan rumah selama beberapa hari. Sebelumnya mereka tinggal berdua di rumah Dara yang sederhana.
"Mintalah pada pacar-pacarmu itu untuk membuatkan bunda cucu!"
"Tapi bunda mencarimu Dara," Rei tetap membawa nama bundanya untuk mendapatkan hati Dara kembali, tapi memang sebenarnya juga Ibu Rei menanyakan tentang Dara kepada Rei.
"Kau yang menodai pernikahan ini Rei, semua sudah tidak bisa diulang lagi, bicaralah jujur kepada Ibu, Ibu pasti bisa mengerti!"
"Sekarang biarkan aku pergi, jangan menghalangiku lagi!" Dara sudah berdiri, kali ini Rei tidak menghalangi Dara lagi. Dara berlalu meninggalkan Rei, dia sudah bisa menahan air matanya untuk tidak menetes lagi. Kesal dan kecewa telah menjadikan Dara lebih tabah saat ini.
Rei terlihat mengacak-acak rambut tebalnya.
"hah, sial... " Rei menendang udara hampa di depannya. Dia kembali ke mobilnya dan melaju dengan kencang.
Dara masih berjalan menyusuri taman menuju ke jalan raya. Dara melambaikan tangan di saat ada taksi lewat di depannya. Taksi berhenti, Dara masuk ke dalam.
Dia sendiri yang berulah, bunda yang tidak tahu apa-apa menjadi korbannya juga. Kasihan sekali Bunda, dia orang yang baik, anaknya yang tidak tahu balas budi.
Dara meletakkan kepala di sandaran kursi. Deringan ponsel dalam tas selempangnya membuat dia segera merogoh tas kecil itu. Sebuah pesan singkat dari Laras, Dara segera membuka isi pesan Laras,
[Laras : Maaf Dara aku baru menghubungi dirimu sekarang, kami sudah sampai di Paris dengan selamat]
[Dara : Syukurlah kalian semua sampai dengan selamat, salam untuk Paman dan Bibi]
[Laras : Iya, bagaimana kabarmu di sana]
[Dara : Hari ini aku mulai kerja, semua berjalan dengan lancar]
"Sudah sampai nona," ujar sopir taksi yang melirik Dara dari kaca depannya.
"Iya Pak," memberi selembar uang "kembaliannya diambil saja!" Dara turun dari taksi, membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Belum ada balasan kembali dari Laras. Dara meletakkan ponsel di meja kamar. Dara mengambil satu stel baju dari lemarinya dan iya segera mandi di kamar mandi di luar kamar.
Dara terlihat fres setelah keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang hitam panjang masih terlihat basah, dia menggunakan handuk kecil untuk mengeringkan rambut panjangnya. Dia menuju kamar untuk mengambil ponsel, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil berselonjor kaki.
"Ada pesan singkat dari Kin, aku akan membukanya,"
[Kin : Apa semua baik-baik saja?]
Apa yang dipikirkan Kin tadi?
Dara mengetikkan beberapa kata pada ponselnya untuk membalas pesan Kin.
[Dara : Iya Kin, semua baik, maaf tadi aku meninggalkanmu begitu saja]
[ Kin : Okey tidak apa Dara, istirahatlah, mungkin kau lelah]
Dara tersenyum karena ada yang memperhatikan dirinya.
***
"Kin, makan malam sudah siap, ayo keluarlah!" pinta mama Renita sambil mengetuk pintu kamar Kin yang masih tertutup rapat.
"Iya Ma," Kin meletakkan ponsel di meja sebelah tempat tidur. Kin berjalan dan membuka pintu.
"Ayo Ma!" Kin menggandeng tangan Mama Renita turun tangga menuju dapur.
Di meja makan sudah terlihat Ayah Dandi dan Kenzo, adik Kin yang sudah menunggu mereka berdua.
Mama Renita mengambil piring Ayah Dandi dan mengisinya dengan menu malam itu. Kin dan Kenzo juga terlihat mengisi piring mereka masing-masing. Mereka menikmati makanan tanpa berbicara sampai makanan mereka habis.
"Kakak, kita sudah lama tidak liburan, bagaimana kalau kita berlibur ke pantai hari minggu besok?"
"Boleh juga, bagaimana Pa, Ma?" tanya Kin.
"Kalau Papa bisa saja Kin, tergantung Mama saja bisa atau tidak," jawab papa Dandi sambil menoleh kepada istrinya.
"Hmm sebenarnya Mama ada janji sama teman Mama, tapi mungkin bisa Mama batalkan sayang." Mama tersenyum kepada anak-anaknya.
Kin dan Kenzo terlihat senang. Memang setiap akhir pekan atau sebulan sekali, keluarga Sanjaya mengadakan piknik bersama, walaupun Kenzo terbilang anak muda, tapi dia senang kalau selalu berkumpul dengan keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!