NovelToon NovelToon

Cinta Bertanda Merah

Prolog

Tubuh lelah yang seharian tidak dibiarkan beristirahat itu, kini terbaring pasrah di atas ranjang pengantin yang penuh dengan hiasan kelopak mawar merah.

 

‘Ceklek.’ Matanya terbuka meski tubuhnya tidak melakukan gerakan yang berarti, “Mandilah. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini.”

 

Tidak ada jawaban, hanya terdengar langkah teratur dan pintu kamar mandi yang terbuka, tak lama gemercik air pun ikut menghiasi suasana hening itu.

 

“Aku akan tidur di sofa, Mas.” Kalimat sederhana yang bisa terdengar dengan jelas di telinga seseorang yang terpejam meski belum sepenuhnya tertidur.

 

“Terserah kamu saja, Yun.”

 

Gadis bernama Yuni itu pun segera mengambil selimut di almari dan merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di sisi lain ruangan ini. Bukan hanya Cahyo, lelaki yang beberapa jam lalu menyandang status sebagai suami sahnya secara hukum dan agama, bahkan dirinya pun sangat tidak menyetujui pernikahan ini. Andai saja dia punya keberanian untuk menolak semuanya, mungkin keadaan tidak akan secanggung ini.

 

***

 

Pagi ini Yuni bangun lebih dulu. Setelah membersihkan diri, dia segera ke dapur untuk membuatkan teh, kopi, dan juga susu jahe hangat, dia tidak tahu apa kebiasaan Cahyo saat pagi, jadi dia memilih membuat semua itu.

 

Saat sampai di kamar, Cahyo sudah masuk ke dalam kamar mandi. Yuni memilih menaruh minuman hangat itu, dan segera menyiapkan baju untuk dikenakan suaminya ke kantor nanti.

 

“Aku sudah menulis beberapa aturan yang harus kamu lakukan. Aku tidak mau mama dan papa kecewa jika kamu melakukan kesalahan.” Cahyo merapikan sendiri dasi yang dikenakannya, dia memilih tidak mengambil cuti meski sekarang orang di luar sana masih sibuk memberitakan pernikahannya yang terbilang mendadak ini.

 

“Iya, Mas.” Yuni mengambil kertas itu dan mulai membacanya satu persatu.

 

“Apa kau mau menambahkan sesuatu?” Cahyo meraih gelas yang berisi cairan putih pekat itu, dan meminumnya setelah menciumnya dan tahu itu adalah campuran susu dan jahe.

 

“Tidak, Mas.” Yuni cukup tahu diri, keluarganya sudah berhutang budi terlalu banyak kepada keluarga Cahyo, dan dia tidak mau teralu cerewet dengan menuntut banyak hal. Meski dia tahu Cahyo tidak menginginkannya, setidaknya mengabdikan dirinya seumur hidup tidaklah rugi.

 

“Bagus. Kita sarapan sekarang, jangan membuat kesalahan sedikit pun.” Cahyo keluar lebih dulu dan kemudian di susul oleh Yuni.

 

“Selamat pagi, Ma, Pa.” Sapa Cahyo setelah sampai di meja makan.

 

“Apa kau akan bekerja hari ini? Semalam kalian tidak sedang bercanda kan?” ayah Cahyo menanyakan tentang malam pertama mereka.

 

“Yuni sedang menerima tamu bulanannya, Pa. Dan itu membuatku harus menunggu beberapa hari lagi, bukan begitu, Yun?” Cahyo tersenyum manis ke Yuni.

 

Yuni pun mengangguk dan ikut tersenyum, lebih memilih segera mengambilkan sarapan untuk Cahyo dan juga untuk dirinya sendiri.

 

Tidak terlalu banyak percakapan saat sarapan kali ini. Cahyo segera mengajak Yuni ikut serta ke kantor bersamanya, dia tidak ingin Yuni terlalu di tekan oleh keluarganya.

 

“Mas, apa aku boleh minta sesuatu” Yuni mengatakannya dengan hati-hati, dan setelah Cahyo bergumam sambil mengangguk, Yuni melanjutkan kalimatnya, “Aku punya tabungan 7 juta, apa boleh aku ikut kuliah tahun depan?”

 

“Aku akan mendaftarkanmu sekarang juga kalau mau.” Cahyo berpikir mungkin itu lebih baik, saat Yuni bertemu dengan orang yang mampu menarik hatinya, maka akan mudah baginya untuk menceraikan Yuni tanpa memerlukan usaha yang berlebihan.

 

“Kalau sekarang uangku kurang, Mas.” Yuni menunduk, memang kalau tahun ini, tabungannya tidak akan cukup, “Beri aku pekerjaan, Mas. Apa pun, untuk membayar biaya kuliahku.”

 

“Okey. Bangun pagi, siapkan aku susu jahe seperti tadi setiap pagi, bersandiwaralah dengan baik di depan papa dan mama, jangan mencampuri urusanku, dan aku akan membiayai semua kebutuhan kuliah dan juga uang sakumu.” Cahyo akan mendukung jika keuntungan yang akan didapatkannya lebih besar.

 

Yuni segera mengangguk, dia pun sudah lama menginginkan pendidikan yang lebih baik di universitas, dan tidak akan menyiakan kesempatan baik ini begitu saja.

 

***

 

Cahyo menepati janjinya. Setelah memberikan pengertian kepada papa dan mamanya bahwa pendidikan sangatlah penting, hari ini Cahyo sendiri yang mengantarkan Yuni di hari pertamanya kuliah, “Telepon sopir jika pulang lebih awal, aku bisa menjemputmu jam lima sore.”

 

Yuni mengangguk dan segera berjalan menuju ke kelasnya, kemarin dia sudah diberitahu oleh rektor di kampus ini.

 

“Hey! Apa kamu mahasiswa baru?” tanya seorang gadis seusia dengannya dan duduk di sebelahnya.

 

Yuni mengangguk, “Yuni.”

 

“Aku Ratih, kita akan berteman dan selalu bersama setelah ini.” Ratih menyodorkan tangannya dan segera disambut oleh Yuni, “Kenapa masukmu begitu terlambat?”

 

“Iya aku menunggu uang tabunganku cukup dulu.” Yuni senang jika mendapatkan teman yang asyik di hari pertamanya kuliah.

 

“Ayolah, aku cukup tahu jika masuk di tengah semester seperti ini, berarti kamu bukanlah orang yang sembarangan, apa kamu dari keluarga kaya?” selidik Ratih.

 

Yuni terkekeh, “Apa hanya orang kaya yang boleh kuliah di sini?”

 

“Oh, bukan itu maksudku. Sudah lupakan saja.”

 

Braakkk! “Siapa yang menyuruhmu duduk di sini?” seorang mahasiswa yang memiliki gaya selengekan masuk dan menggebrak meja yang diduduki Yuni.

 

“Hey! Apa masalahmu?” Ratih membentak pria itu agar tidak mengganggu teman barunya, Ratih cukup senang berkenalan dengan Yuni, duduk di sebelah sahabat prianya yang arogan ini membuatnya dijauhi oleh mahasiswi lain. Ya, yang menggebrak meja tadi adalah Hendra, teman Ratih dan satu kompleks dengannya.

 

“Aku akan duduk di depan saja, aku pikir tadi bangku di belakang yang kosong. Ratih, aku akan pindah ke depan.” Yuni mengambil tasnya dan memilih duduk di depan sekarang.

 

“Kau menyebalkan, Hendra.”

 

“Biar.” Hendra terus mengawasi mahasiswa baru yang menduduki bangku kesayangannya ini. Di sini cukup nyaman jika dia terlalu bosan dan mengantuk saat mengikuti pelajaran.

 

Di lain tempat... Cahyo yang sibuk menyiapkan berkasnya untuk melakukan rapat dadakan, tidak menyadari jika ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya.

 

“Sayang, aku sudah lapar. Apa kita akan makan di sini saja?” sapa manja dari wanita yang terus mendekati Cahyo, dia adalah Nana, sekretaris di tempat kerja Cahyo. Meski tidak memiliki hubungan khusus, tapi mereka sudah sering saling menciptakan peluh dan kehangatan bersama, saat ada kerja di luar kota atau di apartemen Nana yang dihadiahkan oleh Cahyo saat pelayanannya yang ke tiga beberapa bulan yang lalu.

 

“Terserah kamu saja.” Cahyo masih sibuk membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang dibawanya.

 

“Bagaimana tadi malam? Apakah seru?” Nana mendekat dari sisi belakang dan mulai memijat pundak Cahyo.

 

“Tentu saja.”

 

“Apa akan segera ada penerus setelah ini?” Nana cukup kawatir karena dia tidak bisa memberikan itu kepada Cahyo, ya ...dia mandul.

 

Cahyo menghentikan pekerjaannya dan menarik Nana agar duduk di pangkuannya, “Jangan mengatakan omong kosong itu lagi.” Cahyo segera menyambar bibir seksi Nana dan ********** sedikit kasar. Cahyo sangat suka dengan permainan Nana yang selalu bisa mengimbanginya, meski dia juga tidak tahu apakah ini cinta, tapi rasa nyaman yang didapatkannya saat bersama Nana membuatnya tidak ingin jauh dari wanita itu. Dan soal anak Cahyo tidak terlalu memikirkannya jika papa dan mamanya tidak terlalu mendesaknya, maka dia tidak akan mau menerima pernikahan dengan gadis yang bahkan tidak dikenalnya itu.

Gaun

“Gimana kuliahnya?” Cahyo yang baru pulang dari kantor langsung menjemput Yuni saat ini, memang dia biasa pulang jam lima sore.

 

“Yuni punya temen, Mas. Namanya Ratih ...” Yuni banyak cerita dalam perjalanan pulang, tentang kuliah yang menyenangkan, teman yang akrab, mata pelajaran yang sesuai dengan bidang yang diinginkannya, dan banyak hal lagi, memang Yuni sangat memimpikan bisa kuliah dalam bidang yang dia geluti saat ini.

 

“Gimana, Sayang? Capek?” Mama Cahyo langsung menyambut menantunya, beliau juga tahu tentang Yuni yang kuliah saat ini.

 

Yuni pun juga menceritakan hal yang sama kepada mama mertuanya itu, bahkan saat papa mertuanya bertanya, dia juga menceritakan hal yang sama tanpa merasa bosan sedikit pun.

 

Malam ini sedikit berbeda, Yuni yang sudah mengambil selimutnya dan bersiap tidur di kursi, pergerakannya dihentikan oleh Cahyo, “Tidurlah di ranjangmu.”

 

“Mas?” jujur saja Yuni juga canggung jika harus tidur seranjang dengan Cahyo.

 

“Aku akan tidur di ruang kerja.”

 

“Jangan, Mas. Nanti mama sama papa lihat Mas terus curiga.”

 

“Aku akan kembali nanti malam setelah kamu tidur, jadi kamu tidak canggung saat tidur di sana kalau aku sudah tidak ada.” Cahyo segera keluar dan meninggalkan Yuni sendirian.

 

Entah sudah berlangsung berapa lama, kadang Yuni menemukan Cahyo tidur di kursi, kadang juga tidak menemukan lelaki itu. Meski rasanya sangat terasingkan di keluarganya sendiri, Yuni tidak mengeluh sedikit pun karena memang seperti itulah isi perjanjian itu, tidak saling mencampuri urusan satu sama lain.

 

“Yuk ke mall, aku mau beli tas, mumpung ada diskon.” ajak Ratih, memang hari ini ada jam kosong, jadi mereka bisa pulang lebih awal.

 

“Tapi aku gak beli ya, tasku masih bagus kayaknya.” Yuni memperhatikan tasnya, dia adalah tipe gadis yang tidak terlalu memusingkan banyak gaya, hidupnya yang sederhana dari dulu membuatnya tidak punya bakat untuk menghamburkan uang.

 

“Okey, antar aku saja, nanti aku traktir boba.” Yuni terkekeh mendengar kalimat itu.

 

“Mau ke mana? Aku males kalo nunggu kamu belanja.” Hedra langsung menyambar padahal dia tidak diajak tadi, Hendra lebih ramah sekarang, dia pun melihat Yuni seperti gadis rapuh, mulai melunakkan tingkahnya.

 

“Aku gak ngajak, ya?” Ratih menggandeng lengan Yuni dan sedikit menariknya berjalan lebih cepat.

 

Dengan naik angkot sebentar saja, mereka suah sampai di mall yang diingini karena kampus yang terletak di tengah kota memudahkan semuanya.

 

“Ini bagus gak?” Ratih mengambil jaket berwarna ungu dan menempelkannya di tubuhnya.

 

“Jangan ah, coba hijau itu, atau kuning ini.” Yuni ikut mengambil jaket berbahan benang dan dirajut dengan rapi itu, meski Ratih tadi ingin membeli tas, tidak salah kan jika mencoba jaket sebentar.

 

“Aku tidak suka warnanya.” Ratih menolak yang hijau dan menerima yang kuning, “Ini cantik.” tambahnya sambil tersenyum puas.

 

Yuni terkekeh, temannya itu memang sangat menyenangkan. Saat Yuni tidak sengaja melihat sebuah gaun santai bercorak bunga-bunga kecil berwarna biru, entah kenapa dia sangat suka. Yuni mendekati gaun itu dan mengambilnya.

 

“Aku yang melihatnya lebih dulu, Nona.” suara tegas dan sedikit angkuh itu terdengar cukup keras dan sarkas.

 

“Aku rasa kita mengambilnya hampir bersamaan, bolehkah aku melihatnya sebentar meski pun nanti Mbak yang membelinya.” Yuni sangat ingin melihat gaun itu, dia juga tidak berniat membelinya, hanya saja dia sangat tertarik dan ingin mencobanya.

 

“Apa kamu tidak waras? Kamu akan mencoba gaun ini setelah aku tahu ini akan jadi milikku?” kata wanita itu sedikit membentak.

 

“Okey, aku tidak akan mencobanya. Tapi biarkan aku menyentuhnya saja, aku rasa bahannya sangat bagus, aku ingin melihatnya karena gaun seperti itu tidak ada lagi.” memang hanya tersisa satu yang seperti itu di toko ini.

 

Wanita itu tersenyum smirk, “Cari yang lain saja karena aku tidak akan meminjamkannya meski hanya kamu lihat saja.”

 

“Ada apa ini?”

 

Yuni membatu setelah mendengar kalimat tanya sederhana itu. Badannya terasa panas dan dingin saat bersamaan.

 

“Ini, Yang ...anak ini masak memaksa agar aku memberikan gaun ini, padahal ini sangat spesial karena tinggal satu dan aku mau yang ini, Yang.” rengek wanita itu terdengar sangat manja.

 

“Maaf. Aku tidak bermaksud begitu.” Yuni segera menjauh dari pasangan itu dan mendekati Ratih lagi, “Aku akan menunggumu di luar.” setelah mengatakan itu, Yuni pun keluar dari toko dan duduk di bangku tidak jauh dari sana. Perasaannya kacau dan dia ingin menangis sekarang.

 

Beberapa kali Yuni menyapu bulir air matanya yang sedikit keluar dan menghirup banyak udara melalui hidung dan juga mulutnya. Dia ingin membuang sesak itu.

 

“Ngapain? Mau beli baju gak punya duit?” Hendra memang mengikuti sahabatnya tadi, saat dia memilih menunggu di luar karena tidak menyukai toko pakaian yang akan membuang banyak waktunya itu, sedikit terkejut saat melihat Yuni tiba-tiba keluar lebih dulu dan terlihat menangis.

 

Yuni segera menahan gejolak dalam dirinya dan memalingkan wajahnya.

 

“Hey, aku udah dapet nih. Cari makan yuk?!” Ratih sudah bergabung bersama mereka.

 

“Gak lihat temenmu lagi mewek?” Hendra mengingatkan Ratih karena melihatnya tetap sibuk dengan tas belanjaannya.

 

Ratih segera berpaling dan menatap lekat sahabat barunya itu, “Kenapa? Kamu sakit? Atau dapet kabar mendadak?” Ratih sedikit menggosok punggung Yuni.

 

“Gak papa, aku hanya laper aja.” Yuni tidak ingin menceritakan hal yang baru saja dialaminya itu.

 

“Ya elah, yuk! Aku traktir, yuk, Hen?!” Ratih segera menggandeng Yuni dan sedikit menyeretnya, bukan cuma Yuni, dia pun juga sudah lapar sebenarnya.

 

Hendra yang memang memperhatikan Yuni dari tadi, ikut menatap tajam lelaki yang terus memperhatikan Yuni sejak Yuni keluar dari toko baju itu. Seakan tidak membiarkan bayangan Yuni menghilang sedikit pun. Hendra memang tidak tahu siapa lelaki itu, tapi entah kenapa dia merasa Yuni mempunyai ikatan khusus dengannya karena terlihat dari cara mereka yang seakan saling menjaga dan saling menutup satu sama lain.

 

“Yang, yuk! Aku sudah selesai.” Diapitnya lengan kekar yang hanya diam dan menatap keluar dari tadi itu, dia cukup tahu bahwa lelakinya itu sangat tidak suka jika diajak berbelanja seperti saat ini.

 

Yuni... sedang menyiapkan makan malam bersama dengan mama mertuanya, cukup senang karena meski di sini dia seorang menantu, tapi kasih sayang mertuanya terasa sangat penuh. Ibu dan bapak yang ada di kampung pun tidak terlalu membikin kangen karena sosok itu seakan tergantikan oleh mama dan papa Cahyo.

 

“Sayang, mama tadi lihat kamu naik taksi?” mama Cahyo sedang menata makanan di meja makan sekarang, sedangkan Yuni sedang menyiapkan buah dan juga minuman untuk melengkapi makan malam yang sebentar lagi akan dilaluinya.

 

“Iya, Ma. Tadi Yuni pulang sama temen soalnya ada jam kosong.”

 

“Kalau begitu mulai besok biar sopir saja yang mengantarkanmu, Cahyo juga sering telat pulang kerjanya, seperti sekarang contohnya.”

 

“Tidak usah, Ma. Yuni---“

 

“Mama tidak suka penolakan, Sayang. Lagi pula di luar juga berbahaya untuk gadis muda sepertimu.”

 

“Papa juga setuju.” sahut papa Cahyo yang menonton TV tidak jauh dari meja makan dan bisa mendengar percakapan itu.

 

“Setuju apa, Pa?” tanya Cahyo yang baru datang dan ingin ikut bergabung.

 

“Mulai besok mama mau Yuni diantar sopir, mama lihat tadi pulang naik taksi soalnya.” Mama Cahyo menjelaskan kepada anak kesayangannya itu.

 

Cahyo mengangguk setuju, itu lebih baik dan tidak akan membuatnya terlalu repot nanti, “Iya, aku juga sering pulang terlambat. Ada banyak kerjaan di kantor.”

 

Yuni yang mendengar itu seakan tertawa mengejek dirinya sendiri di dalam hatinya. Sungguh sempurna dan rapi omong kosong itu.

Robek

“Untukmu.” Cahyo menyodorkan kotak coklat berpita putih kepada Yuni.

“Terima kasih, Mas.” Yuni membuka kotak itu dan menemukan gaun yang hampir sama dengan yang diingininya tadi di mall, “Kapan Mas belinya? Kok bisa sama?” Yuni tidak ingin membahas yang lain sekarang.

“Tadi nemu, langsung aku bawa ke kasir.”

“Besok aku pake Mas.”

Lagi. Meski sudah tidak terlalu canggung, Cahyo tetap saja keluar lebih dulu untuk menunggu Yuni tertidur, dan Yuni tidak mau memusingkan itu sekarang. Kalau memang begini, biar saja dia menerimanya.

***

Yuni benar-benar dihantar sopir sekarang. Memakai setelan santai seperti biasanya dia memilih segera bergabung dengan Ratih yang ada di kantin bersama Hendra.

“Entar malem ikut gak? Aku mau ngadain ultah kecil-kecilan buat aku sendiri.” Ratih yang sibuk makan gorengan tidak terlalu melihat ke Yuni.

“Aku nanya mamaku dulu.” Yuni memang tidak bilang kalau sudah menikah.

“Dateng ya? Ini ultah pertama aku sama kamu loh.”

Yuni pun mengangguk, dia tidak akan tega jika tidak datang ke ultah sahabatnya.

***

Yuni cukup senang karena mamanya mengizinkannya. Dia memilih datang lebih awal dan memakai gaun yang dibelikan oleh Cahyo. Yuni juga memiliki kartu debit yang diberikan oleh Cahyo, jadi dia bisa membelikan kado kecil untuk Ratih.

“Hendra! Barengan ya masuknya?” Yuni yang baru datang dan menemukan Hendra di pelataran parkir sedikit berlari agar tidak tertinggal.

Bukannya cepat masuk, Hendra malah bengong dan menatap Yuni dari bawah sampai atas, seakan tidak percaya jika gadis manis yang berdiri di depannya ini adalah Yuni yang sama dengan Yuni yang dia kenal selama ini. Rambut panjang yang tergerai menutupi punggung dan juga lengan mulusnya karena gaun itu tidak memiliki lengan, membuat desiran aneh tersendiri untuk Hendra.

“Hey?!” Yuni melambaikan tangan kanannya ke depan wajah serius Hendra karena tangan kirinya sedang memegang hadiah untuk Ratih, “Malah bengong. Ayo masuk ... .”

Hendra berdehem dan segera masuk tanpa berniat mengatakan apa pun.

Ratih sudah menunggu dengan seseorang di sebelahnya, kue ulang tahun yang tidak terlalu besar juga ikut menghiasi meja yang ada tatanan bunga esternya di tengah sana, “Hey! Aku pikir gak dateng.” Ratih segera berdiri dan memeluk Yuni.

“Ini untukmu, aku harap kamu suka.” Yuni menyodorkan kadonya ke Ratih setelah melepas pelukan singkat itu.

“A ... aaa ... trimakasih. Eh kenalin, ini Surya pacar aku.” Seseorang yang di sebelah Ratih pun berdiri dan mengulurkan tangannya ke Yuni.

Setelah perkenalan itu, mereka pun merayakan pesta sederhana itu sambil bersenda gurau bersama. Mengobrol dan bertukar cerita, dan juga tertawa bersama.

Tapi bereda dengan Hendra, dia malah semakin diam dan sesekali mencuri pandang ke Yuni. Rasanya dia melihat sosok yang lain malam ini. Meski dia tahu Yuni cenderung tertutup dengan kehidupan pribadinya, tapi keceriaan Yuni mulai terlihat yang semakin manis saja di mata Hendra.

“Kalian berangkat bareng?” tanya Ratih.

Yuni menggeleng dengan cepat, “Enggak, aku sama sopirku.”

“Kamu?” Ratih bertanya ke Hendra.

Bukan menjawab, Hendra malah tersenyum setelah melihat Yuni juga tersenyum ke arahnya.

“Eh! Kutu kupret! Kesambet Lu?” Ratih berdiri dan menabok kening Hendra dengan sendok bekasnya makan.

“Apaan sih? Kotor nih!” Hendra segera mengambil tisu dan membersihkan keningnya yang terasa agak basah. Sedangkan Yuni dan Ratih tertawa bersama. Bahkan Surya yang diam dari tadi saja juga ikut terbahak melihat Hendra yang sedang kesal.

Waktu terus berlalu, semakin larut meski pesta itu seakan baru saja dimulai. Yuni yang tidak ingin membuat mama Cahyo khawatir, segera berpamitan untuk pulang.

“Yun.” panggil Hendra.

“Ya?” Yuni berbalik, mungkin Hendra akan mengatakan sesuatu yang penting.

“Mau balik bareng?”

“Aku kan sama sopir?”

Hendra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Aku bisa mengantarmu lebih cepat dengan motor sportku.”

Yuni terkekeh, “Trimakasih, aku sama sopirku saja.” sungguh Yuni sangat tahu degan statusnya saat ini.

“Okey. Tapi lain kali jangan menolakku.”

“Aku tidak bisa berjanji, maafkan aku.”

Tin. Tin.

Yuni menoleh karena merasa klakson mobil itu sedang memanggilnya, “Maaf, Hendra. Aku harus pulang sekarang.” Yuni yang mengenali mobil siapa itu, segera mempercepat jalannya meninggalkan Hendra yang terlihat heran dengan sikapnya yang buru-buru.

“Aku membelikan gaun itu bukan digunakan untuk menggoda lelaki di luar sana.” suara tegas dan dalam langsung menggema memenuhi mobil yang baru saja melaju itu.

“Aku tidak menggodanya, Mas.” Yuni cepat memasang sabuk pengamannya sendiri karena Cahyo langsung saja melaju tadi.

“Trus? Itu tadi apa? Katamu yang ultah Ratih? Dia yang namanya Ratih?” Cahyo tidak mengerti dengan dirinya karena merasa tidak rela melihat Yuni mengobrol dengan seorang pria di depan kafe tadi.

“Itu Hendra, Mas. Yang---“

“Ratihnya ganti Hendra? Kuliah 1 bulan sudah pinter ya kamu?”

“Bukan, Mas. Kita bertiga temenan.”

Cahyo terkekeh, “Mataku gak buta, Yun. Buat tahu itu bertiga apa berdua.”

“Ratih masih di dalam, Mas. Sama cowoknya, dia---“

Cahyo semakin terbahak agar omong kosong Yuni tidak membuatnya semakin marah.

Yuni pun yang merasa terpojok memilih untuk diam, dia tidak ingin Cahyo semakin marah jika dia menentangnya.

“Gimana, Sayang? Seru acaranya?” mama Cahyo selalu memeluk Yuni saat menantunya itu baru pulang dari mana saja.

“Mulai besok aku yang nganter Yuni kuliah.” tanpa berniat berhenti, Cahyo segera menuju ke kamarnya setelah mengatakan itu.

Kening mamanya berkerut, bahkan tadi saat dia bercerita kalau Yuni akan ke pesta ultah temannya, putranya itu cuek seakan tidak peduli, “Ada apa, Sayang?”

“Mas salah paham, Ma.” Yuni tidak ingin mengatakan terlalu detail kepada mama Cahyo.

Mama Cahyo tersenyum dan mengelus rambut panjang Yuni, “Istirahat saja, sudah malam. Besok kuliah kan?”

Yuni pun mengangguk, beristirahat memang pilihan yang tepat sekarang kerena waktu memang sudah cukup larut.

Yuni baru saja masuk ke dalam kamarnya, Cahyo langsung menarik pergelangan tangannya dan menghempaskannya ke atas ranjang.

Sriekkk.

Gaun Yuni terkoyak dari tubuhnya. Tidak berbentuk karena sudah terbelah menjadi dua bagian dengan sisi yang masih menempel di badan Yuni.

Yuni segera menutup tubuhnya dengan ke dua tangannya dan menangis sesegukan sekarang.

“Aku. Tidak. Suka. Melihatmu. Memakai. Gaun. Ini.”

Yuni mengangguk mendengar kalimat Cahyo yang ditekan di setiap katanya itu.

“Mandi dan segeralah tidur.”

Yuni mengangguk kembali, dia akan menuruti semua perkataan Cahyo.

“Bagus.” Setelah mengatakan itu, Cahyo meninggalkan Yuni dan keluar dari kamarnya.

Yuni menangis. Dia bingung dan tidak tahu. Apakah Cahyo menganggapnya berarti? Apakah Cahyo sedang cemburu? Apa dia tidak pantas memakai gaun itu tadi? Apa dia terlihat murahan? Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepala Yuni, dan dia tidak tahu apa jawabannya.

Setelah lelah menangis, Yuni segera melepas gaun itu dan menyimpannya di lemari pakaiannya. Meski tidak bisa diperbaiki lagi, setidaknya itu adalah gaun pertama yang dibelikan Cahyo untuknya, dan dia tidak ingin membuangnya sia-sia meski sudah rusak sekali pun.

Hampir dini hari, Cahyo masuk ke dalam kamarnya dan melihat wajah sembab itu. Matanya yang sedikit bengkak seakan membenarkan dia menangis cukup lama.

Cahyo menyapu pipi pucat itu dengan punggung tangan kanannya. Dia pun tidak tahu kenapa melakukan itu tadi, yang dia tahu dia hanya tidak suka melihat Yuni bisa tertawa bersama pria asing di luar sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!