Orang-orang terlihat berlalu lalang, sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Seorang gadis melangkah keluar dari sebuah toko buku sambil melirik-lirik buku yang ia pegang, sebuah buku yang lumayan tebal dengan sampul bewarna putih.
Gadis itu memakai celana jeans panjang bewarna hitam dan kemeja bewarna biru muda dengan lengan yang digulung sampai siku. Rambutnya yang sebatas pinggang terurai ditiup angin dengan poni yang menghiasi wajahnya, pipinya sedikit berisi ia semakin terlihat manis dengan sepasang mata bulat yang cantik.
Cewek cantik itu bernama Feni Wirawan atau yang akrap disapa Feni, ia adalah mahasiswa semester 5 jurusan komunikasi sebuah universitas di Jakarta. Sekarang ia sedang menikmati liburan semesteran nya, yang rencananya akan ia isi dengan membaca buku yang barusan ia beli. Buku dengan judul “EURECLE (anda dan setiap manusia adalah keajaiban)”, buku yang menceritakan bahwa setiap manusia memiliki keajaibannya masing-masing terlihat menarik untuk dibaca mengisi liburan.
Tapi tiba-tiba Feni berteriak, saat sebuah angkot bewarna merah hampir saja menabraknya, jika saja tidak ada seorang pemuda yang menariknya kepinggir jalan.
Nafasnya terasa sesak, jantungnya berdebar hebat saat tapi bukan karena berada diperlukan sang pahlawannya tapi karena ketakutan saat angkot tadi datang dan hampir menabraknya.
“Heh gila Loe!!! Mau mati apa” teriak sopir angkot marah.
Feni hanya diam ia tak mampu berfikir dengan jernih saat ini, ia tak begitu peduli dengan umpatan sang sopir itu.
“Loe gak apa-apa?” tanya pemuda yang tadi menyelamatkannya.
Feni masih saja diam menatap pemuda yang berdiri dihadapannya, sedangkan pemuda yang memakai kaos oblong dan celanaelana jeans itu menatap Feni dengan tatapan khawatir.
“Hei, Loe gak apa-apa” tanya pemuda itu lagi.
Feni menggeleng.
“Makasih ya” ucap Feni.
“Lain kali hati-hati ya, belum tentu lain kali loe akan seberuntung ini. Lagian ini jalanan bukan perpustakaan” nasehat cowok tadi.
“Iya gue tau, gue minta maaf karena udah ngerepotin loe dan please jangan marah-marah. Permisi” kata Feni dan kemudian pergi dari hadapan pemuda itu, ia mulai tidak suka dinasehati oleh pahlawannya tadi.
Pemuda itu hanya geleng-geleng kepala saat Feni pergi meninggalkannya, ia juga bermaksud ingin pergi tapi matanya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak dipinggir jalan. Cowok itu membungkuk untuk mengambil buku itu.
“Mungkin ini milik cewek itu” ucap cowok itu sendiri dan matanya mencari cewek tadi tapi cewek itu talah menghilang.
“Lang..” teriak seseorang memanggilnya dari arah belakang.
Cowok tampan itu membalikan badannya.
“Heh Lang, loe dipanggil bos tuh” kata seoran pemuda yang seumuran dengannya, pemuda itu berpakaian kaus tanpa lengan dengan celana jeans yang robek-robek di lututnya.
“Ada apa ya Roy?” tanya Erlang
“Mungkin tentang transaksi kita di Bali” jawab Roy setelah berfikir sesaat.
“Ok deh yuk” ajak Erlang.
“Sorry.. gue gak ikut. Gue ada janji sama Wita” tolak Roy.
“Dasar loe” kata Erlang hanya geleng-geleng kepala.
“Ya, udah gue cabut dulu ya” kata Roy pergi dari hadapan Erlang tak lama Erlang menstop sebuah taksi bewarna biru dan masuk kedalam.
Baru saja taksi itu pergi, sebuah taksi bewarna kuning berhenti ditempat yang sama. Feni keluar dengan tergesa-gesa.
“Bukunya hilangkan” kata Feni mencari-cari bukunya ditempat itu dan akhirnya masuk lagi ke dalam taksi yang tadi ia tumpangi
“Jadi bukunya hilang Fen” tanya Lina sang sahabatnya melalui telepon genggamnya pada malam harinya.
“Iya, padahal tu buku kan susah banget dapetinnya, ada randa tangan asli penulisnya lagi” keluh Feni.
“Mungkin belum rezki Fen, untuk memiliki tuh buku” kata Lina sambil membenarkan letak kaca matanya.
“Mungkin..”
“Fen..” panggil seorang pemuda masuk ke kamar Feni setelah sebelumnya ia mengetok pintu kamar Feni.
“Hai Ndre, udah dulu ya Lin” kata Feni.
“Ya Fen, Bye…”
“Bye…”
“Kenapa Ndre?” tanya Feni kepada cowok yang telah duduk disampingnya.
“Besok aku jadi berangkat” kata Andre sang kakak satu-satunya Feni.
“Berangkat ke Bali??”
Andre mengangguk.
“Ikut ya Ndre” pinta Feni.
“Ini bukan jalan-jalan Fen, aku ada tugas disana” tolak Andre.
“Aduh kak, please… aku boleh ikut ya”
Andre menatap adiknya sambil tersenyum.
“Kak? Mau baik-baikin aku makanya sekarang kamu panggil aku kakak”
Feni jadi cemberut karena niatnya ketauan oleh Andre.
“Jangan manyun kayak gitu jelek tau” protes Andre sambil mencubit pipi Feni gemas.
“Kalau aku ikut kenapa sih Ndre?”
“Aku disana tuh ada tugas Fen, aku gak mau kamu sampai kenapa-kenapa kalau disana. Ngerti???”
Feni diam sesaat dan lantas menganguk.
“Ntar aku bawain oleh-oleh deh” hibur Andre.
Lagi-lagi Feni hanya menganguk.
...***
...
Erlang tengah berada disebuah ruangan yang sangat tertata rapi, ada meja di hadapannya dengan berkas yang tersusun rapi, di sudut ruangan berdiri sebuah lemari berisi dokumen-dokumen yang juga tersusun rapi.
Erlang duduk dibalik meja dihadapan Bosnya.
“Lang, besok kita akan berangkat ke Bali” kata Bosnya.
“Baik bos”
“Ini adalah transaksi kita yang terbesar jadi kamu jangan sampai mengecewakan saya”
Erlang mengangguk, sudah 6 bulan ia bekerja dengan bos mafia bandar besar narkoba ini, namanya Bos Marko.
Dia begitu percaya kepada Erlang semenjak Erlang pernah menyelamatkan nyawanya pada saat kasus percobaan pembunuhan terhadap bos Marko.
“Pa” kata Hani, putri kedua Marko memasuki ruang kerja Papanya.
“Ada apa sayang?” tanya papanya. Hani sempat melirik kearah Erlang yang duduk dihadapan papanya.
“Jadi kita berangkat besok?” tanya Hani.
“Tentu saja sayang, itu yang sedang papa bicarakan saat ini dengan Erlang” jawab pria berkumis tebal itu.
“Besok kamu berangkat bersama Rian, Roy, Erlang dan beberapa orang-orang kita yang lain”
“Ya pa” jawab Hani setelah mendengar penjelasan Papanya.
“Dan kamu Lang” kata Marko menekan kalimatnya
“Ya Bos..”
“Tolong jaga putri saya yang cantik ini selama disana” pinta Marko yang lebih kepada perintah dari pada permintaan.
“Baik Bos” kata Erlang mengerti.
Hani tersenyum menatap Erlang, cewek seksi yang saat ini mengenakan tank top merah menyala yang ketat dan rok mini bewarna hitam itu sudah lama jatuh hati pada sosok kharismatik Erlang.
“Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan saya mau kembali ke kamar Bos” pinta Erlang
“Silakan”
Erlang pun pergi dari ruangan itu.
“Niit…niit“ ponsel disaku celana Erlang berbunyi saat ia sampai didalam kamarnya.
“Bagaimana?” tanya si penelepon.
“Besok”
“Ok..” kata si penelepon yang kemudian mematikan teleponnya.
Erlang berjalan menuju ranjangnya, merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Ia menghela nafas sesaat, ia tersenyum saat melhat sebuah buku yang baru saja menjadi anggota baru dikamarnya ini.
...***
...
Feni duduk disebuah ruang tamu, dengan sebuah sofa merah marun berludru yang ia duduki sekita 10 menit yang lalu. Ia sedang menunggu sahabatnya, yang baru sja masuk kedalam untuk mengambil sesuatu.
“Ini” kata Lina menyerahkan sebuah tiket kepada Feni.
Feni lansung menerima tiket itu.
“Makasih banget ya Lin, kalau gak ada kamu aku pasti gak akan jadi berangkat ke Bali”
Cewek berkaca mata tebal itu menganguk, rambutnya yang biasa di kepang dua kali ini dibiarkan terurai cantik. Ia duduk di samping Feni sambil memeluk “Gio” sebuah boneka beruang bewarna ungu kesayangannya.
“Fen, yakin mau pergi sendirian” tanya Lina.
“He…eh”
Tampak gurat kekhawatiran dari wajah Lina.
“Tenang aja aku akan jaga diri dengan baik” kata Feni.
“Ya aku tau”
“Coba kamu bisa ikut” kata Feni tiba-tiba setelah suasana diam.
“Aku sih pengen ikut tapi kamu sendirikan g tau kalau Ayah lagi ada di Palembang ngurus perkejaan nya jadi aku gak mungkin ninggalin bunda sendirian” jelas Lina.
Feni mengangguk memahami apa yang saat ini Lina rasakan, sebagai anak tunggal ia mengerti kalau Lina harus menemani bundanya disaat ayahnya pergi untuk keperluan dinas kerja diluar kota.
“Lain kali kita juga bisa pergi bareng, nanti kita ajak Adek sekalian” kata Feni.
Adek, sudah lama sosok dengan nama itu tidak mereka temui yaitu semenjak ketiganya lulus SMA, entah dimana dia sekarang. Kabar terakhir yang mereka dapatkan adalah Adek saat ini sedang mengikuti perkuliahan di Kalimantan. Keduanya seakan kehilangan jejak Adek, no Hpnya sepertinya sudah diganti.
“Iya Fen, kalau perlu kita nanti liburannya ke Kalimantan aja. Biar sekalian ketemu sama Adek” Lina setuju dengan pendapat Feni.
Feni tersenyum.
“Aku mesti balik nih, udah malem. Nanti Andre curiga lagi” ujar Feni sambil melirik arloji ditangan kirinya.
Lina menganguk.
“Lin, sampaikan makasih aku untuk sepupu kamu yang udah memesankan tiket ini untuk aku ya”
“Iya..”
“Kalau gitu aku pulang dulu ya” kata Feni pamit dan berdiri dari duduknya.
“Tunggu..” cegah Lina.
“Ada apa?” tanya Feni kembali duduk disisi sang sahabat.
Terlihat Lina berfikir untuk sesaat. Wajahnya terlihat gusar, seakan ada beban berat yang ia tanggung.
Tapi kemudian Lina menggeleng.
“Gak ada apa-apa kok Fen”
Feni menatap Lina dengan tampang penuh selidik.
“Bener, gak ada apa-apa kok. Aku hanya khawatir aja karena kamu akan pergi ke Bali sendirian”
Feni menghela nafasnya sesaat dan kemudian tersenyum.
“Tenang aja, aku akan jaga diri baik-baik” kata Fen meyakinkan sahabatnya itu.
Lina mengangguk.
“Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu ya. Dah… muach..” yang kemudian mencium pipi Lina.
Eit, bukan karena hal macam-macam lho tapi itu biasakan untuk sahabat sebagai tanda sayang, ya karena mereka sudah lebih dari 15 tahun menjadi sahabat.
...***
...
Minggu, 08.30 WIB
“Aku berangkat ya, kamu baik-baik dirumah” pamit Andre.
Feni mengangguk patuh.
Sebuah taksi telah bersiap menunggu Andre di depan rumahnya.
“Perlu aku antar gak” tanya Feni sok perhatian.
“Gak usah”
“Bagus deh kak, aku bisa siap-siap untuk nyusul kamu, kakakku sayang” guman Feni dalam hati.
“Berangkat ya” kata Andre mencium kepala Feni menunjukan rasa sayangnya.
“Dah..” ucap Feni sudah naik taksi.
Beberapa detik kemudian,
“Yess….”teriak Feni panjang.
“Walaupun aku dilarang pergi, tapi jika nanti aku udah disana b paling cuma dimarahin 1 jam dan kemudian diizinin deh liburan disana” kata Feni sendiri.
Feni senyum-senyum dan masuk kedalam rumah.
Di bandara Soekarno-Hatta
Feni telah duduk di kursi dipesawat yang akan berangkat pada pukul 13.00 WIB.
Dengan celana jeans bewarna hitam, tank top putih yang ditutupi dengan jaket jeans bewarna biru tua. Saat Feni melihat kearah luar karena ia duduk didekat jendela, saat itulah orang yang yang begitu ia kenal lewat untuk duduk di bangku yang berjarak dua bangku didepan tempat Feni duduk saat ini.
“Kamu duduk didekat jendela” kata seorang pemuda tampan yang kemudian saat Feni melihat kearah depan, lawan bicara sang cowok yang telah duduk. Saat ini yang terlihat hanya pemuda yang sama sekali tak ia kenal.
“Bangku gue yang mana nich” tanya seorang
cewek yang berwajah hampir mirip dengan pemuda yang masih berdiri tadi.
“Didepan tuh sama Erlang” jawab pemuda itu.
“Yuk Lang” kata Cewek itu kemudian menarik tangan pemuda yang berdiri dibelakangnya, tanpa mengucapkan terima kasih pada pemuda tadi.
“Cowok itu..” guman Feni saat Feni melihat cowok yang berdiri dibelakang cewek tadi.
“Tapi udahlah, mungkin aku salah orang” gumannya lagi sendiri.
Pesawat itu telah mendarat di bandara Ngurah Ray.
Feni terlihat menarik kopernya menuju sebuah taksi untuk mengantarkannya ke hotel tempat ia menginap selama di Bali.
...***
...
Erlang, Wita, Adek, Hani dan tiga orang anak buahnya tampak sedang duduk di sebuah sofa di lobi hotel mereka sedang menunggu Ryan dan Roy yang sedang mengurus administrasi hotel ini.
Hani terlihat duduk disebelah Erlang, barang-barang mereka terlihat bergeletakan tak jauh dari tempat mereka duduk.
Tak begitu lama Ryan dan Roy kembali diiringi 3 orang pegawai hotel yang siap membantu mereka mengangkat koper dan beberapa tas itu menuju kamar mereka.
“Huh…” Feni menghempaskan tubuh lelahnya di atas ranjang yang empuk dan kemudian merebahkan tubuhnya.
Feni bangun dan mengambil ponselnya yang ada ditas selempangnya yang ada disamping tubuhnya. Feni duduk sambil menunggu panggilannya dijawab.
“Linaaa….”panggil Feni panjang.
“Iya Feniiii…” dibalas Lina dengan cara yang sama.
“Aku udah nyampe, sekarang lagi ada di hotel”
“Bagus kalau gitu, baik-baik disana ya” pesan Lina.
“Iya, aku hanya pengen ngasih tau kamu kalau aku udah nyampe aja kok. Lain kali kita telponan lagi ya. Dahhhh”
“Dah..” sambungan melalui ponsel itu terputus.
Beberapa detik kemudian terlihat Feni kembali sibuk dengan ponselnya, untuk sesaat NSP sang kakak ia dengar ditelinga nya.
Andre yang sedang membaca beberapa dokumennya lansung mengalihkan perhatiannya kearah ponselnya yang ada diatas meja yang berteriak-teriak dari tadi. Andre tertawa kecil saat melihat yang tertera dilayar ponselnya adalah nama adiknya, feelingnya menyatakan kalau sebentar lagi dia akan kena marah.
“Ya Fen” kata Andre mengawali panggilan.
“Andre nyebelin..” protes Feni.
“Nyebelin kenapa lagi” tanya Andre tak mengerti arah pembicaraan Feni.
“Iya, nyebelin. Kamu baru seharian di Bali tapi udah lupa sama aku, buktinya kamu sama sekali gak hubungin aku pas nyampe Bali” protes Feni.
“Sorry Fen, aku baru mau hubungin kamu” bela Andre.
“Oh ya” Feni tampak tak percaya.
“Iya sayang, kamu baik-baik aja di Jakartakan?” tanya Andre.
“Mmmmm sangat baik.. ‘tapi bukan di Jakarta’ “kata Feni yang ia sambung didalam hati.
“Bagus kalau gitu, udah dulu ya. Aku lagi sibuk nich”
“Ok. Dah Ndre….”
“Dah…”
...***
...
Feni duduk memandangi lautan lepas yang terpampang dihadapannya sore itu di hari pertamanya di Bali. Ia duduk sambil menikmati secangkir teh hangat, tapi sayang rasanya jika ia hanya duduk saja tanpa menggunakan kesempatan untuk jalan-jalan. Feni berfikir kalau ia harus pergi melihat-lihat paling tidak didaerah sekitar hotelnya.
Feni bergegas pergi dari kamar no 223 itu, ia mengunci pintu kamar dengan wajah yang ceria dan segera pergi melaksanakan niatnya tadi.
Sebuah pintu bewarna coklat di ketuk yang membangunkan si yang punya kamar untuk membukakan pintu. Seorang gadis seksi dengan wajah yang sudah di kenal Erlang sebelumnya berdiri didepan pintu kamarnya.
“Hai Lang..” sapa Hani.
“Hai..” Erlang menjawab sapaan itu sambil tersenyum.
“Temenin jalan-jalan yuk, aku bosan nich dikamar aja” pinta Hani dengan nada manja.
“Jalan-jalan kemana?”
“Kemana aja, terserah”
“Ya udah, kamu tunggu bentar aku mau ngambil kunci dulu” kata Erlang yang kemudian melangkah masuk kedalam kamarnya.
“Yes… ok” Hani bersorak kecil.
Sementara itu sepasang kekasih juga sedang menikmati suguhan pemandangan yang diberikan kota ini.
“Sayang” kata Ryan mendekap kekasihnya dari belakang, melingkarkan tangannya di pinggang Adek dan menyamankan kepalanya dibahu gadis itu.
“Mmmmm” Adek hanya menggumam, tapi ia membalas pelukan Ryan dengan memeluk tangan yang melingkar ditubuhnya itu dan menyandarkan tubuhnya ke tubuh kekar Ryan.
“Kamu suka tempat ini” tanya Ryan.
“Suka, Kamu?” Adek balik bertanya.
“Dimana Pun tempatnya, asal sama kamu pasti aku suka”
Adek tersenyum mendengar kata-kata Ryan barusan, bukan tipe Ryan untuk menggombal.
“Au.. sakit sayang” protes Ryan saat tangannya dicubit Adek, tapi meski begitu ia malah semakin memeluk erat Adek.
“Salah kamu sendiri, ngapain ikut-ikutan Roy ngegombal kayak gitu” jawab Adek tanpa rasa bersalah sedikitpun ia malah tertawa kecil.
“Emang iya aku mirip sama Roy”
“Banget, denger aja tuh kalau Roy udah ngerayu Wita” jelas Adek.
Ryan ikutan tertawa.
“Tapi yang tadi itu bukan rayuan gombal sayang, apa yang aku katakan itu benar. Dimana Pun atau kemanapun aku pergi asal itu sama kamu maka tempat itu akan indah dan aku akan selalu suka ada disana” jelas Ryan tulus.
Adek tersenyum namun dia hanya diam tak berkomentar sedikitpun tentang apa yang baru saja dikatakan Ryan.
“Kamu gak percaya?” tanya Ryan karena tak mendapat respon dari Adek.
“Entahlah”
“Kok entahlah” tanya Ryan karena jawaban Adek tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Ryan membalik tubuh Adek dan sekarang keduanya saling berhadapan, saling tatap dalam diam. Mata Adek menatap dengan gelisah dan Ryan tau kalau sesuatu sedang ia fikirkan.
“Kenapa?” tanya Ryan yang kemudian meletakan kedua telapak tangannya di kedua belahan pipi Adek. Adek memejamkan matanya meresapi kehangatan yang disalurkan kedua tangan itu.
Adek membuka kelopak matanya menatap wajah cowok yang ia cintai yang terlihat cemas. Adek menarik kedua tangan Ryan dengan kedua tangannya dan kemudian mengenggamnya erat.
“Aku percaya tapi..” Adek menggantung kalimatnya.
“Tapi apa?” Ryan terlihat tak sabar untuk mengetahui apa yang ada difikiran gadis yang ia cintai itu.
“Yan, kamu tau kan kalau aku sangat mencintai kamu. Aku bahagia dimanapun itu asal itu sama kamu. Tapi aku juga pengen seperti orang lain Yan, hidup normal tanpa takut akan ditangkap” jelas Adek.
Ryan mulai mengerti dengan apa yang difikirkan oleh Adek, ia mulai mengerti akan kegelisahan yang dihadapi Adek.
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Aku pengen kamu ninggalin dunia haram ini dan kita jalani hidup normal seperti pasangan lainnya” Adek terlihat ragu saat menyudahi kalimatnya.
Adek menatap Ryan dengan gelisah ia takut kalau-kalau Ryan akan marah karena permintaanya ini. Tapi jujur ia ingin sekali bisa hidup normal dengan Ryan, membentuk keluarga kecil yang damai tanpa harus memikirkan akan tertangkap.
Ryan menarik tangan Adek dan mengecupnya pelan namun hangat, kemudian ia menatap Adek dan tersenyum.
“Aku ngerti dengan apa yang kamu pikirkan dan aku juga sudah memikirkan ini lama. Aku berfikir untuk meninggalkan bisnis ini setelah transaksi kita yang sekarang. Aku pengen jadikan transaksi kita kali ini jadi transaksi kita yang terakhir” jelas Ryan.
Adek seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar, ia tidak pernah menyangka kalau kalimat itu akhirnya ia dengar dari Ryan. Saking senangnya ia tidak sadar kalau air matanya telah jatuh dan membasahi pipinya.
“Kok kamu malah nangis” tanya Ryan yang kemudian membantu menghapus air mata itu.
Adek menghapus air matanya dan kemudian tersenyum.
“Aku hanya gak percaya kalau kamu akan bilang seperti itu, aku senang banget”
Ryan tersenyum dan kembali mengusap pipi Adek yang masih dialiri air mata.
“Kalau gitu kamu harus janji sama aku kalau kamu akan ninggalin bisnis ini” kata Adek mengacungkan kelingkingnya.
Ryan tertawa kecil.
“Janji kelingking?” tanya Ryan.
“He..eh.. aku pengen mengikat janji kelingking sama kamu. Aku pengen kamu janji dan menepati janji kamu sama aku” jawab Adek yakin.
“Ok, aku janji kita akan tinggalkan bisnis ini. Beri aku waktu satu minggu yaitu tepat sabtu depan saat transaksi itu selesai kita akan lansung pergi dari organisasi ini” kata Ryan mengaitkan kelingkingnya dengan Adek.
Keduanya tersenyum, Ryan mendekatkan wajahnya ke arah Adek. Mengecup bibir tipis itu lembut. Hanya sebuah kecupan singkat tanpa nafsu.
Adek mengangguk pasti dan kemudian memeluk Ryan erat, Ryan membalas pelukan itu dan membelai rambut keriting yang lembut milik Adek.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!