NovelToon NovelToon

Truth Or Dare? (Terjebak Cinta Pembunuh Psikopat)

Pesta Perpisahan

Las Vegas, kota terpadat di negara bagian Nevada, Amerika Serikat. Kota ini menjadi "surga" bagi para penggemar belanja, kuliner, judi, dan hiburan malam.

Seperti malam ini, segerombolan mahasiswa mahasiswi tampak sangat menikmati acara perpisahan kampus mereka yang diselenggarakan di sebuah Club Malam yang disewa khusus.

Banyak mahasiswa mahasiswi yang berkumpul di lantai dansa dan menggerakan badan mereka sebebas bebasnya mengikuti hentakan musik yang memekakkan telinga.

Tidak jarang pula dari mereka yang saling bercumbu dengan kekasih mereka.

Disebuah meja tampak sekelompok muda mudi yang sedang duduk menikmati pesta. Ada yang memangku kekasihnya, ada juga yang sendirian.

"Bar, setelah ini kamu bakal lamar kerja dimana?" Tanya sahabat Barbara pada nya.

"Hem, belum tahu sih. Tapi papa maksa aku balik ke Australia buat nerusin bisnis dia." Barbara menjawab.

Barbara Alexio, gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan Strata Satu dibidang Bisnis dan Manajemen.

Ia dikenal sebagai gadis pemberani yang tidak takut pada apapun. Putri tunggal dari Fanco Alexio dan Kimberly Alexio. Ayahnya seorang konglomerat di Australia, tapi ia memilih Las vegas sebagai tempatnya mengenyam pendidikan.

Ia hanya ingin menikmati hidup bebas, karena dari kecil ia dijaga ketat oleh Ayahnya. Dengan berbagai janji pada Ayahnya, akhirnya ia berhasil memenangkan hati Ayahnya.

"Nggak buruk juga kan. Kamu beruntung Bar, punya Papa yang kaya raya dan peduli sama kamu." Deana sahabat Barbara menimpali.

"Papa emang peduli. Saking pedulinya dia sampe nyuruh bodyguard ngikutin aku kemana mana. Bahkan udah di Las vegas aja masih." Barbara menggerutu kesal.

"Haha ya udah sih nikmatin aja." Deana kembali menimpali.

"Aelah kalian dari tadi gak jadi melar tu bibir?" Barbara mengomel pada teman nya yang sedang asyik berciuman panas.

"Santai kali Bar." Andrew, teman nya yang di tegur tadi menjawab dan menghentikan kegiatan mereka.

"Makanya sekali sekali pacaran Bar. Biar kamu tahu enak nya." Pacar Andrew, Alexa menimpali.

Barbara hanya memutar malas kedua mata nya.

"Boring." Barbara menggumam lalu menenggak segelas minuman alkohol di depan nya.

"Eh, kita main Truth Or dare mau?" Deana memberi ide.

"No no. Aku selalu berakhir gagal menyelesaikan tantangan." Barbara menolak.

"Ayolah Bar. Terakhir kali loh sebelum kita jadi orang orang sukses." Andrew memohon.

"Kamu yakin sukses?" Alexa mengejek kekasih nya yang terkenal berandal itu.

"Yakinlah sayang. Demi kamu apa sih yang nggak." Andrew menggoda Alexa dan hendak mencumbu kekasihnya lagi namun dilempari gelas kosong oleh Barbara.

"Nanti lanjut aja dikamar. Terserah kalian mau guncang sampe tu kamar terbelah juga." Barbara mengomel pada dua teman nya yang terkenal suka bercumbu dimana pun.

"Ayolah Bar. Mau ya truth or dare, terakhir kali." Deana memohon.

Barbara berpikir sejenak.

"Ya udah deh." Barbara akhirnya setuju.

"Kita tulis dulu masing masing satu tantangan buat yang milih dare nanti." Alexa memberi ide.

Kemudian mereka pun mengoyak kertas dari buku yang dikeluarkan Deana dari tas nya. Mereka pun menulis empat jenis tantangan di empat kertas berbeda lalu menggulung hingga kecil, kemudian dimasukkan kedalam salah satu gelas kosong depan mereka.

"Aku mulai duluan ya." Deana membaringkan botol bir kosong di atas meja lalu memutar nya.

Arah mulut botol berhenti di Andrew.

" Truth Or dare?" Deana melempar pertanyaan.

"Truth." Andrew memilih.

"Cemen." Alexa mengejek kekasih nya sambil membalikkan jempol nya kebawah.

"Berapa cewek yang udah kamu mainin sebelum Alexa?" Deana memberi pertanyaan.

"Nggak ada pertanyaan lain? Skip dah." Andrew menolak menjawab.

"Jawab dong sayang." Alexa menyentuh kekasihnya agar mau menjawab.

"Dua puluhan." Andrew akhirnya menjawab, membuat Barbara melotot tak percaya.

"Gila, senafsu itu kamu? Sekaligus apa gimana?" Barbara bertanya penasaran.

"Gila. Sekaligus mati kali aku Bar." Andrew menerangkan.

"Hahaha." Keempat nya tertawa serentak.

"Okay, sekarang giliran aku." Andrew memutar botol dan mulut botol berhenti di depan kekasihnya sendiri.

"Sayang, truth Or dare?" Andrew bertanya pada kekasihnya.

"Truth aja deh." Alexa memilih.

"Sayang, siapa yang pertama kali nyentuh kamu?" Andrew kembali bertanya.

"Ya, kamu lah. Pake nanya lagi. Pamer gitu?" Alexa menjawab sambil mengomeli kekasihnya.

"Nggak sayang. Makanya aku cinta banget sama kamu." Andrew menggoda kekasihnya dan memang benar adanya.

Kembali keempat orang itu tertawa bersama.

"Okay, aku yang mutar yah." Alexa pun memutar botol tersebut dan berhenti di depan Deana.

"Ya ampun, kenapa nggak Barbara aja sih." Deana menggerutu.

"Nanti giliran aku yang terakhir." Barbara membela diri.

"Okay, truth Or dare deana?" Alexa bertanya.

"Em, dare aja deh." Deana memilih tantangan.

"Kamu pilih ini." Alexa memberikan gelas berisi kertas tantangan tadi.

Deana membuka satu lalu membuka gulungan kertas itu.

"Ini." Deana menunjukkan kertas yang ia dapat.

"Cium mantan dengan ganas." Alexa membaca isi kertas itu.

"Aku laksanakan." Deana lalu bangkit dan berjalan ke meja tak jauh dari mereka, ia lalu mendekati salah satu pria yang memang adalah mantan kekasihnya, ia pun langsung melaksanakan tantangan nya.

"Wooo." Teman teman mereka semua bersorak melihat aksinya.

Selesai, ia pun kembali ke tempat duduk nya.

"Gimana? Aku gak pengecut." Deana membanggakan diri nya.

"Yang enak pasti gak takut lah." Andrew mengejek.

"Aku putar lagi yah." Deana hendak memutar botol tapi dihentikan oleh Barbara.

"Nggak usah. Langsung aku aja biar adil." Barbara menawarkan diri.

"Kamu emang yang terbaik Bar." Alexa memberi jempol pada nya.

"Jadi kamu pilih apa?" Deana bertanya.

Barbara berpikir sejenak.

"Em, dare aja deh." Barbara memilih tantangan.

"Nih pilih." Deana memberikan gelas berisi kertas tantangan tadi.

Barbara memilih satu dan membukanya pelan.

"Oh God, yang bener dong ini." Barbara terkejut dengan tantangan yang dia dapatkan kemudian menunjukkan pada ketiga teman nya.

"Menaklukkan hati seorang pembunuh dalam tiga bulan?" Alexa membaca dengan nada bertanya.

"Gila. Siapa yang nulis ini?" Alexa protes.

"Nyawa taruhan nya dong." Alexa menimpali perkataannya.

"Bukan masalah nyawa xa, gimana dan dimana aku dapatin pembunuh nya?" Barbara berkata sambil berpikir.

"Nggak tahu juga." Deana menjawab.

"Cari aja di lorong lorong jalan yang gelap dan sepi. Pasti kamu dapat." Si penulis tantangan memberi ide.

"Oh, jadi kamu." Alexa mencubit kekasih nya, membuat kekasihnya merintih kesakitan.

"Tiga bulan ya? Aku gak takut sih sama tantangan nya. Paling buruk yah mati konyol kan?" Barbara tampak berpikir.

"Asal jangan kamu yang malah jatuh cinta aja sama itu pembunuh." Andrew terkekeh.

"Gimana pun kali ini aku nggak boleh gagal. Aku udah sering gagal." Barbara mengingat setiap kali bermain dia selalu gagal menyelesaikan tantangan nya.

"Jadi kamu terima?" Deana bertanya.

"Aku sanggupin deh. Tapi kalo nemu itu pembunuh yah." Barbara memberi syarat.

"Mantap." Andrew memberi jempol pada Barbara.

Mereka pun melanjutkan menikmati pesta ity hingga selesai.

...~ To Be Continue ~...

*****

Like, dan komen setelah baca.

Berpapasan

"Aku pulang duluan yah." Barbara berpamitan dengan ketiga teman nya diluar Club.

"Kamu yakin gak kita antarin aja?" Alexa bertanya berniat memberi tumpangan.

"Udah nggak perlu. Nanti ganggu. Lagian kan apartemen aku gak jauh dari sini." Barbara menolak niat baik teman nya.

"Ya udah. Hati hati ya Bar. Kalo ada apa-apa cepat hubungi kita ya." Deana berpesan sambil memberi pelukan pada Barbara.

"Iya." Barbara membalas pelukan Deana lalu bergantian dengan Alexa dan Andrew.

"Ingat Bar, tiga bulan ya." Andrew mengingatkan tentang tantangan yang didapat Barbara tadi.

"Iya. Kalo aku menang kalian harus penuhin keinginan aku ya." Barbara memberi syarat.

"Siip. Tapi ingat kamu jangan sampai jatuh cinta juga sama itu orang." Deana mengingatkan syarat tantangan itu.

"Siap." Barbara mengangkat jempol nya dan berbalik lalu melangkah meninggalkan teman teman nya.

"Hati hati Bar." Teman teman nya masing berteriak.

Barbara pun berjalan kaki menuju apartemen nya karena memang tidak jauh dari Club itu.

Sepanjang perjalanan otak nya terus memikirkan bagaimana cara untuk menyelesaikan tantangan itu.

Semakin dia berpikir, perjalanan nya terasa semakin lama untuk sampai di apartemen nya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, pertanda panggilan masuk. Ia pun meraih ponselnya dari tas nya.

"Em, ada apa Pa?" Barbara bertanya malas pada penelpon yang ternyata adalah Papa nya.

"Kamu lagi dimana? lagi ngapain?" Papa nya bertanya menyelidik.

"Ya ampun Pa, kayak nya Papa nggak perlu nanya juga tahu deh." Barbara menjawab malas.

"Bar, kamu kan udah lulus, udah wisuda juga. Pulang secepatnya ke sini buat lanjutin bisnis Papa." Pinta Papa nya.

"Bar masih mikir Pa. Jangan desak Bar dulu." Barbara berusaha menolak secara halus.

Barbara sebenarnya tidak terlalu berminat dalam dunia bisnis, dia lebih tertarik di dunia entertain terutama modelling.

"Harapan Papa cuma kamu Bar." Papa nya berusaha membujuk.

"Mending Papa bangkrut aja deh biar Bar bisa bebas dari kejaran Papa." Barbara mengutuk Ayahnya sambil terkekeh.

Sepanjang perjalanan, dia sibuk bertelepon dengan Ayahnya. Walau tidak suka dengan Ayahnya yang sangat berharap dirinya bisa meneruskan bisnis nya, tapi ia masih tetap dekat dan sayang pada orang tua nya.

"Tolong..tolong aku." Seseorang berteriak minta tolong saat melihat Barbara lewat didepan lorong tempat ia di siksa.

Barbara tidak mendengar teriakan nya karena sibuk berbicara dengan Ayahnya.

"Percuma minta tolong. Menoleh aja dia gak sudi." Si pelaku penyiksaan itu berbicara sambil menginjak kuat telapak tangan korbannya.

"Arrghh." Korbannya berteriak kesakitan membuatnya semakin bersemangat untuk menyiksa nya.

"Teriak sepuasnya. Itu menambah semangat ku." Si pria penyiksa kembali berbicara.

"Tolong aku." Korbannya kembali meminta tolong.

Barbara sudah cukup jauh dari lorong itu.

Seett

Pria penyiksa itu menggerek leher korbannya dengan pisau tajam miliknya.

Korbannya yang memang sudah lemah pun seketika menghembuskan nafas terakhirnya.

Tujuan pria itu selanjutnya adalah Barbara.

"Bersihkan." Pria itu memberi perintah pada anak buah nya yang mendampingi nya tadi.

Segera ia pun melangkah untuk mengejar Barbara.

"Iya Pa iya. Bar janji gak nakal nakal. Selama ini kan Bar juga selalu nepatin janji." Barbara masih sibuk berbicara dengan Ayahnya dan tidak sadar ada seseorang yang mengikuti nya dari belakang.

"Iya udah. Bar tutup ya Pa. Love you Papa." Barbara pun mengakhiri panggilan nya dan menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas nya.

"Hah, capek banget." Barbara berhenti dan merenggangkan otot nya sejenak.

Saat hendak kembali melangkah, dia tidak sengaja melihat pancaran bayangan seseorang yang berdiri di belakang nya.

Ia perlahan berbalik arah kebelakang. Hal yang pertama ia lihat adalah pisau dengan lumuran darah yang masih segar dalam genggaman pria itu.

Perlahan ia mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang tersebut.

"Oh my." Barbara menutup mulut nya dengan telapak tangannya

Bukan karena takut, tapi karena takjub melihat ketampanan pria di depan nya.

Perlahan dengan polos nya dia melangkah mendekati pria itu.

"Tampan sekali." Barbara memencet wajah pria itu dengan telunjuk nya.

Keinginan membunuh pria itu hilang seketika.

"Kamu malaikat yah?" Barbara berbicara pada pria itu.

Tapi pria itu tidak bersuara sama sekali. Sesuatu dalam dirinya bergejolak saat mendapat sentuhan dari Barbara.

"Nggak nggak ini aku pasti lagi mabuk ini." Barbara memukul ringan kepalanya.

"Udah yah, aku pulang dulu. Kita ketemu dalam mimpi aja." Barbara kembali berkata lalu berbalik meninggalkan pria itu sambil melambaikan tangannya.

Tiba tiba

Emm

Barbara meronta saat pria itu membekap mulut dan hidung nya dari belakang. Perlahan kesadaran Barbara mulai menghilang karena pria itu menggunakan sapu tangan yang sudah ia olesi obat bius sebelumnya.

"Tidak akan pernah aku biarkan kamu pergi dengan mudah." Pria itu berkata sebelum akhirnya menggendong Barbara yang sudah pingsan kedalam mobilnya.

Segera ia melajukan mobilnya menuju ke rumah nya. Rumah mewah yang terlihat seperti kastil tua dari luar dan dipenuhi oleh pengawal disetiap sudut rumah nya.

Setelah sampai, dengan sigap ia menggendong Barbara menuju ke kamar nya. Langkah nya terhenti saat mendengar bisikan dari beberapa pelayan dirumah nya.

Door door door

Ia meraih pistol yang terselip di pinggang nya dan menembak para pelayan yang bergosip itu tepat pada kepalanya.

"Sudah aku bilang, aku tidak suka seseorang yang berbicara tidak penting dirumah ini." Ia pun melanjutkan langkahnya menuju ke kamar nya.

Dengan hati hati ia membaringkan tubuh Barbara di ranjang nya.

Setelah itu ia pun berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa percikan darah ditubuh nya. Setelah selesai dan mengenakan pakaian, ia pun naik ke atas ranjang nya dan berbaring di samping Barbara.

Ditatap nya terus wajah cantik Barbara, tanpa sadar telunjuknya bergerak menelusuri setiap lekuk wajah Barbara.

"Cantik." Batin nya.

Bahkan kini ia membuang guling yang membatasi nya dan Barbara, lalu menjadikan Barbara sebagai guling nya.

"Selamat tidur." Ia mengecup kening Barbara.

Perlahan ia pun terlelap.

Hari dengan cepat sekali berganti menjadi pagi. Barbara masih menggeliat diatas ranjang menikmati empuk nya ranjang itu.

"Kasur, kok kamu pagi ini kayak nya susah banget buat ditinggal." Barbara berbicara pada kasur yang menopang tubuh mungil nya.

Pria yang menculik nya semalam, berdiri bersandar pada lemari yang berhadapan langsung dengan ranjang nya sambil mengayunkan pisau ditangan nya. Tanpa sadar senyum kecil terbit di bibir nya saat melihat semua kelakuan Barbara.

"Kasur, tadi malam aku ketemu sama malaikat pencabut nyawa yang tampan banget." Barbara kembali berbicara dengan kasur.

"Ekhem." Pria itu akhirnya mengeluarkan suara.

Barbara kaget dan sontak langsung bangun. Pandangan nya langsung menangkap sosok tampan yang berdiri di depan nya. Pria itu juga bertelanjang dada.

"Kamu bukan nya ... ?" Barbara menunjuk pria itu sambil mencoba mengingat.

"Malaikat pencabut nyawa." Pria itu berjalan mendekati Barbara sambil mengayunkan pisau ditangan nya.

...~ To Be Continue ~...

Like dan komen.

Melepaskan

"Malaikat pencabut nyawa?" Barbara mengulangi perkataan pria didepan nya dengan bertanya.

Pria itu tidak menjawab dan malah berlutut didepan Barbara, tangan nya tidak berhenti mengayun pisau miliknya.

"Woo..hati-hati dong. Muka ini berharga buat aku. Kali aja kan bisa jadi model benaran." Barbara mengingatkan saat pisau pria itu hampir saja mengenai wajahnya.

"Felix Lorenzo." Pria itu menyebutkan nama nya sambil mengangkat dagu Barbara menggunakan pisau nya.

"Siapa tu?" Barbara bertanya bingung.

Felix diam dan terus menatap dalam mata Barbara. Perempuan pertama dan mungkin satu-satunya yang tidak takut pada nya bahkan saat dirinya memainkan pisau didepan nya.

"Oh..nama kamu Felix?" Barbara kembali berkata saat menyadari Felix memperkenalkan diri nya.

Felix kembali tidak menjawab.

"Duh, udah aku bilang jangan dekatin pisau kamu di area muka aku. Muka aku segala nya buat aku. Terserah deh kamu mau lukai aku dibagian lain." Barbara mengapit pisau Felix menggunakan jarinya dan menurunkan pisau itu ke dada nya.

Setelah itu ia malah celingukan melihat sekitar nya.

"Pantas kasur ku kayak nyaman banget. Ternyata bukan kamar ku. Hehe." Barbara menyadari dan terkekeh sendiri.

"Kamu ngapain lihatin aku kayak gitu? Nafsu?" Barbara bertanya seolah menantang.

Felix semakin menajamkan mata nya berharap mendapat sedikit saja raut ketakutan yang akan memancing rasa ingin membunuhnya.

Cup

Yang ia dapat malah kecupan manis di bibir nya.

"First kiss aku. Buat kamu aja malaikat pencabut nyawa yang tampan." Barbara mengatakan kalimat itu tanpa rasa bersalah dan tersenyum manis.

Keinginan membunuh dalam diri Felix benar-benar melebur seketika.

"Aku Barbara. Ngomong-ngomong toilet dimana? Aku kebelet." Barbara kembali bertanya tanpa rasa takut ataupun bersalah.

Felix menunjuk kearah kamar mandi nya.

"Makasih." Barbara kembali mengecup pipi Felix dan turun dari ranjang lalu berlari kecil menuju kamar mandi.

Setelah Barbara berlalu, Felix terdiam mematung di tempat berusaha mencerna setiap yang Barbara lakukan dan katakan.

Baru kali ini ada perempuan seberani itu dengannya.

Ia memutuskan untuk duduk di tepi ranjang nya menunggu Barbara keluar.

Hampir dua puluh menit, akhirnya Barbara keluar. Penampilannya lebih terlihat segar dengan wajah yang masih basah dan rambutnya sudah dicepol keatas memperlihatkan leher mulus nya.

Ia berjalan melalui Felix menuju pintu kamar dan hendak keluar. Namun ternyata pintu kamarnya sudah dikunci oleh Felix.

"Ya ampun Fel, aku lapar loh." Barbara menepuk kening nya dan berbalik menatap Felix kesal.

Barbara sepertinya menganggap rumah Felix adalah rumah nya. Bahkan Barbara menyebut nama pendek Felix dengan percaya diri.

"Kamu gak mungkin kan mau ngebunuh orang yang lagi kelaparan?" Barbara kembali berkata.

Benar-benar membuat Felix kehilangan selera untuk membunuh. Barbara tidak tahu sama sekali dirinya sedang berhadapan dengan seorang pembunuh psikopat yang bisa membunuh kapan pun, dimana pun, dengan cara apa pun, dan siapa pun.

Yang Barbara tahu, Felix pasti seorang pembunuh. Barbara juga belum mengingat tantangan nya.

Felix berjalan dan berhenti tepat didepan nya, satu tangan Felix membuka pintu dengan kunci yang ia raih dari saku celana nya, Barbara bisa merasakan deru nafas beratnya saat kepala Felix berada di samping kepalanya.

Setelah terbuka, Felix sigap menarik tangan Barbara menuju ke ruang makan dirumah nya. Terpisah agak jauh dengan dapur nya. Sengaja, agar jika ada pelayan yang berbuat kesalahan, ia bisa langsung mencabut nyawa nya ditempat.

"Bagus banget." Barbara menelisik ke seluruh bagian rumah nya dengan tatapan kagum.

"Istana." Barbara kembali berkata.

"Duduk." Felix memberi perintah setelah menarik keluar satu kursi dimeja makan nya.

Barbara pun menuruti dan duduk. Setelah itu Felix duduk di depan nya.

"Makan." Felix mengijinkan Barbara makan makanan yang terhidang di atas meja, makanan dengan hidangan daging mendominan walaupun masih pagi hari.

"Nggak ada makanan yang lebih ringan gitu? Ini masih pagi loh Fel." Barbara protes dengan wajah memelas dan untuk kedua kalinya dia memanggil Felix dengan nama pendek nya.

"Makan." Felix kembali memberi perintah.

"Nggak bisa Fel. Perut aku kecil, nggak bisa mencerna makanan berat di pagi hari. Lagian aku masih belum nyerah buat jadi model." Barbara menolak keras makanan yang di berikan Felix.

Barbara ingin menangis karena dasar nya dia memang sedikit cengeng, walaupun pemberani.

Felix menyerah. Ia kemudian berjalan ke arah dapur, lalu meraih sebungkus roti tawar lengkap dengan beberapa macam selai dari lemari dapur nya lalu berjalan kembali dan memberikan nya pada Barbara.

"Nah gitu dong. Baru sarapan namanya." Barbara menerima roti dan selai itu dengan senang hati.

Segera ia mengolesi beberapa lembaran roti itu dengan selai lalu memberikan nya pada Felix lalu dirinya.

Barbara mengunyah roti selai nya dengan semangat sambil kembali menelisik setiap sudut rumah Felix.

"Rame, tapi kenapa pada takut gitu muka nya." Barbara bergumam saat melihat raut ketakutan dari wajah para pelayan Felix.

Felix tidak menyentuh sedikitpun makanan didepan nya ataupun roti yang diberikan Barbara. Menatap Barbara lebih menarik dibanding melayani cacing di perut nya.

Felix bukan hanya suka menyiksa manusia, tapi juga cacing di perut nya.

"Kamu mau jadi model?" Felix bertanya dengan suara datar.

"Mau banget lah. Itu impian aku dari aku masih berbentuk sebiji kacang sampe udah gede kayak gini." Barbara menjawab antusias.

Kalau Felix adalah pria pada umumnya, mungkin sudah tertawa terbahak mendengar jawaban Barbara, tapi ia hanya memajang wajah datar.

"Aku bisa mengabulkan impian mu dengan mudah." Felix mengajukan dirinya.

"Syarat nya?" Barbara tidak bodoh, pasti ada syarat yang harus dipenuhi oleh nya.

"Hamil anak ku dalam tiga bulan." Felix mengatakan syarat yang membuat Barbara terperangah.

"Gak mau. Mending aku gak usah jadi model kalo cuma tiga bulan habis itu perut badan melar kemana-mana. Syarat lain kek?" Barbara menolak dan meminta syarat lain.

Felix tampak berpikir.

"Oh my." Barbara membatin baru mengingat tantangan dari teman-teman nya.

"Ajar aku mengenal cinta dalam tiga bulan." Pilihan terakhir Felix.

Felix adalah pria yang tidak pernah merasakan cinta walau sering menghabiskan malam dengan banyak wanita yang berakhir mati di tangan nya.

"Gak ada syarat lain gitu?" Barbara penuh harap.

"Setuju atau tidak?" Felix hanya memberikan pilihan.

Barbara akhirnya mengangguk demi impian nya. Sebenarnya Barbara juga tidak mengerti tentang cinta, ia saja tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun.

"Cepat makan dan aku akan antar kamu pulang." Felix kembali memberi perintah.

"Kamu lepasin aku?" Barbara merasa heran.

Felix tidak menjawab dan terus menatap Barbara. Hanya satu dalam benak nya yaitu menguasai hidup Barbara.

Selesai sarapan, sesuai perjanjian Felix pun mengantarkan Barbara kembali ke apartemen nya.

"Besok aku jemput buat tanda tangan kontrak." Felix berkata lalu setelah itu langsung meninggalkan Barbara yang masih terperangah.

"Hebat." Barbara memberi jempol pada kendaraan Felix yang sudah melaju jauh.

Barbara pun melenggang masuk kedalam apartemen nya.

...~ To Be Continue ~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!