Naya adalah seorang gadis berusia 18 tahun, di usianya yang masih muda dan baru saja menginjak kelas 3 SMA.
Ia dipaksa menikah dengan seorang pemuda pengusaha kaya, untuk meringankan beban orangtuanya yang kini sedang mengalami kebangkrutan.
"Yah, Naya gak mau nikah." ucapnya dengan tangis di kaki orangtuanya. "Naya masih ingin sekolah."
Seno membungkuk, memegang kedua sisi lengan anaknya dan menuntunnya untuk berdiri, lalu memeluknya erat. "Maafin Ayah, Nak." sahutnya terisak. "Ayah juga terpaksa menikahkanmu, tetapi inilah satu-satunya jalan agar kamu bisa hidup berkecukupan. Ayah sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahmu."
"Tapi ayah.."
"Tolong menurutlah, Nak!" pinta Seno pada anaknya.
Naya selama ini hanya hidup berdua dengan Ayahnya, Seno. Berserta dengan pembantunya Bik Inah. Karena Ibunya telah lama pergi meninggalkan Naya saat setelah melahirkannya ke dunia.
Semula hidup Naya bermakna, karena ia tumbuh besar dengan kasih sayang yang sangat besar dari ayahnya, serta hidupnya pun berkecukupan. Hingga akhirnya kemalangan menimpanya.
Pembantunya pun diberhentikan karena Seno sudah tak sanggup menggajinya, bahkan untuk meneruskan biaya sekolah anaknya.
Rumah besarnya pun dijual untuk menutupi hutang dan Seno menjadi sakit-sakitan karenanya.
Hingga dimana Seno tak sengaja bertemu dengan salah seorang teman lamanya, dan berniat untuk menjodohkan anak mereka.
Pemuda yang dijodohkan itu bernama Brama, ia pengusaha sukses diumurnya masih menginjak 25 tahun. Parasnya rupawan, tinggi, bertubuh atletis dan berkulit putih cerah mengalahkan kulit wanita pada umumnya.
Tetapi ia enggan untuk menikah, sehingga orangtuanya sampai memaksa dan menjodohkannya.
****
Naya tengah menyiapkan sarapan untuk Ayahnya, menata nasi goreng telur diatas meja.
"Yah, hayo kita sarapan!" teriak Naya pada ayahnya, yang biasanya masih bersantai dikamarnya sembari menunggu putri kesayangannya selesai memasak untuk sarapan.
Tapi, Seno belum kunjung keluar kamar hingga Naya berinisiatif untuk menyusulnya kedalam kamar.
"Ayah." teriak Naya, kaget. Ketika menemukan Seno jatuh tergeletak tak sadarkan diri dilantai.
Segera Naya melangkah, menggagapai ayahnya itu dengan rasa panik dan khawatir yang tak dapat digambarkan lagi. Lalu dengan susah payah Naya memapah ayahnya agar berbaring diatas ranjang.
Tak ada lagi yang bisa Naya andalkan kecuali pertolongan tetangga untuk membawa ayahnya kerumah sakit, begitulah pikirnya.
Jadi, ketika Naya berhasil membaringkan Seno diatas kasur. Naya buru-buru keluar kamar untuk meminta bantuan, tetapi saat Naya membuka pintu untuk keluar rumah. Ia langsung dikagetkan dengan sosok pria bertubuh tinggi dan rupawan tengah datang kerumahnya.
"Anda mencari siapa?" tanya Naya masih dalam kepanikan.
"Saya mencari pak Seno, apakah betul ini rumahnya?" tanya pemuda itu.
Naya pun mengangguk cepat. "Benar." lalu tanpa sungkan menarik lengan pemuda itu untuk mengikutinya masuk. "Tolong bantu ayah saya!" pintanya memohon.
Pemuda itu hanya menatap bingung, tapi tak menolak ketika Naya menariknya masuk kedalam rumahnya karena terlihat jelas di wajah gadis itu penuh kepanikan dan suatu masalah tengah dihadapinya. "Ayahmu? Apa yang terjadi dengan beliau?"
Naya tak menjawabnya, hingga ketika pemuda itu melihat benar bahwa seseorang yang ingin ditemuinya tengah berbaring diatas ranjang dengan keadaan memprihatinkan. Wajahnya pucat pasi, dengan kantung mata tebal dan hitam.
"Apa yang sudah terjadi?" tanya pemuda itu.
Naya menggelengkan kepalanya, terisak. "Saya tidak tahu, saya hanya ingin memanggil ayah untuk sarapan tapi saya malah menemukan ayah terkapar." sahutnya.
"Ya sudah tunggu apalagi! Bantu aku mengangkat ayahmu kedalam mobil." Segera pemuda itu mengangkat Seno yang lemas dengan penuh kehati-hatian untuk masuk kedalam mobilnya.
Dan Naya membantu membuka pintu rumah dan pintu mobil agar pemuda itu dapat melangkah dengan mudah.
Merekapun segera pergi kerumah sakit, dan Seno langsung memasuki ruang ICU.
Naya duduk menunduk, menunggu dokter selesai memeriksa keadaan ayahnya itu dan sesekali ia mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi.
Sedangkan pemuda itu hanya berdiri, memasukkan kedua tangannya disaku celana dan menyandarkan tubuhnya ditembok sembari memandangi gadis yang tak berhenti menangis didepannya, hingga dimana ia tak tahan dan iba.
Pemuda itu pun beralih dan ikut duduk disamping Naya, menepuk pelan punggung Naya guna memberi ketenangan padanya.
Pemuda itu tak mengucapkan kata apa-apa, karena ia sendiri bingung harus bersikap seperti bagaimana. Apalagi sekarang ia tahu bahwa gadis di depannya ini adalah gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya.
Pandangan pemuda itupun beralih ketika dokter keluar dari ruang perawatan, dan Naya segera beranjak berdiri.
"Bagaimana keadaan ayah saya, dok?" tanya Naya dengan was-was. "Apa saya bisa langsung melihat kondisi langsung ayah saya?"
"Pak Seno sudah melewati masa kritisnya dan beliau sudah siuman." jawab dokter itu. "Anda bisa langsung masuk kedalam untuk melihat sendiri kondisinya karena beliau tadi meminta untuk bertemu dengan putrinya."
Mendengar itu Naya begitu lega. "Terimakasih dok." ucapnya lalu buru-buru masuk kedalam ruang ICU untuk melihat langsung kondisi ayahnya.
"Ayah." sapa Naya dengan mata nanar, kemudian memegangi jemari ayahnya yang terasa dingin dan menempelkannya pada pipinya yang hangat.
Seno menoleh. "Anakku yang baik." ucap Seno serak nan lemah tak bertenaga, membuat Naya kembali terisak karenanya.
"Paman." sapa pemuda itu, masuk kedalam ruangan perawatan.
Seno menoleh lalu tersenyum lega ketika mendapati pemuda itu berada dengannya. "Mendekatlah, Nak!" pinta Seno pada pemuda itu.
Pemuda itu pun mengikuti permintaan Seno, melangkah mendekatinya dan berdiri disamping maya.
"Naya, pemuda ini adalah lelaki yang akan menikahimu. Dia akan menjadi suamimu, namanya Brama." ucap Seno, menjelaskan dengan menarik nafasnya susah payah.
Seketika Naya membelalak, lalu menggelengkan kepalanya. "Tapi yah.."
Ucapan Naya terhenti ketika Seno menggelengkan kepalanya pelan, memberinya aba-aba untuk tidak menentang.
"Nak Bram, maafkan jika anak saya nanti akan menyusahkan. Mohon dimaklumi karena pikirannya masih belum dewasa." ucap Seno, menggapai jemari Brama dan ia tautkan pada jemari milik putrinya. "Tolong jaga anak saya dengan baik! Naya ini adalah anak yang baik, dia pasti akan menjadi istri yang baik pula untukmu."
Brama enggan menjawab, ia menoleh pada Naya dan Nayapun menoleh padanya. Memberikan jawaban menerima dari anggukan dan sorot matanya, membuat Brama yakin kemudian mengangguk. "Saya berjanji akan menjaga putri paman dengan baik."
"Terimakasih." ucap Seno, tersenyum begitu lega.
Sampai pada akhirnya ia benar-benar menutup mata dan tersenyum untuk terkahir kalinya.
"Ayah." teriak Naya, ketika menemukan ayahnya sudah tiada.
"Paman."
****
Aduhh dateng lagi Nih cerita Romance bertajuk rumah tangga.
Walau awalnya sama, tapi genre berbeda karena bukan BUCIN biasa he he
Semoga kalian selalu suka yaa sama PRIMADONA :*
Kasih Like, Komen, Rating 5 dong!! Biar Author semangat garap Nih Project. Kamsamida :*
Naya menangis diatas batu nisan ayahnya. Ia sangat bersedih karena kali ini ia benar-benar tak memiliki siapapun lagi.
Hanya ada satu pengharapannya, Pemuda tampan yang sedang berdiri disebelahnya, tak pernah lelah untuk menemaninya.
Brama mengelus lengan Naya sembari melingkarkan lengannya, serta tidak keberatan menawarkan dadanya untuk ia jadikan tempat bersandar pada gadis yang tengah bersedih atas kepulangan ayahnya.
"Jangan bersedih lagi! Kamu masih memiliki aku disini." ucap pemuda itu tak terduga.
Membuat Naya tercengang sekaligus merasa ada kelegaan di dadanya.
Pemuda itu memang baru saja ditemuinya, hanya beberapa saat yang lalu. Tetapi tatapan pemuda itu begitu sangat tulus padanya.
Entah, ia mungkin hanya merasa iba pada Naya. Gadis malang yang tak mempunyai siapa-siapa lagi untuk menjadi tempat bersandarnya.
"Terimakasih."
Satu kata yang cukup untuk menggambarkan semuanya.
****
"Papa memintaku untuk mengajakmu tinggal bersamaku sampai kita menikah nanti." ucap Brama, ketika Naya mulai duduk tenang diruang tamunya.
"A..apa kita akan tinggal bersama seperti pasangan yang lain?" tanya Naya gugup.
"Kamu tenang saja! Aku sudah menyiapkan kamar yang lain untuk aku tinggali, kita menikah hanya sebagai status saja." sahutnya menjelaskan. "Kamu setuju juga, bukan?"
Naya mengangguk. "Saya setuju." sahutnya, lalu beranjak dari duduknya. "Ah baiklah, kalau begitu Naya akan membereskan pakaian Naya dulu." pemitnya.
Segera Naya pergi ke kamarnya dan segera merapikan pakaiannya yang ada didalam lamari kamarnya, menaruhnya segera kedalam koper besar miliknya.
Serta ia tak lupa untuk membawa foto miliknya bersama dengan almarhum ayahnya.
"Sudah? Tidak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Brama memastikan, ketika Naya keluar dengan membawa koper besar.
Naya mengangguk. "Sudah."
Bramapun membantu Naya untuk mengangkat koper miliknya, memasukkannya kedalam bagasi mobil.
Tapia belum Naya memasuki mobil, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing tengah memanggil Naya dengan suara terengah-engah.
"Naya, tunggu!" teriaknya, melangkah menghampiri Naya.
Nayapun menoleh. "Dimas." gumamnya tak percaya. "Kamu ngapain disini?"
Dimas tak menjawab pertanyaan itu, ia langsung memeluk Naya begitu eratnya. "Aku merindukanmu, aku mendengar bahwa om sudah meninggal jadi aku buru-buru kesini untuk menemuimu."
Naya hanya menunduk sedih, tak menjawab apapun itu.
"Nay, kamu gak mau balik sekolah lagi?" tanya Dimas, beralih memegang dua jemari gadis didepannya itu.
Naya menggelengkan kepalanya lemah. "Maafin aku, Dim." sahutnya, lalu melepas jemari Dimas yang menggenggamnya. "Aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti."
"Baiklah, aku akan menunggu kabarmu."
"Terimakasih." ucap Naya pilu, lalu berbalik dan masuk kedalam mobil.
Segera Brama melajukan kendali mobilnya, melirik Naya yang masih mengeluarkan air matanya.
"Kamu nangis karena pemuda tadi?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Maaf." sahutnya, menghapus airmatanya cepat.
"Apa dia kekasihmu?"
Naya menggelengkan kepalanya. "Bukan, dia adalah teman saya." sahutnya serak.
Dan Brama tahu, bahwa Naya menyukai pemuda itu dari sorot matanya yang terpancar. "Ketika kita menikah nanti, jangan berbuhungan dengan pria darimana pun itu! Kamu sebagai isteriku harus menjaga nama baikku." tegasnya, membuat Naya ngeri saja.
"Iya pak, baik." sahutnya.
"Kok bapak, sih? Aku kan belum tua. Lagian kita akan jadi suami istri, walau hanya status saja sih."
"Lalu, saya harus memanggil Anda siapa?" tanya Naya, ragu.
"Panggil saja, mas Bram atau apa kek gitu."
"Ah, iya mas." sahut Naya, masih dengan canggung.
Brama menoleh dan tersenyum mendengar Naya menurutinya.
****
Netijen : Judulnya bikin ngeri thor.
Author : sama T_T, bagusnya di ubah apa, ya? Apa terpaksa menikah atau diperk*sa suami? hehe
Tolong Komen ya :*
Sebuah perumahan elit dipusat perkotaan, bangunan pun menjulang.
Dahulu Naya dibesarkan di tempat yang sama, di tempat mewah seperti yang ia lihat saat ini tetapi ketika perusahaan ayahnya mengalami kerugian besar dan menyebabkan kebangkrutan, maka Naya terpaksa tinggal disebuah kontrakan kecil untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Namun hebatnya, sekalipun ia tak pernah mengeluh akan hal itu. Selagi ia masih bersama dengan ayahnya, ayah yang begitu menyayanginya.
Tetapi beliau sudah tiada, dan Naya harus dihadapi dengan sebuah perjodohan yang akan menolong kelangsungan hidupnya yang tak bisa melakukan apa-apa.
"Kita akan tinggal disini?" tanya Naya sedikit tercengang, ketika laju mobil itu berhenti.
"Iya, ini adalah rumah yang aku tinggali selama ini." sahut Brama. "Mari kita turun!" pintanya.
Merekapun turun dari mobil dan langsung melangkah masuk kedalam rumah besar milik Brama.
Saat Brama melangkah cepat masuk kedalam rumah, Naya memilih mengedarkan pandangannya sembari menyeret kopernya kepada pernak pernik yang menghiasi sisi ruangan mewah milik calon suaminya itu.
"Kamarmu berada dilantai atas, dan pelayan akan mulai datang setiap pagi hanya sekedar untuk bersih-bersih dan memasak dirumah ini." ucap Bram, memberitahu.
Naya hanya mengangguk, masih terpaku dengan segala sisi ruang mewah di rumah itu.
Brama berbalik dan bersindakap. "Apa kamu mendengarkanku?"
Seketika Naya terkesiap, menundukkan pandangannya. "Saya mendengar mas, maaf." sahutnya.
"Jangan diulangi lagi! Aku tidak suka jika sedang berbicara dan kamu malah mengabaikannya."
"Maaf." ucap Naya bersungguh-sungguh, membungkuk bahkan bak sebuah padi yang siap panen.
Brama kemudian berbalik lagi. "Aku akan mandi! Kamu segera rapikan pakaianmu dan segera memasak untukku! Jika sudah selesai, segera panggil aku." ucapnya memerintah, sebelum berlalu pergi.
"Baik mas." sahut Naya, menuruti segala perintahnya.
****
Naya memasak sesuai yang terdapat didalam lemari pendingin, membuat steak daging serta beberapa tumis sayuran semampu yang ia bisa.
"Enak." ucap Naya senang, ketika mencicipi masakannya sendiri.
Setelahnya, ia langsung menata menu yang ia masak di atas meja dan langsung melangkah ke kamar Brama untuk segera memanggilnya. Sesuai yang ia perintahkan pada Naya.
Tok Tok Tok.
Dengan pelan, Naya mengetuk pintu kamar Brama, dan pemuda itupun mengeluarkan suara.
"Masuklah!" jawabnya, didalam kamarnya.
Sejenak Naya mengernyitkan dahinya, bingung. Kenapa ia tidak langsung keluar saja padahal ia sudah tahu tujuan Naya datang memanggilnya.
Dengan ragu, Naya masuk kedalam kamar Brama dan ia langsung menunduk kaget ketika menemukan Brama berjalan hanya terlilit handuk dipinggangnya.
"Aaaa." jeritnya, menutup kedua matanya dengan kedua telapak tangannya.
Brama berdecak menanggapi reaksi Naya yang berlebihan itu, kemudian ia memilih duduk didepan cermin dan mengambil sebuah buku untuk dibacanya.
"Tidak usah berlebihan! Masuklah dan segera keringkan rambutku!" pintanya dengan enteng.
Naya kaget dengan permintaan konyol itu, tetapi mengingat dia akan segera menjadi seorang istri. Bukankah ini adalah hal yang biasa yang akan selalu ia lakukan untuk melayani suaminya itu.
Naya kemudian memberanikan diri untuk melangkah mendekati pemuda yang tengah asyik duduk menyilangkan kakinya.
Ia kemudian segera mengambil sebuah hairdyer untuk membantu mengeringkan rambut milik Bram yang hitam lebat nan harum.
Tapi sedetik kemudian, Brama dibuat kesal oleh Naya.
"Perhatikan matamu! Bagaimana bisa kamu mengarahkan hairdyer tepat telingaku?!" protesnya dengan keras.
Bagaimana tidak, Naya memejamkan matanya demi menghindari menatap pemuda yang mengotori penglihatannya itu, sehingga ia tak sadar tengah mengarahkan hairdyer yang menyemburkan udara panas tepat ditelinga calon suaminya.
"Maaf." ucap lagi menunduk, dan segera mengeringkan lagi rambut suaminya itu.
Kali ini Naya harus menelan ludah, melirik kulit putih bersih milik Brama yang membuat dirinya sendiri iri sebagai seorang wanita.
Masa sih, pemuda tampan seperti ini seorang diri dan memilih dijodohkan dengan anak SMA dan tak berkelas sepertiku?
Naya bertanya-tanya penuh ragu, dan kali ini melirik garis wajah Brama dari samping penuh kagum. Sebuah rahang yang tegas dan sempurna. Siapapun yang melihatnya pasti akan memikirkan hal yang sama.
"Cih! Kamu mulai terpesona denganku?" tanya Brama, dengan senyum tersungging penuh ejekan.
Sontak Naya jadi salah tingkah ketika Brama mengatakan hal itu, karena ia begitu bodoh bahwa Brama bisa melihat dengan jelas pandangan mata gadis itu lewat pantulan cermin didepannya.
Mau menyangkalpun sepertinya sudah tak bisa lagi, ia sungguh tertangkap basah tengah menatap calon suaminya penuh kagum.
"Sa...saya..tidak." ucapnya dengan gugup, masih mengarahkan hairdyer itu.
Segera Brama berbalik menghadapnya, memegangi tangan kaku milik Naya yang memegangi hairdyer. "Jangan pernah menyukaiku! Itulah sebabnya aku mau menikahimu." ucapnya tegas, tak main-main.
Seketika Naya langsung menundukkan pandangannya, membungkuk penuh hormat padanya.
Bramapun beranjak berdiri dengan angkuh. "Keluarlah!" pintanya, sembari berjalan kearah lemari.
"Ba..baik mas." sahutnya terbata, lalu berlari pergi.
"Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan." gumam Naya, memukul kepalanya frustasi.
****
TOLONG DUKUNGANNYA YA :*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!