NovelToon NovelToon

His Marriage

chapter 1

Pukul 19.34 malam, Ichihiro tiba di rumah. Alisnya bertaut mendapati rumahnya dalam keadaan gulita. Ichihiro berjalan menuju saklar dan menyalakan lampu. Membuat ruangan yang semula gelap kini tersinari cahaya. Matanya menyapu penjuru rumahnya yang luas. Berharap netranya menangkap seorang wanita yang sudah menjadi pendamping hidupnya datang untuk menyambut—seperti dulu. Namun nihil. Rumahnya sepi dan itu berarti istrinya tidak di rumah. Ichihiro berjalan pasti semakin masuk. Dia haus dan butuh asupan mineral segera. Membuka pintu kulkas dan mengambil botol mineral didalamnya, Ichihiro menuang air dingin itu kedalam gelas bening kemudian meminumnya sampai setengah. Ichihiro meletakan bekas gelasnya di meja dan membuka penutup saji. Ia lapar karena belum sempat makan dari sejak siang tadi, hanya dua lembar roti dan secangkir teh menemani makan siangnya-- sesaat sebelum menemui investornya ke lokasi proyek, dan saking padatnya jadwalnya hari ini, Ichihiro lupa menyuplai nutrisi ke tubuhnya, namun sekarang mata arangnya hanya menemukan kehampaan.

"Aku pulang."

Seruan itu terdengar bersamaan langkah kaki memasuki rumah.

"Dari mana kamu?" tanya Ichihiro. Matanya turun menatap kantung-kantung di tangan istrinya. Ada siratan tak suka di hati Ichihiro kemudian, melihat banyaknya kantung yang di bawa sang istri.

Wanita itu berjengit sesaat. Sempat tak menyadari keberadaan Ichihiro semula.

"Oh sayang, kau sudah pulang?" wanita itu tersenyum manis.

"Aku tanya dari mana kamu?" ulang Ichihiro, nadanya berubah dingin. Wanita itu sedikit menukik alisnya, ada sirat tak suka dari ekspresi yang di perlihatkan. Mengingat suaminya bertanya dengan tampang tak mengenakkan.

"Aku habis dari mall, shopping. Tadi di sana banyak diskon." jawabnya santai didalam nada datarnya.

".....memang kenapa?." lanjutnya heran. Tidak biasanya. Ini yang membuatnya tak menyukai suaminya pulang lebih awal. Alasannya sudah pasti, dia tidak suka suaminya menanyainya seperti sekarang. Salahnya juga, seharusnya dia pulang lebih awal.

"Kau boleh menghabiskan uangku demi menyalurkan hobimu itu. Tapi kau juga harus memenuhi—"

"Ya ya ya aku tahu," selanya.

"Maaf, aku tadi lupa."

Ichihiro menahan napasnya. Hanya karena kata 'maaf' yang di selipkan sang istri, Ichihiro selalu tak berdaya untuk melanjutkan ketegasannya. Begitulah cinta yang terkadang dengan mudahnya menelan akal sehat hingga mudah luluh terpedaya.

Wanita itu menatap sekilas jam mewahnya yang berwarna keemasan.

"Aku ke kamar dulu, sayang. Mau cobain baju-baju ini." Memamerkan kantung belanjanya begitu antusias lalu tanpa menunggu respon suaminya lebih jauh, wanita itu beranjak menaiki tangga.

" Shiori aku lapar dan aku ingin makan." ucap Ichihiro menghentikan langkah istrinya. Shiori, istri Ichihiro menoleh dengan dahi sedikit terkerut.

"Kau belum makan? Baiklah, aku akan order delivery resto langganan kita. Oh ya kau mau pesan apa?" Shiori mengambil ponselnya di dalam tas mahalnya. Ibu jari lentiknya bersiap memijit digit nomor.

Geligi Ichihiro tergigil. Marah melihat keacuhan Shiori yang luar biasa.

"Aku ingin kau yang memasak. Sebagai istri—" desisan rendah terdengar dari suara Ichihiro.

"Oh ayolah sayang, ini sudah malam. Dan aku juga sudah mulai mengantuk." sela Shiori yang buta situasi atau memang tak terlalu ambil perduli akan wajah Itachi yang mulai memerah. Wanita itu menguap kecil, di buat-buat.

"....sudah ya aku ke kamar dulu, mau bobok. Dah sayang~" lanjutnya. Lalu berlari kecil menaiki tangga menuju lantai dua. Di mana letak kamarnya dan Ichihiro berada.

Wajah Ichihiro kian memerah. Dia sangat marah akan semua ucapan dan tingkah istrinya. Giginya bergelematuk kuat. Kakak adik sama saja, hanya memoroti uangnya. Siang tadi adik istrinya datang ke kantornya hanya untuk meminta uang jutaan yang katanya untuk modal usaha. Ichihiro berikan dengan percuma. Tiba di rumah pun Ichihiro harus melihat bagaimana istrinya sudah menghamburkan uangnya hanya untuk menyalurkan hobi shoppingnya.

Ichihiro benci dan muak.

Kalau saja dia tak mencintai Shiori. Tentu sudah sedari dulu dia meninggalkan wanita itu. Belum lagi mertuanya yang tak kalah matrealistis dari dua pirang bersaudara itu. Ada saja alasan mereka untuk meminta uang. Anehnya dia tidak pernah menolak permintaan mereka.

Sebenarnya Ichihiro sudah tidak tahan berumah tangga dalam ketidak harmonisan seperti ini. Ingin rasanya Ichihiro menceraikan Shiori. Tapi apa dia bisa? Apa dia sanggup? Dia terlalu dan sangat mencintai wanita itu.

Cinta ini memang menyiksanya tapi apa daya hati sudah terlanjur bertaut kuat.

Ichihiro menarik napas dalam, dan menghembusnya perlahan, berusaha menormalkan emosinya yang tengah menghambur.

Ichihiro beranjak menuju kamarnya. Mungkin istirahat sebentar bisa menetralkan emosinya sekaligus melepas kepenatan, begitu pikirnya.

Emosi Ichihiro yang sudah sedikit turun kini kembali menanjak begitu matanya tersuguh pemandangan tak mengenakkan di kamar.

Semua itu di sebabkan oleh pakaian istrinya yang bertebaran di tempat tidur dan lantai. Mungkin kalau itu baju lama istrinya, Ichihiro tidak akan semarah ini. Tapi ini baju yang tadi baru di beli istrinyalah yang berserakan dan bukannya di bereskan ke lemari.

"Apa-apaan ini Shiori?" Ichihiro memandang istrinya yang tengah memadu-padankan pakaian ke tubuhnya didepan cermin sebelum melemparnya sembarangan ke lantai dengan alis menukik.

Shiori menoleh dan memandang Ichihiro. Ichihiro berjalan masuk mendekat dengan decit pantofel di lantai. Menandakan seberapa keras Ichihiro melangkah.

"Kenapa kau membuang bajumu," mata Ichihiro yang hitam legam berkilat.

"Baju itu jelek dan modelnya hampir sama dengan yang sudah kupunya."

"Kalau kau merasa begitu untuk apa kau membelinya Hah?!"

Ichihiro mencengkram lengan Shiori kuat. Sangat kuat sampai Shiori meringis di buatnya.

"Ugh sa-sakit...," Rintihnya. Ichihiro mengindahkan.

"Kau pikir mudah cari uang heh? Seenaknya kau membuang baju yang kau beli? Menghamburkan uangku. Kau pikir semua itu kertas!" Desis Ichihiro teramat marah.

"Sakittttt." Shiori menepis kasar tangan Ichihiro. "....baju itu kuno. Aku tidak mau!!" Serunya.

"Kalau kau tidak menyukainya. Kenapa kau membelinya!"

Shiori melipat tangan di dada.

"Oh...jadi begitu," judesnya.

"Kau sekarang sudah mulai hitung-hitungan denganku hem? Istrimu sendiri, Ichihiro!" raungnya. Ichihiro mengedip sekali. Kemarahan itu turun satu level.

"Uang segitu kau mudah mendapatkannya, dan kau sampai semarah ini padaku hah?!!" lanjutnya masih berseru. Shiori menatap berang belanjaannya kemudian memandang Ichihiro dengan raut teramat kesal. Dia lelah seharian mengitari mall dan sekarang suaminya malah mengajaknya bertengkar.

"Baik, aku akan menggantinya kalau begitu," ketegasan itu menyala dari matanya. Berlagak mempunyai sesuatu untuk menggantinya.

"Shiori...aku.."

"Cukup! Kau memang sudah tidak sayang padaku lagi Ichihiro," wanita itu terisak pelan. "Kalau begitu baiklah, mungkin lebih baik aku tidur di kamar lain saja. Kau keterlaluan Ichihiro," raut kecewa sekaligus sakit hati Shiori tunjukan membuat Ichihiro kian merasa bersalah.

Shiori bergerak hendak meninggalkan kamar.

Ichihiro yang tadi sempat terpaku tersadar dan mengejar untuk menghadang istrinya.

"Shiori maafkan aku. Aku tau aku keterlaluan," tangan Ichihiro bergerak menangkap pipi Shiori. Ibu jarinya mengusap pipi halus itu lembut. Terlalu halus. Ichihiro sempat mengeryit, berapa biaya perawatan yang Shiori lakukan untuk melakukan semua itu, pikir Ichihiro sekejap.

"Maafkan aku," bisik Ichihiro lagi bergerak maju, niatnya hendak mencium istrinya. Tapi Shiori mengelak dengan buang muka.

Wanita itu menurunkan tangan Ichihiro. Memandang Ichihiro sebentar kemudian berjalan melewati.

"Shiori..."

Lagi-lagi langkahnya terhenti. Ichihiro mendekapnya dari belakang. Menopang dagunya di pundak Shiori.

"Jangan....jangan tidur di kamar lain. Temani aku disini. Aku...aku menginginkanmu...malam ini," bisik Ichihiro. Hidungnya menepel di perpotongan jenjang lehernya dan mengendus baunya. Menciptakan ketenangan tersendiri namun hanya sesaat, karena istrinya justru memberi penolakan atas dirinya.

"Aku lelah...," Shiori melirik Ichihiro sebentar.

"Dan kau membosankan."

Bagai tertikam sebilah pisau. Hati Ichihiro begitu sakit hingga dirinya hanya bisa diam bergeming dan membiarkan Shiori berlalu begitu saja kemudian menutup pintu kamar mereka dengan bunyi bedebum.

Ichihiro akui, beberapa kali percintaan mereka Shiori memang sering mengeluhkan kalau dirinya katanya loyo ketika berada di ranjang. Itu memang benar adanya dan Ichihiro tak menyangkal. Selain rutinitas kerja yang terus di jalaninya, juga banyaknya pikiran yang mendera acap kali membuat Ichihiro kehilangan mood bercintanya. Tanpa di minta semua itu menguap begitu saja. Tentu hal itu sangat mengganggu dan pastinya telah mengecewakan Shiori.

Ichihiro merasa tak bergairah ketika bercinta dengan istrinya. Kapan itu terjadi persisnya. Ichihiro tidak tahu, apakah ada yang aneh dengan dirinya hingga begitu sulit untuk bergairah Sungguh, sesuatu yang terasa mengherankan untuk Ichihiro rasakan sendiri. Padahal Shiori sudah tampil begitu menggoda.

"Apa sekarang aku sudah menjadi pria...impoten," Ichihiro bergumam. Dan ngeri sendiri atas apa yang di ucapnya. Ichihiro menggeleng menyangkal. Karena memang pada kenyataannya, dia pernah melakukan itu dengan beberapa tunasusila di kelab yang di datanginya. Dan Ichihiro merasa dia masih normal dan punya gairah yang bagus. Dia masih menyukai dada dan lembah milik wanita. Yang membuatnya aneh hanya mengapa dia tak bergairah lagi saat bersama Shiori. Apa perasaanya pada Shiori sudah mulai memudar. Tapi itu tidak mungkin, dia yakin dia masih sangat mencintai Shiori. Dan hal lainnya yang begitu di inginkannya adalah segera mendapatkan keturunan untuk melanjutkan generasinya. Tapi jika terus seperti ini, bagaimana dia bisa memiliki itu. Pernikahan mereka sudah berlangsung 4 tahun. Shiori memang pernah hamil hanya saja umur embrio itu tidak berlangsung lama. Dan sejak kejadian itu Shiori mulai sedikit berubah. Dia tak sehangat seperti saat mereka berpacaran. Begitupun Ichihiro yang mulai mencari pelampiasan atas keacuhan Shiori. Dan itu terjadi pada Ichihiro sejak setahun terakhir.

Paginya Ichihiro turun ke lantai bawah dengan penampilan telah rapi pekerja kantor berikut tas kerja di tangan dan berjalan menuju meja makan.

Ichihiro sengaja menutup keras tudung saji saat begitu jelas di dalamnya tidak ada sedikit pun sajian yang di sediakan untuknya. Bukankah semalam dia sudah bilang kalau dirinya lapar. Tapi kenapa paginya istrinya masih belum juga memasak dan malah asik memakaikan kutek ke kukunya di ruang keluarga. Tanpa pamit Ichihiro melengos acuh pergi begitu saja. Hal yang baru pertama kali di lakukannya. Biasanya Ichihiro akan tetap menyimpan itu didalam walau hati luar biasa kecewa. Mungkin kini sudah ambang batasan kesabaran Ichihiro.

Shiori sempat kaget saat mendengar benda di banting. Lalu menatap arah suara. Dia sempat mematung melihat suaminya menatap tajam padanya. Matanya membara emosi membuat naluri ketakutan Shiori timbul alamiah. Wanita itu hanya mampu terdiam walau rasa ngeri merambatinya. Dan saat suaminya berlalu begitu saja, diam-diam Shiori menelah napas kelegaan. Memandang arah kepergian suaminya. Seiya menaikkan sebelah alis sebelum perlahan rasa rilaks kembali di dapatinya. Wanita itu mengangkat bahu acuh, dia tak merasa kesal akan acuhan Ichihiro dan malah mensyukuri tindakan suaminya. Itu lebih baik. Dia tak mau bertengkar lagi dengan suaminya di hari yang masih cerah di pagi ini. Shiori kembali pada kegiatannya semula, mengecat kuku indahnya dengan senyum di bibir yang menyenandung kecil.

chapter 2

Hari menunjukkan pukul 20.20, pekerjaan Ichihiro di kantor sudah selesai beberapa jam lalu. Namun Ichihiro masih belum atau enggan meninggalkan kantor. Padahal semua rekan dan karyawannya sudah pada pulang. Berteman kesunyian yang begitu sepi, serasa mengundang bulu kuduk untuk berdiri bagi orang yang penakut. Tapi tidak untuk Ichihiro. Pria itu masih duduk nyaman di sofa empuk mewahnya dengan satu kaki menaiki kaki lainnya. Duduk tenang sembari memandang bungkusan di tangan pemberian dari Seiya. Memandangnya lama penuh pemikiran, seolah baru pertama kali melihat dan mengenal benda itu. Alisnya memicing ketika teringat ucapan sepupunya ketika memberinya benda itu.

"Ambillah dari pada aku mengirimmu ke rumah sakit jiwa," guyonnya kemudian terbahak.

"Sialan," Ichihiro berdesis tajam. Membuang napas sebal kemudian memasukkan benda itu kedalam saku jas dalamnya. Melirik jam hitamnya barulah Ichihiro sadar hari semakin beranjak malam. Sedikit tidak rela, Ichihiro meninggalkan singgahsananya juga. Malam ini Ichihiro merasa malas untuk pulang. Dan ingin berlama-lama disana seandainya saja rasa bosan tak muncul.

Setelah berpapasan dengan Security kantor yang bertugas dan sempat terkejut akan keberadaannya sebelum akhirnya menyapa yang hanya di balas anggukan singkat dari Ichihiro dan meninggalkan pelataran kantor, Ichihiro melajukan mobil hitamnya di jalanan beraspal. Pelan-pelan. Ichihiro tak ingin buru-buru mencapai rumah kali ini atau malah enggan pulang.

Ichihiro memandang jalanan yang di laluinya tanpa arti sampai akhirnya Ichihiro memberhentikan laju mobil hitamnya di parkiran sebuah tempat yang di soroti lampu berpenerangan temaram. Mendesah pelan untuk sebentar barulah Ichihiro keluar dari mobilnya dengan sudah menanggalkan jas kerjanya, lengan kemeja hitamnya telah dia lipat sampai sebatas bawah siku. Itu dia lakukan karena tak ingin terlihat mencolok hingga berujung jadi pusat perhatian begitu penuh karena setelannya walau kenyataannya Ichihiro tetap menjadi sorotan dari orang-orang yang masih jarang. Semua itu terbukti dari beberapa pria yang menoleh dan para wanita berpakaian gulita minim yang langsung menunjukkan sinar ketertarikan di balik senyum yang mulai terbentuk ketika melihat laki-laki berparas tampan, tegas, menawan dan menggiurkan berjalan melewati mereka.

"Hei rokokmu membakar celanaku" seru seorang suara laki-laki.

"Ma-maaf"

Ichihiro berjalan tenang memasuki tempat yang di singgahinya. Sebuah klub malam. Tanpa mau repot memberi respon dalam bentuk apapun atas pandangan yang tak putus darinya. Ichihiro hanya menampilkan ekspresi datar cenderung dingin. Sebab dia tak ingin terlibat dengan siapapun itu mereka. Sekalipun itu wanita tuna susila yang jelas sudah banyak jasanya di pakai orang. Kali ini dia hanya ingin minum, mungkin.

Sekalipun dia pernah meladeni siapapun mereka, dia tidak suka memakai jasa orang yang sama lebih dari sekali dan malam ini Ichihiro ingin mendapat yang masih tersegel dan bukannya bekasan seperti biasanya, itupun jika dia benar-benar menginginkannya. Jika tidak mungkin dia hanya akan minum dan menikmati malam.

Setiba di pintu masuk dalam, Ichihiro mendapati keadaan bar belum cukup ramai. Walau sudah cukup banyak orang memenuhinya. Hal wajar mengingat malam belum semakin larut dan jelaslah makluk malam belum begitu liar menyambut gempita malam.

Ichihiro juga baru pertama ini mendatangi Mizu's Club. Ichihiro memang bukan seorang awam akan kunjungan ke tempat semacam bar. Hanya saja bar kali ini memang baru pertama ini di datanginya. Tempat dia biasa nongkrong bareng Seiya dan csnya di bar yang berbeda. Malam ini Ichihiro tanpa sengaja menemukan tempat ini. Tidak cukup wah tempatnya memang tapi cukup ramai sepertinya. Dan yah, mungkin menyenangkan.

Ichihiro berjalan semakin masuk sembari menggulirkan mata hanya untuk mencari spot ternyaman versinya dan Ichihiro memutuskan mengambil duduk di bangku tinggi di depan bartender yang masih sepi pengunjung.

"Pesan minum Tuan?"

Ichihiro memandang pramusaji berhelai merah dengan iris hitam yang memakai kemeja putih berpadan rompi hitam. Ichihiro mengangguk.

"Bourbon" sebut Ichihiro.

Sang bartender mengangguk dan segera meracik pesanan pelanggannya. Dengan lihai dia meramu cairan berwarna keemasan itu untuk kemudian menghidangkan gelas bertungkai tinggi itu ke hadapan pria berhelai raven sang pemesan.

"Silahkan Tuan," mengulas senyum tipis terlihat profesional.

"Terima kasih," Ichihiro menyesapnya perlahan, berusaha menikmati minuman yang mulai menyambangi indera rasanya. Setelah menghabiskan segelas bourbonnya dan di lanjut sang bartender mengisinya lagi kemudian, Ichihiro mengambil bungkusan pemberian Seiya sebelumnya. Mengambil sebatang isi di dalamnya hanya untuk kemudian di selipkan di antara belahan bibirnya. Bibir tegas yang sedari tadi sudah begitu di incar kaum penggoda yang memang memandanginya minat dan ingin mencicipi. Sayangnya Ichihiro sudah menolak mereka sebelumnya. Karenanya malam ini Ichihiro benar-benar tak ingin di ganggu. Setidaknya untuk sekarang sebab Ichihiro belum menemukan sesuatu yang menarik minatnya untuk teman satu malamnya.

"Ada pematik?" Pertanyaan Ichihiro berbuah bantuan menyalakan api dari sang bartender dengan cuma-cuma kemudian. Dan lagi-lagi di balas ucapan terima kasih oleh Ichihiro setelahnya. Ichihiro mengulirkan pelan matanya hanya untuk membaca nama sang bartender yang ternyata bername tag 'A. Seijuro'. Sudah begitu saja. Ichihiro lantas membalikkan badannya menghadap belakang. Masih duduk di tempat yang sama hanya pandangannya saja yang teralih ke lantai dansa dimana tempat itu kini mulai ramai sekali. Ichihiro diam memandang tanpa fokus berarti dan tanpa ada niatan berpartisipasi. Dia hanya menyesap batangan tembakaunya kemudian menghembus itu pelan ke angkasa yang akhirnya asap darinya berbaur dengan asap dari pengunjung lain yang sudah membumbung di angkasa terlebih dahulu. Membiarkan telinga terisi dentuman keras musik pemekak pendengaran, Ichihiro larut dalam ketenangan yang di buatnya sendiri.

Ichihiro masih duduk tenang tanpa menyadari sedari tadi, 3 orang, lebih tepatnya hanya seorang yang sangat memperhatikannya intens dengan senyum merekah di bibir berpoles merah delimanya. Seorang wanita berhelai merah darah panjang dengan iris hijau pudar. Dengan sebatang rokok menyelip diantara jemarinya yang lentik. Yang sesekali bibir berpolesnya menyesap pelan penuh penghayatan benda yang serupa kepunyaan Ichihiro. Seorang diantara lelaki yang berdiri disisi kanannya berbisik dan kemudian membuat wanita itu tersenyum semakin senang lalu turun dari kursi tingginya di bantu pria berhelai biru bertubuh tegap hanya untuk menghampiri tamu yang sedari tadi memang di perhatikannya.

Ichihiro berjengit saat abu rokoknya jatuh menimpa celananya karena ada yang meraba dadanya tiba-tiba, Ichihiro mengusapnya cepat sebelum abu itu melubangi celananya kemudian menaikkan pandangan hanya untuk bertemu pemilik mata yang mengumbar senyum. Tanpa dinyana bibir itu mendarat padanya sebelum Ichihiro sempat memberi respon bahkan mengelak.

"Apa yang kau lakukan" Dingin Ichihiro, terganggu dengan sikap agresif wanita itu. Dari penampilan dan juga sikapnya Ichihiro tahu, wanita yang sekarang bukan perempuan murahan yang tadi sempat menyambanginya. Mungkin dia mucikarinya.

"Apa maumu?"

"Seperti dugaanku. Kau dingin, tipeku sekali," Tangan nakal itu masih meraba tubuh Ichihiro yang sangat kencang. Atletis. Wanita itu tersenyum sumringah. Ichihiro diam bergeming, membaca tujuan mucikari itu. Ichihiro ingin melihat, apa dia punya sesuatu yang menarik untuk di tawarkan. Tangan itu menjalar naik, kali ini rahang Ichihiro yang mendapat giliran dan lagi-lagi senyum merekah dari bibirnya. "Tegas dan juga tampan. Sempurna"

Ichihiro sigap berpaling wajah saat menyadari perempuan itu mendekat dan akan mencuri ciumannya lagi hingga menuai rengutan perempuan itu.

"Jika hanya mempermainkanku. Lebih baik kau pergi. Aku tak ingin di ganggu."

Tanpa di duga wanita itu tertawa, tawa yang cukup keras namun tetap anggun dan teredam dentuman musik dari DJ hingga hanya Ichihiro dan orang sekitar dekat saja yang mendengar. Ichihiro memicing.

"Aku memang memprediksi jika kau tipe pria dingin. Hanya saja aku tak mengira sedingin ini," senyumnya. Asap rokok nampak keluar dari bibir tipisnya saat wanita itu menghembus dari mulut terkatup dan hidungnya.

"Perkenalkan aku Takamoto Mei," perempuan itu mengulurkan tangannya yang berjemari lentik berkutek merah yang di sambut Ichihiro sekedarnya tak lama berselang. Kemudian mereka berbincang, lebih tepatnya Mei yang telah ambil duduk di samping Ichihiro yang banyak bicara. Sementara Ichihiro hanya meminum gelas bourbonenya yang kesekian.

"Bos lagi ada masalah ya? Kelihatan stres begitu," ucap wanita bohai itu lagi. Ichihiro hanya diam, tak menanggapi ucapan Mei. Rokoknya sudah dia tenggelamkan di kotak asbak. Ichihiro memang bukan pencandu nikotin berbentuk tembakau itu.

"Bagaimana kalau bos sedikit bermain di sini." tawarnya. Senyum goda tak pernah luntur dari bibir merah merekahnya. Dan lagi-lagi tangan nakalnya meraba Ichihiro. Kali ini punggung sasarannya. Bergerak sensual hingga menggetarkan siapapun yang merasakannya. Tapi Ichihiro terlihat tidak terpengaruh sama sekali. Wanita itu menoleh sebentar pada bodyguard di sisi kanannya yang di balas senyum dari keduanya.

"....disini servisnya mantap loh bos. Saya yakin bos tidak akan menyesal." lanjutnya berbisik di dekat telinga pria muda dan tampan di sampingnya. Meski masih muda, Mei yakin pria ini pria kaya.

Ichihiro mulai memberi atensi pada Mei membuat Mei tertawa saat melihat micro perubahan di mata sekelam malam milik Ichihiro. "Bagaimana? Apa bos tertarik?"

"Aku tidak suka bekas." Ichihiro meneguk habis minuman di gelasnya. Dia merasa gerah. Ichihiro melepas satu kancingnya menemani satu kancing kemeja Ichihiro yang sudah tertanggal sebelumnya. Mei lagi-lagi tertawa yang tidak di hiraukan oleh Ichihiro kini. Ichihiro lebih memilih meminta sang bartender bar untuk kembali mengisi gelasnya yang sudah kosong. Pria itu menyipit kala rasa panas sedikit mengusik tenggorokannya.

"Aku punya barang bagus. Dia baru bekerja di sini. Dan aku jamin dia masih virgin. Apa bos tertarik?"

Ichihiro hanya melirik singkat wanita disampingnya. Lalu menenggak habis gelas minumnya. Dengan isyarat pandangan Mei meminta seorang bodyguardnya mendekat dan membisikkan sesuatu membuat dua bodyguard yang sedari tadi menemaninya beranjak pergi setelahnya. Dan tak berapa lama berselang kembali bersama seorang perempuan yang sedikit meronta dalam tarikan di lengannya.

"Bos lihat, bagaimana?" Mei turun dari kursi tinggi itu kemudian merangkul kedua bahu salah satu calon pekerja tunasusilanya kepada pelanggan tampan istimewanya.

Ichihiro mau tak mau menoleh. Kemudian matanya dengan jeli meneliti perempuan yang di tawarkan sang mucikari dari atas sampai bawah. Perempuan berhelai kuning gelap yang di sanggul rapi dengan poni dan anak rambut mengikal membingkai wajah ovalnya. Pakaian minim sewarna gulita pas badan yang memeluk tubuh semampainya dari dada sampai seperempat diatas pahanya. Serta sepatu stileto yang menghiasi jenjang kakinya yang juga berwarna senada. Matanya bisa melihat bahwasannya perempuan itu nampak tidak nyaman. Semua itu terlihat jelas dari gestur dan gerak kakinya. Pandangan Ichihiro kembali naik. Sayangnya, Ichihiro tak dapat melihat rupa si gadis karenanya dia terus menunduk sedari tadi.

Mei yang menyadari sikap calon pundi uangnya, mengangkat dagu si gadis dengan ujung jarinya agar naik. Ichihiro menarik sudut bibirnya. Tipis. Sangat tipis. Mei yang seakan tengah berkomunikasi dengan Ichihiro barusan tersenyum sumringah. Sepertinya pelanggannya tertarik.

Ichihiro pandangi bola mata si perempuan. Hanya dua detik karena perempuan itu memilih menghindarinya yang tentunya tak di biarkan oleh Mei.

Ichihiro meraih tangan itu lantas mencium punggung tangannya.

"Siapa namamu manis?"

Ichihiro bisa merasakan tangan yang di genggamnya sedikit gemetar, terasa dingin dan berkeringat. Gadis itu sempat terdiam 3 detik sebelum menoleh ke samping, kearah Mei. Mei tersenyum namun mata itu mengancam. Lewat tatapan meminta si gadis menjawab pertanyaan yang terlontar.

"Na....," Gadis itu gugup. Dia tampak berpikir sejenak.

"Runa....nama saya Runa Tuan," akhirnya gadis itu menjawab dan memejamkan mata rapat setelahnya.

"Nama yang bagus," Ichihiro memberi senyum palsu membuat sang gadis menelan paksa ludahnya melihat itu. Senyum itu terlihat mengancam. Sama seperti kepunyaan Mama Mei namun lebih dingin membuatnya bergidik.

Ichihiro berdiri tanpa melepaskan genggaman tangannya pada gadis yang di ketahuinya bernama 'Runa'. Sementara tangan yang lain, Ichihiro lingkarkan di pinggang ramping si gadis. Meremasnya pelan dan mesra kemudian menarik tubuh itu agar merapat padanya. Perempuan itu terkesiap pelan kemudian memandang sang pelanggan. Safirnya langsung bersirobok dengan pria pemilik mata gelap yang memandangnya tanpa ekspresi. Gadis itu lagi-lagi harus menelan ludah gugup. Mata itu memancar sangat dingin, mematikan namun juga begitu....menghanyutkan.

Buru-buru gadis itu merunduk. Kini dia rasakan dadanya kian meletup-letup campuran dari rasa takut dan terpesona secara bersamaan. Laki-laki yang tengah merengkuhnya ini benar-benar memiliki pesona yang luar biasa hingga gadis lugu sepertinya pasti akan mudah terpedaya.

"Hn, aku ambil," putus Ichihiro membuat senyuman Mei terilis untuk kesekian kali.

Mei memandang amplop coklat yang di terimanya dari Ichihiro. Iris matanya terbuka lebih.

"Hei bos, ini terlalu banyak." seru Mei heran akan segepok uang yang di sodorkan Ichihiro ke dadanya tadi. Ichihiro tidak menjawab. Pria itu terus berjalan menjauh sambil menarik, gandeng tangan perempuan pekerja tunasusila yang tadi di tawarkan Mei melewati lantai dansa hingga akhirnya keluar dari bar tersebut. Perempuan itu setia diam mengikuti langkah pria yang membawanya sampai parkiran dan menghampiri sebuah mobil mewah sewarna hitam. Dia tetap diam sampai akhirnya lelaki itu membukakan pintu samping kemudi lantas memerintahnya masuk melalui pandangan. Gadis itu menurut dan mendudukkan diri disana. Berusaha merilekskan diri dan mengatur degupan jantungnya. Ini kali pertama dia bersinggungan fisik dengan pria. Jelas efeknya sangat luar biasa baginya.

Usai menutup pintu, Ichihiro memutari mobil depannya lalu memasuki pintu kemudi dan duduk disana lantas melajukan mobilnya kemudian.

Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan. Ichihiro sepertinya tak berniat hanya sekedar berbasa-basi. Begitupun si gadis yang jelas bingung untuk membuka topik. Secara mereka tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas pelanggan dan pelayan. Itupun hanya berumur singkat. Setidaknya itulah yang di pikirkan sang gadis.

Si gadis yang sedari tadi memperhatikan jalanan merasa heran ketika si pria justru menghentikan laju mobilnya di pelataran sebuah minimarket 24 jam.

"Tunggu disini," tanpa menunggu respon, Ichihiro keluar dari mobilnya. Gadis itu diam menurut dan duduk di tempatnya. Tak berapa lama Ichihiro kembali. Gadis itu mau tak mau melirik kantung belanjaan si pria yang telah tergeletak diantara mereka, dimana itu berisi minuman kaleng. Bir. Cukup banyak. Dan beberapa coklat dan snack.

"Namaku Ichihiro," gadis itu memandang si pria atas kalimat kedua di mobil yang dia ucapkan meski tanpa menoleh.

"Siapa namamu?" Lanjutnya, tangannya yang tak berada di roda kemudi Ichihiro gunakan untuk memegang kaleng bir dan meminumnya setelah segel terbuka.

Gadis itu mengeryit.

"Bukankah saya sudah memberitahunya tadi? Apa Tuan tidak ingat?"

"Katakan yang sejujurnya," Ichihiro memberhentikan lajur mobilnya kemudian memandang si gadis intens. Gadis helai pirang yang memakai pakaian minim itu kembali gugup. Hawa berat dalam mobil menyergapnya tiba-tiba.

"A-apa maksud Tuan?"

"Perlukah kuraih kejujuranmu dengan caraku."

Gadis itu merapat ke pintu kala Ichihiro mendekat setelah melepas safe beltnya.

"Tu-tuan...," Gadis itu gemetaran begitu wajah tampan pelanggannya sudah tepat berada didepannya. Hidung mereka bahkan sudah saling bersinggungan. Gadis itu praktis merunduk.

"Katakan."

Suara itu bernada perintah tanpa memperbolehkan bantahan sedikitpun. Jemari panjang yang menarik dagunya memaksanya mendongak.

"Ba-baiklah....ta-tap-tapi bisakah T-tuan kembali duduk di tempat Tuan?"

"Kenapa memangnya?"

Jantung gadis itu kian mengencang. Bahkan telinga sensitif Ichihiro mendengarnya begitu jelas.

"Lagipula....," tangan Ichihiro menyapu lambat satu lengan si gadis dari siku terus naik sampai akhirnya berlabuh di pipi untuk menangkupnya hingga helaian rambut si gadis terselip di antara jemari panjangnya.

"Bukankah sebentar lagi kita akan jauh lebih dekat dari pada ini, hn."

Gadis itu yang tadi memejam mata rapat dan merasakan rasa rinding kini membeliak seketika. Kala sebuah benda kenyal dan hangat menyapa bibirnya yang tengah menutup. Hanya menempelkan tak lebih.

"Tu-tuan."

Ichihiro bergeming walau gadis itu menggeliat dan sempat mendorongnya kuat. Sepertinya Ichihiro sudah memprediksi akan reaksi si gadis selanjutnya jadi Ichihiro telah mengantisipasi.

"Katakan...jangan sampai aku mengulangnya untuk ketiga kalinya."

Lagi-lagi gadis itu harus membeliak ketika Ichihiro menyentuh lehernya. Lebih tepatnya benda berbandul yang menggantung disana. Kalung yang berukirkan nama kecilnya. Benar, dia sampai lupa ada bukti konkrit disana. Sekarang sudah tidak ada alasan untuknya mengelak. Mengambil napas perlahan, gadis itu lantas berbisik.

"T.... Ta... Takegawa...Nanami."

Ichihiro tersenyum singkat. Sangat singkat. Begitu singkatnya Nanami bahkan sampai tak menyadarinya. Gadis itu hanya memandang heran dalam diam. Laki-laki disampingnya benar-benar aneh namun kelegaan didapatinya begitu Ichihiro kembali duduk ke tempat semula.

"Minum ini," Ichihiro menyodorkan kaleng bir yang tadi di minumnya. Nanami mengeryit.

"Terima dan lekaslah minum. Aku tak menerima alasan."

Nanami jelas gugup namun tetap menerimanya. Diam-diam matanya melirik kantung belanja si pria tampan.

Minuman masih banyak kenapa aku di beri bakasannya. Seperti aku istrinya saja, menggerutu memang tapi Nanami tetap meminumnya. Begitu tegukan pertama di lakukannya didalam kabin mobil yang gelap pipi Nanami memerah. Dia baru sadar, dengan dia meminum dari tempat yang sama dari mulut Ichihiro berarti tanpa sengaja mereka telah berciuman. Tapi....bukankah tadi Ichihiro juga telah mengecupnya? Uh, Nanami pun tambah malu.

Jangan berlebihan Nanami. Bahkan setelah ini kau pun akan di ciumnya entah untuk keberapa kali.

Sementara Nanami sibuk dengan pemikiran melompat-lompat. Ichihiro terlihat duduk tenang memandang jalanan ramai tak berarti tanpa melepaskan fokus kemudinya. Lampu jalanan luar yang memflash wajah Ichihiro mengundang uluman senyum dari Nanami yang memperhatikan dari sisi diam-diam.

chapter 3

"Kak kau dimana?"

'di kantor."

"Cepat kemari."

'Memangnya kenapa.'

"Temani aku."

'Kau bukan anak kecil lagi. Jadi tidak perlu di temani pria dewasa.'

"Tapi aku bungsu."

'Aku juga bungsu.'

"Tapi aku yang paling bungsu diantara bungsu bersaudara dan tentunya yang paling tampan," nada narsisme. Di sebrang telpon sang lawan bicara memutar jengah.

'Kalau kau menelpon cuma bernarsis begitu kututup telpon—'

"Tunggu," cegahnya cepat.

'Apalagi,' kesalnya.

'Awas kalau tidak penting.'

"Ichihiro tidak ada di kantor, kak. Dia...dia di culik," ujarnya terdengar gusar. Dia menggigiti kuku ibu jarinya.

'Apa?!'

"Oleh siluman Kitsune."

'Hah?!' Makin kagetlah suara di sebrang atas informasi tidak masuk akal yang di terimanya.

'Dengar Shinji, tidak ada di kantor bukan berarti di culik. Jangan bergurau! Tidak lucu tau. Lagipula mana ada siluman di jaman sekarang,' suara di sebrang terdengar kesal.

"Aku serius," mata hitam itu bergulir resah.

"Tadi malam aku bermimpi Ichihiro di culik perempuan pi...rang, cantik memang. Tapi...tapi tetap saja dia telah menculik Kakakku. Aku tidak rela pokoknya. Dan terbuktikan pagi ini Ichihiro tidak datang."

'Jangan menakuti Shinji. Jelas itu istrinya.'

"Siapa yang menakuti. Aku serius. Dan dia yang ada di mimpiku bukan istrinya."

'Sudahlah kututup telponmu.'

"Hei tunggu Sei—" Shinji berseru kalap.

Tut Tut Tut

"ya."

"Ck, beraninya dia menutup telponku."

Shinji kembali menyentuh beberapa digit angka di ponsel pintarnya untuk menghubungi ulang tapi jawaban sang operator yang di terimanya kini.

"Brengsek! Di kira aku bercanda apa," Shinji kini ganti menghubungi Ichihiro namun lagi-lagi suara operator yang di terimanya.

"Sialan kau kak. Hari ini pasti kau bolos," Shinji uring-uringan padahal baru kali ini saja Ichihiro absen kerja. Pria itu berjalan keluar. Terpaksalah dia yang harus tangani meeting. Malah kliennya kali ini terkenal alot lagi.

Ck, double shit!

***

Nanami mengerjap sekali membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya. Matanya memandangi lamat-lamat kursi kemudi yang telah kosong. Pria yang semalaman bersamanya di mobil tidak ada. Nanami mengedip sekali dan terkesiap membenarkan posisinya yang tadi duduk menyender menjadi tegak.

"Ini dimana...dan kemana dia," gadis itu mengedarkan pandangan. Dan menyadari dirinya berada di tempat cukup sepi. Sudah ada kendaraan yang lewat memang namun masih jarang. Ini masih terlalu pagi. Kabut sisa semalam masih setia menyelimuti alam. Tempat ini cukup asing. Nanami sendiri tidak tahu dirinya persis berada dimana sekarang. Seingatnya tadi malam Ichihiro terus melajukan mobilnya yang entah mau kemana. Nanami sebagai penumpang yang baik hanya bisa diam menurut tanpa banyak bicara. Dan hal terakhir yang di ingatnya mobil Ichihiro meluncur meninggalkan kota dan berarti kini mereka berada di luar kota.

Nanami kembali menjelajahkan matanya dan barulah menemukan sosok lelaki yang memang tengah di carinya. Pria itu tengah memunggungi arahnya. Alis rapinya yang pirang menukik pelan, tak mengerti yang tengah di lakukan pria itu. Ichihiro, tidak tahu sedang apa disana. Di tanah lapang cukup luas dengan rerumputan mengering menutupi permukaan. Pria itu tengah mengawasi sepertinya.

Nanami berniat keluar untuk menyusul namun terurung ketika dilihatnya Ichihiro berbalik kemudian berjalan kearah mobil dan masuk kembali ke dalam mobil.

"Kau sudah bangun," itu kalimat sapaan pertama dari Ichihiro. Nanami mendadak merasa melankolis.

Apa yang kau harapkan memangnya?

Gadis itu hanya mengangguk menjawabnya. Kemudian mobil kembali meluncur dan entah akan kemana lagi Ichihiro, Nanami tidak tahu. Diam-diam benak Nanami bertanya. Kenapa Ichihiro justru mengajaknya jalan-jalan begini? Bukankah seharusnya mereka bercinta? Dan urusan mereka selesai setelahnya. Sudah begitu saja. Bukannya apa Nanami berpikir begitu, tapi memang bukannya selazimnya begitu? Dia tidak tahu. Ichihiro ini pria yang aneh....sepertinya.

"Ayo turun."

Nanami menatap sekitar. Lagi-lagi Ichihiro membawanya ke tempat yang tak di kenalinya membuatnya makin kebingungan.

"Kau tidak mau? Baiklah kau tunggu disini saja," lanjut Ichihiro akan diamnya Nanami yang justru terus memandanginya.

"Tidak. Aku ikut," sergah Nanami dan ikut keluar dari mobil Ichihiro. Nanami masih berdiri disisi pintu penumpang mobil Ichihiro yang telah di tutupnya. Hanya bola matanya saja yang mengikuti langkah Ichihiro yang menuju pinggiran sebuah danau dengan kedua tangan di saku celana. Danau yang airnya hampir rapat tertutupi dedaunan sewarna kemerah-merahan dari pohon mapel maupun momiji yang berguguran disisi kanan-kirinya.

"Kenapa masih di situ. Kemarilah."

Lagi-lagi Nanami menurut lalu melangkahkan kaki berbalut tumit tinggi untuk menghampiri Ichihiro dan berdiri di samping pria itu. Angin yang berhembus cukup kencang membuat Nanami secara alami memeluk diri. Ini penghujung musim gugur dan sebentar lagi saja memasuki musim dingin. Pantaslah udara dingin sudah begitu kentara. Nanami menyelipkan anak rambutnya yang menari karena tak terikat ke belakang daun telinganya.

"Tu-tuan...," Nanami memandangi Ichihiro yang menyampirkan jasnya di kedua bahu kurusnya.

"Padahal kau cukup tinggi kenapa masih saja tenggelam memakai jasku."

Nanami tiba-tiba merasa sewot. Itu karena kau yang terlalu tinggi! Nanami jadi sebal sendiri.

Lihat saja dirinya yang memiliki tinggi 163cm saja masih harus mendongak berlebihan hanya untuk memandang wajah Ichihiro jika mereka sedang berdiri berhadapan seperti sekarang. Nanami memang tidak tahu persisnya berapa tingginya badan Ichihiro. Tapi gadis itu bisa memprediksi kasar, mungkin tinggi Ichihiro antara 183cm sampai 185cm. Dan memang pada kenyataannya Ichihiro tumbuh bongsor. Di usianya yang ke-13th, dia sudah memiliki tinggi 165cm, kemudian sewaktu berumur 21th, tingginya mencapai 178cm. Dan kini di usianya memasuki awalan 30an, tingginya masih saja terus bertambah. Mudah-mudahan setelah ini Ichihiro tidak akan bertambah tinggi lagi atau kalau tidak, dia akan di sebut raksasa.

Kesal memang akan kalimat Ichihiro namun Nanami menoreh senyum di permukaan berusaha memaklumi karena secara harafiah Ichihiro baru saja mengatainya mungil atau bahasa kasarnya pendek. Padahal semasa sekolahnya dulu, beberapa teman seangkatan maupun seniornya malah memanggilnya tiang listrik berjalan.

"Duduklah disini," Ichihiro menepuk pelan kayu disisinya berharap si gadis yang dari tadi melamun mengikuti jejaknya. Nanami berdehem pelan. Lagi-lagi karena banyak melamun, dia tak sadar Ichihiro sudah bergerak. Kini pria itu tengah duduk di sebatang pohon di hadapan danau yang terhampar. Nanami mengambil duduk tak jauh di sisi Ichihiro. Dan kembali berdehem, pelan. Sekedar untuk mengurangi rasa gugupnya. Seandainya mereka sepasang kekasih. Ini bisa di katakan kencan. Jelas Nanami yang baru pertama ini mengalaminya merasa gugup luar biasa. Dia memang tak banyak berkomunikasi dengan laki-laki. Hanya tetangga flatnya. Dan itupun cuma satu-satunya. Nanami memang pribadi yang cukup menutup diri. Dia minder. Semua itu karena status sosialnya. Lagipula memangnya siapa yang mau berteman dengan gadis kumal, dekil dan miskin sepertinya. Sekarang saja ini dia agak sedikit berbeda. Itupun berkat permak penata rias atas perintah mama Mei. Jadinya dia kelihatan seperti Cinderella sekarang.

"Tuan, kenapa Anda malah membawa saya kemari? Bukankah seharusnya Anda membawa saya....," Nanami tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Jangan terlalu formal. Panggil saja Ichihiro," lama-lama Ichihiro risih juga jika terus di panggil Tuan.

"Gousiji-sama,"

"Terlebih yang itu," larangnya lagi. Kali ini lebih keras. Ichihiro memandang lurus mata Nanami untuk sesaat.

"Lagipula kau bukan pelayanku," sambungnya memandang danau didepannya.

"Bukankah saya memang pelayan Anda," Nanami mengarti di kalimat pelayan yang di ucapkannya.

Ichihiro menoleh dan pandangan mereka terkunci dalam 5 detik.

"Itu untuk hal lain."

Hening berbahasa dari keduanya cukup lama. Ichihiro sepertinya tak berniat membuka percakapan lagi. Nanami pun begitu. Dia tak tahu topik apa yang akan di angkat. Jadi Nanami memutuskan diam saja menemani 'Tuan'nya yang mungkin hanya sedang butuh kesunyian. Lama mereka disana tanpa suara. Hingga angin yang terus berhembus memaksa Nanami merapatkan jas Ichihiro ke tubuh kurusnya. Segeralah semerbak wewangian maskulin dan menyegarkan parfum Ichihiro yang tertinggal memenuhi indera baunya membuat Nanami tersenyum dalam diam. Jantungnya lagi-lagi berdentum. Untuk kesekian kali, dia memakai bekasan Ichihiro. Dan itu mendebarkan.

"Kau suka coklat."

Nanami bergumam pelan memandang Ichihiro dengan alis sedikit terkerut. Dia belum mengerti.

"Ini ambillah."

"Kenapa Tu— Ichihiro memberikanku coklat. Ini bukan Valentine kan?"

"Ambil saja kalau kau memang mau."

Ragu-ragu tangan Nanami terulur juga menerima sodoran batangan coklat yang berbalut kemasan dari tangan Ichihiro.

"Terima kasih,"

Tuk

Nanami merasakan pelan-pelan dari coklat yang di kecapnya. Ada rasa manis bercampur sedikit pahit menyempil di lidah perasanya tapi tetap enak. Nanami kembali menggigitnya ketika gigitan pertama sudah di telannya. Coklat itu sudah hampir habis. Sepertinya Nanami memang lapar. Tak salah Ichihiro memberinya coklat. Tapi akan lebih bagus kalau Ichihiro memberinya coklat panas di cuaca sedingin ini, tiba-tiba Nanami merasa dirinya begitu serakah karena menginginkan lebih.

"Itu tidak gratis."

"Apa?!" Nanami terkejut tentu saja.

"Kau harus membayar atas apa yang kau makan bukan?"

Tidak menyangka ternyata Ichihiro orang yang sangat perhitungan.

"Aku akan membayarnya jika white day kalau begitu," itupun kalau aku bisa bertemu denganmu lagi, Nanami membatin kecut.

Ichihiro diam tapi wajah datarnya melunak dan itu membuat perut Nanami tergelitik menyenangkan. Berlebihan sekali padahal Ichihiro hanya sedikit mengubah air mukanya, Nanami merasa dirinya terlalu melankolis dan terbawa perasaan. Sedikit saja respon dari Ichihiro efeknya begitu luar biasa untuknya atau mungkin setiap perempuan yang menerimanya. Benar-benar menakjubkan.

"Aku hanya bercanda. Kau menanggapi serius sekali,"

Lagi-lagi Ichihiro berujar datar. Tiadakah ekspresi lain yang kau miliki?

"Salju?" Nanami menengadah dan terlihatlah butiran-butiran putih dari langit yang mulai turun.

"Salju pertama ya," Ichihiro bergumam dan ikut melihat langit.

"Hu'um," Nanami terlihat bahagia sekali. Gadis itu tertawa. Tawa yang bebas layaknya anak kecil yang begitu mengagumi salju membuat Ichihiro memandangnya diam.

Nanami menengadahkan tangan. Membiarkan butiran itu memenuhi telapak tangannya. Ichihiro masih diam memperhatikan sebelum utasan senyum setipis benang tanpa disadari Nanami bahkan sang empunya, tercipta begitu saja.

"Ayo kembali."

"Hah," Nanami memandang Ichihiro terlihat tidak rela. Ini kali pertama dia menyaksikan salju dengan hati begitu lepas. Tidak seperti biasa yang berpanggul beban.

"Kau sudah kedinginan," Ichihiro berdiri kemudian mengarahkan pandangan kearah kepala dan paha Nanami.

"Dan penuh salju."

Nanami terkesiap. Dia baru sadar setelah memeriksa keadaan dirinya. Dia pandangi Ichihiro beberapa waktu. Anehnya kenapa Ichihiro tidak. Badannya bersih dari salju. Hanya beberapa rintik di pundaknya membuat Nanami merasa terlihat begitu menyedihkan karena di penuhi salju. Bahkan mulut dan wajahnya. Lucu sekali. Nanami buru-buru menghapus butiran salju di area mukanya. Ichihiro tetap memasang ekspresi sama. Datar.

"Mau sampai kapan kau melamun? Apa kau memang seorang yang senang melamun," tegur Ichihiro melihat diamnya Nanami dengan pikiran mengelana.

Buru-buru Nanami tersadar. Pipinya memanas. Dia malu sekali.

"Persik."

"Apa?."

"Apa," alis Ichihiro terkeryit.

"Kau tadi mengatakan apa?"

"Aku tidak mengatakan apapun."

"Tidak, tadi kau mengatakannya."

"Mungkin hanya salah dengar."

"Tidak mungkin, jelas-jelas kau tadi mengatakannya."

"Perasaanmu saja. Aku tidak mengatakan apapun kok."

Nanami mengatup mulut. Sepertinya percuma beradu argumen dengan Ichihiro. Dari pada memperpanjang masalah lebih baik dia diam saja.

"Ugh kenapa banyak sekali," Nanami menggerutu karena tubuhnya hampir seluruhnya tertimbun salju. Benar-benar memalukan.

"Hei, jangan mengeluarkan tanganmu begitu. Bahaya, bagaimana kalau sampai ada mobil yang lewat," tegur Ichihiro melihat Nanami mengibas-ngibaskan jasnya untuk melunturkan salju yang menempel keluar dari kaca mobil.

"Ma-maaf,"

"Hn, jangan mengulanginya lagi."

Ponsel Ichihiro yang belum lama di aktifkannya berdering membuat Nanami ikut mengalihkan perhatiannya.

"Hn,"

'Kau dimana?'

Nanami bisa mendengar jelas suara si penelpon walau Ichihiro tidak meloadspeakernya.

"Jalan."

'Di jalan mana?'

"Jalan kehidupan."

'Jangan seperti Kenzi, Ichi.'

Suara di sebrang meninggi terdengar kesal. Mau tak mau membuat Nanami tersenyum. Ichihiro meliriknya sebentar.

"Ada apa memangnya."

'Seiya bilang kau bolos. Benar?'

"Dapat isu dari mana pula itu."

'Ichi!', suara itu menghardik halus, tapi jengkel. Wajah Ichihiro melunak samar. Nanami menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tertawa walau tanpa suara.

'Tunggu...apa kau bersama.....seseorang.'

"Kenapa kau berpikir begitu?" Ichihiro heran juga dengan analisa jarak jauh sepupunya. Mendengar suara pun tidak. Jadi, kenapa sepupunya yang rada aneh itu bisa memprediksi.

'Aku memang tak bisa merasakannya. Hanya saja aku tiba-tiba.... menciumnya,' suaranya terdengar sangsi.

Ichihiro mengeryit. Apa ponsel bisa mengeluarkan bau? Atau sepupunya hanya asal bicara?

"Kupikir kau bukan Kenzi."

'Aku memang bukan Kenzi, aku Okito,' Gerungan terdengar. Ichihiro kembali melunakkan wajah. Mengganggu Okito memang salah satu kesenangannya juga walau wajahnya tetap terjaga datar.

'Kenapa sih dari tadi kau menyebut Kenzi terus. Kangen ya,' ledekan itu terdengar jadinya.

"Tidak, buat apa. Yang ada nanti kau cemburu."

'Brengsek! Aku sudah punya Ryoko tau.'

"Siapa Minggu kemarin yang lunch bareng di cafe."

'Itu kami bertemu klien bodoh!' terdengarlah amukan di sebrang. Ichihiro semakin senang di buatnya. Senang membuat Okito marah maksudnya.

'Hoi baka-Chi, cepat katakan siapa orang di sampingmu itu.'

Ichihiro melirik Nanami. Lantas pria itupun bergumam seperti berbisik hingga hanya Okito saja yang mendengarnya.

"Little fox."

'Apa.'

"Tak ada pengulangan."

'Aku memastikan bukan bertanya.'

"Ya terserah," Ichihiro mulai malas.

"Sekarang to the point, ada apa menelponku."

'Oh itu, kau sudah melihat lokasi proyeknya.'

"Hn,"

'Hn, apa pula itu.'

"Sudah gaki-Kei."

'Sopan sedikit tengil. Dia pamanmu bodoh,' Okito jadi sewot.

'Ya sudahlah dan baguslah kalau kau sudah melihatnya, jadi ada gunanya walau kau mangkir.'

"Hei," protes berat Ichihiro.

'Bye ya, aku tutup.'

Pip.

Ichihiro menatap nyalang telponnya. Lebih tepatnya pada si penelpon barusan.

Kalau seandainya dia kenalan Ichihiro, ingin rasanya Nanami bertanya tapi tidak, dia tahu batasan dan statusnya. Dia hanyalah orang asing yang sama sekali tak berhak mengikut campuri.

"Dari sepupuku."

Tapi sepertinya Ichihirolah yang sukarela membaginya tanpa dia minta sekalipun. Rasa haru menyusup hati Nanami. Tidak tahu mengapa, dia merasa memiliki keluarga lagi sekarang atau setidaknya teman.

"Ada apa dengan wajahmu, apa ada yang salah yang aku ucapkan."

"Tidak," Nanami menyeka air mata yang sudah nakal menitik di sudut.

"Aku bahagia. Terima kasih."

Ichihiro mengejap. Dia sama sekali tidak mengerti yang Nanami ucapkan tapi Ichihiro memilih bergumam.

"Hn."

Sibuk mengurusi urusannya sendiri Ichihiro sampai lupa akan tanggung jawabnya atas seseorang. Nanami. Benar. Ichihiro lupa kalau dia sedang tidak sendirian. Dia membawa seseorang. Seorang perempuan lebih tepatnya. Sementang dirinya tidak lapar dia mengabaikan orang lain.

Ya ampun, apa sekarang dirinya sudah menjadi orang yang benar-benar dingin dan tidak memiliki keperdulian.

Ichihiro memang sudah biasa telat makan atau tidak makan barang sehari pun dia tak masalah. Tapi Nanami. Jelas beda lagi. Dia tak boleh menyamakan kekuatan fisiknya dengan orang lain. Siapapun itu. Karenanya Ichihiro melirik Nanami. Gadis itu masih duduk manis di tempatnya. Satu lengannya berada di perut. Gadis itu menyandar kepala ke kaca jendela dengan fokus keluar. Dan Ichihiro bisa sangat tahu kalaulah gadis itu lapar. Lihat saja hari sudah beranjak sore. Dan mereka belum makan sama sekali. Hanya sebatang coklat yang mengisi perut Nanami tadi. Sepertinya Ichihiro perlu singgah ke tempat yang mengharuskannya makan. Dari pada itu pakaian Nanami juga lembab akibat salju. Ichihiro memandang jalanan yang di laluinya. Mereka sudah sampai. Syukurlah. Tidak memakan waktu lama lagi untuk singgah berarti. Belasan menit berlalu Ichihiro pun membelokkan kemudinya ke sebuah hotel. Ichihiro memang sengaja tidak memilih yang berkelas. Ada banyak mata di tempat tinggi yang sudah tahu siapa dirinya. Karenanya dia ingin menghindari seminimal mungkin. Ichihiro tak mau hanya karena dirinya bersama seorang wanita asing saingan bisnisnya jadi melebarkan taringnya. Bukan apa-apa bagaimana pun juga Ichihiro harus memperhatikan keselamatan gadis yang memang tidak seharusnya tak terlibat dalam sesuatu yang tidak perlu. Juga Ichihiro tak ingin nama baiknya menjadi hot topik media. Sebagai orang yang berpengaruh memang banyak hal yang harus di hindari.

Setelah memarkirkan mobilnya Ichihiro segera cek in di hotel tersebut dan meminta kunci inap pada sang resepsionis yang akhirnya memberinya nomor 303.

"Kau tunggu disini. Jika ada yang menekan bel dan membawa makanan kau makanlah dulu. Aku perlu keluar sebentar," tanpa menunggu respon, Ichihiro yang sudah berada didalam kamar hotel beranjak pergi meninggalkan Nanami yang diam patuh kemudian menutup pintu setelah Ichihiro menghilang dari jarak pandangnya. Gadis itu menghela napas. Dia pandangi penjuru kamar yang akan tempatinya. Cukup luxury menurutnya. Ada sebuah tempat tidur di tengah ruangan berkanopi dan berbantal putih yang mungkin hanya muat untuk dua orang. Satu set sofa berbentuk U dengan meja kaca di tengahnya, jendela geser yang mengarah ke balkon. Kemudian ada sebuah pintu di sisi kiri dekat pintu masuk yang Nanami yakini kamar mandi. Dan juga beberapa ornamen juga perabotan. Tidak terlalu penuh tapi berisi. Nanami yang merasa kedinginan memilih melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Dia perlu membersihkan diri sebelum nantinya menghangatkan badan.

Selepas melucuti semua pakaiannya Nanami mengguyur tubuhnya dengan guyuran air shower hangat. Memberi shampo di rambut pirangnya kemudian memenuhi dirinya dengan busa sabun beraroma begitu wangi di sekujur tubuh tanpa terlewatkan seruaspun. Membersihkannya dengan begitu hati-hati dan teliti. Dalam diam air mata itu tiba-tiba bergulir. Sebentar lagi saja semua yang di milikinya ini, satu-satunya harta kepunyaannya, akan dia serahkan pada lelaki yang sudah menyewanya. Nanami terisak cukup keras. Perempuan itu menutup mulutnya kuat-kuat. Menahannya untuk tidak menjerit sekencang-kencangnya. Ada ketidakrelaan di hatinya tapi semua itu atas mau dirinya sendiri semula. Dia yang sudah memilih memasuki lembah kotor ini. Tak ada jalan untuk keluar kini. Karenanya dia sudah terlanjur masuk. Mau tidak mau, suka tidak suka dia harus hadapi. Seberapa berat pun itu. Seberapa tidak inginnya hati ini, dia tidak bisa mengambil jalan berbalik. Dia sudah sejauh ini. Kalau dia memilih kembali maka belum tentu akan mudah masuk ke tempat yang sama. Sementara sekarang dia sedang sangat membutuhkan banyak uang memasuki pundi uangnya.

Cukup lama berada didalam kamar mandi barulah Nanami keluar dengan jubah mandi berwarna putih dan handuk yang membungkus rambut keemasannya yang panjang. Setibanya di kamar mata birunya yang bening langsung tersuguh hidangan hotel di meja bufet. Nanami menoleh ke pintu, berarti sudah ada pegawai yang masuk dan dia tak tahu. Ceroboh sekali, kenapa dia tak mengunci pintunya tadi. Bagaimana kalau orang jahat yang masuk. Bukankah akan merepotkan. Nanami bergerak mengunci pintu akhirnya. Kemudian barulah melangkahkan kaki menuju tempat tidur dan duduk di tepinya. Dia pandangi menu makannya yang tersaji untuk sesaat. Nasi putih dalam mangkuk kecil, sepiring kare, tempura, telur gulung isi daging sayur, sushi tuna, udang goreng, rebusan sayur, potongan buah dan teh hijau panas yang mengundang perut untuk keroncongan. Karenanya Nanami ingin segera mencicipinya untuk mengisi lambungnya yang memang sudah menjerit sedari tadi. Nanami mengatup tangannya dan berucap 'selamat makan' pelan kemudian mulai menyumpit nasi di lanjut udang goreng yang terlihat crispy. Mengunyahnya pelan-pelan kemudian tersenyum seusai menelan. Lalu Nanami mulai menyumpit yang lainnya seperti sushi tuna dan menu berikutnya yang lain. Semua tidak terlewat dan tandas dalam beberapa waktu saja.

"Ugh aku sampai tak menyisakannya sedikitpun. Ini terlalu lezat aku bahkan sampai tidak bisa berhenti."

Bola biru itu bergulir ke arah pintu.

"Kenapa Ichihiro belum kembali juga," keningnya berkeryit. Nanami melepas handuk di kepalanya dan mulai mengeringkan rambutnya. Dalam diamnya pikiran Nanami kembali berkelana. Gadis itu menelan ludah gugup ketika sebuah pemikiran menghampirinya.

"Ichihiro sampai memberiku makanan sebanyak ini. Apa dia ingin aku kuat....di ranjang...?"

Dan gumaman Nanami di jawab akan ketukan di pintu. "Jantungku" Nanami memegang dadanya yang berdebar tak karuan. Dengan langkah akan pemikiran gadis itu berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Ichihiro."

Tubuhnya terdorong mundur oleh tangan Ichihiro setelah pria itu menutup dan mengunci pintu. Mereka berpandangan lama. Nanami meremat jubah mandi hotel yang dia kenakan di bagian dada. Kemudian leher Ichihiro merendah menghampirinya dan ciuman itu segera terjadi. Nanami sedikit gemetar namun tidak berusaha melawan. Dia memejamkan mata rapat. Tidak menyangka Ichihiro akan langsung seagresif ini. Ciuman yang tak bisa di bilang singkat itu terlepas. Nanami membuka mata. Dia melihat napas Ichihiro memburu, sama sepertinya. Pandangan lelaki itu juga menggelap membuat Nanami menelah ludah gugup. Ichihiro merangsek ke batang leher Nanami, kedua tangan yang sedari tadi berada di pinggulnya membimbingnya berjalan mundur untuk kemudian mendarat di tempat tidur dengan Ichihiro yang menimpanya. Detik berikutnya dua insan berbeda gender itu saling menghangatkan diri satu sama lain dengan batin si wanita yang penuh akan pemikiran berkelumit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!