NovelToon NovelToon

Serial The Van Til House: STRAF SABBAT

Proloog

Van Til Hogeschool adalah sekolah menengah kejuruan milik grup perusahaan perkebunan yang dulunya milik tuan tanah asal Belanda, Mr. Stiller Van Til.

Bangunan sekolah itu dulunya rumah tinggal keluarga besar Van Til---pemilik tanah perkebunan karet dan kelapa sawit terluas di pelosok Banten. Tapi setelah negeri ini menyatakan kemerdekaannya, kaum kompeni pun diusir pulang ke negerinya dan perkebunan itu resmi menjadi milik negara. Rumah itu kemudian dijadikan rumah dinas untuk para staf dan mandor besar perkebunan yang bermutasi ke desa ini.

Sekarang rumah itu tak berpenghuni. Tak seorang pun berani menempatinya lagi setelah serangkaian peristiwa yang menewaskan banyak orang.

Tapi bangunan itu masih digunakan sebagai kantor administrasi perkebunan, koperasi, klinik, sekolah taman kanak-kanak dan sekolah menengah kejuruan---Van Til Hogeschool.

.

.

.

Van Til Hogeschool, 1992.

"Saya peringatkan, anak-anak," kata Miss Pinkan seraya bersedekap dan menatap seluruh kelas. "Saya paling tidak sabar menghadapi murid-murid yang tidak mau belajar. Kamu dengar itu, Michael?"

"Saya?" Michael bertanya setengah memprotes. "Kok saya sih?"

"Saya tahu kelakuan kamu, Michael!" tukas Miss Pinkan. Sekilas matanya melirik tumpukan kartu para murid di mejanya. Miss Pinkan merupakan guru baru di sekolah ini. Tapi, "Saya tahu tentang kalian semua," ia menambahkan. "Kalian anak-anak cerdas. Tapi kalian semua pemalas. Dengar, ya. Di kelas saya, kalian tidak mungkin lolos!"

Michael tersenyum menyeringai.

Miss Pinkan menatapnya. Dari raut wajahnya yang masam, bisa dipastikan ia tidak terlalu senang dengan apa yang dilihatnya. "Kalian harus mengerjakan PR kalian setiap malam," sambungnya. "Kalau tidak, silahkan bersiap-siap pergi ke Kelas Pelatihan Khusus!" 

"Kelas Pelatihan Khusus?" Salah satu murid perempuan bertanya dengan gugup.

"Kalau kamu tidak mengumpulkan PR besok pagi, kamu akan tahu, Gabrielle," sahut Miss Pinkan.

Seisi ruangan terdengar mengerang.

"Mana ada guru kasih PR di hari pertama masuk sekolah!" protes Michael. Hari itu adalah hari pertama mereka masuk sekolah setelah libur semester. Awal musim ajaran baru di semua sekolah. "Anda pasti bercanda!"

"Saya tidak bercanda," sergah Miss Pinkan. "Ayo kita mulai belajar!" tandasnya.

Keesokan harinya, tangan Gabrielle gemetaran ketika Miss Pinkan memarahi Michael. Dari ekspresinya terlihat jelas bahwa sesuatu benar-benar salah.

"PR-mu, Michael," tuntut Miss Pinkan.

"Anda harus memaafkan saya, kali ini aja!" jawab Michael setengah memohon.

Miss Pinkan menaikkan sebelah alisnya, "Memaafkan kamu?" tanyanya sinis.

"Kurang-lebih, Miss!" Michael mulai beralasan. "Begini," katanya. "Ada alarm mobil bunyi terus di luar jendela kamar saya. Suaranya kenceng banget, saya gak bisa konsentrasi. Waktu ada orang yang matiin—"

"Malam sudah terlalu larut dan kamu sudah harus tidur?" potong Miss Pinkan.

"Ah—haha…" Michael cengengesan. "Ng… nggak gitu juga, sih," akunya dengan tampang konyol.

"Oke," Miss Pinkan membeliak sebal. "Barangkali kamu tetap mengerjakan PR-mu, tapi waktu kamu bangun pagi, kucing kamu sudah memakannya sampai habis. Begitu?"

Michael tertawa gelisah. "Kurang-lebih… begitulah," ia berkilah.

"Maaf, Michael. Saya tidak bisa memaafkan kamu!" Miss Pinkan menegaskan. "Sekarang waktunya pergi ke Kelas Pelatihan Khusus." Lalu melangkah ke koridor.

Michael beranjak mengikuti Miss Pinkan. Di mulut pintu ia berhenti. "Saya lupa buku saya," katanya seraya berbalik.

Miss Pinkan tiba-tiba menyeringai. 

Seringai yang menyeramkan!

"Kelas Pelatihan Khusus bukan tempat untuk belajar, Michael!" Miss Pinkan memberitahu.

"Jadi tempat apa dong?"

Miss Pinkan tidak menjawab.

Michael mengangkat bahu, lalu diikutinya Miss Pinkan ke koridor. Suara langkah kaki mereka terdengar semakin samar.

Tak lama kemudian, Miss Pinkan kembali tanpa Michael. 

Hal yang sama kemudian menimpa Leo. "Saya tidak sempat," katanya beralasan. "Saya salah satu pemain di Liga Kecil."

"Begitu. Jadi, Liga Kecil lebih penting daripada sekolahmu?" bentak Miss Pinkan dingin.

"Ini pertandingan penting," jelas Leo. "Tim saya sangat bergantung pada saya."

"Pergi ke Kelas Pelatihan Khusus, Leo!" hardik Miss Pinkan tak mau mengerti.

Mulut Leo membulat. Kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Ia menggelengkan kepalanya dan mengikuti Miss Pinkan ke koridor.

"Menurut lu, ada apa sih di Kelas Pelatihan Khusus?" Beberapa murid mulai berbisik-bisik.

"Ada Michael!" kelakar salah satu murid laki-laki.

"Lucu!" Beberapa murid perempuan mendengus sinis.

"Situ enak kagak takut," gerutu murid perempuan lainnya. "Gua sih jujur aja takut. Gua gak pernah males ngerjain PR. Tapi sering lupa bawa PR kalo lagi buru-buru."

"Alesan lu aja ketinggalan," ejek murid laki-laki yang berkelakar tadi.

Beberapa murid laki-laki tergelak.

Murid-murid perempuan mendelik. "Gimana kalo abis ini giliran lu?" cemooh salah satu dari mereka.

"Gimana kalo abis ini giliran gua?" Murid perempuan lainnya menimpali dengan wajah muram.

Bagaimana kalau habis ini giliranku? batin Gabrielle.

Suara langkah kaki terdengar mendekat.

Seisi kelas serentak terdiam, memandang lurus ke arah Miss Pinkan dengan raut wajah tegang. Beberapa anak terlihat memucat.

Miss Pinkan berdeham seraya mengedarkan pandang ke seluruh kelas, mengamati satu per satu wajah-wajah para murid.

Para murid menahan napas.

"Gabrielle!" 

DEG!

Gabrielle menelan ludah dengan susah payah.

Miss Pinkan menatapnya.

Gadis itu tergagap dan mengedar pandang, kemudian beranjak dari bangkunya sedikit limbung.

"Kamu tidak mengerjakan PR-mu. Ya, kan?" terka Miss Pinkan.

"Sa---saya… mengerjakannya, kok!" Gabrielle tertunduk di depan meja guru itu seraya mengulurkan buku PR-nya dengan tangan gemetar. 

Miss Pinkan merenggut buku PR-nya dan memeriksanya dengan raut wajah masam. Kemudian mengangkat wajahnya dan menggeram. "Hanya dua soal?"

"Tapi… tapi…" Gabrielle tergagap-gagap.

Miss Pinkan mengetatkan rahangnya.

"Saya sudah berusaha," lanjut Gabrielle.

"Saya rasa kamu tidak berusaha cukup keras, ya kan, Gabrielle?"

"Tapi saya kan mengerjakan PR saya, Miss," protes Gabrielle. "Saya gak seperti Michael. Saya bukannya gak mencoba sama sekali!"

Miss Pinkan mendesah pendek, kemudian mengangkat buku PR-nya. "Dua soal, Gabrielle!" geramnya. "Itu berarti tiga tugas yang tidak dikerjakan. Di kelas ini, angka tiga adalah keramat."

Seisi kelas menahan napas.

"Silahkan bereskan buku-bukumu dan pergi ke Kelas Pelatihan Khusus."

"Saya mohon, Miss Pinkan!" Gabrielle berteriak. "Jangan suruh saya ke Kelas Pelatihan Khusus! Saya Mohon!"

"Ayo, Gabrielle," tegas Miss Pinkan. "Kamu tidak mau mengecewakan yang lain, kan?"

"Anda tahu, saya… saya bisa mengerjakan lebih baik dari itu, Miss Pinkan!" Gabrielle berkilah gugup.

Miss Pinkan tidak menggubrisnya. Ia melangkah ke pintu dan menunggu.

Gabrielle menatap seluruh kelas. Beberapa anak balas menatapnya. Mata mereka penuh ketakutan. Tapi yang lain menundukkan kepalanya dalam-dalam ke buku mereka dan berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Kalian gak peduli ya?" Gabrielle meneriaki mereka.

Tidak ada yang menjawab.

Gabrielle mengetatkan rahang dan beranjak dengan lutut gemetaran, lalu menghilang bersama Miss Pinkan.

Pada waktu istirahat, ketiganya tidak muncul. Bahkan sampai waktu pulang. Atau keesokan harinya. Atau keesokan harinya lagi. Atau kapan pun.

Tidak ada yang merasa kehilangan. Tidak seorang pun merasa kasihan pada mereka.

Chapiter 1

Van Til Hogeschool, 2022.

"AKU tak percaya aku berada di sini," gumam Eka Magisna pada dirinya sendiri. Ia menggelindingkan sepeda motornya ke tempat parkir khusus guru yang beratap seng, memutari genangan dalam yang selalu saja ada di depan pintu masuk pelataran parkir Van Til Hogeschool. Atap seng di atas kepalanya bergemuruh terkena siraman hujan.

Magisna menggigil dalam mantel dan sweater-nya. Mantel anti-air yang dikenakannya hampir-hampir tak membantu.

Aku tak percaya, pikirnya. Aku betul-betul berada di sini pada hari Sabtu.

Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hari sekolah seperti biasa. Tapi bukan.

Ini hari hukuman.

Aku pasti orang  t o l o l, katanya dalam hati, sementara rasa dingin menjalari tulang belakangnya. Ia memarkir sepeda motornya di dekat mobil milik kepala sekolah dan mematikan mesin. Hanya ada dua buah sepeda motor di tempat parkir itu. Ia membuka mantel anti-air yang dikenakannya, kemudian melipatnya dan menjejalkannya ke dalam box di bawah jok.

Ia memandang Van Til Hogeschool di balik kabut. Bangunan tua bekas rumah Belanda itu terlihat kelabu, dingin dan mati. Jendela-jendelanya gelap. 

Ia tak sanggup memaksa dirinya menghambur dari tempat parkir untuk menyeberang ke teras sekolah. Angin kencang mengempaskan tempias air hujan ke wajahnya.

Ia menudungi matanya dengan sebelah tangan, kemudian melayangkan pandangannya ke arah gardu lonceng di sudut pekarangan sekolah.

Gardu lonceng itu semacam pos keamanan yang biasanya dijaga seorang Centeng yang akan membunyikan lonceng setiap satu jam sekali sebagai pengingat waktu penduduk setempat. Pada hari sekolah, penjaga itu juga membunyikan lonceng tanda jam pelajaran dimulai atau usai. Tapi hari ini bahkan penjaga gardu lonceng itu tidak kelihatan.

Bagaimana aku bisa terlibat dalam persoalan ini? tanya Magisna dalam hati.

Ia mengingat saat itu dengan jelas---saat-saat panik ketika ia sadar telah melupakan PR trigonometrinya. Ia meninggalkannya di meja belajarnya di rumah, setelah menuntaskan rumus terakhir, melipatnya dengan rapi, dan siap untuk berangkat. Tapi dia lupa meletakkannya dalam buku matematikanya.

Gurunya, Miss Pinkan, tidak pernah bersikap simpatik.

"Itu berarti tiga tugas yang tidak dikerjakan, Eka," katanya, sambil menyilangkan lengannya di depan dada. Ia melihat buku nilainya di depan seluruh kelas. "Ya... Satu, dua, dan tiga."

Dia tersenyum. Dia menikmatinya, pikir Magisna.

"Di kelas ini, angka tiga adalah keramat. Silahkan bereskan buku-bukumu dan pergi ke kantor kepala sekolah."

Teman-teman sekelasnya diam saja selama kejadian itu. Tapi Magisna bisa merasakan pandangan mata mereka membakar punggungnya ketika ia meninggalkan kelas. Mereka barangkali sedang bersyukur karena bukan mereka yang yang mengalaminya. Semua orang tahu jika kau melupakan tiga PR di kelas trigonometri Miss Pinkan, kau akan dihukum.

Tak ada kesempatan kedua.

"Saya mengerjakan PR-nya," Magisna memohon. "Saya hanya lupa membawanya."

"Sayang sekali," jawab Miss Pinkan, ekspresinya tidak berubah.

Magisna tahu untuk apa dia berada di sini. Ia telah mendengar gosip. Kepala sekolah baru mereka, Pak Isa, telah mengubah peraturan.

Peraturan hukuman adalah hal pertama yang diganti. Hukumannya bukan lagi menghabiskan dua jam sepulang sekolah. Itu terlalu gampang. Tidak memecahkan persoalan. Tapi jika murid-murid harus mengorbankan satu hari penuh untuk menebus kesalahan mereka...

Dan lahirlah hukuman pada hari Sabtu ala Pak Is.

"Dan aku adalah kelinci percobaan," gerutu Magisna keras-keras, seraya memandang ke arah bangunan sekolahnya yang mirip rumah hantu. Ia mendesah. Ia tak bisa berdiri di sini selamanya.

Ia merenggut ranselnya dari punggungnya, kemudian memeluknya dan bersiap untuk lari.

Lihatlah sisi baiknya, katanya pada diri sendiri. Setidaknya aku tidak menyia-nyiakan hari yang indah.

Ia mengetatkan rangkulannya pada tas ranselnya dan berlari. Jaraknya tidak jauh, tapi tetesan air hujan tetap mengalir ke bawah lehernya seperti butiran kecil es batu.

Pintu depan sekolah membuka sebelum ia menyentuhnya.

Magisna berhenti mendadak sehingga kakinya berdecit di atas marmer basah di koridor. Sekilas ia melihat tangan pucat memegang pintu jeruji dari dalam.

Pintu terbuka makin lebar.

Ia mendongak dan melihat wajah Pak Isa, kepala sekolah mereka.

Matanya yang cermat dan tajam menusuk, dibingkai alis tegas yang tak kalah tajam. Mengingatkan Magisna pada seekor macan kumbang yang begitu sadis. Lingkaran hitam di kantung matanya membuat tatapan pria itu terasa seolah menembus ke dalam jiwanya.

Pak Isa memiliki rambut lurus berwarna hitam mengkilat yang sedikit terlalu panjang melewati rahang. Dan ia sedikit terlalu muda. Semua hal itu jelas menjadi pemandangan yang sangat langka untuk seorang kepala sekolah.

Pak Isa membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Eka."

Magisna tidak ragu-ragu. Ia mengibaskan air dari tubuhnya, sambil mencoba untuk tetap berdiri di atas keset karet besar di sebelah dalam pintu. Menurutnya barangkali Pak Isa akan memarahinya jika ia membiarkan air memerciki seluruh lantai.

Koridor terlihat gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari kantor depan di ujung gang.

"Kau yang terakhir," Pak Isa memberitahu. Tapi ia memandang ke luar pintu yang terbuka seolah-olah menunggu orang lain. Ia mengenakan jas hitam dan dasi, bahkan pada hari Sabtu. Rambut panjangnya yang hitam mengkilat dibiarkan terurai sehingga ia terlihat lebih mirip vampir daripada kepala sekolah.

Siapa yang meninggal? Magisna bertanya konyol. Tapi tentu saja hanya dalam hatinya.

Pak Isa mengembuskan napas panjang, seraya memandang sekali lagi pada hujan, dan membiarkan pintu terbanting. Akhirnya pandangannya jatuh pada Magisna.

"Pak Is?" tanya Magisna.

Kepala sekolah itu mengangkat alisnya. "Ya?"

"Eh... Saya masih baru dalam hal ini," tutur Magisna. "Apa yang harus saya lakukan?"

Pak Isa tersenyum dingin. "Kamu belum pernah dihukum?"

"Belum."

"Kamu murid yang baik, Eka," ujar Pak Isa. "Aneh juga kamu sampai ditahan, karena itu saya memeriksa arsipmu."

Uh-oh, pikir Magisna.

"Nilai-nilaimu bagus," lanjut Pak Isa, ditambah menjadi pengurus OSIS, giat dalam olahraga lari dan surat kabar sekolah. Apa kesalahanmu?"

Pipi Magisna menjadi panas. "Tidak melengkapi tiga PR di kelas Miss Pinkan," gumamnya.

"Oh, betul." Pak Isa mengangguk. "PR yang kautinggalkan di rumah?"

"Yeah."

Magisna tahu Pak Isa tidak mempercayainya. Mengapa harus demikian? Anak-anak berbohong kepadanya setiap hari. Bahkan murid-murid yang baik.

"Saya harap kamu tidak akan membuat ini menjadi suatu kebiasaan!" ujar Pak Isa tanpa emosi.

"Tidak."

"Bagus. Memalukan untuk merusak catatan sekolah yang bagus dengan hukuman." Ia mendesah lagi. "Bahkan saya mengalami pelajaran berat di zaman saya. Betul-betul berat."

Suaranya melirih.

Magisna menunggunya untuk mengatakan sesuatu yang lain, tapi pandangan Pak Isa tetap menerawang di atas kepalanya.

Magisna berdeham.

Kepala sekolah itu membelalak kepadanya. "Yang lain berada di ruang 111," katanya. "Silahkan pergi ke sana."

Kepala sekolah itu berbalik dan melangkah menuju kantornya.

Magisna membayangkan dirinya lari keluar dalam hujan dan menuju mal. Yeah. Menghabiskan waktu di sana. Menelepon teman-temannya. Berbelanja. Lalu bilang pada orang tuanya bahwa hukuman tidak terlalu buruk...

Tapi tak mungkin. Di tempat ini bahkan tidak ada supermarket.

"Menyebalkan," gumamnya.

Ia melangkah ke koridor yang suram menuju ruang 111. Langkah-langkah kakinya bergema di gang yang kosong. Bunyi itu mengingatkannya bahwa ia sendirian di tempat ini. Tidak ada yang bisa diajak bicara. Tidak ada apa-apa selain hujan dan PR untuk sepanjang hari Sabtu.

Aku takkan ketinggalan PR trigonometri lagi selama hidupku, janjinya.

Ia mempererat jaketnya dan mencoba mengenyahkan rasa dingin yang enggan meninggalkan tubuhnya.

Ini akan menjadi hari yang panjang, pikirnya.

Tapi dia tak tahu betapa lamanya---atau betapa berbahayanya.

Chapiter 2

Cahaya memancar keluar dari ruang 111. Terdengar tawa ramai. Magisna menyampirkan tas ranselnya pada bahunya dan melangkah ke dalam.

Tawa anak dalam ruangan itu berhenti ketika ia masuk.

Seorang cowok, pendek dan kurus berambut kuning mengenakan kemeja flanel---Dika Alisyah, teman sekelas Magisna, sedang mencoret-coret papan tulis. Rambutnya jatuh di wajahnya.

Seorang anak cewek pendiam duduk di meja bagian depan. Namanya Novi Artikasari. Magisna mengenalnya dari setiap pertemuan pengurus OSIS. Ia mungil dan langsing, memakai sweater berwarna cokelat dan celana khaki. Rambutnya yang tebal dan panjang diikat sedikit di bagian pelipis dengan jepit rambut berbentuk kupu-kupu ke belakang kepalanya. Buku teks biologi terbuka di depannya. Tidak seharusnya ia berada di sini, pikir Magisna. Dia salah satu murid teladan.

Dua orang lainnya duduk di bagian belakang kelas. Seorang cewek berwajah bulat berambut sedikit ikal, tapi tata rias tebal di seputar matanya membuat wajah gadis itu terlihat keras. Ia memakai T-shirt konser rock dan jeans ketat. Ia meniup gelembung permen karet dan memandangi Magisna. Magisna mencoba untuk tidak menatap matanya.

Magisna mengenal cowok terakhir hanya dari reputasinya. Hendra Dwi Maulana, anak setan---si keparat sejati. Ia mengenakan jaket tentara robek, T-shirt robek, dan jeans robek. Rambutnya yang hitam pekat dibiarkan memanjang hingga ke rahang. Matanya mengunci mata Magisna sejak ia masuk.

Wow, Magisna menggerutu dalam hatinya. Bukan gerombolanku yang biasa.

Ia tahu cerita tentang Hendra. Semua orang tahu. Berantem. Merokok di kelas. Menyalakan petasan di kamar mandi cowok. Bahkan yang lebih buruk. Katanya Hendra juga mencuri mobil. Tapi tak seorang pun tahu pasti.

"Emh, hai," Magisna bergumam. "Apa di sini kelas hukuman?"

"Bukan, ini kelas bedah," Hendra menyahut dengan kasar. "Tikus mati bakal dateng sebentar lagi."

"Gua jadi gak sabar," sahut Magisna, mencoba kedengaran santai.

Dika terkekeh-kekeh. "Tikus mati bisa jadi binatang peliharaan hebat tau," sahutnya. "Lu gak perlu ngajak doi jalan-jalan."

"Jorok lu." Cewek dengan tata rias menor memutar bola matanya. Ia melempar segumpal kertas ke arah Hendra.

Hendra menangkap kertas itu dan meletakkannya di meja. Kemudian ia meraih ke dalam saku jaketnya dan mengambil pemantik gas. Ia membuka penutupnya, menjentikkannya hingga menyala, lalu mendekatkan bola kertas tadi pada nyala api.

Baru jam delapan pagi dan mereka sudah berniat membakar tempat ini! pikir Magisna.

Kertas itu terbakar dalam sekejap.

"Yow!" teriak Hendra, sambil menjatuhkannya ke lantai.

"Lu bisa memicu sistem penyiram air tau," Novi memperingatkannya.

Hendra mengejek. "Terus kenapa?"

"Gua gak mau dapet masalah lagi," jawab Novi.

"Emang siapa yang mau?" si cewek menor menyahut balik.

Novi kembali pada bukunya.

"Heh, Gisna," panggil Hendra tiba-tiba.

****, dia tahu namaku, pikir Magisna takjub.

"Lu mau duduk gak? Bikin gua gugup aja."

"Maaf," gumam Magisna. Ia menaruh tas ranselnya dan duduk dekat pintu.

"Hai, Ka." Novi mengerling ke arahnya. "Udah bikin PR trigonometri?"

"Ha-ha. Lucu betul." Magisna tersenyum lebar, bersyukur melihat wajah yang ramah. "Apa sih kesalahan lu?"

"Terlalu banyak menjilat," gumam Dika menyela mereka.

Magisna melihat lebih dekat apa yang sedang digambar Dika---grafiti. Dalam huruf yang melingkar-lingkar, ia menulis: SAYA BERJANJI TIDAK AKAN.

Selanjutnya belum ditulis.

Novi tidak mengacuhkannya. "Lu bedah katak juga nggak di kelas biologi?" tanyanya.

"Yeah," jawab Magisna tanpa minat. Memikirkan usus yang lengket dan bau formaldehida membuat perutnya memberontak. "Itu menjijikkan."

"Gua gak mau bedah katak," kata Novi, sembari mengerutkan dahi. "Percuma. Kita gak belajar lebih dari yang kita dapetin di diagram. Kenapa kita harus bedah katak?"

"Lu dihukum gara-gara gak mau bedah katak?" tanya Hendra dari belakang mereka.

"Kalo menurut gua kita gak wajib melakukannya," Novi memberitahunya. "Gak manusiawi banget."

"Kataknya udah mati, Novi," Hendra merongos pada Novi.

"Terus? Lu suka gitu kalo mereka juga bedah elu setelah lu mati?"

"Maksud lu katak? Bedah gua? Ha-ha... Gua kok ngarep ya tu katak bisa bedah gua," Hendra membalas. "Kali mereka bisa belajar sesuatu."

Novi mendengus dan kembali menatap Magisna. "Gua cuma gak mau bedah katak."

Magisna mengangkat bahu. Ia tidak memiliki keberatan moral apa pun dalam hal membedah katak. Hanya menjijikkan saja.

"Guru biologi ngasih lu hukuman ini gara-gara itu?" tanya Dika seraya membelalakkan kedua matanya.

"Dia ngasih gua pilihan sih," sahut Novi muram. "Pilih bedah katak apa dihukum, apa mau nulis laporan seribu kata tentang amfibi."

"Dan lu milih ini?" tanya Dika lagi.

Novi mengangkat bahu.

"Untuk ukuran orang pinter," kata Hendra sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lu bener-bener  t o l o l."

"Gua gak ngarep lu ngerti, Hendra," ejek Novi.

"Serah lo," sergah Hendra. Ia menyobek beberapa halaman buku teks dan melambaikannya seperti kartu. Ia menjentikkan pemantik dan membakarnya.

"Woy---lu gila! Mau berenti gak lu?" bentak Novi.

"Gua gak bisa," kata Hendra. "Gua gak ngerti mana yang bener mana yang salah, inget?"

Serpihan kertas terbakar melayang di udara.

Magisna menundukkan kepala menghindarinya. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang akan Hendra lakukan jika api membakar jarinya.

Hendra kembali merobek kertas dari buku di depannya.

"Weyyy---udah, Kampret!" Novi memarahinya lagi.

Magisna berbalik dengan cepat dan melihat Pak Isa di pintu masuk. "Matikan itu---sekarang juga!" teriaknya.

"Oke, oke," sahut Hendra. Ia berjalan pelan ke depan dan menjatuhkan semua serpihan itu ke dalam tempat sampah. Lalu ia merenggut vas bunga dari meja guru, menarik bunganya keluar, dan menuang air ke atas api. Ia menempatkan lagi bunga itu ke dalam vas yang kosong. Kemudian ia berpaling ke arah kepala sekolah itu dan tersenyum menyeringai kepadanya. "Puas sekarang?"

Apa dia sinting? Dalam hati Magisna bertanya. Apa sih yang ingin dia buktikan?

"Saya harap kamu tidak punya rencana apa pun untuk Sabtu depan, Hendra," tutur Pak Isa. Suaranya bergetar karena marah. "Kamu harus kembali untuk hukuman lagi."

"S i a l a n!" Hendra menepuk dahinya sendiri. "Gak jadi nonton turnamen kriket."

Si cewek bertata rias menor terkikik sambil menutupi mulutnya.

Magisna tak bisa mempercayainya. Ia dan teman-temannya juga tidak menyukai Pak Isa. Tapi ia takkan pernah sengaja bersikap tidak hormat padanya. Itu sama saja dengan cari gara-gara.

Pak Isa melangkah mendekati gadis yang terkikik tadi. "Kalau ada orang yang harus tutup mulut, itu memang kamu, Alexza. Kamu sudah cukup sering membolos untuk menghabiskan satu tahun lagi di Van Til Hogeschool. Kamu mau?"

Pak Isa sekarang berpaling pada Dika. Sejauh ini dia baru menulis sampai: SAYA BERJANJI TIDAK AKAN MENCORET-CORET.

"Duduk, Dika."

Dika cemberut. Ia menjatuhkan kapur di lantai dan berjalan dengan langkah berat menuju meja di baris pertama.

Pak Isa mengamati lukisan kapur itu. "Sayangnya kamu tidak berpikir untuk menggunakan kapur sewaktu mencoret-coret bis sekolah," ujarnya. "Gaya kamu perlu diperbaiki."

"Anda pengkritik seni?" Dika memberengut.

"Barangkali kalau tidak terlalu sering ikut-ikutan Hendra, kamu bisa menggunakan bakat kamu dengan lebih serius," kata kepala sekolah itu kepadanya.

Dika hanya angkat bahu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!